Chapter 2 "Sentiments Inexprimés (Unspoken Feelings)"

Amour Triste

I will forever watch over you, because I love you deep in my heart

Bulan Desember merupakan bulan yang penuh kebahagiaan. Saat jalan-jalan di kota Seoul terlihat semakin gemerlap dengan lampu-lampu warna-warni berkelap-kelip diiringi iringan lagu natal yang menghangatkan malam bersalju. Musim dingin seperti ini adalah waktu terbaik untuk duduk di dalam selimut, menyalakan heater, sambil minum secangkir coklat hangat dan biskuit jahe. Sayangnya, bagi siswa yang masih harus bersekolah di cuaca sedingin itu, Desember adalah bulan yang menyebalkan. Meskipun sebentar lagi libur musim dingin akan tiba, tetap saja mereka masih harus bersekolah, yang lebih parahnya lagi ujian. Bagi siswa di sana suasana menjadi sedikit lebih baik saat istirahat tiba. Mereka bisa menikmati santapan siang terkadang dengan secangkir coklat hangat yang dapat mencairkan tubuh mereka yang membeku dan otak mereka yang membeku setelah dicekoki dengan pelajaran matematika yang menyebalkan. Namun, sepertinya hal ini tidak berlaku bagi kedua orang siswa kelas 12 bermantel itu. Sementara siswa yang lain akan segera berlari menuju kehangatan kafeteria, kedua remaja ini akanberlari menuju halaman sekolah yang berselimutkan salju dengan butiran-butiran kristal salju yang masih terus berjatuhan.

Salah seorang dari kedua orang itu adalah wanita berambut panjang diikat kuda, dengan sepatu boot coklat dan sebuah tas merah yang kelihatannya berisi banyak barang di sana. Sementara, orang yang satunya lagi menggunakan mantel hitam dengan sebuah buku yang ada di tangannya. Ekspresi orang itu terlihat sangat serius sementara matanya tidak terlepas dari buku itu. Ia tidak melepaskan pandangannya sama sekali dari buku yang dibacanya sambil berjalan menuju sebuah pohon maple yang ada di sebelah kolam yang sudah membeku sekarang.

"Okay sekarang semuanya sudah siap. Silahkan duduk tuan pemurung. Berhentilah membaca sebentar saja, bisa? Dan tersenyumlah sedikit, kau menyia-nyiakan wajah tampanmu itu!" gadis itu dengan tangannya yang panjang merebut dengan paksa buku berjudul Tristan and Isolde. Wajah kesal langsung ditunjukkan oleh sang pemilik buku, salah sang peminjam buku. Karena kenyataannya buku itu ditemukan sang gadis di gudang bawah tanah tetangganya, yang adalah sang pria. Tetapi, karena gadis itu yang pertama kali menemukannya, gadis itu mengklaim hak milik atas buku itu, sayangnya karena ia tidak bisa berbahasa Perancis, pria itulah yang sekarang malah membacanya dan menjadi sangat tertarik dengan kisah cinta tragis itu. Bahkan, sudah membeli semua film yang didaur ulang dari buku tersebut yang awalnya merupakan sebuah buku puisi yang ditulis pada tahun 1200-an.

"Harusnya aku tidak menemukan buku ini. Kau jadi lebih memperhatikannya, daripada sahabatmu ini. Aku heran, seorang Jihoon bisa tertarik dengan kisah cinta seperti ini." wanita yang bernama Nayoung itu memasukkan buku itu ke dalam tasnya, kemudian mengeluarkan tempat bekalnya yang berisi kimbab dan termos yang berisi sup iga.

"Aku heran padamu Jihoon, mengapa di setiap bulan Desember kau akan menjadi seperti ini. Kau selalu memakai pakaian gelap, kau jarang tersenyum, kau jadi pemurung, kau malas menemaniku belajar, bahkan terkadang aku melihatmu meneteskan air mata. Yang lebih buruknya lagi, ekspresi anehmu saat kau melihatku, itu mengerikan sekali, kau tahu? Kau seperti seorang yang sakit keras dan sebentar lagi akan mati. Kau tidak sakit keras, kan? Kata Nayoung dengan mulut yang dipenuhi kimbab.

"Sudah berapa kali kau menanyakan itu. Aku baik-baik saja, tapi moodku memang selalu tidak bagus saat musim dingin tiba."

"Iya...iya sudah kuduga bahkan moodmu saja bisa berubah tergantung musim. Dasar orang yang aneh. Kalau bukan aku yang menjadi sahabatmu, pasti kau tidak akan punya teman." Nayoung tersenyum membanggakan dirinya sendiri.

"Enak saja kau.....aku ini tidak punya teman lain karena orang berisik sepertimu selalu ada di sampingku. Kau tahu banyak yeoja yang sebenarnya menyukaiku."

"Hahaha....coba buktikan!" argumen kecil mereka berakhir membawa gelak tawa yang jika ada orang lain selain mereka di sana, akan menganggap mereka orang gila.

Sesudah menghabiskan makan siang mereka, mereka berbaring di atas matras. Menikmati indahnya langit musim dingin, yang dihiasi dengan butiran-butiran salju. Mereka berbaring di sana, di bawah pohon maple, seakan-akan itu adalah musim semi. Mereka, dua orang aneh yang sangat menyukai musim dingin. Bagi Nayoung, meskipun di musim dingin Jihoon akan menjadi pemurung, tapi itu lebih baik dibandingkan Jihoon yang suka menasihatinya dan begitu protektif padanya bahkan melebihi kakaknya sendiri. Meskipun tidak bisa dipungkirinya ia menyukai hal itu. Saat Jihoon marah besar ketika ia dengan cereboh mencoba menggergaji kayu sendiri untuk membuat sebuah tugas sekolah, kemudian berakhir melukai tangannya sendiri. Ekspresi cemas dan marah Jihoon itulah yang paling disukainya. Wajah imutnya yang bahkan mengalahkan kecantikan wanita, terlihat sangat berbeda ketika dia sedang marah, ia tampak seperti laki-laki sejati. Nayoung memandangi wajah Jihoon yang sedang memandang langit. Wajah yang selalu ada di sampingnya sepanjang hari selama 9 tahun. Wajah yang tidak pernah membuatnya bosan dan selalu mampu membuatnya tersenyum.

"Jihoon-na...."otomatis Jihoon mengalihkan pandangannya pada Nayoung yang berbaring di sampingnya.

"Hm?" Nayoung hanya memberikan isyarat dengan pura-pura menguap dan mengusap matanya. Tanpa harus mengatakannya, Jihoon sudah mengerti kalau Nayoung mengantuk ia ingin tidur, jadi dia butuh sebuah bantal. Dan seperti biasa yang akan menjadi korbannya adalah tangannya. Tangannya akan keram kalau sudah menjadi bantal gadis yang kalau sudah tertidur sulit dibangunkan itu. Jihoon mengulurkan tangannya kemudian Nayoung meletakkan kepalanya di sana dengan nyaman.

"Jihoon-na memang terbaik. Aku sering berpikir apa jangan-jangan sebenarnya kita saudara kembar. Kita seperti bisa berbicara dengan telepati hahaha..."

Saat Nayoung hampir masuk ke dunia mimpi, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia segera mengambil sebuah buku dari dalam tasnya. Kemudian dengan terburu-buru membangunkan Jihoon yang sudah hampir tertidur.

"Jihoon-na....bangun... aku membuat puisi untuk seseorang. Karena kau bisa segala hal. Hah, sebenarnya aku malas mengatakannya. Tapi, kenyataannya memang kau orang yang jenius, tolong dengarkan puisiku ya. Dan beri pendapatmu. Ini suatu hal yang serius jadi kau harus mendengarkannya dengan baik." Nayoung berdiri lalu membaca puisinya dengan gaya seolah seorang penyair terkenal.

Meskipun aku tahu,

Saat aku membalikkan tubuhku,

Aku akan menghilang, aku tidak akan mekar

Aku selalu seperti ini,

Aku tersentak saat melihatmu

Mungkin lebih baik bagiku hidup dengan menutup mata saja

Bahkan saat aku tidak melihatmu, aku melihatmu

Bahkan saat aku tidak mendengarmu, aku tetap mendengarmu

Layaknya wind flower yang dapat kurasakan melalui hembusan nafasmu

Aku berharap dapat menggapaimu, tapi aku tak bisa

Aku ingin memelukmu, tapi aku tak bisa

Meskipun aku tahu, jemarimu mampu menyentuh hatiku

Apakah kau tahu, setelah malam yang panjang?

Cintaku akan tersenyum dibalik tangisanku

Aku ingin menangkapmu, tapi ku tak bisa

Aku ingin menggapaimu, tapi ku tak bisa

Seperti wind flower yang kau hidupkan kembali di hatimu

Bahkan saat aku tidak melihatmu, aku melihatmu

Bahkan saat aku tidak mendengarmu, aku mendengarmu

Nayoung menyelesaikan puisinya dengan sebuah gerak dramatis. Siapapun yang melihatnya membacakan puisi itu akan menganggap Nayoung tidak waras. Ia menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya mengikuti bait-bait puisi itu. Puisi yang seharunya begitu menyedihkan menjadi membawa orang tertawa karena tingkah Nayoung. Tapi sepertinya Jihoon merasakan hal yang lain. Sejak kalimat pertama diucapkan Nayoung, Jihoon benar-benar terperangah. Matanya tidak dapat teralihkan dari Nayoung, seolah-olah Nayoung adalah seorang penyair terkenal yang sedang membacakan karya best sellernya. Melihat Jihoon yang tidak bergerak satu inchi pun sejak 5 menit yang lalu, Nayoung mendekatinya lalu duduk tepat di hadapan Jihoon.

"Jihoon-na, kenapa kamu diam saja? Bagaimana puisiku, bagus tidak?"

"........"

"Jihoon-na" tetap tidak ada jawaban dari sang lawan bicara. Karena sudah tidak sabar lagi, Nayoung meletakkan tangannya di pundak Jihoon lalu menggoyangkan Jihoon.

"Jihoon-na, kau mendengarkanku tidak?"

"Nayoung-a....."

"Hm?"

"Kau tahu bunga windflower?"

"Tentu saja! Bunga itu bunga yang sangat indah, karena kecil ia sangat mudah terbawa angin. Meskipun ia indah, kau tidak bisa menyentuhnya, karena beracun. Meskipun indah, kau hanya bisa mengaguminya dari kejauhan dan menghirup aromanya yang terbawa angin. Dan usianya hanya singkat." Tatapan Jihoon semakin dalam. Nayoung seperti bisa merasakan tatapan Jihoon masuk sampai ke hatinya. Tatapan itu mengatakan jauh lebih banyak dari yang bisa dikatakan oleh mulut. Tatapan yang selalu mampu membuat Nayoung seolah terjatuh ke dunia lain, dunianya dan Jihoon yang ia sendiri tidak bisa mengerti. Selama ini, Nayoung bingung dengan perasaanya sendiri terhadap Jihoon. Yang ia rasakan pada Jihoon bukanlah perasaan cinta, bukan juga perasaan sayang seorang sahabat. Perasaan itu jauh lebih dalam dari itu. Perasaan selalu ingin bersama sampai kapanpun. Perasaan bahkan matipun ia mau asalkan tetap bisa bersama Jihoon. Tapi, ia tidak mampu mengungkapkan semua itu pada sahabatnya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap menyimpannya. Bisa selalu bersama Jihoon seperti ini sebagai sahabatnya saja, sudah jauh dari cukup. Ia tidak ingin lebih dari itu yang malah akan merusak segalanya.

"Jihoon-na, kau tahu puisi ini untuk siapa?" Jihoon menggeleng. Kemudian, Nayoung mengalihkan tangannya dari pundak Jihoon, ke wajah Jihoon. Ia menangkupkan telapak tangannya di wajah tampan Jihoon.

"Puisi ini adalah untuk.....dia!" tanpa disangka, Nayoung membuat Jihoon menolehkan kepalanya ke kiri, tepat ke arah seorang siswa tampan, bertubuh tinggi, dengan mantel coklatnya yang terlihat mahal dan berkelas.

"Hwang Minhyun."

"Hwang Minhyun?"

"Iya...Hwang Minhyun. Ketua kelas dan siswa terpandai......"kedua" setelahmu. Kau tahu, aku sudah lama menyukainya, aku ingin mendekatinya, tapi ia sudah punya pacar. Untungnya, karena ia sudah putus sekarang, aku berencana akan membuatnya menjadi teman kencanku di malam promnight nanti."kata Nayoung tepat di depan Jihoon, dengan tangannya yang dengan nyaman tetap berada di wajah Jihoon.

"YAA!!! Sedang apa kalian berdua? Mengapa bermesraan di tengah salju seperti ini?" Mendengar suara itu, Nayoung segera melepaskan tangannya dari wajah Jihoon dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mereka jadi salah tingkah, seperti tertangkap basah sedang melakukan suatu kejahatan.

"Tidak...kami hanya sedang membicarakan soal Hwang Minhyun. Namja yang sedang kuincar itu hahaha"

"Membicarakan Minhyun, tetapi mengapa malah kalian yang bermesraan?" goda yeoja berseragam itu.

"Siapa yang bermesraan? Aku hanya ingin menunjukkan Minhyun ke Jihoon. Kau kan tahu kita sering melakukan hal-hal aneh seperti ini. Jihoon ini bahkan sudah seperti kembaranku sendiri, jauh lebih baik dibandingkan dengan Daniel oppa hahaha" jawab Nayoung canggung.

"Terserah kalian sajalah, aku bertaruh pada akhirnya kalian akan menikah."

--#--

Sesuai rencana yang dirancang Nayoung, dan teman sebangkunya, Jieun , esok harinya mereka sudah berada di perpustakaan kota sejak pagi. Mereka tahu, seperti biasanya, Minhyun akan berada di sana untuk mempersiapkan ujian meskipun itu hari minggu. Cuaca yang dingin tidak menghilangkan tekad Nayoung menjadikan sang idola sekolah teman kencannya saat prom night. Merupakan suatu kebanggaan baginya yang belum pernah berpacaran selama 19 tahun hidupnya, jika berhasil menjadi pacar bukan, teman kencan saja seorang Hwan Minhyun. Nayoung juga ingin merasakan bagaimana perasaannya jika berdekatan dengan namja lain selain Jihoon. Apakah perasaannya yang selalu bercampur aduk saat bersama Jihoon juga dirasakannya saat bersama namja lain yang disukainya. Iya, ia menyukai Hwang Minhyun.

Setelah meletakkan sepedanya, Nayoung dan Jieun segera masuk ke perpusatakaan yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Bagi siswa seperti Nayoung dan Jieun yang berharap pelajaran matematika lenyap dari dunia ini, tentu mennjejakkan kaki di perpustakaan sekolah saja malas, apalagi perpustakaan kota yang membosankan. Tetapi demi Hwang Minhyun, Nayoung rela melakukannya.

"Apakah semuanya sudah siap? Kau benar-benar sudah meminta temanmu untuk menyisakan tempat duduk di samping Minhyun, kan?"

"Tenang saja semua sudah siap, kau tinggal memikatnya dengan pesonamu." jawab Jieun sambil mengangkat ibu jarinya.

"Siap!! Misi dijalankan!"

Nayoung melangkahkan kakinya ke dalam ruang belajar perpustakaan dengan percaya diri. Hari itu dia sudah meyakinkan dirinya bahwa dia adalah seorang yeoja tercantik di sana. Dia adalah sang putri hari itu. Demi mendapatkan sesuatu yang dia inginkan, ia harus berada pada tingkat kepercayaan diri yang paling tinggi. Jantungnya berdetak kencang ketika ia hampir mendekati bangkunya. Nayoung begitu bahagia saat akhirnya ia merasakan debaran yang belum pernah dirasakannya saat bersama seorang namja, selain saat menunggu edisi terbaru komik kesukaannya. Jika bersama Jihoon, meskipun mereka selalu berdekatan, Nayoung tidak pernah merasakan jantungnya berdebar. Yang ia rasakan adalah kebahagiaan yang meluap, rasa nyaman, serta kerinduan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saat ia memandang mata Jihoon, memegang tangannya, berada di pelukan Jihoon, semua itu terasa seperti sudah ribuan kali dialaminya. Mata itu, tangan itu sudah seperti dirinya sendiri, ia begitu mengenalnya. Berada di dekat Jihoon merupakan sesuatu yang harus ia lakukan layaknya, menghirup udara agar tetap dapat bertahan hidup. Hanya satu hal yang belum pernah dirasakannya, ciuman Jihoon. Ya, selain ciuman pertamanya saat ia dulu jatuh di kolam Jihoon. Mungkin bagian ini harus ia lewatkan, bahkan jika tersirat sedikit di pikirannya, harus segera dihapusnya.

"Akhirnya aku merasakan perasaan seperti ini. Berarti aku normal, aku juga bisa menyukai seorang namja." Nayoung berteriak senang di dalam hatinya. Nayoung memberanikan dirinya untuk duduk tepat di samping namja yang ia kagumi itu. Tangannya begitu berkeringat karena terlalu gugup. Ia menarik nafas panjang sebelum menjalankan aksi pertamanya. Ia segera membuka bukunya berpura-pura membaca bukunya dan menulis sesuatu di bukunya. Ia berpura-pura belajar dengan sangat serius. Kemudian rambut indahnya yang awalnya terurai ia mengikatnya ke atas dengan gerakan seindah mungkin. Ia berusaha memperlihatkan keindahan leher jenjangnya. Ia semalaman mempelajari gerakan ini dengan menonton sebuah CF. Ia berharap dengan melakukan hal seperti ini, paling tidak Minhyun akan menoleh ke arahnya dan menyapanya lebih dahulu. Ternyata, namja yang ada di sampingnya sama sekali tidak bergeming. Ia tetap fokus pada buku yang dibacanya. Namja yang terpikat dengan apa yang dilakukannya malah seorang namja berkacamata tebal dan bertubuh gempal yang terbengong-bengong di hadapannya.

"Kenapa dia sama sekali tidak menoleh padaku? Baiklah aku akan menjalankan rencanaku yang kedua."

Kali ini Nayoung menjatuhkan bolpoinnya dengan sengaja tepat di samping Minhyun. Ia berdiam diri menunggu beberapa detik, berharap Minhyun akan mengambilkannya kemudian ada kesempatan baginya untuk menyapanya. Sayangnya, apa yang diharapkan juga tidak terjadi. Pada akhirnya, ia harus mengambilnya sendiri sambil menggerutu di hatinya.

"Sepertinya tidak ada pilihan lain. Aku harus menyapanya lebih dahulu. Lakukan sealami mungkin Nayoung. Kau pasti bisa." Katanya dalam hati, menyemangati dirinya sendiri.

--#--

Sementara itu, tidak jauh dari sana, tanpa disadarinya Jihoon juga ada di sana. Ia memang selalu membaca buku di sana setiap akhir pekan. Meskipun koleksi buku di rumahnya tidak kalah lengkap dan banyaknya dengan perpustakaan kota, ia tetap merasa berada di sana terasa berbeda. Berada di antara orang-orang yang selalu berbeda setiap harinya membuatya bisa belajar banyak hal. Berada di sana membuatnya merasa seperti manusia normal pada umumnya. Membuatnya menjadi Park Jihoon, seorang remaja laki-laki berumur 19 tahun. Bukan Park Jihoon seorang remaja dengan ingatan ratusan tahun, membuatnya seolah-olah tidak pernah mati. Berada di sana saja sudah membuatnya senang, apalagi bisa tanpa sengaja bertemu Nayoung. Melihat tingkah konyolnya dan senyuman tanpa bebannya, membuat Jihoon sangat bahagia. Ia ingin selamanya Nayoung dapat tersenyum seperti itu. Ia ingin seandainya ia tidak mengenal Nayoung, dan sekarang ia sedang memandangi seorang yeoja aneh yang membuatnya jatuh hati.

"Tuan Putri, dari dulu hingga sekarang kau tidak pernah berubah. Kau selalu ceroboh dan bertindak tanpa berpikir dulu. Dengan senyuman secantik itu, bagaimana pria-pria bahkan seorang raja tidak jatuh hati padamu. Apalah artinya aku dibandingkan bangsawan-bangsawan yang menyukaimu, terlebih Yang Mulia."

Jihoon mengamati setiap gerak-gerik Nayoung. Mulai saat ia menirukan CF yang harus diakuinya, Nayoung jauh lebih cantik dibandingkan sang bintang CF, sampai saat Nayoung mendengus kesal saat ia harus mengambil bolpoin yang ia jatuhkan sendiri. Ia terus mengamati Nayoung saat ia mulai memberanikan diri menyapa Minhyun lebih dulu, tangannya yang gemetar karena gugup dapat dilihat jelas oleh Jihoon. Mengingatkannya pada dirinya sendiri yang sampai sekarang masih selalu gugup jika bersama Nayoung. Bagaimana ia berusaha menahan dirinya untuk tidak bersemu merah saat Nayoung menyentuhnya. Bagaimana ia harus menahan dirinya untuk tidak gemetaran saat berada pada jarak yang sangat dekat dengan Nayoung. Yang paling berat untuk ditahannya, adalah perasaan rindunya. Betapa ia ingin sekali memeluk Nayoung, menciumnya, dan mengatakan kalau ia mencintainya. Semua perasaan itu harus ditahannya, ia tidak pantas mengatakan itu semua. Mengatakannya akan membuat Nayoung menderita. Perasaan yang sangat terlarang baginya yang hanya seorang hamba bagi Tuan Putri Hwaui. Ia hanyalah pengawal sang Putri, tugasnya hanyalah memastikan keselamatan Tuan Putri dan Kerajaannya. Dari dulu sampai sekarang janjinya pada Raja Taejo, ayah Putri Hawui, tidak akan pernah dilupakannya. Ia harus memastikan Tuan Putri tetap hidup dan tersenyum.

"Aku akan selalu menjagamu Tuan Putri, karena aku mencintaimu."

--#--

Untungnya, usaha Nayoung untuk memulai pembicaraan lebih dahulu berhasil membuatnya semakin dekat dengan Minhyun. Rencananya untuk berpura-pura meminta Minhyun mengajarkannya pelajaran Matematika untuk ujian, berhasil membuatnya berada di jarak sedekat itu dengan Minhyun. Meskipun yang dari tadi dilakukannya hanya memandangi wajah tegas Minhyun sambil sesekali menguap karena menurutnya pelajaran matematika membosankan. Selain biologi, bahasa asing, dan seni tradiosional, tidak ada lagi yang menarik baginya untuk dipelajari. Tetapi, karena hanya dengan cara ini ia bisa mendekati Minhyun, menahan kantuknya selama berjam-jam pun mampu ia jalani. Hari sudah semakin gelap saat ia tersadar dari kantuknya dan menyadari bahwa sekarang Minhyun sudah tidak ada di sampingnya lagi. Sepertinya ia tertidur saat belajar tadi, dan akhirnya Minhyun pulang lebih dahulu.

"Aduh, kenapa aku bisa sampai tertidur. Bahkan aku belum sempat meminta kontaknya. Bukankah perjuanganku melawan alergiku terhadap matematika sia-sia." Nayoung mengacak-acak rambutnya frustasi kemudian membenturkan kepalanya ke buku matematika tebal yang ada di depannya. Saat itu ia baru menyadari, ia sama sekali tidak merasa dingin saat tertidur tadi, padahal ia tidak memakai mantel cukup tebal hari itu. Ternyata, sebuah mantel berwarna coklat sudah menutupi tubuhnya dengan sempurna. Betapa bahagianya dia, begitu menyadari mantel itu adalah mantel yang digunakan Minhyun tadi. Ia memeluk mantel itu dengan gembira sambil melakukan lompatan-lompatan kecil.

"Akhirnya...rencanaku berhasil. Aku berhasil mendapatkan hati Hwang Minhyun. Sudah kuduga, pesonaku ini memang luar biasa. O ya, aku harus mengembalikan buku keramat ini ke tempatnya."

Masih dengan senyuman terindahnya, Nayoung berjalan menuju ke rak buku yang paling jauh di ruangan itu. Letak buku itu cukup tinggi, jadi ia harus menaiki sebuah tangga. Untungnya, Nayoung bukanlah tipe yeoja yang lemah. Ia ahli anggar, berkuda, taekwondo serta seni bela diri lainnya. Menaiki tangga seperti ini, baginya adalah hal yang mudah. Tapi, meskipun Nayoung bukan yeoja yang lemah, satu hal yang membuat kekuatannya menjadi percuma, ia sangat ceroboh. Nayoung tidak memeriksa terlebih dahulu apakah bagian penyangga tangga lipat itu sudah terpasang dengan benar. Sambil bersenandung pelan, Nayoung melangkahkan kakinya pada anak tangga yang pertama, ternyata masih aman. Kemudian, anak tangga yang kedua, sudah terdengar sedikit bunyi dencitan yang tidak terdengar sama sekali oleh Nayoung yang terlalu sibuk memikirkan Minhyun. Langkah yang ketiga, Nayoung baru meyadari kalau tangga itu belum terpasang dengan benar, tapi kesadarannya sudah terlambat. Perlahan tangga itu mulai terguling ke belakang dengan tubuh Nayoung yang terjatuh terlebih dahulu. Nayoung hanya mampu menutup matanya, ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya setelah ia terjatuh dengan kepala lebih dulu kemudian tertimpa tangga dari besi yang mungkin beratnya hampir menyamai tubuh rampingnya. Ia sudah siap jika iya harus mati karena hal konyol seperti itu.

Gubrak

Suara benturan terdengar cukup keras sampai membuat beberapa orang yang tersisa di perpustakaan itu berlari ke arah sumber suara. Sayup-sayup, Nayoung mendengar suara orang-orang di sekitarnya yang mulai ramai berkumpul. Nayoung sudah siap merasakan sakit luar biasa yang akan ia rasakan di kepalanya. Tetapi, setelah beberapa saat ia terpejam, rasa sakit itu tidak kunjung datang. Yang ia rasakan adalah kehangatan, serta suata hembusan nafas yang terasa sangat dekat.

"Loh, kenapa aku tidak merasakan apa-apa?" Nayoung memberanikan dirinya untuk membuka kedua matanya. Begitu terkejutnya melihat apa yang ada di hadapannya.

"Jihoon?"

Ternyata, yang membuatnya tidak merasakan apapun adalah karena Jihoon berhasil menangkapnya sebelum kepalanya sempat menyentuh lantai. Tidak hanya itu, Jihoon juga melindungi tubuh Nayoung dari tangga yang hampir menimpa tubuhnya itu. Ia menahan tangga itu, menyangga beban tangga yang menimpa tubuh bagian belakangnya dengan kedua tangannya, membuat Nayoung bahkan tidak merasakan beban tubuh Jihoon. Kemudian, ia merasakan tetesan darah jatuh di wajahnya. Darah itu berasal dari kepala Jihoon yang tertimpa besi tangga. Melihat apa yang ada di depannya, Nayoung langsung menangis.

"Ke.....na....pa....kau menangis? Apa...kau....terluka? Kau baik-baik saja, kan?"sambil menahan beban tangga itu dan rasa sakit yang mulai menyerang seluruh tubuhnya, Jihoon masih sanggup mengeluarkan kata-kata itu.

"Siapapun, cepat tolong pindahkan tangga itu dari tubuhnya!!! Cepat tolong dia!!" sambil terisak, Nayoung berteriak sekeras-kerasnya meminta pertolongan. Begitu, tangga itu dipindahkan dari tubuh Jihoon, Jihoon langsung terjatuh tidak berdaya. Seluruh tubuh Nayoung gemetar ia tidak sanggup melihat orang yang paling dikasihinya itu terluka karena dirinya. Dengan tangan gemetar, Nayoung berusaha menehan luka di kepala Jihoon yang terus mengeluarkan darah. Sebelum Jihoon benar-benar tidak sadarkan diri. Dengan susah payah tangannya berusaha menghapus air mata Nayoung.

"Untunglah kau baik-baik saja." Itulah kata-kata terakhir yang dikeluarkan Jihoon sebelum ia benar-benar tidak sadarkan diri.

--#--

Sudah 2 jam ia menunggu di sana. Setelah membawa Jihoon ke rumah sakit dengan ambulan, kemudian Jihoon masuk ke ruang UGD, Nayoung tidak beranjak sedetik pun dari samping Jihoon. Dengan wajah berantakan, juga air mata yang terus mengalir, ia menggenggam erat tangan Jihoon sementara dokter membersihkan dan menjahit luka di kepala Jihoon. Untungnya saat itu Jihoon sedang tidak sadarkan diri, jadi Nayoung tidak perlu melihat Jihoon kesakitan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya kalau melihat Jihoon kesakitan. Mungkin Nayounglah yang akan menangis lebih keras dari Jihoon. Hubungan diantara mereka begitu kuat, sampai – sampai Nayoung bisa merasakan apa yang dirasakan Jihoon. Dia semakin yakin, jika jangan – jangan mereka berdua benar-benar saudara kembar.

"Oke semua sudah selesai. Ia akan tersadar dalam beberapa jam kedepan. Karena kami masih belum tahu, apakah kepalanya yang terbentur baik-baik saja, juga sepertinya ada tulangnya yang patah, tuan Jihoon harus dirawat di rumah sakit terlebih dahulu. Hm...maaf apakah anda pacarnya?"

"Apa? Bukan-bukan...saya temannya. Saya akan segera menghubungi ayahnya. Terima kasih dok." wajah Nayoung bersemu merah mendengar perkataan dokter tadi. Tanpa disadarinya ia merasa senang dipanggil seperti itu.

"O ya...aku harus menelepon paman Jisung. Semoga paman Jisung tidak sedang di luar negeri seperti biasanya."

Seperti dugaannya, Paman Jisung sedang di luar negeri. Ia sebenernya bingung dengan apa yang dilakuakan Paman Jisung. Dia selalu ada di luar negeri sepanjang tahun. Iya ada di Korea hanya 2 kali dalam setahun yaitu saat ulang tahun jihoon, di awal musim panas, dan tanggal 15 December. Saat Jihoon dan ayahnya akan pergi ke sebuah tempat yang ia tidak tahu di mana. Jihoon selama ini hanya hidup sendirian di rumah itu, para pekerja yang membersihkan seluruh rumah Jihoon yang luas itu, hanya akan datang 1 minggu sekali. Sejak Jihoon berumur 12 tahun, ia sudah mengerjakan segala sesuatunya sendiri di sana mulai dari memasak, mencuci bajunya, bahkan membayar berbagai tagihan. Karena rumah Jihoon yang selalu kosong, rumah itu sudah seperti rumah kedua Nayoung. Ia lebih sering berada di sana dibandingkan rumahnya sendiri. Ia lebih sering berada di kamar Jihoon dibandingkan kamarnya sendiri. Ia sangat menyukai rumah itu dengan suasana khas jama joseonnya. Ia lebih merasa nyaman berada di sana.

"Sekarang ia terbaring di sini karena kecerobohanku. Mengapa keberadaanku selalu menyusahkannya? Dia sudah berkorban banyak sekali untukku, tapi apa yang pernah kulakukan untuknya? Aku hanya terus membawa beban baginya. Maafkan aku Jihoon-na..." Nayoung memandang sedih jihoon yang masih terbaring lemah di sana dengan selang oksigen dan Infus yang terhubung di tubuhnya. Tangan Nayoung tidak lepas dari genggaman tangan Jihoon. Ia takut, jika ia melepaskan tangannya, Jihoon akan pergi meninggalkannya. Ia berniat untuk merawat Jihoon sampai dia benar-benar pulih. Kata dokter, kemungkinan besar Jihoon harus menjalani operasi tulang belakang, dan waktu penyembuhannya selama 3 bulan. Selama itu ia hanya bisa menggunakan kursi roda. Kakinya akan sulit digerakkan. Dan itu semua adalah karena kesalahannya, Kim Nayoung. Jadi ia harus bertanggung jawab atas hal itu.

Malam itu, pandangan Nayoung tidak bisa lepas dari wajah Jihoon. Selama ini ia tidak pernah sadar betapa pedulinya Jihoon pada dirinya. Betapa Jihoon seperti seorang malaikat pelindungnya yang selalu ada untuknya kapanpun ia membutuhkannya. Ia menelusuri lekuk wajah Jihoon yang tampan itu dengan jemarinya. Terlalu nyamannya berada di sisi Jihoon, sampai-sampai Nayoung tidak menyadari betapa rupawannya wajah Jihoon. Alisnya yang tebal, mata besarnya yang selalu berbinar saat menatapnya, dipadukan dengan hidung mancungnya, dan bibir tipis merah mudanya yang selalu memberikan senyuman padanya. Kemudian, mata Nayoung tertuju pada bibir ranum Jihoon.

"Apakah kalau aku mencium bibir ini, jantungku akan berdebar? Apakah dengan begitu aku bisa mengartikan perasaanku padanya?"

"Nayoung-a..." Lirih Jihoon lemah dari balik masker oksigennya.

"Iya, ada apa Jihoon? Apa kau merasakan sakit? Akan kupanggil suster." Dengan panik, Nayoung beranjak dari kursi di samping Jihoon. Tetapi, langkahnya tertahan oleh tangan Jihoon yang menggenggam erat tangannya.

"Aku kedinginan." Tanpa diduganya, Jihoon masih kuat untuk menarik tubuh Nayoung ke kasur hanya dengan sebelah tangannya. Nayoung sekarang sudah terbaring di samping Jihoon. Wajahnya menghadap ke wajah Jihoon. Nayoung dapat melihat jelas kalau Jihoon menggigil kedinginan. Melihat itu, ia mendekatkan tubuhnya ke tubuh Jihoon, kemudian membawa Jihoon ke dalam pelukannya, untuk menghangatkannya. Kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua dari dinginnya pendingin ruangan. Tidak lama kemudian, mereka berdua sudah jatuh terlelap ke alam mimpi.

--#--

Sinar mentari pagi masuk melewati celah antar horden yang belum dibuka. Hangatnya sinar matahari menghangatkan kamar yang serasa hampir membeku. DI tambah lagi dengan demam tinggi yang dirasakannya semalam, membuat seluruh tubuhnya serasa mati rasa karena terlalu dingin. Jihoon membuka matanya, senyumnya merekah melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Tepat di depan wajahnya, di dalam pelukannya, Nayoung sedang tertidur dengan pulasnya. Wajah cantiknya terlihat sangat damai dalam pelukan Jihoon. Jihoon menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Nayoung, menyelipkannya di belakang telinga Nayoung.

"Bukannya semalam aku yang kedinginan? Mengapa malah dia yang ada di pelukkanku?"

Tiba-tiba, terdengar suara pintu di buka. Jihoon segera menutup matanya, berpura-pura masih tertidur pulas, enggan melepaskan momen indah itu begitu saja. Orang yang berada di depan pintu terdengar terkejut kemudian menjatuhkan sesuatu yang sepertinya adalah catatan medis Jihoon. Jihoon mendengar langkah perlahan perawat yang dengan berhati-hati mengganti infus Jihoon, dan melepas masker oksigen Jihoon.

"Apa yang mereka lakukan? Dalam keadaan sakit seperti ini masih bisa bermesraan? Ckckck pasangan kekasih jaman sekarang."

Mendengar apa yang dikatakan suster itu, Jihoon tersenyum dalam tidurnya. Ia mempererat pelukannya pada Nayoung dan berniat untuk kembali tidur. Suara pintu yang ditutup, membuat Nayoung terbangun. Nayoung sedikit terkejut saat sekarang ia lah yang ada di pelukan Jihoon. Tapi, ia tidak mempermasalahkan hal itu. Sejujurnya ia sangat senang bisa terbangun dalam pelukan Jihoon seperti ini. Jika bisa, setiap hari ia ingin terbangun dalam pelukan hangat itu. Nayoung tidak tahu, sejak kapan perasaan itu muncul di hatinya. Perasaan yang bukan cinta maupun kasih sayang. Perasaan yang muncul begitu saja, seolah ia sudah ditakdirkan untuk merasakan hal itu.

"Apakah aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri?"Nayoung mengelus rambut Jihoon lembut. Mata Nayoung kembali tertuju pada bibir Jihoon.

"Sepertinya, aku harus memastikan perasaanku." Nayoung mendekatkan wajahnya ke wajah Jihoon. Kali ini ia merasakan jantungnya sedikit berdetak lebih cepat.

"Tidak Nayoung, kalian adalah sahabat. Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Dia sahabat terbaikku." Nayoung menjauhkan dirinya kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi dengan perasaannya.

"Sepertinya, aku harus pergi ke sekolah sekarang. Kalau aku terus di sini, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan." Nayoung berniat untuk beranjak dari sana, tetapi Jihoon menariknya semakin mendekat ke arahnya sampai jarak antara wajah mereka tinggal beberapa inchi saja.

"Nayoung-a....maukah kau menikah denganku?"

To Be Continued

Prolog

"Tuan Putri, tolong jangan cepat-cepat menunggang kudanya!" Dayang Oh Doori mempercepat langkahnya. Dengan susah payah ia berlari mengejar kuda yang ditunggangi Putri Hwaui sambil mengangkat seragam dayang yang panjangnya sampai ke mata kaki.

"Tenang saja Dayang Oh, aku kan sudah berumur 15 tahun sekarang . Aku pasti baik-baik saja. Choe Young saja sudah bisa ikut berperang sekarang. Masak, aku mengendarai kuda saja tidak boleh? Setelah aku mahir berkuda, selanjutnya aku akan berlatih memanah dan bela diri. Aku berniat untuk ikut berperang bersama ayahanda dan Choe Young!" Putri Hwaui berhenti sesaat sebelum kembali memacu kudanya dengan kencang. Putri Hwaui terlihat sangat bahagia, ia tidak berhenti tersenyum menikmati segarnya angin yang meniup rambut hitamnya.

"Choe Young sehabis ini ajarkan aku meman......." karena terlalu asik, Putri Hwaui tidak menyadari ada sebuah pohon di depannya. Kuda yang ditungganginya berbelok mendadak kemudian mulai lepas kendali. Putri Hwaui yang ketakutan menangis sambil berteriak minta tolong. Ia memegang erat tali pengendali kuda itu. Hanya dengan cara seperti itu, ia bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Tuan Putri, lepaskan peganganmu....aku akan menangkapmu." Choe Young berusaha menahan kuda itu dengan memegang talinya keras.

"Tidak....kalau aku terjatuh ke tanah bagaimana? Aku takut!" kata Putri Hwaui sambil terisak.

"Aku akan melindungimu, percayalah padaku!" Bersamaan dengan itu, Putri Hwaui melepaskan pegangannya, tepat sebelum kepala Putri Hwaui membentur tanah, Choe Young menangkapnya dengan kedua tangannya yang sudah terlatih mengangkat karung-karung berisi pasir untuk berlatih.

"Anda tidak apa-apa Tuan Putri?" pandangan mereka bertemu. Tatapan dalam Choe Young berhasil membuat Putri Hwaui merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya. Kemudian bunga-bunga wind flower yang banyak tubuh di sekitar padang rumput itu berterbangan terbawa angin, membuat adegan tersebut menjadi semakin indah.

Di kejauhan, terlihat seorang pria yang berumur tidak jauh berbeda dengan Putri Hwaui dan Choe Young memperhatikan mereka dengan tatapan yang tidak bisa diartikab. Pria itu bertubuh tinggi tegap, sedikit lebih tinggi dari Choe Young. Garis-garis wajahnya tegas, mencerminkan kepribadiannya.

"Aku harus meruntuhkan dinasti ini. Pejabat-pejabat korup itu semuanya harus aku musnahkan. Aku tidak ingin kerajaan boneka ini terus berlanjut. Aku akan mewujudkan mimpi Sambong menciptakan dinasti baru, Dinasti Joseon."

Pria itu berjalan mendekat ke arah Choe Young dan Putri Hwaui. Begitu tiba di hadapan Putri Hwaui, ia berlutut.

"Hamba putra Yi Seong-gye, Yi Bang-won siap mengabdi pada Tuan Putri dan dinasti Goryeo. Terimalah pengabdian hamba Yang Mulia."

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet