Chapter 1 : Childhood "Oeil Larmoyant"

Amour Triste

Now, We Don't Forget to Say Start, but Don't Forget to Leave Me

Matahari bersinar sangat terik hari itu. Tanpa malu-malu, ia memamerkan keperkasaannya seolah berkata akulah yang paling berkuasa hari ini. Sementara sang raja sedang berbangga di atas sana, seorang gadis berambut hitam pekat mengusap keningnya yang dipenuhi peluh. Hidung dan mata indahnya bertahta cantik di wajah putih ovalnya yang bersinar seolah ingin mengalahkan matahari siang itu. Gadis semampai berumur belum lebih dari sepuluh tahun itu, meletakkan sepeda merah mudanya di depan rumahnya. Ia bersiap masuk ke rumahnya sebelum seorang pria paruh baya berpakaian rapi menyentuh bahunya yang membuatnya membalikkan tubuhnya.


"Nona, sudah kembali. Tumben cepat sekali?" Katanya sambil tersenyum lebar yang membuat kerutan di keningnya terlihat jelas.
"Aku sudah lelah paman. Mau beratus Kali pun aku mengitari tembok itu, aku tidak menemukan lubang sekecil rumah semut pun di sana. Bagaimana aku bisa masuk ke sana?"gadis kecil itu menekuk wajahnya dan memanyunkan bibir merah mudanya.
"Kenapa nona penasaran sekali dengan rumah itu? Sudah 2 minggu semenjak kita pindah ke sini dan setiap hari yang nona lakukan hanya berada di sana" sambil menunjukkan ke tembok pembatas kedua rumah yang berada cukup jauh dari rumah mereka yang memang memiliki halaman sangat luas.
"Paman tahu, kata bibi Audrey...."
"Bukan Audrey..Oh Dori..."
"Iya bibi Oh...do...Audrey maafkan paman, aku belum terbiasa dengan aksen Korea."
"Lanjutkan nona"
"Hah? Oh iya. .kata bibi Audrey yang tinggal di rumah yang dipenuhi pohon di samping kita, adalah seorang ilmuwan terkenal. Coba pama bayangkan, kalau di sana ada banyak robot cybrog, bagaimana? Bahkan kalau ada mesin waktu...bukankah itu menakjubkan?" Gadis itu berbicara dengan mata berbinar. Kecintaanya pada kartun sciene fiksi sering membawanya terlarut dalam dunia fantasy.
"Nona, aku punya ide bagus. Kalau tidak ada lubang, bagaimana kalau kita buat sendiri?" memberikan sebuah ide pada seorang gadis penuh energi seperti Nayoung adalah sebuah kesalahan. Gadis itu pasti akan segera melaksanakan ide gila itu tanpa pikir panjang.
"Wah..paman memang terbaik. Aku akan meminta tolong pegawai yang lain untuk membuat lubang di bawah dinding itu. Seperti lorong bawah tanah hahaha...terima kasih paman" Nayoung memeluk kepala pelayannya sambil berlari ke dalam rumah.
"Nona...tunggu!!! Nona tidak serius, kan? Nona!!!"

Kim Nayoung menegakkan kepalanya dengan penuh kebanggaan setelah berhasil membuat sebuah mahakarya dari seorang jenius, Paman Yoon. 
"Nah....sekarang sinar dari rumah sebelah sudah terlihat. Berarti lorong ini sudah menyambung ke sana. Aku tinggal masuk dan.... "
"Tunggu dulu!! Nona akan masuk ke sana sendirian?"
"Tentu saja! Aku kan tidak mungkin mengajak paman. Nanti paman sakit punggung, lubang ini terlalu kecil untuk paman. Percayalah padaku paman!"
"Tapi Nona.....bagaimana kalau...."
"Paman, aku akan pergi menjalankan misi rahasia. Aku agen 001 pergi sekarang. Aku akan kembali hahaha!" Seru Nayoung sebelum menghilang ke dalam lubang itu.

"Nona!!!"

-#-

Nayoung menutup matanya dengan sebelah tangannya, sementara yang sebelah lagi berusaha menopang tubuhnya keluar dari lubang itu. Begitu is melongokkan kepalanya keluar lubang, yang ia saksikan adalah sebuah kolam yang sangat luas dengan pohon rindang besar yang berdiri tegak tepat di sebelah sebuah pendopo bergaya Korea kuno yang dihubungkan dengan jembatan berwarna merah. Kolam itu dikelilngi pohon-pohon seperti sudah berusia ratusan tahun.

"Aku ada di mana? Apa lubang tadi membawaku ke Joseon, Korea jaman dulu di drama yang sering ditonton ibu, itu? Tidak mungkin. Jangan-jangan dugaanku benar, di sini ada mesin waktu. Aku harus segera mencarinya!" dengan bersemangat, Nayoung mendorong tubuhnya dengan kedua tangannya sehingga ia benar-benar keluar dari lubang itu.

"Yeahh...aku akan segera....ARGHH!!!"

Tanpa disadarinya, ternyata begitu ia melangkah keluar lubang ia langsung berada di batas kolam. Karena ia belum sempat menjaga keseimbangannya, tubuh kecilnya terjatuh ke dalam kolam yang ternyata cukup dalam.

Nayoung yang tidak bisa berenang, membiarkan gaya gravitasi menariknya terus ke dasar kolam. Ia mulai merasakan napasnya berat dan air mulai memenuhi paru-parunya.

"Apa aku akan mati? Aku terlalu muda untuk mati. Aku bahkan belum selesai membaca Doraemon seri yang terbaru. Ayah....Ibu....."

Saat pandangannya mulai mengabur, dan kedua kakinya sudah terasa lemas, samar-samar ia melihat seorang anak laki-laki menyelam ke arahnya kemudian mendekatkan kepalanya ke arah kepalanya.

"Tunggu dulu, apa yang mau dilakukan anak ini?"

Saat ia merasakan udara masuk ke paru-parunya, semuanya menjadi gelap.

--#--

Nayoung merasakan kepalanya sangat sakit. Seolah kegelapan di sekelilingnya ikut berputar bersamanya.

"Apakah ini rasanya saat kematian akan menjemput seseorang? Tidak bisakah jangan terlalu menyakitkan dan gelap seperti ini?

" Nona.....Nona...."

"Loh, itu suara siapa? Paman Yoon? Bagaimana dia bisa ke sini, apa paman masuk ke lorong ajaib itu juga?"

"Nona...bangun nona... Jangan mati..."

"Apa aku tidak jadi mati?"

Dengan susah payah, Nayoung mencoba membuka matanya. Kemudian, yang pertama kali ia lihat bukanlah Paman Yoon, tapi seorang anak laki-laki seumurannya yang memandangnya dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskannya. Seketika itu juga, tanpa tahu penyebabnya, air matanya menetes dan tanpa pikir panjang, ia memeluk anak laki-laki di depannya.

"Loh, kenapa aku begini? Apa aku terlalu bahagia karena tidak jadi mati? Tunggu dulu, dia kan anak yang tadi di kolam...yang....men.cium.ku. Berani-beraninya dia menciumku? Kurang ajar sekali!" Begitu kembali tersadar ia menendang selangkangan anak itu yang menimbulkan teriakan kesakitan dari orang di depannya.

"ARG!!!!Kenapa kau menendangku? Padahal tadi aku sudah menolongmu."

Anak laki-laki yang lebih pendek darinya itu mengerang sampai terduduk di lantai.

"Aku menendangmu karena kau sudah menciumku!!!"Nayoung meninggikan suaranya untuk menutupi mulutnya bergetar saat mengatakan kata terakir itu.

" Aku tidak menciummu. Aku hanya menolong memberi nafas padamu. Aku tidak mungkin berani mencium Yang Mulia..." kata terakhir terdengar sayup terlihat jelas anak itu menyesali kata-katanya.

"Yang Mulia?" Ditengah kebingungannya tiba-tiba seorang laki-laki berumur 30an berdiri mengambil tempat di antara mereka berdua.

"Hahaha...maafkan anakku Jihoon Nona muda. Kau bisa sendiri keluarga kami sangat menghargai budaya Korea, bahkan seluruh rumah kami kami desain seperti jaman Joseon. Kebetulan kami juga keturunan langsung Raja Joseon terakhir....jadi kami sering tidak sengaja mengatakan seperti itu hahahah." Pria itu melebarkan senyumnya dengan canggung, menambah kecurigaan Nayoung pada keluarga aneh itu.

"Tuan Jisung, maafkan nona Nayoung mungkin dia masih belum pulih sepenuhnya karena kejadian tadi. Maafkan juga dia karena sudah masuk ke rumah anda sembarangan. Kami undur diri dulu." Paman Yoon segera menarik tangan Nayoung menuju ke pintu keluar. Paman Yoon terlihat malu menghadapi tingkah eksentrik dari Nayoung. Langkah Nayoung terhenti saat ia melihat sebuah lukisan besar bergambar seorang laki-laki berjirah perang, duduk di sebuah kuda sambil mengangkat pedangnya. Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari lukisan itu....ia merasakan sesuatu yang aneh di hatinya yang mendorongnya untuk mengeluarkan air matanya, lagi.

"Nona, ayo kita harus segera pulang..sebentar lagi tuan dan nyonya akan pulang." Paman Yoon sedikit menarik tangan Nayoung untuk membawanya keluar dari rumah antik bergaya Korea itu. Tetapi ia tetap mematung di sana. Ia benar-benar terhanyut dalam suasana yang ia tidak tahu apa.

"Nayoung, yang kau lihat itu adalah lukisan Jenderal Choi. Salah satu Jenderal terbaik yang dimiliki Korea. Kau pastj belum pernah belajar sejarah Korea, kan? Karena kamu selama ini tinggal di Cornwall." Kata-kata Tuan Jisung terdengar sangat aneh di telinganya, bukan, lebih tepatnya hatinya. Terutama saat nama Jenderal Choi disebut, ada desiran aneh yang mungkin belum pernah ada anak seumurannya yang merasakan ini. Desiran yang membuatnya ingin menangis dan tersenyum pada waktu yang sama.

"Baiklah aku akan pergi sekarang. Terima kasih telah menolongku...Jihoon-ssi dan Paman Jisung." Nayoung berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan itu dan memaksa dirinya untuk pergi dari sana.

--#--

"Jihoon-na kau harus menjaga kata-katamu pada orang lain. Dan apa tadi katanya, ciuman?" goda ayahnya sambil menyenggol tubuh . Mendengar godaan ayahnya, Jihoon tersenyum malu sambil menyentuh bibirnya.

"Itu bukan ciuman ayah, aku hanya menolongnya."

"Tapi, kau senang,kan? Hahaha anak-anak jaman sekarang memang terlalu banyak menonton drama. Mulai besok kamu tidak boleh menonton drama lagi."

"Ayah jangan panggil aku anak kecil. Aku bukan anak-anak!"

"Anak kecil....anak kecil...." ledek ayahnya sambil berlari meninggalkan Jihoon.

"Ayahhhh!!!!"

Tiba-tiba Jihoon menghentikan kerjaan nya pada ayahnya, ia berhenti tepat di tempat Nayoung mematung tadi. Ia memandang ke lukisan itu dengan penuh arti sebelum mengakhirinya dengan sebuah senyuman.

"Tidak kusangka kali ini dimulai begitu cepat. Apakah ini berarti akan berakhir dengan cepat pula?"

--#--

Nayoung duduk di depan televisi yang menyiarkan serial kartun kesukannya. Namun anehnya, serial yang selalu ia nanti-nantikan setiap hari dan menontonya tanpa berkedip, sama sekali tidak menarik hatinya saat itu. Pikirannya tidak sedang di sana, tetapi di depan lukisan Jenderal Choi yang begitu berbekas di hatinya. Dia masih belum bisa melupakan perasaan itu, perasaan yang tidak mampu dijelaskan anak-anak yang belum dewasa sepertinya.

"Belum dewasa? Mungkin aku bisa bertanya pada Daniel oppa, kan dia sudah SMP pasti di tahu." Nayoung menengok ke oppanya yang duduk di sebelahnya menonton tanpa berkedip.

"Oppa!"

"........."

"Oppa, aku ingin bertanya padamu."

"........." tidak juga ada respon dari orang di sampingnya.

"OPPAA!" Nayoung berteriak tepat di telinga kakaknya yang membuat anak laki-laki bertubuh tegap itu terlonjak.

"YA!!kenapa kau berteriak di telingaku?"

"Karena oppa tidak meresponku huh...menyebalkan! Oppa, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Oppa tahu perasaan saat hati terasa sedih tapi di saat itu juga tetap ingin tersenyum, itu artinya apa?"

Dengan gaya sok berpikir keras, Daniel, kakak Nayoung, menjawab sambil tersenyum jahil.

"Hmmm....itu artinya kamu....TIDAK WARAS!!!" kali ini Daniel yang berteriak di telinga Nayoung sambil segera menjauh dari adiknya yang dipastikan sebentar lagi akan segera mengamuk.

"YAAAA, Daniel Oppa!!!!!"

--#--

"Paman Yoon, bagaimana penampilanku? Salah penyamaranku maksudnya?" Nayoung memutarkan tubuhnya yang dibalut hanbok berwarna merah muda, warna kesukaanya. Ia berlenggang bagaikan seorang model berjalan di catwalk dan mengibaskan rambutnya yang terurai di depan Paman Yoon. Paman Yoon hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah seorang putri salah satu keluarga terkaya di Korea, yang bertingkah 180 derajat berbeda dengan putri-putri keluarga konglemerat lainnya. Free Spirit dalam dirinya sulit dikendalikan.

"Apa lagi yang akan Nona lakukan? Jangan bilang Nona masih penasaran dengan rumah itu?"

"Yap!! Tepat sekali! Paman Yoon, kita memang tim yang terbaik. Aku masih penasaran dengan keluarga aneh di sana. Aku pikir selain ilmuwan, mereka itu keluarga... penyihir? Semua yang ada di sana seperti memiliki pengaruh sihir padaku."

"Lalu, kenapa Nona memakai hanbok?"

"Oh... kata bibi Audrey kalau kita baru pindah ke suatu tempat, kita harus membagikan roti beras. Nah, aku berpakaian seperti ini agar sesuai dengan tingkah mereka yang aneh itu. Agar aku tidak dicurigai sedang memata-matai mereka. Bagaimana paman, ideku briliant kan?" kata Nayoung sambil mengangkat kepalanya dan membusungkan dadanya. Sementara Paman Yoon hanya bisa menghela napas dan melepas kepergian sang pembuat onar di kediaman Kim.

--#--

Sebelum menekan bel di depan pintu besar yang terbuat dari kayu itu, Nayoung sekali lagi merapikan hanboknya, menyisir rambutnya dengan tangannya, kemudian memastikan kue berasnya masih hangat. Ia tahu bocah laki-laki gembul yang bernama Jihoon itu, pasti menyukainya. Dia bisa menebaknya dengan sekali lihat, kedua pipi Jihoon kemarin memerah saat ia meneriakinya sudah menciumnya. Bocah aneh itupun tersenyum saat ia menendangnya. 

"Memang anak yang aneh. Aku harus membuatnya menyukaiku agar aku bisa menemukan rahasia mereka. Lihat saja pasti agen 001 akan berhasil."

Ting Tong

"Permisi aku Nayoung tetangga sebelah. Aku mau memberikan kue beras sebagai salam dari tetangga baru."

Nayoung harus sedikit menjijit saat berbicara di perekam suara yang ada di depan pintu.

Tidak lama setelah ia menekan bel rumah, pintu itu terbuka. Dan seperti dugaannya, setelah mendengar suaranya, pasti yang akan membukakan pintu adalah si bocah gembul. Tetapi ternyata ekspresi Jihoon saat melihatnya, tidak seperti yang ada di bayangannya. Ia membayangkan bocah itu akan terperanggah melihat kecantikannya, lalu kedua pipinya akan kembali memerah atau bahkan, dia akan berlari masuk ke dalam rumah karena malu.

"Tapi, apa ini? Kenapa dia malah menangis?"

Ekspresi Jihoon sama seperti saat ia selamat dari kolam kemarin, dan yang pertama kali dilihatnya adalah anak itu. Meskipun semua itu terasa aneh, Nayoung tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tidak bisa membalikkan tubuhnya untuk pergi dari rumah dan pemiliknya yang aneh itu. Tapi mulutnya juga tidak mampu mengatakan sesuatu untuk menghentikan tangisan anak itu. Ia mengingat apa yang dilakukan ibunya saat ia menangis. Memeluknya.

Saat ia memeluk Jihoon, tangisan Jihoon malah semakin mengeras. Isakan dan nafasnya yang sesunggukan dapat dirasakan dengan jelas oleh Nayoung. Ia kembali mengikuti apa yang sering dilakukan ibunya ia menepuk perlahan punggung Jihoon berusaha menenangkannya.

"Sudah...jangan menangis. Tidak apa-apa ada aku di sini."

Mereka tetap dalam posisi seperti itu selama beberapa menit. Mereka bahkan tidak menyadari keranjang kue beras yang tadi bawa Nayoung sudah terjatuh. Nayoung kembali tersadar saat ia menyadari keranjang kue berasnya sudah tidak ada tangannya. Ia mengecek apakah Jihoon sudah tidak menangis lagi, dan ia lega saat sudah tidak mendengar isakan Jihoon.

"Bagaimana, apakah kau sudah tenang sekarang?" Nayoung memandang wajah Jihoon yang penuh dengan air mata untuk memastikan sudah tidak ada air mata baru yang keluar dari kedua mata besar yang sekarang menjadi sembab.

"Maaf.....maafkan aku. Bukannya aku menyambutmu dengan baik aku malah menangis. Hanbokmu juga jadi berantakan seperti itu. Maafkan aku...." jawab Jihoon masih dengan suara yang parau.

"Oh iya, ayo kita masuk."

Nayoung mengikuti Jihoon masuk ke dalam rumah yang dipenuhi dengan barang-barang antik. Semua perabotannya terlihat sudah sangat tua, dan memiliki nilai seni tinggi. Nayoung heran di rumah sebesar itu mengapa sepi sekali. Di rumahnya saja paling tidak ada 10 orang yang bekerja di sana untuk mengerjakan segala sesuatunya.

"Oh ya, kalau boleh aku bertanya, mengapa tadi kamu menangis?"

"Oh....itu karenamu..."Tatapan Jihoon kembali berubah menjadi penuh arti. Seperti tatapan seorang ayah pada anaknya. Perasaan penuh kasih sayang yang tulus.

"Karenaku?"Nayoung kembali dibuat bingung dengan permainan kata-kata bocah kecil di depannya yang sama sekali tidak tampak seperti anak kecil saat memandangnya seperti itu.

"Iya karena kau mirip sekali dengan ibuku. Aku sudah tidak mempunyai ibu lagi, jadi saat melihatmu memakai hanbok itu, tiba-tiba aku merindukan ibuku, makanya aku menangis.O ya, aku juga menangis karena lapar, ayahku tadi tidak sempat memasak sarapan sebelum pergi seminar." tatapan Jihoon seketika berubah menjadi normal kembali. Dengan tangannya ia mengusap sisa-sisa air mata yang ada di pipi gembulnya.

"Dan....terima kasih sudah memelukku tadi. Sudah lama sekali aku tidak merasakan pelukan seperti itu. Pelukanmu tadi sangat berarti bagiku. Aku tidak akan pernah melupakannya."

"Apa ayahmu tidak pernah memelukmu?"ia heran bagaimana bisa anak berumur sepuluh tahun itu sudah lama tidak merasakan pelukan. Harusnya itu adalah saat-saat baginya dan Jihoon untuk mendapatkan pelukan dan cubitan dari semua orang, yang sejujurnya kadang-kadang sering membuatnya risih juga.

"Tidak.....dia tidak suka dipeluk dan memeluk orang. Apalagi sesama laki-laki hahahaha"

"Ayahmu aneh sekali. Baiklah kalau begitu aku sudah memutuskan untuk membatalkan misiku sekarang. Misiku selanjutnya adalah menjadi sahabat Park Jihoon yang kesepian. Aku janji akan memelukmu kalau kau teringat ibumu lagi. Aku juga akan memasakan sarapan kalau ayahmu lupa lagi. Aku akan meminta ayahku untuk memarahi ayahmu yang jahat itu!" Nayoung menarik tangan Jihoon dan mengaitkan kedua kelingking mereka.

"Sekarang janji kita sudah tersegel."

TBC

Epilog

"Tuan Putri Hwaui!!! Jangan berlari-lari di sana. Di sana berbahaya, nanti Yang Mulia bisa jatuh ke kolam."

"Tenang saja Dayang Doori....Aku pasti tidak akan jatuh." Meskipun sudah diperingati, Putri Hwaui tetap berlari dengan bersemangat mengelilingi taman rahasia di Istana Changdeok. Taman itu merupakan salah satu taman terindah yang hanya boleh dimasuki oleh keluarga istana sehingga disebut taman rahasia. Hari itu adalah pertama kalinya, ayahnya, Raja Taejo membawanya ke sana. Jadi ia sangat bersemangat dan terpesona akan keindahan taman itu.

"Ha..ha..ha... biarkan saja dia Daya Douri. Dia pasti sangat senang bisa berada di sini. O ya, bisa tolong jaga Putra Mahkota Chang, ia baru bisa berjalan jadi sekarang dia senang sekali berlari mengejar kakaknya."

"Baik Yang Mulia"

Raja Taejo tanpa pikir panjang ikut berlari juga mengikuti anaknya, Putri Hwaui. Karena di sana tidak ada siapa pun jadi Raja Tejo bisa bebas melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang raja seperti, berlari. Ia terlihat sangat bahagia bisa melepaskan bebannya sebagai Raja sesaat. Ia menangkap Putri Hwaui melemparkannya ke udara. Putri Hwaui tertawa senang merasakan kasih sayang yang begitu besar dari ayahnya itu. Setelah ayahnya menurunkannya, Putri Hwaui kembali berlari dengan gembira.

"Putri Hwaui ayah punya seseorang yang ingin ayah kenalkan padamu!"

"Siapa Yang.....ARGHHH!" karena dipanggil ayahnya, ia tidak melihat kalau ia sudah berada di pinggir kolam, dan akhirnya ia terjatuh ke dalam kolam itu.

"Tuan Putri Hwaui!!!!" seorang anak laki-laki dengan panik berlari dan menyelam ke kolam untuk menyelamatkan Putri Hwaui yang sudah mulai tidak terlihat di permukaan kolam.

Raja menghela nafas lega, saat anak itu berhasil membawa Putri Hwaui keluar dari kolam. Tetapi, putri Hwaui masih belum sadar. Kelihatannya air masih belum keluar dari paru-parunya.

"Yang Mulia, bolehkah hamba memberikan nafas buatan pada Tuan Putri?"

Karena di sana tidak ada siapapun yang bisa menolong Putri Hwaui, raja mengangguk setuju. Bersamaan dengan itu, anak laki-laki itu menutup hidung Putri Hwaui kemudian memberikan udara lewat mulut Putri Hwaui. Putri Hwaui terbatuk kemudian mengeluarkan air dari mulutnya.

"Si....siapa kau?"

"Ampuni hamba Tuan Putri, hamba pantas mati. Hamba dengan lancang memberi nafas buatan pada Tuan Putri." dengan ketakutan anak laki-laki itu bersujud di depan Putri Hwaui. "Tidak....yang aku tanyakan siapa kau? Aku tidak mempermasalahkan apa yang kau lakukan. Lagipula kau kan yang menyelamatkanku. Siapa namamu?"

"Nama hamba Choe Young tuan putri."

"Oh....Choe Young...baik aku akan mengingat nama itu, penyelamatku."

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet