Chapter 1
MelepasmuBetapa waktu telah berlalu begitu cepat.
Potongan ingatan yang hampir terlupakan. Sungguh sial bahwa manusia diciptakan dengan ingatan tak terduga. Kadang hal itu menguntungkan
tapi juga sekaligus menyebalkan. Terutama bila hal yang kita ingin ingat malah terlupa, atau kebalikannya; yang ingin kita lupakan,
dan kita kubur dalam-dalam, tiba-tiba bangkit dengan kekuatan besar sehingga mengganggu ingatan kita kembali. Sudah takdir bila manusia
selalu menginginkan apa yang tidak boleh dimilikinya. Hanya saja, ada manusia yang dapat menahan akal untuk tetap berada di tempat mereka semula,
ada pula yang memilih melanggar dan terjun sedalam-dalamnya. Membiarkan tubuhnya terselimuti segala kepicikan, kerakusan, segala keangkuhan,
keinginan yang kuat mengalahkan akal; membuat kemarahan bereaksi pada hal-hal kecil dan membuatnya malas untuk kembali pada akal sehat semula.
Merengkuh nafsu dalam segalanya. Namun semua itu cuma fana.
.
.
.
Salju…
Kecelakaan mobil…
Pelukan…
Gadis itu terbangun dari pikiran alam bawah sadarnya yang dirasa sepertinya dia sedang terjaga. Kedua manik mata itu menatap langit-langit kamarnya
yang putih polos dengan pikiran kosong. Sepertinya Ia mulai mengingat sebuah mimpi. Mimpi di masa lalu yang teramat menyakitkan. Mimpi dimana
pada hari itu dia kehilangan seluruh orang yang dikasihinya. Miris memang tapi itulah kenyataannya. Mimpi di masa lalu yang tak lain adalah kejadian nyata
yang waktu itu tengah Ia alami. Peristiwa kecelakaan maut yang merengut kedua orangtuanya. Dalam mimpi itu mobil yang mereka tumpangi hangus
terbakar setelah menabrak papan jalan, salju yang turut ikut membuat keadaan licin di sekitar jalanan itu jatuh dengan tanpa dosanya.
Menyelimuti dua sosok anak kecil yang masih dalam keadaan syok melihat apa yang terjadi di hadapan mereka. Tubuh ringkih seorang anak kecil
perempuan meraung menggumamkan nama kedua orangtuanya, sedang tubuh ringkih seorang anak kecil laki-laki tengah memeluknya sesekali menangis
sesegukan. Keduanya merasakan perasaan aneh. Perasaan aneh yang tidak pernah dimiliki oleh anak seusia mereka. Perasaan kehilangan dan kasihan…
Namun apakah anak kecil perempuan itu tahu bahwa yang disalurkan oleh anak kecil laki-laki tersebut perasaan kasihan?
Tidak…
Tidak. Yang dia ingat adalah…
"Tenanglah, aku akan selalu berada di sisimu, Na-yaa…"
.
.
.
Gadis berambut coklat sepinggang bersembunyi di balik tiang listrik―entah mengapa Ia malah bersumbunyi di sana, padahal separuh badannya
mungkin saja terlihat. Matanya terfokus pada dua objek yang memiliki warna rambut serupa hanya saja berbeda gender. Dadanya mencelos
melihat ekspresi keduanya yang saling tersampaikan dengan baik.
Hukuman.
Ini sebuah hukuman.
Matanya terasa panas ingin menumpah ruahkan apa yang sedang Ia tampung mati-matian saat ini. Buku-buku jarinya mengepal kuat hingga berwarna
merah, jantungnya berpacu membordir tiap-tiap syaraf seperti akan terlepas. Dilangkahkan kakinya menuju arah yang berlawanan sembari memeluk
dirinya sendiri. Entah mencari rasa nyaman, kehangatan, atau menutupi kehampaan dan kesedihannya. Matanya terpejam erat, cairan bening nan asin
itu tergelincir dengan mulusnya pada pipi yang berwarna porselen dilapisi warna merah semu. Pikirannya masih memotret dengan jelas apa yang
dilihatnya tadi. Siapapun pasti tahu, hanya orang buta sajalah yang tidak tahu apa arti sebenarnya dari kedua ekspresi orang yang tadi diintainya.
Cinta.
Cinta dan hanya cinta.
Semburat sinar berwarna jingga menghiasi permukaan langit, berpadu sempurna dengan warna samar violet yang berpendaran tertimpa kilau mentari
sore. Sesekali terdengar koak burung camar yang terbang menuju lautan. Atmosfir itu terasa hangat dan menyenangkan, terutama bagi Hyuna yang
pada akhirnya berhasil duduk di dalam sebuah café yang cukup legang. Wajah gadis itu tertunduk lesu menyembunyikan sepasang manik mata yang
selalu kian bersinar kini mulai meredup.
Panorama tenggelamnya matahari di balik kaca café membuatnya tidaklah ikut turut melunturkan perasaan gundah gulananya.
Sebaliknya, sepasang mata hitam menatap serius pemandangan di depannya. Sang empunya menyilangkan kedua lengannya, bertumpu pada meja
kecil bundar dengan dua minuman yang tidak diminum sama sekali dan meletakkan dagunya di sana. Wajah datar itu terus menatap bulatan oranye
yang tinggal sepertiga dengan pandangan jemu dan serius. Entah dia itu sebenarnya melihat panorama tersebut atau tidak.
Kwon Jiyoung tampak ragu untuk memulai pembicaraan yang sudah hening selama setengah jam tersebut. Yah, walau dia biasanya memang seperti itu,
tapi ini situasi yang berbeda. Dia datang kemari untuk membicarakan suatu hal penting. Sesuatu yang mungkin salah dan ada kalanya lebih benar
Please Subscribe to read the full chapter
Comments