Chapter 1

RHYTHYM (BAHASA)

Kang Sera berusaha membuka paksa pintu kamarnya. Beberapa hari ini ayahnya memaksanya untuk mengintrospeksi perbuatannya selama ini. Singkatnya, ayahnya mengunci anak bungsunya itu di dalam kamarnya akibat tak tahan menghadapi tingkah laku Kang Sera.

“Ayah!! Ayah!! Sampai kapan aku harus dikucilkan di rumahku sendiri? Ayah!!” seru Kang Sera seraya menggedor-gedor pintu kamarnya.

Tak mendapat tanggapan, Kang Sera segera mengeluarkan jurus ampuhnya. Yah, setidaknya alasan yang satu ini belum ia coba semenjak tiga hari yang lalu. “AAAAAKKKKHH!!! Ayaaaah…. Ada kecoak!! Aku benci sekali kecoak!! Ayah, suruh pelayan-pelayan itu untuk mengusir kecoak. Aku tidak tahan, aku bisa mati. Ayaaah!!!”

Sementara itu, suasana tenang pagi hari yang diidamkan Tuan Kang harus diinterupsi oleh teriakan liar si bungsu. Mendengarnya, Tuan Kang hanya bisa menghela napas lelah, “Yang ingin kudengar saat ini adalah suara kicauan burung. Aku sudah tahu, seharusnya dulu kubuat kamarnya jadi kedap suara.”

Kang Sera masih saja berteriak-teriak memanggil sang ayah. Tuan Kang menghela napasnya sekali lagi. Pertahannya runtuh mendengar putrinya yang tidak berhenti memanggilnya.

“Heiish! Sudah hentikan! Ayah tidak akan membiayaimu jika pita suaramu rusak, jadi hentikan teriakanmu.” Seru Tuan Kang yang kini sudah berada di depan pintu kamar putrinya.

“Ayah, aku ingin keluar…” isak Kang Sera dari balik pintu.

“Heiish, anak ini benar-benar,” ujar Tuan Kang pada dirinya sendiri. Ia mengenali isakan palsu itu. Kali ini ia bersumpah tidak akan jatuh pada jebakan Kang Sera yang sama. “Berhenti menangis, ayah tahu itu hanyalah isakan palsu. Bukankah kita sudah sepakat? Kau akan keluar dari kamar jika mau pergi ke sekolah. Mengerti?”

“Pindahkan aku ke sekolah yang lain, baru akan pergi ke sekolah dan belajar dengan sungguh-sungguh.” Kang Sera berusaha merajuk ayahnya sekali lagi.

“Berhenti bicara yang tak masuk akal dan pergilah ke sekolah. Minta maaf pada gurumu dan seisi sekolah.”

“Aku sudah punya ayah sebagai tameng. Ayah hanya perlu bicara pada dewan sekolah, mereka akan mengerti jika tahu posisi ayah.”

“Astaga, kau ini benar-benar sesuatu. Geurae, kita sudahi saja bicaranya. Ayah tidak akan datang meskipun kau pingsan di dalam kamar.” ujar ayahnya sebelum ia bersiap meninggalkan Kang Sera.

Di dalam kamarnya, Kang Sera berusaha menimbang permintaan ayahnya. Heiish… kondisi ini benar-benar tidak menguntungkannya. Ini tidak seperti yang ia lihat di drama-drama televisi. Sebagai anak bungsu dari pemilik salah satu perusahaan terbesar di Korea, seharusnya dia tidak perlu membungkuk memberi hormat dan meminta maaf pada guru satu itu. Namun, ada banyak sekali yang ia ingin lakukan di luar rumah. Dengan berat hati ia menghentikan langkah ayahnya.

“Ge.. geurae, geurae… aku akan pergi ke sekolah dan minta maaf.” Kali ini ia akan mengalah pada ayahnya.

Tidak terdengar jawaban dari ayahnya. Namun sedetik kemudian Tuan Kang membalas pernyataan putrinya. “Ayah akan menyuruh beberapa pengawal untuk mengantarmu. Bersiap-siaplah.”

Tuan Kang tersenyum mendengar pernyataan Kang Sera tadi, sementara Kang Sera tentu saja merutuk keputusannya untuk pergi ke sekolah sial itu. Gadis itu menghela napas kesal, “Aish, aku pasti sudah gila.”

***

Setidaknya, ada tiga hal yang paling Kang Sera benci mengenai sekolahnya. Pertama, dengan posisi ayahnya yang seorang CEO perusahaan besar, Kang Sera sama sekali tidak mendapat keuntungan. Detik ini adalah contohnya.

Saat ini Kang Sera tengah berdiri di hadapan dewan sekolah. Pertemuan tersebut dihadiri juga oleh sang ayah. Tentu saja, posisi mentereng Tuan Kang yang notabenenya adalah pemilik perusahaan ternama membuat seluruh dewan guru yang menghadiri pertemuan tersebut merasa canggung. Kang Sera, anak dari seorang pemilik perusahaan besar di Korea, merupakan fakta yang baru diketahui oleh guru-guru SMA Sejong. Selama ini, pihak sekolah hanya mengetahui bahwa ayah dari Kang Sera hanyalah pemilik perusahaan berskala menengah. Oleh karenanya Kang Sera mendapatkan perlakuan setara dengan murid-murid lainnya oleh para guru di sini. Hal tersebut lumrah di SMA Sejong, mengingat kebanyakan murid di sekolah ini juga menyandang predikat sebagai anak orang kaya.

Suasana menjadi sangat kikuk, entah karena dewan guru tak enak hati memperlakukan seorang Kang Sera layaknya anak berandalan dari keluarga tidak terpandang, atau karena Kang Sera yang tak kunjung membuka suaranya untuk meminta maaf.

Tuan Kang berdeham, berusaha mencairkan suasana. “Saya minta maaf karena Kang Sera selalu saja membuat para guru di sini kerepotan. Ke depannya, saya akan berusaha lebih baik lagi untuk mendidiknya.” Tutur Tuang Kang seraya menatap ke arah anaknya. Matanya seolah memberikan instruksi agar putrinya itu segera menyatakan maaf.

Sedangkan yang ditatap hanya bisa memanyunkan bibirnya. Namun sedetik kemudian gadis itu membungkuk dan membuka suara, “Saya minta maaf. Ke depannya saya akan berusaha untuk tidak berbuat onar.”

Kepala sekolah Sejong yang sedari tadi menunjukkan ekspresi tak enak hati dan sungkan terhadap Tuan Kang hanya bisa terkekeh pelan. “Saya pikir kesalahpamahan ini sudah selesai. Kang Sera adalah anak yang baik, kami yakin begitu. Kami juga akan berusaha agar Kang Sera bisa jadi lebih baik lagi.”

Pertemuan itu diakhiri dengan para petinggi sekolah yang dengan senang hati mengantar Tuan Kang ke lobby sekolah, tempat di mana supir pribadi Tuan Kang akan menjemput dirinya dan membawanya ke kantornya. Melihat Kang Sera yang juga ‘ikut mengantar’ dirinya, Tuan Kang segera mengetahui bahwa ada pembicaraan yang belum selesai dengan anaknya itu. Tuan Kang membungkuk dengan hormat, lalu mengatakan ia bisa menunggu supirnya sendiri lagipula ada yang ingin ia bicarakan dengan anaknya. Mendengar permintaan Tuan Kang tersebut, para dewan guru mengerti dan memohon untuk beranjak diri.

Kang Sera menyilangkan kedua tangannya di dada. Tanpa basa-basi, ia berkata, “Aku tak yakin mereka akan begitu saja melepaskan ayah. Maksudku tidak biasanya mereka bersikap ramah padaku. Mereka pasti ingin imbalan berupa dana hibah untuk sarana sekolah atau semacamnya.”

“Kau benar, kali ini ayah harus memberikan dana hibah dengan jumlah yang lebih besar dari biasanya, mengingat kini mereka tahu siapa ayah sebenarnya.”

“Ayah!” protes Kang Sera.

“Wae? Sebagai pihak yang mengeluarkan uang, ayah sama sekali tidak mengeluh. Dengar, Kang Sera, kau tidak perlu khawatir ayah akan bangkrut hanya karena memberikan dana hibah.”

“Bukan begitu maksudku. Aku hanya—“

“Ayah tidak mengerti maksudmu. Selamanya ayah juga tidak akan mengerti jalan pikiranmu. Jadi, masuklah ke kelas, ikuti pelajaran dengan baik, dengan begitu kau bisa menilai apakah gagasanmu selama ini benar atau tidak. Oke?” jawab ayahnya seraya memegang pundak anaknya erat. Ia membalikkan badan Kang Sera menuju arah kelas. Lalu dengan perlahan, ia mendorong pundak Kang Sera agar putrinya itu segera beranjak ke kelas.

“Lepaskan. Aku bukan anak kecil lagi.” protes Kang Sera sekali lagi.

“Geurae. Sekarang, pergi ke kelas dan jangan berusaha untuk bolos lagi. Ara?” pinta Tuan Kang sebelum dirinya membalikkan badan dan menuju supirnya yang kini sudah menunggu di depan sana.

“Pokoknya ayah tidak boleh terjebak perangkap. Aku tahu mereka hanya baik karena melihat posisi ayah. Ayah mengerti, kan?” seru Kang Sera sebelum ayahnya benar-benar menghilang di hadapannya.

“Eoh, aku juga mencintaimu, Kang Sera!” seru ayahnya seraya melambaikan tangan. Ayahnya lagi-lagi tak menanggapi gagasan anaknya.

***

“Kau sudah dengar gosip terbaru? Kang Sera ternyata anak dari pimpinan Jungsim Group!”

“Kau kenal ayahnya? Kang Myung Han si CEO Jungsim Group!”

“Yah! Daebak! Benar-benar tidak bisa dipercaya. Kepalaku sampai pusing mendengar berita ini.”

“Kang Sera benar-benar tidak terduga! Kuberi tahu, mulai sekarang jangan cari masalah dengannya, atau kau yang akan dapat masalah.”

“Ini gila! Aku sudah tahu jika Kang Sera tidak pernah mendapat hukuman berat atau dikeluarkan dari Sejong. Tentu saja, itu pasti karena posisi ayahnya.”


Kau benar, kalimat-kalimat seperti itulah yang Kang Sera dengar setibanya ia di kelas.

Semua mata tiba-tiba saja memandang dirinya ketika ia memasuki ruang kelas. Kang Sera benar-benar paham akan kondisi ini. Anak dari pemilik perusahaan besar seperti dirinya selalu saja menjadi bahan pembicaraan. Kang Sera menyempatkan dirinya untuk balas menatap seisi kelasnya, sebelum akirnya memutuskan untuk tidak acuh dan berjalan ke kursinya sendiri.

“Wah! Kang Sera kau benar-benar di luar dugaan. Seharusnya kita berteman akrab dari dulu,” ujar salah satu teman kelas yang tidak Kang Sera kenal namanya. Entahlah, Kang Sera tidak pernah benar-benar memerhatikan nama dan latar belakang setiap temannya. Teman kelasnya tadi lalu menambahkan, “Kau tahu? Jika kita berteman baik, aku yakin saham perusahaan kita bisa melonjak naik.”

Kang Sera hanya membalas dengan helaan napas. Daripada menatap orang yang mengajaknya bicara, Kang Sera malah terlihat membuka buku pelajaran dan mulai asyik dengan deretan angka-angka di buku matematikanya.

Perilaku Kang Sera tentu saja membuat murid perempuan itu naik pitam. Gadis bernama Im Naeul itu mendengus kesal sebelum mengumpat ke arah Kang Sera, “Hey! Tatap aku jika aku sedang bicara!”

Tiba-tiba saja suasana kelas menjadi gaduh tatkala melihat sikap Kang Sera yang seakan tidak peduli dengan komentar para murid mengenai latar belakang dirinya.

Kini teman kelas lainnya menimpali. “Hey, Kang Sera. Aku jadi bertanya-tanya, kau masuk SMA Sejong dan memilih departemen musik, tapi kau sama sekali tidak menunjukkan bakatmu di bidang musik. Jangan-jangan kau diterima di sini karena uang ayahmu.”

“Pelankan suaramu. Kang Sera selalu unggul di bidang akademik lain seperti matematika dan bahasa. Hal itu juga layak diperhitungkan untuk bisa diterima di Sejong, kan?” ujar yang lainnya membela.

“Kau benar. Tapi aku juga ragu semua nilaimu itu kaudapatkan dengan usaha sendiri.”

“Kalau begitu, bukankah seharusnya dia masuk sekolah lain? Kenapa malah memilih Sejong Art?”

“Aku jadi ingat bahwa Kang Sera tidak pernah mendapatkan hukuman berat. Padahal dia selalu saja membangkang peraturan. Apakah itu juga karena pengaruh uang ayahmu? Wah, Sera-ya, kau benar-benar keren!”

Suara-suara itu bersaut-sautan tanpa bisa Kang Sera cegah. Dirinya kehilangan kesabaran karena suara-suara itu memenuhi kepalanya dan membuatnya limbung. Kang Sera mendobrak keras meja belajarnya dengan kedua tangannya. Ia menghela napas kesal sebelum akhirnya bersuara. “Geurae, bicaralah sesuka kalian karena aku tidak akan pernah meminta kalian untuk berhenti.”

Dengan satu gertakan tersebut, Kang Sera berhasil membuat seisi kelas terdiam sementara dirinya beranjak dari duduknya dan melangkah ke luar kelas.

***

Playlist dari iPod Kang Sera kini memainkan musik pengiring dalam film August Rush. Alunan gitar yang dimainkan oleh August Rush dan ayahnya itu selalu saja bisa mengembalikan mood Kang Sera, namun tidak untuk hari ini. Ia melepaskan salah satu earphone-nya, lalu memainkannya dengan memutar-mutar kabel earphone-nya tersebut. Gadis itu mengetahui arah tujuannya kali ini. Biasanya, jika sedang malas mengikuti pelajaran atau usai pulang sekolah, Kang Sera selalu mengurung dirinya di hall basket. Tempat itu selalu sepi. Hal itu lumrah, karena sebagian besar murid di sini bukan penggemar olahraga. Lagipula murid sekolah seni mana yang mau menghabiskan waktunya di lapangan basket? Lapangan sepi itu biasanya hanya dikunjungi ketika jam olahraga. Mungkin tak banyak yang tahu, atau mungkin tidak peduli lebih tepatnya, di sana terdapat piano jenis upright yang teronggok di sudut lapangan. Kang Sera sering datang ke tempat ini untuk sekadar berlatih piano. Hal ini lebih mengasyikan ketimbang harus bermain di ruang piano yang selalu saja kedatangan tamu.

Daun pintu besar itu berdecit ketika Kang Sera membukanya. Namun langkahnya terhenti sesaat matanya menangkap sosok yang sedang memainkan piano di ujung lapangan sana. Mendengar pintu yang berdecit, sosok tersebut juga menghentikan permainan pianonya dan mebalikkan tubuhnya ke belakang. Sial, kali ini Kang Sera kedahuluan si murid cemerlang seantero Sejong Art School. Mata mereka saling bertemu, untuk beberapa detik kemudian sosok itu berdiri dan berjalan menuju Kang Sera.

“Eoh? Kang Se—”

“Lanjutkan saja mainnya. Aku ke sini hanya untuk tidur siang.” Gadis itu berbohong. Tadinya ia ingin sekali memainkan Lacrimosa-nya Mozart.

Kang Sera berjalan melewati si murid itu. Lalu ia berhenti dan mendudukan dirinya di bawah ring basket. Sementara murid yang diajak bicara tadi hanya bisa mengerjapkan matanya, terpana dengan sisi tidak peduli yang selalu ditunjukkan Kang Sera. Dirinya masih memerhatikan Kang Sera yang kini sedang memaikankan kedua earphone di kedua telinga gadis itu, lalu menyadarkan dirinya dan menyilangkan tangannya, mencari posisi paling nyaman untuk tidur siang.

“Baiklah kalau begitu.” Ujar si murid kemudian seraya kembali mendudukan dirinya di depan piano.

Kang Sera sebenarnya belum benar-benar tidur. Musik di iPod-nya juga hanya disetel dengan volume yang rendah. Kang Sera sedang mewanti-wanti dirinya akan permainan piano si murid cemerlang itu. Matanya masih terpejam, menunggu si pemain piano untuk menekan jari-jemarinya di atas tuts piano.

Dan si pemain piano mulai memainkan perannya.

Suara yang dihasilkan masih rendah, namun Kang Sera langsung mengetahui lagu yang sedang dimainkan itu. Ia memiringkan senyumnya, sedikit tak menyangka jika si murid cemerlang itu juga mengetahui lagu pop. Tadinya ia pikir, tipikal murid kesayangan para guru itu hanya akan memainkan lagu-lagu klasik.

Detik demi detik, Kang Sera mulai mengerutkan alisnya. Kini pikirannya dipenuhi akan jari-jemari si murid cemerlang yang menari dengan lihainya di atas tuts piano. Tidak, jari-jemari itu tidak menari, namun berlari lebih tepatnya. Lagu yang dimainkan sama sekali bukan versi yang bagus jika dimainkan dengan piano, menurut Kang Sera.

Permainan lagu itu belum sampai setengahnya. Namun permainan piano yang didengar berhasil membuka kedua kelopak mata Kang Sera. Permainan piano itu mengalun dengan sempurna. Ada suasana orkestra yang tercipta di sana. Si pemain piano jelas tahu di mana dia harus menegaskan permainannya, di mana dia harus bersikap lembut dalam menekan tuts-tuts piano tersebut. Mudahnya, si pemain piano melibatkan emosi di sana. Dan Kang Sera tahu persis permainan macam itu.

Dengan sekali hentakan, si pemain piano kembali beraksi dengan jari-jemarinya yang berlarian di atas tuts piano. Di tengah-tengah lagu, rupanya ada instrumen tambahan yang sama sekali tidak ada dalam lagu aslinya. Permainan piano itu cepat dan tepat. Bagai tersentak akan sesuatu, kepala Kang Sera tertoleh untuk melihat aksi tak terduga yang ditunjukkan si pemain piano. Hingga detik-detik selanjutnya, Kang Sera tanpa sadar dibuat larut dalam pergolakan emosi dalam permainan piano tersebut.

Entah kapan tepatnya, namun kini Kang Sera bangkit dan berdiri menghadap punggung si pemain piano itu. Kali ini dirinya dibuat penasaran setengah mati dengan jari-jemari yang berlarian dengan bebasnya itu. Ia dengan perlahan melangkahkan kakinya. Ia juga melongokkan wajahnya ke depan, rupanya matanya tak sabaran untuk melihat bagaimana si murid cemerlang itu melancarkan aksinya di atas tuts piano. Kang Sera sampai di belakang sosok yang tengah asyik bermain piano itu ketika lagunya akan berakhir. Kini jari-jemari itu terlihat lebih santai. Namun Kang Sera sama sekali tidak melewatkan kesempatannya untuk menyaksikan jari-jari yang berlarian itu.

Kang Sera tidak yakin kapan terakhir kalinya ia begitu terpana ketika mendengar permainan piano. Ia seringkali datang ke sesi latihan yang rajin diselenggarakan oleh Seoul Philharmonic Orchestra. Dan kali ini ia berani bertaruh bahwa murid di depannya kali ini pantas berada di atas panggung untuk memainkan musiknya sendiri. Mungkin tidak untuk sekarang, karena tentu saja Seoul Philharmonic Orchestra selalu diisi oleh musisi yang tidak lagi muda dan punya jam terbang yang tinggi.

Permainan piano itu hampir berakhir, namun Kang Sera tidak bisa menghentikan dirinya yang terpana. Alunan musik yang dihasilkan begitu indah, mengalahkan persepsi Kang Sera yang berpikir bahwa lagu itu tidak cocok jika dimainkan hanya dengan piano saja. Atau imaginasi Kang Sera yang selalu membayangkan bagaimana seharusnya lagu itu digubah. Kali ini, imajinasinya yang liar terhadap suatu lagu harus terkukung oleh permainan si murid cemerlang.

Sebelumnya, Kang Sera tidak benar-benar menatap wajah pemain piano itu. Namun karena penasaran, ia melangkah sehingga kini dirinya dapat menatap langsung ekspresi si pemain piano. Ia benar ketika dirinya menduga ada begitu banyaknya pergulatan emosi yang tertuang di wajah sosok di hadapannya. Ekspresi yang sulit diterka, namun Kang Sera menerka ekspresi itu menyiratkan rasa rindu dan amarah. Emosi yang dihasilkan juga dapat dikontrol dengan baik, sehingga alunan musiknya bisa menghasilkan tekanan-tekanan keras dan juga kelembutan di detik-detik selanjutnya.

Gadis itu benar-benar jatuh pada permainan si murid cemerlang. Ini pertama kalinya murid itu mengeluarkan auranya. Tidak, maksud Kang Sera adalah, ini pertama kalinya murid cemerlang itu benar-benar menunjukkan kecemerlangannya.

Ya, murid cemerlang.

Kini Kang Sera tahu kenapa Kim Jongdae bisa mendapat julukan semacam itu.

 

 

To be continued… 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet