At The Playground

At The Playground
Please Subscribe to read the full chapter

[CONTENTID1][/CONTENTID1][CONTENTID2]

Seorang anak duduk di sudut taman sambil memeluk lututnya, memandang dengan sedih anak-anak lain yang asik bermain dengan teman-teman mereka.

Tidak ada yang mau berteman dengannya. Anak perempuan tidak mau mengajaknya bermain karena dia anak laki-laki, dan anak laki-laki mengejeknya karena tubuhnya yang kecil dan lemah.

Dua orang anak menghampirinya ketika ia sedang memperhatikan seekor kumbang yang berjalan disela rerumputan.

“Oh, coba lihat, ada si kecil Chen. Apa yang sedang kau lakukan disini?” tanya anak yang lebih tinggi.

“A-aku hanya sedang melihat kumbang,” Chen menjawab pelan, tidak berani mengangkat wajahnya.

Anak yang bertubuh pendek dan gemuk ikut bersuara, “Jadi sekarang kau berteman dengan kumbang? Apa yang kumbang itu katakan padamu? Apa dia mengajakmu ke sarangnya?”

Kedua anak itu tertawa, sedangkan Chen hanya menunduk. Tidak, ia tidak akan menangis, itu hanya akan membuat mereka semakin mengolok-oloknya.

“Dasar anak aneh, pantas saja kau tidak punya te—”

“Hei!” Seorang bocah lelaki mendekat dan berhenti disamping Chen. “Apa yang kalian lakukan?”

“Kau siapa?” si gemuk balik bertanya sambil berkacak pinggang.

“Namaku Zitao, dan Chen adalah temanku, kalian tidak boleh mengganggunya.”

Mendengar itu, Chen mendongak. Teman? Tapi ia belum pernah melihat anak itu sebelumnya, bagaimana mungkin mereka berteman?

“Memangnya kenapa kalau kami mengganggunya?” si tinggi terdengar kesal. “Kau tidak suka? Mau melawan kami?”

“Jangan macam-macam, aku menguasai wushu!” Zitao segera memasang kuda-kuda, mencegah dua anak itu mendekat.

“Gege, bagaimana ini?” bisik bocah gemuk itu pada teman disampingnya.

“Dia pasti cuma mencoba menakut-nakuti kita,” ujar anak yang tinggi, tapi nada suaranya terdengar tidak yakin.

“Tapi dia terlihat menakutkan, coba lihat matanya, bagaimana kalau nanti kita benar-benar dipukuli?”

Mereka menatap Zitao yang masih siap diposisinya. Ia menyeka hidungnya dengan ibu jari seperti jagoan kungfu.

“Baiklah, ayo kita pergi saja,” ajak si jangkung diikuti anggukan temannya.

Setelah yakin bahwa keadaan sudah aman, Zitao duduk bersila disebelah Chen.

“Um... terima kasih sudah menolongku,” ucap Chen sambil tersenyum.

Zitao hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.

“Sayang mereka sudah pergi, padahal aku ingin melihat jurus wushumu, pasti keren sekali.”

“Hnggg...”

Melihat tubuh Zitao sedikit bergetar, Chen beringsut maju. “Apa kau kedinginan?”

“Ti...hiks...tidak.” Zitao semakin menunduk untuk menyembunyikan wajahnya.

Chen terbelalak. “Kau menangis? Ada apa?”

“Hiks... aku takut sekali tadi, kalau mereka melawan, aku pasti kalah hiks...”

Kening Chen berkerut. “Tidak mungkin, kau kan bisa wushu.”

“Aku baru satu minggu berlatih,” Zitao mengaku sambil terisak. Ia lalu melanjutkan, “Tapi aku benar-benar ingin membantumu, jadi aku bertanya pada anak disana siapa namamu, lalu segera datang kesini.”

Chen terdiam mendengarkan cerita Zitao sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Wah, kau benar-benar pemberani, seperti superhero!”

Tangis Zitao terhenti, ia menoleh ke arah Chen. “B-benarkah?”

Chen mengangguk penuh semangat. “Superhero selalu menolong orang yang lemah dan butuh bantuan kan?”

Zitao ikut tersenyum. “Kalau begitu, kapanpun kau butuh bantuan, bilang saja padaku. Karena sekarang kita berteman, aku pasti akan selalu menolongmu.”

“Sungguh? Kau mau berteman denganku? Aku punya teman...” Kali ini giliran Chen yang terisak. Ia cepat-cepat menghapus air matanya ketika Zitao menatapnya khawatir. “Aku senang sekali, karena itu aku menangis.”

“Kau ini ada-ada saja. Teman?” Zitao mengulurkan tangannya.

“Teman,” ulang Chen sambil menjabat tangan Zitao dengan wajah berseri-seri.

*

“Aww! Gege, pelan-pelan!” protes Zitao saat Chen memakaikan plester ke pipinya. “Huhu... sakit...”

“Salahmu sendiri, mencari masalah dengan Wenhan. Untung saja ada Yixuan, kalau tidak lukamu pasti lebih parah.” Chen menghempaskan tubuhnya ke rumput dan membuka satu kaleng minuman dingin sebelum memberikannya pada Zitao.

“Terima kasih. Tapi bukan aku yang memulai, Wenhan bodoh itu yang tidak bisa menjaga mulutnya,” Zitao membela diri.

“Kau yang bodoh, biarkan saja dia bicara apapun yang dia mau, tidak usah kau pikirkan, apalagi sampai berkelahi.”

Zitao meneguk minumannya, ia meringis saat rahangnya terasa sedikit berdenyut. “Chen ge, dia menghinamu, mana mungkin aku diam saja?”

Chen bangkit dan melangkah menuju tiang gelantung. “Aku tidak apa-apa, tidak perlu membelaku sampai seperti itu.” Ia memanjat lalu duduk di tiang teratas.

“Ge, kau ingat pertama kali kita bertemu di taman ini?” Zitao berjalan mendekati Chen kemudian bersandar sehingga kepalanya berada disamping kaki laki-laki itu.

Tentu saja Chen ingat, ia tidak akan melupakan hari itu. “Hm... enam tahun yang lalu.”

“Sampai sekarang aku masih tidak percaya kalau kau lebih tua dariku, kau pendek dan—aww!” Zitao mengusap-usap kepalanya. “Kenapa kau memukulku?”

“Maaf, tidak sengaja,” ujar Chen sekenanya.

“Tidak sengaja apanya, dasar gege menyebalkan,” gerutu Zitao sambil melempar kaleng minumannya ke tong sampah tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Hei, Tao, ajari aku wushu.”

“Untuk apa?” Zitao menatap Chen kebingungan.

“Supaya aku bisa membela diri jika sesuatu yang buruk terjadi.”

“Tapi kan ada aku, aku yang akan melindungi gege.”

“Kau tidak mungkin selalu ada untukku, Tao.” Chen membelai rambut Zitao. “Lagipula sampai kapan kau akan terus menolongku? Aku ingin belajar melindungi diriku sendiri.”

“Baiklah, aku akan mengajarimu, tapi itu tidak akan membuatku berhenti memenuhi janjiku, aku akan tetap melindungi gege selama yang aku bisa,” tutur Zitao.

“Konyol... tapi terima kasih.” Sambil melompat turun, Chen kembali memukul belakang kepala Zitao. “Ayo kita pulang, hari sudah gelap.”

“Gege, sakiiit!”

*

“Tao... shh, sudah, jangan seperti ini.” Chen mencoba menenangkan Zitao yang menangis dipelukannya.

“Bagaiman

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
gusniar71 #1
Chapter 1: Aku suka ide & jalan ceritanya, terus lebih nyeritain persahabatan dibanding romance, meskipun keknya dua2nya ada rasa sama masing2, bnr ga sih? Heheh..
Tp pindah waktunya terlalu cepet & ga ada pemberitahuannya di awal, jd agak ngebingungin, meskipun akhirnya ngerti. Sama jd bikin banyak bertanya-tanya karena beberapa kejadian kurang detail. Itu aja sih, maaf kalau aku banyak kritik, tp menurutku ini idenya bagus ^^d
Thanks~