Xiumin dan Sumur Ajaib

Heavenly Dream
Please log in to read the full chapter

"Free your soul of the past
Love and the despair
Don’t hold your breath
Close your eyes and dream
Of long lost pale moonlight
In the endless sapphire sky
And I’m here tonight"-- Boni Pueri, Come With Me. (Ost. Chicago Typewriter).

 

 

Di sebuah daerah Gyeongju yang mengarah ke Utara dari garis pantai Pohang, terdapat sebuah gubuk sederhana layaknya Seokguram yang terdapat di Gunung Toham. Bangunan itu memadukan warna merah dan biru dengan corak cat yang telah usang dimakan waktu. Di sekelilingnya terdapat taman tempat tungku-tungku yang mengepulkan asap setiap si tuan rumah memasak air. Rerumputan di sekitarnya mulai menguning dan gersang, mungkin karena terlalu sering menjadi alas api-api yang menyalak. Tidak ada yang istimewa tentang gubuk tersebut, kecuali tumpukan lapisan batu sedimen yang memperkokohnya. Seakan menyembunyikan apa yang benar-benar terjadi di dalam sana. Di belakangnya terdapat hutan hujan yang menjadi pintu bagi para pendaki. Hutan itu ditumbuhi pepohonan seperti Jelutung, dan Pencekik Pohon yang berakar besar. Terkesan mencekam memang, namun bagi Xiumin--seorang pria kecil berusia dua belas tahun--hutan tersebut adalah sebuah wujud keindahan yang patut dijelajahi.

 

Di mata Xiumin, ia seperti memiliki sebuah rahasia yang akan memberikanmu berbagai hadiah jika kau berhasil mengungkapnya. Begitu pikirnya, ketika ia duduk di atas sebuah batu besar di cekungan Pohang tidak jauh dari gubuk tempat ia tinggal bersama Ibu angkatnya. Ya, dia adalah yatim piatu. Tapi, berbeda dari anak-anak kebanyakan yang merindukan kasih sayang orang tuanya, Xiumin malah ingin hidup serba berkecukupan untuk membantu mereka yang bernasib sama. Ia tidak bertanya siapa orang tua kandungnya, kenapa ia dibuang, kenapa hidupnya semenyedihkan ini. Yang ia tahu adalah ketika ia masih bernapas maka setidaknya ia harus melakukan kebaikan untuk membalasnya. Itu lah Xiumin, anak kecil yang polos dan naif.

 

Langit-langit mulai berubah warna. Penerangan semakin berkurang selaras dengan nyanyian burung gagak pulang ke sangkar. Xiumin yang hanya mengenakan kaos singlet putih lusuhnya dengan celana pendek biru dan sendal, masih belum mau beranjak dari tempat duduknya. Ia terlalu malas untuk pulang, tidak peduli meski malam telah tiba, menyisakannya sendirian untuk disantap kawananan serigala. Aku tidak bercanda, serigala adalah bagian dari hutan tersebut. Atau mungkin Xiumin terlalu takut untuk pulang. Ini hari rabu, dan ibunya pasti akan memukulnya lagi. Tanpa alasan. Tanpa sebab. Selalu seperti itu sampai Xiumin harus mendapatkan jahitan di kening dan perutnya. Ketika ia diantar untuk menemui dokter di kota, ibunya pasti akan berbohong. Xiumin jatuh dari pohon, diserempet motor, bahkan terkilir karena keasikan menari pernah menjadi alasan wanita yang merupakan mimpi buruk baginya dalam tiga bulan terakhir ini. Xiumin pernah berniat untuk mengadukan hal ini, bahkan sudah pernah melakukannya. Hanya saja tidak ada yang percaya. Ia kurang bukti dan ibunya benar-benar pandai memalsukan segalanya. Lagi pula ia masih kecil, tiada daya yang bisa mengalahkan orang dewasa.

 

Alih-alih melangkahkan kakinya menuju langsung ke neraka, Xiumin memilih untuk memperpanjang perjalanannya dengan menyisir hutan hujan di belakang rumahnya. Ia mengendap-endap takut ketahuan. Perut kosongnya berbunyi, makan malam kemarin adalah terakhir kalinya ia menyantap sesuatu. Itupun makanan sisa yang dibagi dua untuk diberikan kepada anjing peliharaan ibunya. Tapi itu tidak menghentikan Xiumin. Bisa dibilang ia sudah berada pada titik akhir dari penantiannya. Ia selalu berkata pada dirinya sendiri kalau semua akan menjadi indah pada waktunya. Bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun hidupnya tidak kunjung membaik, semuanya tidak baik-baik saja. Tanpa sadar Xiumin mulai menangis. Ia menggigit bibirnya sendiri, takut-takut kalau isakannya terdengar oleh ibunya yang sekarang sudah pasti diliputi oleh amarah.

 

Ketika sudah satu kilometer berjalan, atau begitulah yang Xiumin pikirkan, kakinya mulai gemetaran. Tangisnya pecah, tapi ia menahannya sebisa mungkin, tidak ingin posisinya diketahui oleh hewan-hewan nocturnal yang bisa menyantapnya kapan saja. Tapi, sesugukan itu tetap muncul disela-sela giginya yang bergemelutuk menahan terpaan angin musim panas. Ia terduduk dan bersandar di sela-sela akar pohon yang telah tumbang disambar petir. Cahaya bulan benar-benar membantu Xiumin dalam melihat sekeliling meski jarak pandangnya sangat terbatas. Ia sudah berhenti menangis, namun sikapnya berubah waspada. Jantungnya berdetak kencang, ia tidak berkedip sama sekali. Ia menahan napas, tidak ingin menimbulkan banyak suara. Xiumin tahu kalau ada yang mendekat. Ia bisa mendengar dari suara langkahnya. Jika itu ibunya ia pasti akan dibunuh langsung. Jika itu hewan buas ia pasti akan dimakan. Dua-duanya berarti kematian, tapi ia lebih memilih dimakan hewan buas. Pikirannya yang naif merasa kalau setidaknya ia bisa memberikan kebahagiaan bagi hewan tersebut. Dan hutangnya karena masih bernapas hingga detik ini akan terbayar.

 

“Nuguya?!” Xiumin terpojok. Ia tidak bisa lagi mendorong tubuhnya jauh ke belakang. Belukar seakan merangkulnya, berbisik jangan bergerak.

 

“Haaaaah!” Xiumin tercekik oleh napasnya sendiri saat suara ranting kayu yang telah jatuh ke tanah patah. Pertanda ada yang memijaknya. Tapi siapa? Atau apa?

 

 

Xiumin tidak mendengar suara erangan dari serigala yang menampakkan taringnya, mengeluarkan liur ketika lapar. Ia juga tidak yakin kalau itu adalah manusia. Logikanya, jika itu ialah seorang pendaki, ia pasti membawa senter. Hutan ini begitu gelap dan suram. Cahaya temaram bulan hanya bisa menembus sepersekian saja. Hantu? Membayangkannya saja semakin membuat Xiumin bergidik ngeri. Bulu kuduknya meremang dan ia menutup mulutnya dengan ke dua tangannya.

 

Sedetik kemudian langkah tersebut bertambah dekat. Samar-samar Xiumin bisa melihat kalau mahluk tersebut berkaki empat. Syukurlah itu bukan karnivora, karena iya bertanduk. Seekor rusa dengan bulu coklat layaknya sepatu yang Xiumin miliki di rumah. Rusa itu mendekat ke arah Xiumin dengan menggunakan hidungnya, ia menciumi tanah basah di bawahnya dan mata super bulat itu berhasil menemukan sesosok manusia paling manis yang pernah ia temui. Ketika sudah berada dalam jarak pandang yang sempurna, Xiumin terkagum dengan apa yang berada di depannya sekarang. Rusa yang sangat cantik pikirnya.

 

“Aigooooo~ Apa yang kau lakukan malam-malam begini oh?” Xiumin secara naluri langsung memeluk leher jenjang si rusa. Ajaibnya, tidak ada pemberontakan yang terjadi di sana. Ibarat teman lama yang pada akhirnya bisa berjumpa lagi. Atau mungkin ia adalah mahluk jelmaan yang sengaja dikirim Tuhan untuk menemani Xiumin. Jika memang benar seperti itu, Xiumin tidak menyesal kabur dari rumah. Ini sudah lebih dari cukup.

 

“Apa kau kabur juga?” Xiumin mengelus perut sang rusa, menatap langsung ke pada dua bola kelereng itu. “Apa kau lapar?” Xiumin terkekeh. Mungkin ia tidak benar-benar menanyakan kabar sang rusa, ia hanya menceritakan apa yang sedang terjadi terhadapnya. “Apa kau juga anak angkat? Mereka tidak menyayangimu oh?” Xiumin yang polos, jelas sekali hewan tidak mengenal istilah adopsi. Ia menyandarkan kepalanya ke pundak sang rusa, menangis sejadi-jadinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Huaaaaaaaaaaaaa…”

 

 

 

 

 

 

 

Sebuah tangisan yang akan membuat hati siapa saja yang mendengarnya tersayat.

 

 

 

 

 

Satu…

Please log in to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
flottemo #1
Chapter 1: Yahhhhh ujungnya itu halusinasi doang? Padahal aku ngarep banget happy ending