Fin

'Ex-Boyfriend'
Please Subscribe to read the full chapter

Karena dr awal sy buat ini sdh ragu mau genben atau nggak tp akhirnya sy bkn genben, jd kalo ada salah sebut tolong dikasih tau. Hahaha

Nanti sy koreksi ulang.

Dan jg sy bingung ini masuk kategori rated M atau bkn ya??

 

 

Suara dering telpon membangunkan tidur soreku yang ternyata kebablasan. Seingatku aku tidur sekitar jam 3 sore itu namun lihat sekarang, di luar sudah gelap. Aku belum mandi, belum memasak bahkan belum mencuci pakaian kotorku setelah bekerja yang mungkin hal itu sudah tak penting lagi.

Handphoneku kembali berdering seolah ingin menyadarkanku dari pikiran yang kini memenuhi kepalaku. Dengan malas aku bangkit dan mengambil handphoneku yang masih berada dalam tas.

‘My Ex’

Aku tersenyum melihat nama itu. “Halo” sapaku.

“Hei”

Suara itu...

Suara seseorang yang benar benar kurindukan.

“Biar kutebak, baru bangun?” tanyanya.

“Hm” balasku setengah menguap dan berjalan ke luar kamar. Ku lihat semua tirai sudah tertutup dan lampu juga sudah dinyalakan. Aku berjalan menuju dapur dan ku dapati box makanan di meja.

“Shift pagi?”

“Hm”

Lama dia terdiam namun hal itu tak membuatku canggung. Aku sudah merasa tenang hanya dengan mendengar suara napasnya. “Aku merindukanmu”

Dia terkekeh. “Kau tidak takut suamimu akan mendengarnya?”

“Apa peduliku” balasku mengangkat bahu seraya bersandar di meja dapur.

“Kau merindukanku atau merindukan sentuhanku?”

“Keduanya” balasku jujur.

Kali ini dia tertawa. “Kau sudah mulai berani”

“Tch. Kau bahkan tak seberani seperti di chatmu tadi pagi saat membahas phone ” balasku.

Namun tiba tiba sebuah suara berat membuatku membeku di tempatku berdiri. Sosok itu berjalan ke arahku sambil memicingkan mata. “Aku sudah memesan makanan. Kau belum makan sejak tadi siang. Dan semua pakaian kotor sudah ku bawa ke laundry jadi kau tidak perlu mencuci”

Aku tak sadar menahan napasku saat dia bicara. Takut kalau dia mendengar kata terakhir dari kalimatku sebelum dia membuatku terkejut dengan kehadirannya. “Thanks Oppa” balasku dan dia menjauh dari dapur. Kudengar suara tawa di seberang sana. “Shut up”

“Sebaiknya kau mandi dan habiskan makan malammu”

“Oke” aku menarik napas dalam. “Aku benar benar merindukanmu”

“Mungkin besok aku pulang. Dan aku juga sangat merindukanmu”

“Ya sudah. Aku harus mandi”

“Aku mencintaimu”

“Aku juga mencintaimu” balasku menutup panggilan.

Kupandangi layar smartphoneku dan tersenyum setelahnya. Ingatan akan dirinya kembali melintas dibenakku. Banyak kenangan manis dan bahkan menyakitkan bersamanya yang tak akan pernah kulupakan.

Kenangan yang mengubah begitu banyak sisi kehidupanku.

Yang mengubah siapa aku.

 

***

 

Selama 24 tahun hidupku, tak pernah sekalipun aku menjalin sebuah hubungan serius dengan seseorang. Teman teman di tempatku bekerja selalu menggodaku karena lebih memilih untuk bebas tanpa ikatan, tanpa sebuah komitmen. Mereka juga seringkali berusaha menjodohkanku dengan kenalan kenalannya namun tak pernah berhasil. Bukan karena aku tak mau, tapi karena aku tak pernah merasa benar benar tertarik dengan seseorang. Tak pernah tertarik untuk mengubah statusku. Tak pernah merasakan sesuatu yang aneh di dadaku seperti yang sering mereka katakan.

Terkadang ada rasa iri saat pulang kerja dan melihat temanku dijemput seseorang yang mereka cintai. Namun disisi lain aku juga merasa nyaman dengan kesendirianku. Aku bebas melakukan apapun keinginanku. Bebas pergi kemanapun yang ku mau tanpa perlu khawatir sehingga kubiarkan saja saat teman temanku menggoda bahkan menyindir pilihanku. Setidaknya aku tak perlu merasakan patah hati seperti yang mereka alami.

Aku berjalan melewati meja administrasi instalasi tempatku bekerja ketika seorang seniorku, Siwon, memanggil. Aku menoleh dan masuk ke ruangan sampling dan melihat beberapa pasien sedang duduk di kursi tunggu. “Ada apa?”

Siwon berdiri dan menghampiriku kemudian berbisik. “Bantu aku dengan pasien di dalam ruangan itu. Aku pusing menghadapinya”

“Memangnya kenapa?” tanyaku melirik ke ruangan sampling untuk pasien bayi namun belum melihat orang yang dimaksudkan Siwon.

“Dia ingin check up tapi takut diambil darah”

“Pasien dewasa?” tanyaku. “Ku pikir anak anak karena Oppa menunjuk ke ruangan itu”

“Iya, dewasa. Tapi takut jarum suntik. Cepatlah” Siwon memberikan blanko permintaan check up yang berisi data pasien padaku.

“Tumben kau mengalah. Bukannya kau selalu menang, Oppa”

“Aish pasien ini berbeda. Cepatlah”

Aku menarik napas dan segera memasuki ruangan di depanku. Di dalam sana ku temukan sosok pria sedang berdiri membelakangiku, memandang lukisan warna warni yang ada di dinding.

Ku periksa ulang blanko di tangan ku dan menyapa pria tersebut. “Maaf, aku diminta untuk mengambilkan darahmu”

Pria itu berbalik. Memandangku cukup lama. Aku mengumpat dalam hati karena tatapan matanya sudah cukup membuatku sedikit gugup namun kemudian dia menambahkan senyum di bibirnya yang membuat dadaku terasa sesak seketika.

“Sebelum kau mengambil darahku, boleh aku bertanya?”

“Tentu” jawabku berjalan menuju meja dan mengambil beberapa peralatan untuk melakukan tugasku.

“Apa akan sakit?” tanyanya dengan polosnya.

Ku lihat lagi blanko yang sudah kuletakkan di meja.

31 tahun.

Umurnya 31 tahun dan dia bertanya seakan dia tak pernah sekalipun tertusuk benda tajam seperti jarum. “Kau belum pernah cek darah sebelum ini?”

“Pernah”

Seandainya yang kuhadapi pasien anak anak, tak masalah bagiku sedikit berbohong untuk mengurangi sedikit dari rasa takutnya. Tapi ini orang dewasa. Dan juga seorang pria. “Lalu kenapa kau bertanya lagi?”

“Itu karena aku lupa seperti apa rasanya” dia tertawa.

Ku garuk keningku sembari memandang blanko pemeriksaan.

“Kau belum menjawab pertanyaanku”

Aku menghela napas. “Aku tidak akan berbohong padamu dengan mengatakan tak akan sakit karena lihatlah, ini jarum suntik” aku menunjuk spuit di meja. “Tapi ini hanya sebentar”

“Kau yakin?”

“Yup”

“Apa kau benar benar yakin?”

Mungkin inilah yang dimaksudkan Siwon dengan pusing menghadapinya. “Ya” balasku mulai kesal. Kalau semua pasien seperti dia, ku pastikan pelayanan akan terganggu. Pantas saja Siwon memintaku menanganinya.

“Karena beberapa kali aku cek darah, di tempat yang berbeda tapi semuanya selalu mengambilnya dua kali dan itu sangat sakit”

Aish. “Kau mau darahmu kuambil dengan pisau atau dengan jarum?” Dia laki laki tapi kenapa penakut sekali.

“Oke oke” dia tertawa dan duduk di kursi pasien. “Kau tau, kau terlihat lebih menarik saat kesal”

What? Jangan katakan dia berusaha merayuku.

“Jangan marah. Aku hanya bercanda. Ayo tersenyum karena kau lebih cantik saat pertama kali datang tadi” dia tersenyum. “Aku berbaring atau duduk? Oh sebaiknya duduk saja, karena dengan begini aku bisa melihat wajah cantikmu dengan lebih jelas”

Oh. A player. “Apa aku juga boleh bertanya?” ku ambil torniquet dan ku lingkarkan di lengannya lalu menariknya kencang.

Dia mengangguk. Masih dengan senyum menyebalkannya.

“Apa petugas yang mengambil darahmu sebelumnya wanita?"

"Ya"

"Dan kau juga bicara seperti ini pada petugas itu?” tanyaku meraba vena di tangannya. Besar namun dalam. Perfect.

“Tidak”

Tch. Dia pikir aku akan percaya. Ku oleskan swab alkohol pada area venanya berada. Namun saat aku mulai membuka penutup jarum dia menghentikanku dengan pertanyaan bodohnya.

“Kenapa jarumnya besar sekali? Berapa banyak darahku yang akan kau ambil?” tanyanya polos sembari menarik tangannya.

Dengan terpaksa ku buka kembali bendungan torniquet di lengannya dan pastinya harus meraba ulang vena di tangannya. “Tidak banyak. Minimal 5 cc tergantung banyaknya permintaan pemeriksaan”

“Oh oke”

Baru kali ini kutemui pasien dewasa serumit pria ini. “Bisa kita selesaikan ini? Aku harus bekerja”

“Tentu” lagi lagi dia tersenyum dan kembali mengulurkan tangannya.

Ku kencangkan kembali torniquete di atas lipatan tangannya dan meraba ulang vena yang sebelumnya sudah ku dapatkan. Ku usapkan swab alkohol di kulitnya dan bersiap menusukkan jarum ketika dia menghentikan tanganku.

“Wajahmu membuatku gugup”

Ya Tuhan. Kapan ini akan selesai. “Mungkin sebaiknya aku memanggil petugas di depan. Karena sepertinya kau tidak ingin aku yang mengambil darahmu” ucapku berdiri. Kesal. Jengkel.

“Jangan” dia menarik lengan bajuku. “Kau saja”

“Kalau begitu diamlah” ku tarik tangannya dan kuikatkan torniquete sekencang mungkin hingga dia meringis. Aku sedikit merasa bersalah tapi aku benar benar kesal dengan tingkahnya. Seandainya tabung darah ini bukan tabung vakum, mungkin akan ku ambil darahnya 2 kali lipat lebih banyak dari jumlah yang ku katakan padanya.

“Siapa namamu?” tanyanya.

“Bae Joohyun” jawabku kemudian memberikan sampel darah yang kudapatkan beserta blanko permintaan pemeriksaan pada Siwon dan segera menjauh. Lama lama di tempat itu aku bisa gila menghadapinya.

Kang Seulgi.

Aku tak akan melupakan nama pada barcode identitas pasien yang kutempelkan di sampel darah yang sudah kuambil.

 

***

 

Kupikir pertemuan kami tak akan terjadi lagi setelah hari itu namun ternyata aku salah. Dua hari kemudian aku kembali bertemu dengannya disebuah toko buku saat aku jalan bersama sahabatku, Yongsun.

Awalnya dia tak melihatku dan aku bergegas menarik tangan Yongsun yang terlihat bingung dengan tingkahku. Aku sendiri bingung kenapa aku seperti ini karena pria itu tak melakukan hal yang membuatku harus menghindarinya.

Aku sudah berhasil menyeret Yongsun hingga pintu keluar namun pria itu memanggilku. Sepertinya tak ada alasan bagiku untuk berpura pura tak melihatnya atau tak mengenalinya karena dia jelas sekali memanggil nama Bae Joohyun yang membuat beberapa orang memandang ke arahnya.

Dia berjalan mendekat dan tersenyum. Senyum yang sama seperti yang waktu itu. Senyum yang sudah membuat jantungku sedikit berpacu.

“Tak menyangka kita bertemu lagi”

Aku hanya mengangguk dan menjawab beberapa pertanyaannya seadanya. Ku pikir dia akan menjauh setelah itu dan lagi lagi aku salah, dia mengikuti kemanapun aku dan Yongsun berjalan. Thanks to Yongsun karena sahabatku yang banyak bicara itu akhirnya Seulgi akan lebih lama bersama kami. Mereka berdua ngobrol layaknya teman lama.

Seulgi.

Entah kenapa aku merasa menyesal karena pernah berpikir tak akan melupakan nama itu.

Setelah mendapatkan buku yang kucari, aku berjalan ke kasir. Namun saat aku ingin membayar, Seulgi maju dan meminta kasir untuk menggabungkan tagihanku dengan buku yang dibelinya. Aku ingin menolak, namun kasir itu hanya tersenyum malu ketika Seulgi mengedipkan sebelah mata padanya dan melakukan apa yang diminta Seulgi.

Oh... Great. Ahjussi tak tau diri.

“Eeeiii, kau benar benar manis” Yongsun menyenggol bahu Seulgi dengan bahunya.

Aku hanya memutar bola mataku melihat interaksi keduanya yang jujur saja membuatku sebal.

“Apa kau lapar? Bagaimana kalau kita makan bersama?” Seulgi memandangku dan Yongsun bergantian. “Aku yang traktir” tambahnya memelankan suaranya pada Yongsun.

Aku ingin menolak namun Yongsun lebih cepat membuka suaranya. Dan orang seperti Kim Yongsun ini tak akan pernah menyiakan kesempatan yang ada di depan matanya.

“Tentu”

Aku menghela napas. Apa yang akan kulakukan dengan kedua manusia ini.

 

***

 

Beberapa hari berikutnya aku kembali bertemu dengannya. Entah apa yang sudah kulakukan hingga aku mendapatkan hukuman seperti ini. Semakin aku berharap tak ingin bertemu dengannya lagi, aku justru semakin sering berpapasan dengannya. Aku kembali menyesali karena waktu itu berkata pada diriku tak akan melupakan namanya.

Seperti kali ini saat aku pergi ke bioskop bersama beberapa temanku dan kudapati dia sedang berdiri di antrian tiket film yang akan kami tonton. Aku sudah bersiap dengan alasan agar aku bisa pergi dari sana namun seperti kemarin, Yongsun jauh lebih cepat dariku dan dia memanggil namanya dengan lantang.

“Seulgi Oppa!"

Seulgi menoleh dan melambaikan tangannya. Dia tersenyum pada teman temanku kemudian padaku.

Senyum itu.

Masih senyum yang sama dengan yang waktu itu.

Dadaku sesak karena jantungku memacu lebih cepat dan hal itu membuatku mulai risih dengan keberadaannya di sekitarku.

Yongsung berdiri di luar garis antrian dan menghampiri Seulgi. Mereka bercakap beberapa saat sebelum ku lihat Yongsun kembali dan memberikan isyarat oke dengan jarinya dan mengatakan kami tak perlu mengantri karena Seulgi akan membantu membelikan tiket sejumlah yang kami perlukan.

Seperti biasa. Aku hanya mengela napas berat. Aku sendiri tak mengerti kenapa harus merasa seperti ini seolah Seulgi seorang maniak yang terobsesi padaku. Padahal dia tak melakukan apa apa. Pertemuan kami pun selalu tanpa sengaja. Mungkin aku terlalu tinggi memandang diriku.

“Siapa dia?” tanya Seohyun.

“Pacar Joohyun” jawab Yongsun yang otomatis membuatku memukul lengannya.

Seohyun dan Chorong menyipitkan matanya ke arahku. Aku hanya memutar bola mataku ketika keduanya menggodaku bahkan hingga kami masuk ke bisokop. Kuingatkan diriku untuk menghajar Yongsun setelah film selesai. Karena mulut besarnya, kehidupan tenangku mulai terancam dengan makhluk makhluk usil yang mengatakan diri mereka temanku.

 

***

 

Handphoneku bergetar. Sepertinya ada chat masuk namun aku terlalu malas untuk bangkit dari duduk nyamanku sehingga ku biarkan saja.

Menit berikutnya handphoneku kembali bergetar dan aku masih tak ingin beranjak dari sofa. Tak berapa lama, benda berwarna hitam itu kembali bergetar, beberapa kali, namun aku terlalu malas untuk bangun hingga akhirnya suara musik mengalun pertanda ada panggilan masuk yang membuatku mau tak mau harus bangkit.

Ku pandangi layar smartphoneku. Tak ada nama. Hanya nomor pemanggil. Ku biarkan beberapa saat namun dering itu tak kunjung berhenti.

Mungkin panggilan penting, pikirku, dan ku putuskan menerimanya. Namun baru saja ku terima, sambungan langsung terputus. Mungkin orang itu bosan menunggu sehingga dia menutupnya ketika aku menerima panggilannya.

Ku buka chat masuk. Dari nomor yang tak tersimpan di kontakku.

 

Hai...

Ms. Bae, apa kau masih ingat aku?

 

Aku mendengus. Bagaimana aku bisa mengingat seseorang dari nomor telponnya.

 

Sepertinya kau tak ingat.

Padahal kita sudah bertemu beberapa kali.

 

Banyak orang yang kutemui setiap harinya. Dan aku mengenal seseorang dari wajahnya, bukan dari nomor telponnya.

 

Aku pasienmu yang waktu itu.

Simpan nomorku.

Dan kau bisa melihat foto profilku.

 

Seketika aku merasa gugup. Tidak. Jangan dia, bathinku.

Ku simpan nomornya dengan nama sembarang, dan ya, itu dia.

Kang Seulgi.

Pria yang membuatku merasa dihantui kemanapun aku pergi. Satu satunya pasien yang wajahnya bukan hanya terbayang di kepalaku namun terpahat sempurna diingatanku.

Jangan lagi...

 

***

 

Sejak hari itu, walaupun tak setiap hari, pesan dari Seulgi mulai sering menghiasi inbox ku disamping obrolan dengan teman temanku. Terkadang pesannya membuatku kesal namun terkadang bisa membuatku tergelak.

Dia menyebalkan tapi sangat sopan.

Selalu bercanda namun tak pernah berlebihan. Ku akui aku mulai menyukai saat kami mengobrol panjang lebar namun tentu saja perasaan yang ku sebut risih itu masih membentengi kekerasan hatiku.

Aku tau sesuatu sudah terjadi tapi aku menampiknya.

 

***

 

Aku pernah mendengar seseorang mengatakan jangan terlalu membenci sesuatu atau seseorang karena yang terjadi bisa sebaliknya.

Tch. Sebaliknya, huh? Omong kosong, bathinku.

Setiap kali berpikir hal itu, emosiku seakan memuncak. Penolakanku atas kebaikannya, penyangkalanku atas bentuk perhatian yang selalu diberikannya padaku seolah menjadi menu utamaku setiap harinya. Selalu ku katakan pada diriku kalau aku tak merasakan apapun selain rasa kesal, risih, dan jengah dengan kehadiran Seulgi.

Dia seperti hantu. Ada dimana mana. Yang membuatku selalu merasa dihantui oleh bayangannya setiap saat.

Seandainya saja dipertemuan pertama kami dia tak bertingkah menyebalkan, mungkin aku tak akan mencapnya seperti sekarang dan aku tak perlu risih dengan kehadirannya, dengan senyum yang menghias di wajahnya, dengan sikap sopan dan lembutnya padaku dan juga teman temanku. Tapi dia sudah membuatku memahat namanya sebagai orang menyebalkan di kepalaku. Dan tak lupa dia juga seorang player.

“Mana pacarmu?” Seohyun menyenggol bahuku.

Aku tak menggubris pertanyaan Seohyun dan terus berjalan menuju halte tak jauh dari rumah sakit tempat kami bekerja.

“Yah, Joohyun”

Ku pejamkan mataku sesaat kemudian berjalan lebih cepat karena sepertinya cuaca malam itu sedikit tak bersahabat. Kurasakan tetesan air di kulitku. Aku hanya menghela napas. What a perfect night. “Tetaplah berdiri di sana kalau kau ingin merasakan dinginnya air hujan” gerutuku.

Seohyun duduk di sampingku. Dia masih saja bercanda seakan tak peduli aku yang semakin kesal karenanya. Ini sudah cukup. Aku sudah tidak tahan lagi dengan candaan yang Seohyun lontarkan padaku.

Beberapa menit berlalu dan aku tak berniat menyahut sedikitpun saat Seohyun bicara padaku. Kepalaku pusing.

“Hei, sorry”

Kuhembuskan napas berat. Kalau dipikir pikir, Seohyun tak salah. Semua temanku, mereka tak bersalah. Mereka sahabatku dan aku tau mereka bercanda. Lagipula kenapa aku harus risih saat mereka menggodaku dengan Seulgi? Seolah Seulgi benar benar menyukaiku dan aku bersikap jual mahal karena itu. Memangnya siapa aku? Aku hanya seorang gadis biasa yang bekerja disebuah laboratorium rumah sakit milik pemerintah. “No, it’s okay. Aku yang terlalu menganggap serius candaan kalian” balasku tersenyum.

Dan kulihat Seohyun balas tersenyum padaku. "Jangan terlalu menepis apa yang kau rasakan"

"Seo Joohyun" ucapku tajam. Dia selalu saja menyentil hal yang sangat sensitive untukku. Aku kesal namun detik berikutnya aku menyesal karena sudah menghardiknya. “Sorry”

“Masalah keluarga lagi?”

Aku hanya mengangkat bahu. “Kau tau, mereka tak berhenti menanyaiku kapan aku akan menikah hanya karena Oppa beberapa minggu lagi akan menjadi seorang ayah”

“Makanya kau jarang pulang dan selalu menghindar setiap ada acara keluarga?”

Aku mengangguk. "Jujur saja mereka membuatku stress” Seohyun mengusap bahuku dan itu sudah cukup untuk sedikit menenangkan pikiranku. “Kapan Yoona Unnie akan pulang?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Seohyun mengangkat bahu. “Mungkin minggu depan”

Aku mengangguk ketika mataku terasa silau karena lampu dari sebuah mobil yang berjalan ke arah halte tempatku dan Seohyun duduk. Mobil itu berhenti di depan kami. Aku dan Seohyun hanya berpandangan karena sama sekali tak mengenali mobil itu.

Tak lama seseorang keluar dan mengampiri kami yang masih duduk di halte. Aku tertegun melihat sosok yang sedikit basah terkena guyuran hujan yang begitu lebat.

“Hei...” sapanya tersenyum.

Kutarik dalam napasku. Entahlah, jantungku rasanya tak membiarkanku untuk beristirahat sedikitpun setiap kali berdekatan dengannya.

“Pulang?”

Seohyun berdiri. “Ya” jawabnya. “Kau baru pulang dari kantor?” tanya Seohyun.

“Tidak. Aku baru balik dari mengantarkan kakakku pulang” jawab Seulgi. “Kalian menunggu bus?”

Seohyun mengangguk sementara aku hanya mendengarkan pembicaraan mereka. Di antara ketiga temanku, hanya Chorong yang jarang membahas tentang Seulgi. Entah karena dia terlalu sibuk dengan pacarnya, Eunji, atau karena dia mengerti aku tak suka membahas masalah percintaanku. Tapi mereka bertiga ku akui dekat dengan Seulgi.

“Kalau begitu biar ku antar kalian pulang”

Kulihat Seohyun menatapku. Aku tau dia tak berani mengiyakan mengingat bagaimana aku.

“Joohyun?”

Aku berdiri. Perasaanku tak karuan saat mataku bertemu mata Seulgi. Aku benci setiap kali bibirnya menyebut namaku. Aku benci berdekatan dengannya.

“Kalau kau tak mau, biar aku menemani kalian menuggu busnya datang”

Berhentilah bersikap seperti itu padaku, Kang Seulgi. Kau membuatku merasakan hal yang tak seharusnya kurasakan. Dan aku benci karena dia selalu mengerti sikapku tanpa harus kukatakan. “Rumahku lumayan jauh” ucapku mengatakan alamat rumahku.

“Tak apa” balasnya tersenyum. “Tunggu sebentar” Seulgi membuka jaket tebal yang dikenakannya. “Ayo” dia memandang Seohyun dan menutupi kepala Seohyun dengan jaketnya dan membiarkan dirinya sendiri terguyur hujan lebat saat membukakan pintu mobil untuk sahabatku. Setelah itu dia berbalik dan menyodorkan jaket yang dipegangnya padaku. “Kau bisa menutupi kepalamu dengan ini”

Aku menelan ludah. Tenggorokanku perih melihatnya melakukan hal itu. Ternyata dia menyadarinya. Dia sadar ketidaksopananku padanya makanya dia memberikan jaket itu padaku dan tak membantuku seperti dia membantu Seohyun. Kenapa kau melakukan hal ini pada orang sebaik dia, Joohyun?

“Ayo”

“Kalau aku mengambil jaket ini maka kau tak bisa menutupi kepalamu sendiri”

Seulgi tersenyum. “Tak masalah. Ayo”

“Seulgi” nama itu meluncur begitu saja dari bibirku. Aku benar benar tak sopan karena memanggil namanya seperti itu.

Seulgi berbalik. Dia memandangku kemudian menggigit bibirnya dan mengambil jaket dari tanganku. “Ayo” ucapnya berdiri di sampingku dan meletakkan jaket di atas kepalaku.

Sikapnya malam itu membuatku sadar apa yang sudah kulakukan terhadapnya selama ini benar benar tak beralasan. Aku bersikap seolah aku membencinya padahal tidak. Aku bersikap seolah aku risih dengan kehadirannya padahal aku risih karena dia membuatku merasakan hal yang selalu ku sangkal. Dia mungkin menyebalkan, tapi dia sangat baik.

“Berhenti di depan pohon itu” tukasku memecahkan keheningan. Setelah Seohyun turun, kami tak bicara sepatah katapun.

Seulgi menghentikan mobilnya di tempat yang kukatakan. “Itu rumahmu?”

Aku mengangguk. “Thanks”

“Biar ku antar”

Aku menggeleng. “Tak perlu”

“Joohyun” panggilnya saat aku ingin membuka pintu mobil. “Aku minta maaf”

“Kenapa?” tanyaku menatap ke luar jendela.

“Karena selalu mengganggumu. Aku tau kau tak suka dengan kehadiranku”

Dan ucapannya membuatku menyesal.

“Tapi aku benar benar menyukaimu”

Ku akui, pengakuan seperti itu pernah kualami beberapa kali namun aku tak pernah memberikan jawaban yang akan membuat orang itu berharap padaku karena aku memang tak merasakan apapun.

Namun kali ini berbeda.

Aku bahkan tak bisa mengatakan sepatah kata untuk membalas kejujurannya. Bibirku tak sanggup mengatakan kata ‘maaf’ seperti yang biasanya kulakukan.

“Maaf...”

Dan kenapa justru dia yang mengatakan hal itu padaku.

“Biar... Biarkan aku... Mengantarmu hingga depan pintu rumahmu”

Akhirnya kuberanikan diri memandangnya. Senyum tipis di bibirnya tak bisa menutupi kecewa dari matanya. Bukan

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
lagisenggang #1
Chapter 1: Ahhhh sangat sweet aku suka.
Terima kasih buat authornim atas ceritanya
Lea_hwang #2
Chapter 1: Yampunn kok gemess banget sih si seul jadi om om wkwkwkwk
Buseett kirain iren udah nikah sama orang lain astagaa ternyata suaminya si seul hmm ??
Selalu romantis kenapa sih bearr kan jadi pengwn punya yang kayak lau ???? wkwkwkwk
its_just_me_boi #3
Chapter 1: aku tercengang mas
Yansudev
#4
Chapter 1: Daebaaakkkk.
???.
jasonds #5
Chapter 1: romantis tenannnn....
bpmaknae
#6
Chapter 1: ga nyangka endingnya bakal twist gituuu makasih loh buat happy endingnya <3
jung_yulian
#7
Chapter 1: Hahaha kirain sad ending
Aliceedelei
#8
Chapter 1: Entah kenapa selalu suka sama karya mu :) soal nya pembaca di ajak tarik ulur dengan tulisan mu itu thor. Dan Selalu beda sama pemikiran logika Sukses bikin tercengang. Btw yg bagian pertama pas seulgi sama irene telp. Trs seulgi nyebut "suami" apakah itu juga suho? Seperti nya sih iya ya :D soal nya kalo di urutin itu jadi kaya satu scene (mungkin beda malam sama pagi) dan sisa nya flashback. Betul gk sih? Wkwk maap ya komen nya panjang bgt. Di tunggu karya Seulrene lain nya. SEMANGAT! :)
malmal92 #9
Chapter 1: Yeay akhirnya dirimu kembali kak :)
Pas baca diawal2, kirain seulgi selingkuhannya irene. Haha
Ini pasti cerita pertama pas kk ketemu sm kk ipar sampe sekarang udah nikah ya? Hahaha
Makasih kk sudah meluangkan waktunya untuk membuat cerita ini yg sangat daebaaak.