He loves me, he loves me not

I told my therapist about you

Tell me darling,
would you still love me if I told you about the monsters I need to sing to sleep every night

© Nikita Gill

 

 

 

 

“Dia mencintaiku, dia tidak mencintaiku, dia mencintaiku, dia tidak mencintaiku….”

Kim Taehyung terduduk di hamparan padang bunga. Rangkaian kalimat itu berulang bagaikan mantra, sebentuk upaya demi membendung ragu yang menyelimuti kepala. Di tangannya terdapat setangkai bunga daisy yang tiap kelopaknya ia lucuti satu per satu, harapannya sesederhana mengapa orang mendatangi ahli nujum; ingin diyakinkan. Isi kepalanya berantakan dan terlalu gelap, dirinya sendiri adalah orang terakhir yang akan ia percaya.

Ini permainan kanak-kanak yang akan membuatnya terlihat bodoh, tetapi segaris senyum terbit di wajahnya ketika mencapai kelopak terakhir—

“Dia mencintaiku.”

—haha, ia tidak menyangka ini.

Taehyung memetik satu tangkai lagi bunga daisy terdekat seakan masih butuh diyakinkan, lengan kausnya tersingkap sedikit dan akan memperlihatkan tato temporer berbentuk band aid bertuliskan ‘you are worth it’ secara jelas. Yang tidak akan orang-orang lihat adalah guratan luka-luka sayatan di pergelangan tangannya, tanda permanen di tubuhnya yang saat ini tertutup oleh tulisan-tulisan motivasional yang tiap harinya akan berganti.

“Dia mencintaiku, dia tidak mencintaiku, dia mencintaiku, dia tidak mencintaiku…”

Kelopak-kelopak daisy itu berguguran pelan-pelan.

“Dia mencintaiku, dia tidak menc—“

“Aku mencintaimu.”

Oh.

Gerakan tangannya terhenti, kepalanya mengadah; sudah ada Jung Hoseok di hadapannya. Kalimat barusan membuatnya menundukkan kepala. Daisy di tangannya ia pegang lebih erat, pipinya menghangat tanpa mampu ia cegah. Balasan ‘aku juga’ bergema di kepalanya, tapi lidahnya terlalu kelu untuk mengatakan itu.

Taehyung sudah meminum obat-obatnya secara rutin selama seminggu terakhir, ia mungkin tidak ingin menyakiti dirinya sendiri lagi, tetapi ia merasa kepayahan hampir setiap saat. Dokter bilang itu efek samping dari obat-obatan yang ia konsumsi, tunggu sampai tubuhnya menyesuaikan. Ia kebas hampir setiap saat, tetapi kehadiran Hoseok selalu dapat membuat tubuhnya yang mati rasa dapat merasakan secercah kehangatan.

Bahkan ketika ia tidak sedang menjadi dirinya sendiri dan tenggelam terlalu dalam pada kekacauan yang kepalanya perbuat, hanya Jung Hoseok yang mampu menariknya kembali.

“Di sini kau rupanya,” Hoseok menjatuhkan diri di sebelah Taehyung, tangannya merangkul lelaki yang lebih muda. “Aku mencarimu dari tadi, tahu?” Gelak tawa terdengar di akhir.

Rangkulan Hoseok tidak langsung ia balas, Taehyung hanya membiarkan bagaimana tangan lelaki itu melingkari bahunya seakan memang tempatnyalah di sana. Ia harap ia bisa bereaksi lebih baik, ia harap ia dapat mengapresiasi kehadiran Hoseok alih-alih hanya bersikap seperti mayat hidup hampir setiap waktu, ia harap ia tidak mengidap bipolar. Pikiran muram itu mampir kembali di kepalanya, dan raut wajahnya meredup.

Secara instingtif, Taehyung mencondongkan tubuhnya ke sisi Hoseok, merapatkan rangkulan tersebut demi mencari-cari kembali kehangatan yang hanya kekasihnya miliki. Mulutnya mengeluarkan gumaman lirih, “Aku dari tadi di sini.”

Ia pikir jika ia menghilang sebentar saja maka Hoseok akan menyadari bahwa hidup lelaki itu akan jauh lebih baik tanpanya, ia pikir jika ia benar-benar lenyap Hoseok tidak akan mencarinya.

Ia salah, dan ia belum pernah merasa lebih lega lagi karena salah.

Kepalanya diangkat, mencari mata Hoseok untuk bisa menatapnya lebih jelas. "Aku rindu rumah, kapan aku bisa pulang?"

Sudah seminggu ia berada di rumah sakit ini, sudah seminggu pula Hoseok tiap harinya tak pernah absen untuk mengunjungi.

Hoseok balas memandangnya tepat di mata, ada beberapa saat di mana mereka hanya berpandangan dan lelaki itu tidak lantas memberi jawaban. Gari bibirnya membentuk senyuman timpang, kedua alisnya terangkat main-main selagi tangannya masih mengelus bahu Taehyung. “Kau tidak merindukanku?”

Taehyung mengerucutkan bibir, ia memalingkan wajah dan mengeluarkan gumaman yang seakan ditujukan pada dirinya sendiri. “Kau tahu aku selalu merindukanmu.”

Tawa Hoseok kembali terdengar, dan Taehyung tahu ia juga merindukan tawa itu. Suara yang menenangkan, yang tidak akan pernah bosan ia dengarkan.

“Kau akan pulang setelah keadaanmu lebih baik, Taehyung-ah.”

“Tapi, aku—“ Taehyung menggigit bibir, tangannya yang masih menggenggam tangkai daisy yang kelopaknya tinggal setengah dimain-mainkan, “aku sudah merasa lebih baik.”

Kim Taehyung meminum obatnya dengan teratur, ia menghabiskan semua makanan di piringnya, bahkan mengikuti terapi yang dilakukan dengan pasien lain tanpa mengeluh. Ia merasa sudah lebih baik dari seminggu yang lalu.

Ia tidak pernah suka dengan rumah sakit. Satu-satunya alasan Taehyung setuju untuk meninggalkan apartemen yang ditempatinya bersama Hoseok dan dirawat di rumah sakit hanya karena ia tidak ingin menyakiti kekasihnya lebih jauh lagi. Episode maniknya yang terakhir cukup parah dan benar-benar mengacaukan kepalanya, semua itu ditutup dengan percobaan bunuh diri di kamar mandi yang ia tahu pasti menghancurkan hati Hoseok lebih dari apa pun. Tanpa sadar, Taehyung menyentuh pergelangan tangannya yang tertutup tato temporer itu, merasakan lagi luka yang ia buat.

Ia tidak hanya menyakiti dirinya sendiri ketika mencoba mengiris urat nadinya dengan cutter, ia juga menyakiti Hoseok.

Mungkin memang sebaiknya ia tidak pernah dibiarkan pergi dari rumah sakit ini agar tidak lagi menyakiti siapa pun. Mungkin rumah sakit ini memang tempat yang tepat untuk orang-orang seperti dirinya.

“Hm, baiklah, aku akan bicara dengan doktermu besok.”

Jawaban Hoseok yang terdengar ringan membuat Taehyung sedikit tersentak. Matanya membulat dan ia memandang kekasihnya dengan sorot tidak percaya. “Sungguh, Hyung?”

“Tentu saja.” Hoseok tersenyum, tangannya mengacak pelan kepala Taehyung. “Aku juga merindukanmu di rumah.”

Senyum Jung Hoseok itu menular, kau tahu? Karena setelah itu Taehyung merasakan otot bibirnya tanpa mampu dicegah membentuk senyuman. Hatinya terasa hangat, Hoseok masih menginginkannya di apartemen mereka. Ia diinginkan.

Hyung.”

“Hm?”

“Aku minta maaf jika aku mengatakan sesuatu, atau melakukan sesuatu, yang sudah menyakitimu. Aku—“ Benci diriku sendiri karena melakukan itu.

 


Aku harap aku tidak mengidap bipolar.

 



“Hei,” Hoseok memotong dengan suara lembut, “tidak usah kau pikirkan, itu bukan salahmu.”

Itu bukan salahmu.

Kalimat itu entah kenapa begitu menyentil Taehyung. Itu bukan salahnya, Hoseok bilang. Kekasihnya selalu mampu mengingatkannya bahwa ia tidak perlu meminta maaf karena menjadi dirinya. Bipolar yang dideritanya bukan salahnya, semua yang ia lakukan ketika sedang manik bukan salahnya. Taehyung tidak tahu bagaimana merangkai kata untuk mengucapkan terima kasih pada Hoseok, akhirnya ia hanya semakin merapatkan diri pada lelaki itu dan menggumamkan ‘aku mencintaimu’ tanpa suara yang tidak akan didengar oleh Jung Hoseok.

“Kau mau berjanji sesuatu padaku?”

Taehyung mengangkat wajah, ia memandang Hoseok dengan ekspresi bingung. “Apa?”

“Aku ingin kau tidak pernah menyerah.” Tandas Hoseok. Tangannya terulur untuk menyentuh helai-helai rambut Taehyung yang menutupi keningnya. “Aku tidak bisa mengetahui isi kepalamu, Taehyung-ah, aku tidak tahu apa saja yang sedang kau lalui saat ini. Aku tidak bisa ikut melawan monster yang ada di kepalamu. Tapi aku ingin kau berjanji kau akan selalu berjuang melewati semua itu. Karena semuanya tidak akan selalu buruk, karena akan selalu ada cahaya di ujung terowongan yang gelap. Aku ingin kau janjikan itu padaku.”

Jangan pernah mencoba mengiris pergelangan tanganmu lagi, jangan pernah mencoba mengakhiri hidupmu lagi, adalah apa yang tidak Hoseok katakan.

Taehyung menghindari pandangan mata dengan kekasihnya dan hanya bisa menunduk. Ia belum pernah merasa begitu dicintai seperti ini, dan ia tidak yakin apa ia bahkan berhak mendapatkannya. Tetapi Hoseok masih merangkulnya, lelaki itu tidak pergi mencari orang lain yang lebih waras, Hoseok menginginkannya—maka ia harus berjuang sekuat tenaga seumur hidupnya untuk membuktikan bahwa ia pantas mendapatkan semua ini.

Demi dirinya. Demi Hoseok. Demi kebahagiaan yang ia tahu ia dapatkan bersama lelaki itu.

“Aku janji, Hyung.”

Bunga daisy yang kelopaknya tinggal setengah itu ia lepaskan, ia tidak membutuhkan itu lagi untuk mengetahui apa Jung Hoseok mencintainya atau tidak.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
amusuk
#1
Chapter 1: hangat.... huhu hangat banget TTwTT
udah setahun gabuka AFF, terus iseng cek apdetan author nemu ini.
kata-kata yang dibutuhkan tanpa perlu men-judge/melarang. indah banget. semoga lebih banyak orang bisa kayak Hoseok di fic ini.
thank you for writing (y)