Obat Pertamaku adalah Kau

7 Reasons Why I Can Not Love You
Please Subscribe to read the full chapter

Peringatan: Hati-hati karena kemungkinan ada adegan yang tidak kalian inginkan.

______________________________________________________________________________________________________________________________________

Terdengar suara pukulan yang keras beberapa kali. Irene menutup telinganya ketakutan.

 

“Aku sudah membunuhnya untukmu. Apa kau sudah puas? Jangan takut lagi, ada aku di sini.” Seulgi menghampiri Irene dan duduk di sebelahnya.

 

“Keluarkan dulu kecoaknya dari sini! Apa kau tidak tau kalau cara mereka bertahan hidup itu dengan pura-pura mati?” Irene mendorong-dorong tubuh Seulgi agar Seulgi kembali lagi ke dapur untuk membuang kecoak yang sudah mati tadi.

 

Beberapa saat kemudian dia kembali dari dapur dan menyandarkan kepalanya di paha Irene. “Sudah, sekarang apa lagi?”

 

“Sekarang, kau pulanglah. Sudah malam. Besok kau harus kuliah. Kau harus cepat lulus. Apa kau tidak ingin menikah denganku?” Irene menatapnya penuh harap.

 

Seulgi beranjak dari posisinya. Dia balik menatap Irene dengan kesal. “Kenapa kau selalu menyambungkan antara cepat lulus dan menikah? Kalau kau ingin menikah denganku, nikahi saja aku. Kau juga sudah bekerja, kan?”

 

Irene tersenyum dengan sabar dan menyapu rambut Seulgi dengan jemarinya. “Kau tau kan orangtuaku tidak akan menyetujuinya? Setidaknya kau harus lulus dulu.”

 

“Aku tidak ingin pulang. Aku ingin di sini.” Seulgi mengiba kepada Irene.

 

“Aku tidak mau ibumu khawatir. Kau masih belum menjadi milikku seutuhnya, Seul.” Irene mulai merapikan barang bawaan Seulgi dan memasukkannya ke dalam tas.  Dia menyodorkan tas kepada Seulgi. “Pulanglah..”

“Setidaknya peluk aku.” Seulgi menarik badan Irene yang jauh lebih kecil dari badannya. Seulgi memeluknya erat seolah tidak ada hari esok. Irene hanya bisa tersenyum dalam dekapan gadis yang lebih muda darinya itu.

***

“Bagaimana hubunganmu dengan Seulgi? Baik-baik saja?” tanya Wendy, teman sekantornya yang sangat berprestasi di masa sekolahnya dulu sehingga sudah bisa bekerja di usia yang sama dengan Seulgi. Dia beberapa kali ikut kelas percepatan karena kemampuannya yang di atas rata-rata.

Irene mengangguk-angguk tersenyum sambil bergoyang mengikuti alunan lagu yang sedang didengarnya lewat radio.

Wendy yang masih penasaran pun mendekatkan kursinya ke Irene. “Dia tidak melakukan itu lagi kan?”

“Tidak..” Irene masih tersenyum.

“Kau serius?” tanya Wendy dengan suara yang lebih besar.

“Pssst!” Irene menutup mulut Wendy dengan tangannya. “Kerja, kerja! Nanti saja bicaranya saat makan siang, setengah jam lagi.”

“Irene! Wendy! Kalian berdua ini, apa mau saya kasih pagar sekalian di tengah meja kalian?” Shin Jae, manajer mereka, tiba-tiba datang entah dari arah mana. Mereka tidak pernah memerdulikan keadaan sekitar jika sudah mengobrol berdua.

Irene dan Wendy saling menatap dan menahan tawa satu sama lain.

***

“Sebenarnya aku juga kasihan kepadanya. Dia harus bekerja agar bisa tetap kuliah, ibunya hanya memfokuskan segala biaya untuk adiknya dari hasil pensiunan ayahnya. Aku sangat suka orang yang mau bekerja keras untuk hidupnya.” Irene menutup sendok dan garpunya di piring.

Wendy yang masih sibuk dengan makanannya, mendengarkan Irene dengan saksama.

“Coba kau bayangkan betapa berat hidupnya. Tinggal di rumah yang sama, namun tidak pernah bicara dengan ibunya sendiri, hanya sekedar “aku pulang” “aku berangkat”. Adiknya juga cuma membebaninya dengan meminta barang-barang branded, dan dia tidak akan membiarkan adiknya meminta hal seperti itu kepada ibunya.”

Wendy menghela napasnya. “Jadi kau melanjutkan hubungan ini hanya karena kau kasihan padanya?”

Irene terkejut dengan pertanyaan Wendy. “Tentu saja tidak! Aku suka kebaikan hatinya. Sangat-sangat suka. Kau akan merasakan betapa tulusnya dia jika kau berada di sampingnya.”

“Ya, baiklah. Tapi, bagaimana kalau dia melakukannya lagi?!” Wendy melipat tangannya untuk menopang dagunya.

“Dia bilang itu adalah trauma masa kecil dengan ayahnya. Pada saatnya nanti, aku akan bicara baik-baik dan mengajaknya ke psikolog untuk mendiskusikannya lebih lanjut. Aku ingin menikahinya dulu.”

“YAA! Kau pikir menikah semudah itu? Kalau sebelum menikah dia sudah seperti itu, tidak ada jaminan setelah menikah dia akan berubah! Ingat itu!”

***

Seulgi sedang berbaring di tempat tidur Irene sambil memainkan handphonenya sementara Irene sedang memasak ramen di dapur. “Unnie... Irene.. aku akan menginap, tapi bukan hanya malam ini. Aku sudah bilang ibuku. Jangan mengusirku lagi.”

“Yaa, baiklah.” Irene berteriak dari dapur.

Irene menaruh ramen yang masih mengepul ke atas meja. “Makan dulu.”

Seulgi langsung menghampiri Irene yang sudah duduk di atas meja makan. “Tadi pagi aku memberi uang pada ibuku dan memintanya untuk memasak sesuatu yang kusuka, untuk pertama kalinya aku langsung meminta.”

“Lalu?” Irene menyeruput kuah ramennya tanpa melepaskan pandangannya ke Seulgi.

“Ketika aku pulang, betapa kecewanya aku. Dia memasak ikan. Kau tau kan aku punya alergi ikan? Dia ibuku, tapi kenapa dia tidak mengenalku? Rasanya sangat mengecewakan, Unnie. Itu benar-benar sesuatu yang tidak bisa aku makan. Aku bisa saja beli makanan di luar seperti biasanya. Tapi aku ingin sesekali makan masakan ibuku lagi, makanya aku memberinya uang lebih.”

Irene menghentikan makannya. “Tunggu. Apa kau tahu ibumu punya alergi terhadap sesuatu?”

Seulgi menggeleng.

“Bukan cuma ibumu. Tapi kalian. Kalian berdua yang tidak saling mengenal satu sama lain.” ujar Irene.

Seulgi meneteskan air matanya tanpa sadar. “Aku kesal, tiap kali aku pulang, tidak ada makanan apapun untukku. Kami tinggal bertiga. Tapi dia selalu masak untuk porsi dua orang karena berpikir aku tidak akan pulang untuk makan bersama. Padahal, sikapnya yang begitu yang membuatku tidak pernah makan di rumah. Aku hanya seperti orang asing yang sedang menyewa kamar di rumah itu.”

Irene menahan perkataannya karena melihat Seulgi yang akan berbicara lagi. Dia menggenggam tangan Seulgi.

“Sejak 3 tahun lalu sampai sekarang, aku belum pernah makan masakan ibuku lagi. Ironis kan? Tapi, memang begitu kenyataannya. Itulah yang terjadi. Apa gunanya tinggal satu rumah?” Seulgi membiarkan air mata jatuh begitu saja membasahi pipinya.

Irene berusaha untuk tidak ikut menangis. Dia harus lebih tegar saat Seulgi sedang dirundung kesedihan seperti ini.

“Apa masakan ibumu yang paling kau suka?” tanya Irene.

“Japchae..”

***

Seulgi terbangun dari tidurnya dan melihat Irene sudah tidak ada di sampingnya. Irene mungkin sudah di kantor, pikirnya. Seulgi melihat map plastik berwarna hijau terang di atas meja makan. Kemudian dia teringat semalam Irene mengatakan bahwa map itu adalah map yang dibutuhkan Irene untuk bertemu klien siang ini. Dia menengok ke arah jam yang menunjukkan pukul 10.

Seulgi segera membasuh wajahnya dan menyikat giginya. Dia mencari-cari baju ganti di lemari Irene dan langsung pergi menuju kantor Irene. Dia mencoba menghubungi Irene, namun ternyata ada bunyi yang berasal dari map hijau tersebut. Irene bahkan tidak membawa handphonenya. Dia bisa mengacaukanl hari ini.

Sesampainya di kantor Irene, Seulgi menuju resepsionis dan memintanya untuk menghubungi ruang kantor Irene.  “Ms. Irene baru saja meninggalkan ruangan. Apa ada yang bisa dibantu?”

“Hm... boleh aku menitipkan ini? Map ini akan digunakan hari ini, sangat penting. Jadi, tolong pastikan Irene menerimanya sebelum jam makan siang.” Seulgi meninggalkan lobby gedung tersebut dan memutuskan untuk memantaunya dari luar gedung.

Sekitar satu jam lamanya Seulgi mengamati meja resepsionis dari jauh. Irene terlihat datang dan bergandengan tangan dengan Wendy. Mereka terlihat sangat gembira dan selalu tertawa bersama di sepanjang pengamatan Seulgi.

***

Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Waktu di mana Irene harusnya sudah sampai di rumah sejak empat jam yang lalu. Seulgi meneleponnya namun tidak ada jawaban. Saat sedang sibuk menelepon Irene, tiba-tiba Irene membuka pintu. “Aku pulang..”

Seulgi langsung menarik tangan Irene dengan keras dan menghempaskannya ke tempat tidur. “Dari mana saja kau? Jadi ini alasan kenapa kau selalu memintaku tidak sering ke rumahmu? Supaya kau bisa bebas jalan ke mana saja dan dengan siapa saja?”

“Tidak. Bukan begitu, Seulgi-ya..” Irene menundukkan pandangannya.

Seulgi menjambak rambut Irene hingga wajah Irene terangkat. “Kau pikir aku percaya begitu saja? Berikan handphonemu!”

Irene mengeluarkan handphonenya dari saku blazer yang dia gunakan.

Seulgi melepa

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 7: Kasian banget di drabble ini Wendy jadi third wheel terus 💔🫂
hi_uuji
#2
Chapter 4: Aduuh bgsattt ini rumit bet dah
hi_uuji
#3
Chapter 2: Anjjjjjj sakit banget 😭
hi_uuji
#4
Chapter 1: Perasaan udah pernah baca ini di wp 😭😭😭 tapi tetep kaget 😭😭😭
HaradaKim #5
Chapter 7: Kok sedih ya
bpmaknae
#6
Chapter 7: Line terakhir dari juhyun ngena bgt, gila amaze aku ama fic ini
bpmaknae
#7
Chapter 6: Keren bgt idenyaa, joohyun yg bisa liat masa lalu dan seulgi yg bisa liat masa depan ughhh
bpmaknae
#8
Chapter 4: Nooooo plot twistnya parah :'(
bpmaknae
#9
Chapter 2: Aaaa gila gatau lg ini jantung biaa deg2an gini bacanya
Seulrenefrvr #10
Chapter 7: Sedih semua ya -____-