Hurt

Hurt

Hyunjin menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah kusut seorang laki-laki dapat dilihatnya. Lagi-lagi matanya terasa panas. Air matanya siap keluar. Dan untuk kesekian kalinya ia harus mengusap air matanya dengan bibir bergetar. Hyunjin mencoba menahan tangisannya, tapi ia tidak cukup kuat. Dadanya sesak bukan main. Meskipun Hyunjin sudah menepuknya berulang kali, dadanya masih terasa sesak.

Setelah merasa cukup tenang, ia menghela napas. Bibirnya masih bergetar, tapi tidak seburuk tadi. Perlahan ia membuka matanya, kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Lalu dengan berat hati, ia mencoba tersenyum. Dengan tangan gemetar, Hyunjin memasang dasi berwarna merah maroon yang kontras dengan kemeja putih yang dikenakannya.

“Masih tampan,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Ia melirik ke jam dinding yang ada di dekat pintu. Sudah jam 7 malam, ia harus segera pergi. Dengan cekatan, ia mengambil jas hitam yang sedari tadi tergeletak di atas kasur. Hyunjin mengenakannya lalu merapikannya sebentar. Tidak lupa, ia tersenyum lagi, memastikan penampilannya cukup baik dilihat.

Hyunjin mengendarai mobilnya dengan perasaan tak tenang. Fokusnya tidak ke jalan. Wajah perempuan yang dicintainya terus hadir dipikirannya, membuatnya sulit untuk fokus. Namun, ketika ia melihat gedung yang menjadi tujuannya itu, ia mencoba mengusir wajah perempuan itu dari pikirannya. Ia harus bisa.

Jam di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 7.40. Banyak orang yang memenuhi aula gedung itu. Beberapa dari mereka hadir berpasang-pasangan. Hyunjin tersenyum pahit, bahkan hampir menangis lagi. Tapi, ini bukan saatnya untuk menangis. Hyunjin sadar betul ia harus berbahagia di hari pernikahan temannya.

Ia terus melangkah ke dalam, sampai akhirnya ia berdiri tepat di depan kedua pengantin. Hyunjin tersenyum ketika melihat temannya tersenyum ke arahnya. Ia berjalan menghampiri temannya itu, lalu berlutut di depannya.

“Apa kabar?”

“Baik. Kau sendiri?” Suara Hyunjin terdengar lemah.

“Yah, begini lah. Cukup baik.”

Hyunjin menatap mata temannya lekat-lekat. Mencari sebuah kebohongan di sana. Namun, ia tidak menemukannya. Temannya tidak berbohong. Tidak pernah berbohong.

Melihat mata temannya yang mulai basah, Hyunjin langsung memeluknya. Erat, sangat erat. Sampai napas mereka terasa berat. Keduanya menangis, tidak peduli dengan tamu undangan lainnya yang menatap mereka heran.

“Maafkan aku, Sunwoo. Sungguh.”

Sunwoo tidak menjawab. Ia hanya mengeratkan cengkeramannya pada jas Hyunjin. Ia takut suara tangisannya akan terdengar kalau ia bicara. Sunwoo takut Hyunjin kecewa padanya.

Peristiwa sepuluh tahun lalu kembali muncul dipikiran mereka. Peristiwa pahit yang membuat hidup keduanya hancur. Peristiwa yang membuat Sunwoo dan Hyunjin harus kehilangan cinta pertama mereka. Dan peristiwa di mana Sunwoo harus merelakan kaki kanannya.

 

***

 

Sore itu, hujan turun cukup deras. Sunwoo dan Eunbin terpaksa harus pulang sekolah hujan-hujanan karena tidak ada yang membawa payung ataupun jas hujan, dan langit pun mulai gelap. Tidak mungkin mereka berteduh sampai larut malam.

Eunbin memeluk pinggang Sunwoo dan menyembunyikan wajahnya dibalik punggung laki-laki itu. Senyum manis tersungging di bibirnya, mengingat hari ini merupakan hari jadinya dengan Sunwoo. Membayangkan bagaimana harinya bersama Sunwoo untuk ke depannya membuatnya senang. Pelukannya semakin erat. Dan itu membuat Sunwoo tersenyum dibalik helm full facenya.

Sayangnya senyum itu tidak bertahan lama. Sunwoo terkejut ketika melihat sebuah mobil hilang kendali menuju ke arahnya. Ia mencoba menghindar, namun terlambat. Pelukan Eunbin terlepas, dan ia merasa kepalanya ingin pecah. Tubuhnya sakit, namun kedua kakinya mati rasa. Sunwoo mencoba membuka mata, ingin memastikan apa yang terjadi. Tepat ketika matanya terbuka, pemandangan yang dilihatnya adalah tubuh Eunbin yang tergeletak dipenuhi darah. Matanya seketika terasa panas, rasanya ingin menangis. Tapi, tidak ada air mata yang keluar, hanya dadanya yang terasa sesak.

Sebelum matanya tertutup sepenuhnya, ia melihat wajah yang sangat dikenalnya sedang menepuk-nepuk wajahnya. Itu Hyunjin.

 

***

 

“Sudah. Aku tidak pernah menganggap ini salahmu. Mungkin jalannya memang harus seperti ini.”

Sunwoo mengatakannya ketika perasaannya sudah cukup tenang. Wajahnya masih basah karena air mata, tapi bibirnya sudah mampu menyungging senyum.

“Aku sudah jadi laki-laki yang payah. Aku tidak bertanggung jawab. Aku payah, Sunwoo. Aku gagal. Aku minta maaf. Harusnya aku tidak langsung pergi. Harusnya aku pamit. Tapi aku malu. Aku takut bertemu denganmu. Aku tidak tahu harus berkata apa padamu. Aku tahu kau kecewa.”

Hyunjin masih menangis. Pelukannya masih erat seperti tadi. Ia benar-benar melampiaskan semua yang daritadi ditahannya. Ia tidak ingin perasaan ini membebaninya lagi.

“Jujur. Awalnya aku membencimu. Tapi setelah kupikir-pikir lagi. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama sepertimu. Jadi, aku sudah memaafkanmu. Sejak dulu sekali.”

Melihat Sunwoo yang sudah tenang, Hyunjin melepas pelukannya. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menatap Sunwoo. Temannya itu tampak lebih kurus, tapi terlihat baik. Wajahnya tidak kusut seperti wajahnya. Temannya tampak bahagia.

“Kau tahu? Aku juga merasa bersalah, sama sepertimu. Aku minta maaf,” ujar Sunwoo. Wajahnya tampak sangat bersalah.

Hyunjin tersenyum lalu menggeleng. Ia tahu apa yang dimaksud Sunwoo. Dan ia tidak pernah menyalahkan Sunwoo. Hyunjin sadar bahwa semuanya adalah salahnya. Sunwoo tidak pernah melakukan salah. Tapi, Hyunjinlah yang memulai ini semua.

Sunwoo tersenyum lalu memberi kode kepada Hyunjin untuk segera menyapa perempuan di sebelahnya. Hyunjin awalnya nampak ragu, tapi ketika melihat wajah perempuan itu, tidak bisa dibohongi kalau ia senang.

“Hai,” sapa Hyunjin.

“Hai.”

“Kau cantik.”

Perempuan bernama Siyeon itu tersenyum kecil. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia rindu laki-laki di hadapannya sekarang.

Bagaimana mungkin Siyeon melupakan Hyunjin. Laki-laki itu selalu menemani hari-harinya. Sejak kecil hingga remaja, mereka selalu berdua. Dan bagaimana mungkin Siyeon melupakan Hyunjin kalau laki-laki itulah yang telah membantunya berkenalan dengan Sunwoo. Hyunjinlah yang menjadi tempat Siyeon mencurahkan hatinya. Hyunjinlah satu-satunya orang yang mengetahui Siyeon mencintai Sunwoo.

Bagi Siyeon, Hyunjin adalah yang terbaik. Terbaik untuk dijadikan sahabat. Siyeon menyayangi Hyunjin, tapi tidak seperti Hyunjin menyayangi Siyeon. Siyeon tahu Hyunjin mencintainya. Ia sangat sadar bagaimana perlakuan Hyunjin padanya. Dan ia juga sangat mengerti tatapan Hyunjin terakhir kali sebelum laki-laki itu pergi ke Jerman.  

Tatapan Hyunjin penuh rasa sakit. Siyeon bisa mendengar napas Hyunjin terputus-putus. Ia tahu laki-laki itu sedang menahan tangis.

“Tolong jaga Sunwoo. Aku tahu kau tulus mencintainya. Aku tahu kau akan tetap mencintainya, meskipun ia sudah tidak seperti dulu. Dan aku tahu, kalau sampai kapanpun, hatimu akan tetap jadi miliknya. Jadi, kumohon, tetaplah bersamanya. Buat dia semangat lagi.”

Siyeon tetap diam. Ia hanya menatap Hyunjin yang sedang mencoba tertawa, tapi gagal. Hyunjin malah terisak.

Tanpa bicara, Siyeon memeluk Hyunjin. Bukan pelukan perpisahan, tapi pelukan sebagai tanda bahwa ia akan melakukan apa yang semua Hyunjin bilang. Bahkan tanpa laki-laki itu minta.

“Aku minta maaf, Siyeon. Aku laki-laki yang payah.”

Siyeon tidak mengatakan apa pun.

“Sunwoo tidak punya siapa-siapa lagi. Dia..”

“Sssstt. Aku mengerti. Kau cukup pikirkan kebahagiaanmu di sana, oke?”

Dan hari itu adalah hari terakhir mereka berhubungan.

Peristiwa itu masih melekat kuat di ingatannya. Dan mungkin Siyeon tidak akan lupa seumur hidupnya. Begitu pun dengan Hyunjin. Hari itu, di bandara, ia melepas cinta pertamanya untuk teman dekatnya.

“Semoga kau bahagia selalu.”

Siyeon mengangguk lalu ia memeluk Hyunjin. Mengusap punggung laki-laki itu, mencoba memberinya kekuatan.

“Semoga kau cepat menemukan kebahagiaanmu, Hyunjin. Aku menyayangimu.”

Hyunjin mengangguk. Ia menatap Siyeon dan Sunwoo bergantian, lalu tersenyum. Senyumnya tulus tanpa beban. Kemudian ia berbalik dan melangkah pergi. Dadanya lagi-lagi terasa sesak. Ia menatap langit-langit dan tanpa sadar air mata menetes dari kedua sudut matanya. Hyunjin memejamkan mata lalu menghela napas. Ini adalah pilihannya dan ia tidak boleh menyesal.

Dari kursinya, Sunwoo bisa melihat Hyunjin lagi-lagi menangis. Rasa sesal kembali memenuhi hatinya. Harusnya ia tidak menikahi Siyeon. Harusnya ia tahu kalau Hyunjin pasti sakit hati melihatnya menikahi Siyeon. Sunwoo tahu betul kalau Hyunjin mencintai gadis itu. Tapi, Sunwoo bisa apa kalau semuanya adalah kemauan Hyunjin, termasuk pernikahan ini.

Sunwoo menunduk, tangannya mengepal kuat. Ia menangis diam-diam. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Ia telah menyakiti Hyunjin dan Siyeon. Karena sampai sekarang Sunwoo belum bisa melupakan Eunbin. Hatinya telah dibawa mati oleh gadis itu.

 

 

 

 

 

 

Tapi inilah hidup. Penuh dengan pilihan.

“Kuharap di kehidupan yang akan datang. Kita semua bisa hidup lebih baik.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
casperkim
#1
Chapter 1: Bagus!!!