Chapter 2

Lily of the Valley

"Kringg!!"

       Dering alarm membangunkan Taekwoon dari tidur panjangnya. Entah berapa butir pil tidur yang ditenggaknya kemarin malam sejak usahanya yang terakhir untuk melenyapkan nyawanya sendiri. Pria berkulit porselen pucat yang tampak kontras dengan rambut legam sehitam malam itu mengurut dahinya frustrasi. Secara keseluruhan, ia merasa lelah. Lelah akan semuanya. Bahkan tidur pun tidak lagi bisa membantu kelelahan jiwanya.
       Taekwoon selalu berharap suatu hari dirinya terbangun di sebuah lorong putih bercahaya dengan sesosok malaikat pencabut nyawa menggiringnya pergi dari dunia. Tapi setelah ratusan.. tidak, ribuan tahun bergulir, ia masih hidup dan bernafas di bumi fana ini. Tubuhnya seolah berhenti menua semenjak ia berusia dua puluh lima tahun, puluhan abad silam.
          Leo; pria itu, meluncur ke lantai bawah berbekal penglihatannya yang masih buram. Seperti biasa, ia mulai menyiapkan menu khasnya - telur dan daging asap. Tanpa menunggu lama, ia segera memulai ritual sarapannya. Seorang diri. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Rumah ini begitu besar dan luas, dengan pilar-pilar tinggi keemasan yang menopang ketiga lantai dengan kokoh. Begitu pula dengan furnitur mewah dan desain interior bercita rasa seni yang diadaptasi dari basilika mewah di Versailles abad pertengahan. Ini adalah mahakaryanya selama bertahun-tahun, bagaimanpun ia merasa cukup bangga dengan pencapaiannya ini.

 Setelah selesai sarapan, Leo mulai bergegas ke kamar mandi dan membasuh tubuh. Tak lama ia pun menuju kamar rias pribadinya dan mematut dirinya di cermin. Ia memakai celana hitam dan jas warna senada untuk melapisi kemeja panjang putihnya. Setelah memilah dan memilih puluhan model dasi dalam laci, ia mengambil seutas yang bewarna kelabu dengan motif minimalis.
      Leo menatap pantulan dirinya dalam cermin. Ia tak tersenyum atau mencoba merapikan rambut hitamnya yang dibiarkan sedikit berantakan. Sudah puluhan abad berlalu dan ia masih belum mendapati tanda-tanda penuaan dalam wajahnya. Ia muda sampai sekarang. Leo tak tahu apakah ia harus bersyukur atau sebaliknya dengan hidupnya yang abadi ini.
Sesaat kemudian, ponselnya berdering. Pria itu mengintip siapa gerangan yang menelponnya di pagi hari seperti ini. Ternyata Chiyeon.

"Yeoboseyo?" Leo menjawab dengan nada monoton.
"Leo!" Chiyeon berseru di seberang telfon, "Hei, apa kau berangkat kerja sekarang?"
ia bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Pastikan kau tidak terlambat lagi." Chiyeon memperingatinya sembari terkekeh kecil.
 "Yasudah segera pergilah, oke? Jangan terlambat, Leo!"
"Baiklah baiklah."
"Oh - sebelum aku lupa."
"Hm?"
"Apakah kau baik-baik saja sekarang?"

Pertanyaan Chiyeon memukul Leo dengan begitu keras. Ia tak tahu bagaimana menjawabnya sebab ia sendiri tak yakin dengan keadaannya sendiri. Biasanya orang lain akan menghindari pertanyaan sensitif semacam itu tapi lain halnya dengan Ryu Chiyeon. 

"... kenapa kau menanyakan itu?" tanya Leo, matanya tertuju ke lengannya sendiri. Dengan ragu-ragu ia menyingkap pakaian dan melihat bekas luka itu tertinggal setelah malam
emosional yang dialaminya belum lama ini. Ia mengerutkan dahi pada ingatan yang menyakitkan itu. 

"Tentu aku baik-baik saja, Chiyeon."

"Yakin? Kau tidak perlu berbohong jika memang tidak, Leo." suara Chiyeon terdengar
sangat khawatir. Leo tidak benar-benar pandai dalam berbohong.

 "Aku paham situasi mu saat ini, Leo, keadaan menjadi jauh lebih sulit, apalagi kau, yah, tanpa
kematian-"

"Aku baik-baik saja." Leo memotong. "Aku janji akan memberitahumu kalau aku merasa tidak baik, oke?"

"Tapi-"

"Aku harus pergi sekarang atau aku akan terlambat. Sampai jumpa."

Leo memutus sambungan nirkabel dengan desahan berat. Setelah itu ia menyambar kunci mobilnya dan meluncur menuju garasi. Ia menaiki Aston Martin mengilap yang kemudian melesat ke jalanan.

Leo mengawali harinya dengan cukup mencengangkan hari ini. Fakta bahwa ia tiba tepat waktu di kantornya adalah hal yang hanya terjadi sekali dalam ribuan gerhana. Biasanya ia kerap terburu-buru karena malam sebelumnya lupa menyetel alarm, tapi sekarang tampaknya ia mulai bisa menangani itu semua.

Leo menatap gedung pencakar langit di hadapannya. Tae Jin Entreprises. Disinilah ia bekerja selama beberapa tahun terakhir. Tepat selesai menamatkan kuliahnya untuk ke sekian kali, ia diterima bekerja di perusahaan milik ayah Chiyeon ini. Karena pengalaman dan kualifikasi yang terasah selama ribuan tahun, tak sulit bagi Leo untuk menanjak kariernya. Hanya butuh satu tahun sebelum ia mendapat promosi naik jabatan dari seorang pebisnis biasa menjadi seorang eksekutif muda yang cukup berpengaruh di lingkungan kerjanya. Leo kini menjabat sebagai asisten CEO, posisi yang cukup diperhitungkan untuk ukuran pemula sepertinya.

   Sementara Chiyeon tidak begitu termotivasi. Sebagai anak tunggal dari ketua komisaris, otomatis ia menjadi pemegang saham terbesar perusahaan dan bekerja sebagai salah satu pemimpin direksi.

Leo berjalan menuju gedung, matanya tak bernyawa seperti sebelumnya. Setiap hari tampak sama dan "abu-abu". Hidupnya sangat mudah ditebak.
Ia bangun, pergi kerja, mengakhiri pekerjaannya, pulang ke rumah, terkadang mabuk-mabukan bersama Chiyeon dan beberapa kolega, makan malam, tidur.
Itulah rutinitas sehari-hari Leo, dan ia mulai merasa muak karenanya.

Barangkali itu juga yang membuatnya mengalami depresi berkepanjangan hingga sekarang. Benar, Leo benar-benar bosan hidup untuk selamanya. Selama perjalanannya yang tiada akhir menjelajah waktu, ia melihat para sahabatnya satu persatu meninggal dunia dan ia harus menghadiri pemakaman mereka.

Ryu Chiyeon adalah satu-satunya orang yang tahu keadaannya sekarang. Sebenarnya ada dua orang asli yang tahu tentang "rahasia kecil" Leo, tapi yang pertama
sudah meninggal. Hakyeon adalah yang kedua dan satu-satunya orang dari generasi ini. Tentu saja, mengumumkan pada dunia bahwa ia abadi hanya akan membuat orang-orang mencapnya gila. Lagipula, Leo pikir tak ada yang patut dibanggakan dari kenyataan bahwa ia tak bisa mati.

Chiyeon tahu tentang keabadian Leo sejak mereka menjadi teman sekelas di sekolah menengah atas. Itulah awal mula kedekatan keduanya. Karena mempercayainya dengan sangat, Leo memutuskan untuk menumpahkan
rahasianya pada bocah kurus itu dan yang membuatnya terkejut, Chiyeon tak menganggap yang dialaminya itu aneh!
Leo pernah meragukan pendapat Chiyeon, tapi hingga kini, ia tak pernah mengubah sedikitpun pandangannya terhadap 'keabadian' Leo.

 Leo mengalihkan tatapannya ke pelataran gedung dan sepertinya ia akan berterima kasih seribu kali atas refleks matanya ini.  Disanalah, hanya terpaut beberapa meter darinya, berdiri seorang wanita dengan rambut selembut sutera. Tubuhnya yang berlekuk sempurna dilapisi gaun lolita berwarna pink mawar. 
Tanpa ragu, Leo menjatuhkan tas kerjanya dan memburu langkah menuju gadis itu, kemudian melingkarkan lengan kekarnya seerat yang ia bisa.

Gadis asing itu tak pelak merasa syok atas tindakan sembrono Leo. Tapi yang bisa didengarnya kemudian hanyalah bisikan lembut pria itu yang menghantarkan getaran kecil di tengkuknya.

"Akhirnya aku menemukanmu, Sunhwa."

~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet