Nam

Description

Satu kata yang dapat menggambarkan kehidupan seorang laki – laki berpostur tegap itu adalah sepi dan ketakutan. Ya, dia kesepian sangat ketakutan, sejak saat itu sampai sekarang dia masih selalu merasakan hal – hal yang dia sangat takuti yaitu, seorang Wanita. Bagaimana bisa seorang laki - laki takut dengan seorang wanita?

Foreword

 

“Memories"
 

--

 

“Oppa.. oppa tangkap bolanya, yak ...ihihihi”

“Yaa oppa, aku jadi basah kan”

“Oppa kejar aku oppa.., apa kau bisa?”

“Oppa.. bantu aku kerjakan pr fisikaku, ada beberapa soal yang tidak aku mengerti”

“Selamat oppa! kau sudah menjadi penyelamat orang lain.”

“Oppa, apa semua laki – laki itu membenci hal – hal yang cute seperti ini?” berusaha menunjukan aegyonya

“Op..ppaa.. hikss..hikss.. dia memukulku..sakit oppa..”

“Opp..paa.. hiks.. hiks.. sakit oppa.. aku su..ddah hiks.. tidak kuat.. oppa..”

“Oppa aku sudah merasa tidak sakit lagi semua berkat oppa. Oppa telah menyembuhkanku. Terima kasih, Oppa. Aku sangat mencintai oppa...”

 

Di dalam kegelapan, seorang laki – laki sedang tertidur dengan kepala yang menggeleng ke kanan ke kiri dan seluruh keringat membasahi sekujur badannya, lalu dia tersentak bangkit dengan nafas terengah – engah dengan degup jantung yang memburu sangat cepat. Seketika dia terdiam beberapa detik lalu mulai memegangi dadanya yang terasa sesak karena mengingat semua kenangan buruk itu lagi. Dia memukuli dadanya sendiri dan menangis tanpa suara. Dengan kehikmatan tangisannya dia mulai mencoba membuka kotak kecil yang berwarna biru di dalam bufet. Dia membuka kotak itu perlahan dan melihat sebuah foto – foto dari kenangan masa lalu yang membuatnya meneteskan air mata dengan derasnya. Ia pandangi perlahan foto – foto itu, melihat secara bergantian foto – foto yang dipeganginya satu persatu, mulai dari foto seorang gadis kecil imut sedang duduk di tepian ayunan sambil memegang bola seperti ingin melempar pada seseorang. Laki – laki itu tertawa kecil. Lalu ia membalikan foto tersebut dan ada sesuatu yang jatuh dari belakang foto itu, terdapat sebuah foto berukuran lebih kecil yang hanya setengah bagian, karena foto itu terobek setengah karena terdapat potongan garis tidak rata di sebelah kanan foto itu. Saat ia menatap foto itu, ia mengerang hebat. Memasukan kembali semua foto – foto itu kedalam kotak lalu seketika ia berdiri melangkah kedepan tembok disisi depan kamarnya. Dia terdiam sejenak, kemudian dengan keras ia memukul tembok itu sekuat tenaga dan menangis sejadinya, menyisakan penyesalan yang sangat hebat di wajah sendunya itu. Tubuhnya terasa lelah seperti tidak bisa menopangnya, dia berjongkok masih didepan wajah tembok itu yang sudah dipenuhi lumuran darah diatasnya.

 

Maafkan Oppa.
Bisakah kau kembali sedetik saja. Aku sangat merindukanmu.

 

--

Tringg.. Tring.

 

Suara telfon dan alarm sangat keras mendentingkan alunan musik hingga menjelajah keseluruh ruangan, hingga membangunkan seseorang yang sedari semalam tertidur di sofa di depan tv dengan kondisi masih menyala hingga menyiarkan berita pagi. Dia langsung mencari sumber suara yang berasal dari kedua benda itu. Dia mencari kesekeliling ruangannya, dia mematikan alarm yang ada di kamarnya dan mencari dimana keberadaan ponsel miliknya. Ponsel itu mati. Dia menghentikan aktifitasnya mencari dimana keberadaan benda mungil itu. Lalu ia berbalik ke arah lain dan setelahnya ponsel itu berbunyi kembali, dia mulai mencarinya lagi dan seketika ponsel itu berhenti berdering kembali, dan dia berbalik arah meninggalkannya tetapi ponsel itu berdering kembali dia mulai kesal dan mulai mencari dengan serius dimana keberadaan ponselnya itu. Setelah lama mengerjainya, akhirnya ponsel itu ketemu juga, entah dia memang sengaja atau bagaimana ponsel miliknya ditemukan sedang berbunyi diatas wastafel. Sontak dia langsung mengambilnya dengan kasar, dia mengelap seluruh bagian ponselnya lalu mengeringkannya dengan memasukannya kedalam beras yang ia tuang kedalam mangkuk, dan ia diamkan beberapa saat. Ia bergegas pergi ke kamar mandi tiba – tiba ia menganga melewati ruang tamu yang sangat berantakan. Dia bergegas cepat lalu membereskan beberapa barang bekas semalam yang telah ia keluarkan dan beberapa yang ia makan. Dengan telaten dan menguras begitu banyak tenaga ia melenguh keras dan menjatuhkan tubuhnya diatas sofa yang semalam habis ia tiduri itu,

“Sejak kau tidak disini, aku selalu kerepotan” dia terkekeh sambil bergumam kecil.

“Kau tahu, aku tidak akan pernah bisa melakukan hal – hal sebodoh itu. Tahukah kau, aku hanya bisa menuang air dalam gelas, mengangkat telfon, bermain game dan makan – makanan manis yang selalu kau larang setiap saat, hhahaha” dia tertawa geli saat berbicara mengenai kebiasaannya itu.

Dengan tubuh yang sudah lusuh itu ia beranjak dari sofa ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

“Tapi kau sangat tahu bahwa aku bisa melakukan hal lain saat kau bersamaku.” Gumamnya dalam batinnya sendiri.

 

 

--

 

Setelah ia mandi dan membereskan semua ruangan dalam rumahnya dengan bersih dan rapi, dia bergerak menuju ponselnya yang sedari tadi ia rendam dalam beras didalam mangkuk. Dia membetulkannya lalu menyalakan ponselnya dan tiba – tiba ponsel itu berdering sangat keras hingga membuatnya terkejut kaget dan menjatuhkan ponselnya ke karpet. Ia mengambil lagi ponsel yang ia jatuhkan itu lalu melihat siapa yang sedang menelfonnya, dengan malas ia mengangkatnya sambil menjauhkan ponselnya dari telinganya itu,

 

“Yaahh, Nam! Apa yang kau lakukan? Kenapa baru mengangkat telfonku? Apa kau tuli atau kau gila, huh? Sedari tadi kutelfon kau tidak menjawab lalu beberapa saat kemudian nomormu diluar jangkauan dan sekarang baru hidup kembali, dasar konyol kau tahu?!” Teriak seorang pria tanpa jeda membentak dan memakinya,ia hanya bersikap tenang mendengarkan seseorang yang sedang bergumam tidak jelas menelfonnya pagi ini.

“Jika aku tuli aku tidak dapat mendengar bunyi ponselku. Jika aku gila aku mungkin akan berteriak seperti seseorang yang baru meneriakiku 1 menit yang lalu. Dan jika aku bisa, lebih baik mati dibanding harus mendengar kultummu yang membuang waktuku itu.” Jelasnya dengan wajah datar

“Baik jika kau sudi berlaku seperti itu padaku aku akan mengabulkannya membuatmu tuli dan gila dan beberapa saat kemudian kau akan mati terkapar dengan tubuh membiru, Nam.” Ancam pria itu bernada berat

“Lakukanlah aku siap.”

“CEPAT BUKA PINTUMU BODOH AKU DILUAR!”

Dengan perlahan ia membuka pintu rumahnya yang ia kunci itu. Ia hanya memasang wajah datar saat ia membuka pintu rumahnya itu dan mempersilahkan masuk kedua temannya yang memasang wajah kesal dan murka. Kedua temannya itupun masuk dengan tatapan wajah geram padanya yang tidak terlihat menunjukan rasa bersalahnya itu.

“Hei Nam, apa kau lupa dengan kami? Sampai – sampai kau membuat kami harus menunggu selama 1 jam.” Ujar salah satu temannya yang masuk membawa kantung plastik ukuran large dengan beberapa isi makanan ringan di dalamnya dan duduk menghempaskan tubuh di sofa empuk itu

“Dia sudah tuli, dia yang menyatakannya tadi saat kutelfon dan dia juga bilang dia gila.” Ujar temannya yang berkulit agak cokelat di hadapannya yang sedang menyeruput kopi yang ia genggam.

“Sudahlah, dia tidak bersalah kitalah yang salah membangunkannya sepagi ini. Oh iya Nam, aku numpang ke toilet ya..” Teriaknya kearah dapur sambil melangkah ke kamar mandi.

Nam pun berjalan pelan keluar dari arah dapur menuju kamarnya dan berpapasan dengan temannya yang tadi menumpang ke toiletnya. Tiba – tiba saja dia menarik tangannya dan langsung mendorongnya kearah dinding berwarna putih itu.

“Hei. Bisakah kau jelaskan hal itu, huh?” tanya kesal temannya sedikit berbisik, yang bertubuh lebih tinggi dari dirinya itu.

“Jelaskan apa?” ujarnya datar.

“Aku sudah sering bilang padamu lupakan hal itu. Itu sudah berlalu Nam. Dia sudah bahagia disana Nam. Percaya padaku, Tuhan memberinya keadilan disana.”

Nam hanya bisa menghela nafas panjang

“Sekarang fikirkan, apa yang bisa kau lakukan jika kau terus mengingat hal itu?  Kau akan mati. Dan kita semua-“

 

BUGHH!!

 

Tanpa aba – aba dia jatuh tersungkur seketika di lantai, dengan ujung bibir berdarah dia hanya meringis kesakitan. Lalu Nam langsung menarik kerah bajunya hingga mendorongnya kearah dinding.

“TAHU APA KAU? HUH?” gertak Nam dengan nada tinggi. Tubuhnya bergetar matanya memerah seakan dia ingin melahap orang yang ada dihadapannya itu.

“JIKA KAU HANYA INGIN MENGHINAKU DENGAN HAL ITU KUPASTIKAN KUPATAHKAN LEHERMU.”
“KAU TAHU BETAPA BERHARGANYA DIA BAGIKU? HUH? TEMAN BUSUKMU ITULAH YANG SEHARUSNYA MATI BUKAN DIAA!! DIA SUDAH BERANI MENYAKITINYA, MENGHANTAMNYA BEGITU SAJA, BAGAIMANA AKU AKAN LUPA HUH?. KETIKA AKU MELIHATNYA KESAKITAN AKU TIDAK BISA BERBUAT APA – APA SAMPAI DIA MATI SEPERTI ITU!!”

Temannya yang sedari tadi di ruang tamu langsung bergegas menuju kearah dekat dengan dapur. Dia terkejut melihat hal itu, dia lalu menarik tangan Nam dengan keras dan menghentikan perkelahian itu.

“Hei!?.. apa yang kau lakukan Nam? Lepaskan dia.”

Lalu Nam melepaskan dorongan dengan kasar. Ia lalu berlutut menangis sejadinya tanpa bersuara.

“Hei Soo, apa yang terjadi?” tanyanya yang sedang menopang tubuh temannya yang sedang kesakitan.

“A..ak..ku hanya meminta..dia menjelaskan semuanya, kenapa dia masih melakukan hal itu.” Dia mencoba menjelaskan sambil memegangi bibirnya yang berdarah itu

Temannya hanya bisa menghela nafas kasar sambil mencoba merangkul temannya yang berlutut itu

“Hei Nam. Kau baik – baik saja kan?” ujarnya lembut sambil memegang bahu sahabatnya itu yang sepertinya mulai frustasi

“Ka..kau tahu betapa aku menyayanginya kan? Aku hanya mencoba.. mencoba menjadi seseorang yang menjadi pelindungnya, tapi apa? Aku gagal. DIA MATI KAN? HUH? Aku gagal yul, aku gagal. Dan kalian apa peduli padaku? Huh?” Gertaknya dengan mata memerah sambil menunjuk kearah teman yang dihadapannya yang tersungkur itu

“Hei Nam sudahlah, kami disini semua mendukungmu Nam. Kita semua juga menyayanginya. Kau lihat, Nam? Tuhan mengambilnya untuk memberinya kebahagiaan lebih karena Tuhan juga menyayanginya lebih dari kita, dia hanya ingin membahagiakannya Nam. Percaya padaku.” Ujarnya lembut sambil memeluknya dan menepuk – nepuk punggungnya

Nam hanya terdiam tidak bisa berkutat dan berkata apapun. Dia hanya bisa menenangkan dirinya dan mengontrol emosinya. Lalu kedua temannya membopongnya kedalam kamarnya dan membiarkannya beristirahat di ranjangnya. Perlahan – lahan dia mulai memejamkan matanya lagi.

Tak berapa lama ada sebuah telfon yang berdering, dia sedikit terusik mendengar hal itu.

“Jika kau butuh apa – apa telfon kami Nam. Kami akan datang.” Sambil menaruh ponselnya kedalam kantung mantelnya.

“Iya maafkan aku Nam. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi. Kami akan datang lagi nanti sampai jumpa ya.”

Dia diam dan memejamkan matanya. Dan lagi hanya sepi yang ada dirumah itu.

 

Sampai kapan aku akan selalu mencintaimu?
dan aku akan begitu, selamanya.

-Nam

 

 

 

--

 

 

 

Perlahan memory itu terhapus kembali dari ingatannya. Mencoba untuk menghilangkannya tetapi semakin banyak hal yang dia ingin ingat kembali.

Di tempat yang sangat dingin dan hanya dilapisi bongkahan hitam dan abu, dia terbangun. Dia terkejut dengan hal yang baru ia lihat ini. Dia seperti berada di padang hijau nan cantik. Dia tersenyum.

Dia berjalan melangkah perlahan sambil meresapi keindahan yang ia lihat ini. Perlahan tapi pasti dia menyentuh satu persatu bongkahan kusam nan cantik itu dengan tangan lembutnya. Dia sedikit berlari sekarang. Tetapi sampai di satu tempat dia merasa dadanya sesak, semakin sesak sampai ia tidak bisa merasakan nafasnya kembali. Dia mulai berlari ketakutan hingga nafasnya semakin tidak bisa ia gapai dengan baik. Dia tersungkur, terjatuh kedalam jurang yang dikelilingin begitu banyak pasir berwarna hitam, ia merasa seperti terjerat dengan pasir itu. Ia meronta, berusaha menarik tubuhnya dari pasir itu hingga ia dengan cepat terhisap.

Lalu ia kembali tersadar. Dia berusaha membuka matanya tetapi terhalang oleh sinar mentari yang sangat terik. Saat ia menoleh,

“hmm? Ha..Young?”

“HAYOUNG?” teriaknya sambil berlari mengejar dengan langkah yang tak pasti itu. Namun semakin ia berlari dengan mempercepat langkahnya, semakin cepat tubuh seseorang yang dirindukannya itu pergi. Dan saat ia semakin depat, phhaasss.. tubuh itu menghilang dengan cepat. Dia hanya terdiam dan jatuh berlutut dengan kedua tangannya menutup wajahnya, perlahan ia menangis kembali.

Tak lama ada sentuhan hangat yang menyentuhnya lembut, dia kembali membuka matanya. Dia melihat dengan jelas dan menangkup wajahnya menuntunya kedalam genggaman tangannya. Ia kembali tersenyum dengan sempurnya.

“Hayoung? Benarkah itu engkau?” tanyanya sambil menangis bahagia

“Oppa, ini aku Youngie-chan” ujarnya dengan aegyonya yang lucu

“Ahaha, iya Youngie-chan milik Nam Oppa yang lucu.” ujarnya dengan suara lucunya “Oppa senang bisa melihat Youngie. Sangat – sangat.” Ujarnya sambil menciumi gadis itu di keningnya.

“Youngie juga Oppa. Hei.. Oppa habis menangis?huh? Tidak Oppa, tidak.” Menyeka air mata yang berada di pipi oppanya itu.

“Oppa tidak Youngie.. Oppa artinya sangat bahagia jika menangis seperti ini. Hehe.”
“Youngie sedang apa disini?” ujarnya sambil mencubit kedua pipi gadis itu.

“Oppa tidak boleh seperti ini lagi, janji?” pria itu pun mengangguk. “Youngie bahagia disini Oppa. Youngie bebas bermain sesuka hati Youngie tanpa harus mengerjakan tugas – tugas Youngie dan menunggu Oppa sampai pulang kerja. Oppa harus berjanji tidak akan seperti ini lagi, arra?” mengulurkan jemari kelingkingnya yang mungil itu kehadapan wajah pria yang ia panggil Oppa tersebut.

“Arraseo Youngie-chan. Oppa berjanji” pria itu menyambut kelingking mungil milik seorang gadis yang dihadapannya itu.

Perlahan gadis itu memudar dan menghilang dari pandangannya. Dia pun terkejut gelisah dengan apa yang ia lihat ini. Ia kembali menangis tersedu ketika melihat pandangan indahnya menjadi gelap di sekelilingnya tanpa ada cahaya dan apapun disana. Ia lalu tehentak duduk di ranjangnya berusaha mengambil nafas sebanyak banyaknya, dengan wajah yang berkeringat dan tubuh yang sedikit gemetar.Perlahan Ia kembali terjatuh di ranjangnya dan menutup matanya dengan punggung tangannya, seketika ia teringat mimpi yang ia alami tadi. Ia pun tersenyum kecil.

“Oppa janji Youngie. Tidak akan menangis lagi. Youngie-chan Nam Oppa.”

 

 

--

 

 

Keesokannya ia terbangun karena merasa ada yang ganjal. Iyah, perutnya berbunyi menandakan dia kelaparan. Saat ia terbangun ia melihat jam dan dia sangat terkejut karena jarum jam menunjukan pukul 2.30 siang, dia langsung berlari kecil menuju kamar mandi untuk bersih – bersih.

“Ternyata Youngie kembali tersenyum. Aku suka senyummu. Tetaplah begitu adikku.” Batinnya bergumam

Setelah selesai bersih – bersih, Nam merasakan perutnya sudah sangat kelaparan dia membuka lemari es tetapi tidak ada apapun disana, dia beralih melihat sebuah kantung besar dia kembali terdiam karena dia sedang tidak ingin snack saat ini. Ia memutuskan untuk keluar rumah mencari makanan karena sudah lama sekali saat terakhir kali ia keluar rumah membeli makanan. Biasanya dia hanya membeli makanan saat sepulang ia kerja tetapi kini tidak lagi. Nam begitu siap melangkahkan kakinya keluar dari rumahnya. Menutup gerbang dan berjalan santai dengan setelan celana jeans cokelat, kaus putih oblong, serta memakai jacket berwarna senada dengan sepatunya yaitu abu.

Dadanya terasa sesak dan penuh keringat sekujur badannya. Kini ia merasa seperti dejavu, merasakan getaran yang sama saat ia terakhir kembali keluar dari rumahnya. Ia masih merasa takut akan kejadian masa lalunya yang berdampak dengan kondisinya. Tetapi semua itu ditepis oleh Nam, karena ia tahu kalau adiknya tidak akan suka melihatnya seperti ini.

“Youngie, jangan takuti Oppa lagi ya. Oppa ingin seperti dulu, walau tanpamu Youngie.” Batinnya berujar kembali

 

Walau Oppa sangat takut.

 

Setelah melewati beberapa jalan akhirnya ia sampai di depan pedagang kaki lima di dekat gang perempatan yang lumayan ramai itu. Tempat itu masih seperti dulu. Seperti terakhir kali ia makan disana. Ia menunggu sejenak sampai orang – orang yang membeli selesai lalu pergi. Ia berjalan santai mendekati pedagang itu. Kondisi tempatnya sudah sepi.

“Ehmm, permisi Bibi. Aku ingin pesan 1 porsi. Apa boleh?” sapanya membuat pedagang itu sedikit tekejut.

“Ba-iklaah.. Hei Nam apa kabar kau?” pedagang itu sedikit tersentak melihat Nam dengan senyuman kecil manisnya itu.

“Aku baik Bibi. Bagaimana kabarmu?” tanya nam sambil duduk di tempat yang disediakan.

“Ahh, aku baik juga Nam. Kau hanya sendiri dimana Youyou-Ku, hmm?”

 

DEG, DEG

DEG, DEG

 

Seketika dia mulai bergetar, merasakan sakit yang sangat – sangat menusuk di dadanya. Dia tahu pasti bibi itu akan menanyai Youngie, karena dia sering ketempat itu hanya bersama dengan Youngie tidak dengan yang lain. Karena Youngie lah yang pertama kali megajaknya membeli dan makan di tempat itu. Youngie sangat suka tempat itu, karena dia suka keramaian dan itu adalah salah satu makanan favoritnya. Sontak Nam hanya terdiam membisu dan tidak dapat berkata apa – apa. Bibi pedagang itu sedikit khawatir apa yang terjadi padanya.

“Nam..? kau baik – baik saja? Apakah aku menyinggung perasaanmu?” tanya pedagang itu khawatir

Nam terbangun dari lamunanya, “Ti-ti..tidak Bibi, aku tidak apa – apa. Sungguh.” Nam tidak bisa menjelaskan pada Bibi itu, ia merasa lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan dari Bibi pedagang itu.

“Apa terjadi sesuatu pada Youngie-ku? Aku tidak pernah melihatnya lagi, sudah 2 tahun ku kira. Kau tahu dia selalu membicarakanmu setiap ia mampir kesini sepulang dari kuliahnya. Ia selalu membantuku saat aku kerepotan disini, hihi. Dia anak yang baik. Kau beruntung Nam, dia-“ tanpa aba aba Nam memutuskan perkataan Bibi yang sedang menceritakan kenangannya.

“Bibi Um, Young.. Youngie... - Hayoung sudah tiada.” Mereka terdiam beberapa saat.

Nam menahan tangisnya, ia ingin terlihat tegar dihadapan Bibi pedagang itu. Bibi itu langsung menitihkan air mata yang sangat deras dihadapan Nam. Bibi itu seakan tidak bisa menopang tubuhnya lagi, ia terkulai lemas dan ingin terjatuh tapi Nam berhasil menangkapnya.

“Bibi tenanglah. Dia sudah tenang disana jangan tangisi dia. Kumohon.” Nam mencoba menenangkannya dengan memeluk Bibi pedagang itu dan megelus punggungnya perlahan.

“Kau.. bagaimana bisa Nam? Ceritakan padaku Nam. Apa yang terjadi padanya. Apa dia sakit?” Bibi itu mengusap air matanya yang sudah deras membasahi pipinya dan juga membasahi baju Nam.

“Dia kecelakaan Bibi. Sudahlah Bi, itu sudah 2 tahun yang lalu. Jangan membahasnya kumohon kalau tidak aku tidak jadi makan karena bibi menangis terus mendekapku.” Nam mencoba meledek Bibi itu agar ia berhenti bersedih meratapi kepergian Hayoung.

“Ahh.. iya maafkan aku Nam.” Ujar Bibi itu mencoba tersenyum hangat tetapi air matanya terus mengalir.

Bibi itu menghidangkan makanan sederhana. Ya, makanan kesukaan Hayoung. Dengan porsi yang disamakan dengan porsi Hayoung sewaktu dulu. Bibi Um ingin menanyakan lebih jauh bagaimana Hayoung bisa meninggal, bagaimana Hayoung bisa kecelakaan. Tapi Bibi Um, menghilangkan pemikiranya, ia tahu jika ia bertanya hal itu pasti akan menyakiti hati Nam. Dia sangat tahu bahwa dia sangat menyayangi adiknya itu.

 

“Jika kau ada waktu, kau bisa mengantarku ke tempat Hayoungie?”

 

 

**

3 Tahun yang lalu

 

Hari sudah menunjukan pukul 2 siang, panas mentari sangat terik siang ini. Tak terasa jika keluar sebentar saja pasti akan basah seperti orang yang habis mandi dengan air mengalir. Banyak anak – anak yang berjalan lalu lalang dengan seragam sekolah, karena biasanya jam seperti ini jam mereka pulang sekolah.

Jalanan selalu ramai saat jam pulang sekolah, dan banyak bertipe – tipe anak – anak yang lalu lalang menunjukan cara berjalannya hingga cuek dengan apapun saja. Tak jauh dari sekolah itu ada perempatan jalan kecil yang kanan kirinya dihiasi oleh gang – gang sempit untuk berjalan. Tak jauh dari sana ada suara gaduh dan bau harum dari arahnya. Dia segera mendekat tanpa aba – aba melihat kaki lima itu dipenuhi dengan banyak orang.

 

“Baiklah – baiklah, akan aku buatkan. Anda pesan apa Tuan, sama seperti biasakah? Oke baiklah” teriak seorang pedagang sedikit berumur itu dari kejauhan. Dia terlihat terasa sangat kerepotan sekali. Ia melayani dan memasak hidangan yang ia jajakan hanya sendiri. Bagaimana bisa? Dia selalu dikelilingi orang setiap hari, bahkan selalu ramai setiap harinya.

“Bibi apa boleh aku membantu?” ujar gadis yang sedari tadi sudah ada disampingya yang sudah bersiap siap menggulung lengan kemejanya sambil memegang mangkuk di tangannya.

“Hei, tidak perlu nak. Aku masih bisa melayani mereka sendiri.” Bibi itu tersenyum melihat gadis itu mencoba melarangnya tapi gadis itu malah tersenyum manis dihadapannya

“Tidak apa Bibi, aku akan membantumu. Lagipula aku tidak ingin kau kelelahan Bibi.”

Tanpa aba – aba gadis itu langsung melayani para pembeli dan mulai mencatat pesanan para pelanggan yang datang. Ia mulai melihat kearah Bibi itu bagaimana cara membuatnya dan ia menirukannya. Gadis itu dengan cepat membuat semua pesanan pelanggannya dan semua pelanggan satu persatu pergi meninggalkan tempat itu. Gadis itu terlihat sangat kelelahan tetapi masih bisa menunjukan senyum manisnya itu kepada Bibi itu. Bibi pedagang yang melihatnya itu terlihat sangat kagum dan dengan tatapan ramah gadis itu juga membalas tatapan Bibi itu lalu tersenyum manis hingga membuat Bibi itu ikut tersenyum.

“Terima kasih nak, kau telah mau membantuku. Dunia ini masih beruntung memiliki orang sepertimu sekarang. Apa kau lapar nak? Akan Bibi buatkan sesuatu untukmu.” Bibi itu langsung berkutat kembali dengan peralatannya dan kemudian di hadang oleh gadis itu dengan lembut.

“Tidak apa Bibi aku tidak lapar.” Tapi kemudian terdengar suara bunyi krrruukk... dari arah gadis itu. Bibi itu terkejut lalu tersenyum hangat pada gadis itu.

“Apakah kau yakin? Kurasa perutmu butuh pengganjal extra, hihi.”

Gadis itu terlihat merona di kedua bagian pipinya. Dia hanya terdiam melihat Bibi itu sudah selesai menghidangkan makanan tepat di hadapannya. Ia tersenyum kembali kali ini lebih lebar menunjukan kedua barisan gigi putih kearah Bibi itu dan Bibi itupun membalasnya hangat. Ia pun langsung menyantap makanannya dengan lahap.

“Ha-young. Nama yang cantik.” Sapa kembali bibi itu yang melihat sebuah coretan nama di depan buku yang ia lihat.

“Euhmm?!” Hayoung menoleh dengan mulut yang masih penuh dengan makanan

“Kau boleh memanggilku Um, panggil saja Bibi Um.”

“Euhm, terima kasih Bibi Um. Bibi juga bisa memanggilku Youngie saja. hehe” tak terasa mangkuk makanan Hayoung sudah habis “Woah Bibi, ini enak sekali.”

“Hihi, itu sudah biasa Youngie. Kau sepertinya sangat kelaparan? Apa kau tidak membawa bekal, Young?”

“Aku tidak sempat menyiapkan bekal Bibi, Oppa biasanya menyiapkannya tapi berhubung dia banyak sekali pekerjaan jadi aku tidak membawa bekal.” Ujarnya sambil merapikan bekas makannya

“Apa ibumu tidak memasak?”

“ehmm, ibuku sudah tidak memasak Bibi.” Ucap Hayoung ragu

“Kenapa? Apa ibumu sakit?” tanya Bibi Um heran sambil terkekeh kecil

“Tidak. Ibu dan Ayahku sudah meninggal. Ayahku meninggal saat ia bertugas di luar kota, ia terkena serangan Jantung. Dan Ibuku, dia kecelakaan saat perjalanan pergi ke Busan dengan kereta, berita 5 tahun yang lalu kereta kehilangan kendali dan keluar dari jalur lalu tergelincir dan terguling kearah perkampungan.” Ujar Hayoung sambil menunduk

Bibi itu hanya diam mendengar cerita yang Hayoung ceritakan. Mereka terdiam beberapa saat. Sampai akhirnya ada yang membuka suara.

“Maafkan Bibi Youngie, Bibi tidak tahu kal-“

“Tidak apa Bibi Um. Aku sudah membiasakan diri dengan itu. Aku merelakannya. Lagipula mereka memang harus pergi kesana karena aku kasihan pada mereka jika mereka selalu melihat Oppa dan aku bertengkar tidak jelas dan membuat keributan disana – sini sampai seluruh rumah berantakan. Aku lebih takut jika mereka terkena tekanan batin karena anak – anaknya hehehe.” Hayoung menujukan senyum lebarnya dengan hangat

“Kau anak yang baik Hayoungie. Keluargamu sangat beruntung. Kau akan mendapat banyak kebahagiaan di dunia ini karena kebaikanmu.” Ujar bibi dalam hati sambil tersenyum ceria menatap Hayoung yang sudah berlalu dari hadapannya.

**

 

My First Fanfiction :D

Jika ada saran Tolong beritahu.
Terima kasih.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet