One-Shot: Surprised

Surprised

“Yah! Kim Namjoon! Jangan dilempar lagi!” aku berteriak sekeras mungkin, berharap agar mereka akan menghentikan perbuatan mereka walaupun aku sendiri tahu bahwa itu tidak mungkin. Aku sudah berlari mengelilingi kelas hanya untuk mendapatkan buku tulisku yang sejak tadi sudah dilempar ke sana dan ke mari oleh murid laki-laki di kelasku. Tidak tahu lagi, sekarang mungkin buku itu sudah sobek-sobek. Dan sudah jelas, ini semua berawal dari si berandal itu.

                Aku berhenti berlari dan mengubah strategiku. Aku sudah lelah dengan perlakuan orang ini terhadapku. Lebih lagi, tidak ada seorang pun yang berdiri untuk melwan orang ini. Aku menghentakkan kaki ke arah meja anak berandalan itu. Anak itu tidak bergerak sedikit pun walaupun aku sudah menggebrak meja orang itu dengan keras. Dengan mukaku yang sangat merah – karena kemarahan dan kelelahanku – aku berteriak di hadapan orang itu.

                “Park Jimin! Apa kau gila? Mau berapa kali kah kau membuat aku sengsara? Sampai kiamat?” aku bisa merasakan mukaku semakin memerah. Semua murid pun mengalihkan pandangan mereka ke arahku, ke arah Choi Hyejin yang sedang marah ini. Pemandangan yang sangat amat jarang ditemukan. Lihat itu, aku bahkan memakai kalimat majemuk. Orang gila itu lalu menolehkan kepalanya ke arahku. Dia menertawaiku. Apa dia kira ini lucu? Benar-benar orang yang tidak masuk akal.

                Dia pun bangkit dari kursinya, masih menatapku seakan-akan aku adalah sebuah lelucon. Ia tertawa, “Putri Choi, apakah kau marah?” ia meletakan tangan menjijikannya itu di wajahku. Aku buru-buru memindahkan tangannya dengan kasar dan kembali menatapnya. Aku bisa merasakan air mataku yang hampir terjatuh dari letaknya tetapi aku menahannya untuk tidak mengalir, aku tidak boleh mununjukkan sisi lemahku di hadapan orang yang tidak punya otak ini.

                “Kau tahu dunia ini tidak akan berputar ke arahmu, bukan? Semua orang, seluruh alam semesta ini aku selalu berputar melawanmu,” dia memberikan senyuman menyebalkannya itu sambil memutar jari telunjuknya di udara. “Sudah seharusnya kamu membiasakan diri dengan hal-hal seperti ini, Hyejin-ah.” Ia masih tersenyum.

                “Kenapa? Kenapa kau harus menghancurkan hidupku?” Aku berteriak lebih kencang lagi. Tetapi aku tidak bisa menahannya lagi. Tanganku pun dengan sendirinya bergerak ke udara dan

                Plak.

                Aku menamparnya.

                Dia memegang pipi kirinya yang baru saja aku tampar itu. Dia melihatku dengan sinis.

                “Heh, anak kecil, kau kira kau ini siapa? Kau tahu kan apa yang bisa kulakukan dengan hidupmu saat ini juga?” Dia berteriak, masih memegang pipinya yang merah itu. Jantungku berhenti berdetak. Beasiswaku, aku pikir. Dia bisa saja mencabut beasiswaku saat ini juga dan jika itu terjadi habis sudah hidupku. Tetapi pikiranku saat ini sedang berkabut, aku tidak bisa berpikir tentang itu lagi.

                “Berhenti menghancurkan hidupku! Berhenti!” aku berteriak lebih keras lagi.

                “Apa maksudmu aku menghancurkan hidupmu? Jika bukan karena aku, kamu belum tentu bisa bersekolah di sini, di sekolah nomor satu di Korea Selatan!” dia berteriak balik. Tatapannya semakin tajam, semakin menyudutkanku.

                “Apakah iblis-iblis mengutusmu untuk berpura-pura menjadi malaikat agar kamu bisa menguji kesabaranku? Kalau aku tahu hidupku akan begini di sekolah ini, lebih baik aku bersekolah di sekolah-sekolah kumuh di Busan! Tidak ada gunanya jika aku harus sekolah di sini dengan sengsara!” aku kembali berteriak. Sebelum aku melanjutkan kata-kataku, guru matematika kami sudah melangkahkan kakinya ke dalam kelas kami.

                “Choi Hyejin! Park Jimin! Apa yang kalian pikirkan? Aku bisa mendengar suara kalian dari kelas-kelas sebelah. Kalian berdua, keluar dari kelas sekarang! Berlutut dan angkat kedua tangan kalian! Sekarang!” Guru Kim meneriaki kami. Kami pun melangkahkan kaki keluar dari kelas, berlutut dan mengangkat kedua tangan kami, seperti yang Guru Kim perintahkan.

                “Kalian akan di sini sampai kelas saya selesai,” Guru Kim berkata sebelum akhirnya membanting pintu kelas kami.

                Ini sudah ketiga kalinya minggu ini aku dikeluarkan dari kelas bersama Park Jimin. Tanpa harus dia cabut pun, beasiswaku sepertinya akan dicabut sekarang juga. Air mataku pun mulai mengalir. Aku menundukkan kepalaku dan menutupi wajahku dengan rambut cokelatku. Tangisanku pun mulai terisak.

                “Hei,” Park Jimin memanggil seseorang. Mungkin saja itu murid dari kelas yang sedang izin ke toilet.

                “Hei,” dia memanggil lagi. Ada berapa banyak orang yang keluar dari kelas saat ini?

                “Hei,” dia memanggil sekali lagi, tetapi dengan tujuan yang jelas, “Choi Hyejin.” Aku tersentak tetapi mengabaikan panggilannya. 

                “Choi Hyejin,” dia memanggilku sekali lagi dan menarik bahuku agar aku berhadapan dengannya. Aku segera mendorongnya kembali agar dia tidak dapat melihat wajahku yang merah dan aku juga tidak ingin melihat wajahnya.

                “Yah, apakah kau menangis?” dia menaikkan nada bicaranya dan menarik bahuku lagi. Aku mengelak dan berteriak, “Apa urusanmu? Apa kau senang sekarang?” Air mataku pun mengalir lebih deras, seakan-akan air mataku tidak akan berhenti mengalir. Dia terus memanggilku tetapi aku selalu mengabaikannya dan sesekali berteriak.

                Bel pun berbunyi, aku bisa mendengar hentakkan sepatu murid-murid yang keluar dari kelas. Aku segera berdiri dan meninggalkan tempat di mana aku baru saja di hukum itu. Aku berlari, menjauh dari kerumunan murid-murid yang sedang bergegas ke kantin. Dengan air mataku yang masih mengalir, aku menuju ke toilet perempuan terjauh yang tidak banyak dikunjungi di saat seperti ini.

                Di dalam toilet, tangisanku pun berlanjut. Tangisanku pun tidak berhenti. Banyak sekali pikiran yang sedang melintas di kepalaku. Beasiswaku, orang tuaku di Busan, Park Jimin dan gerombolannya, dan juga hidupku. Aku menumpahkan semua perasaan yang sudah aku tahan selama aku bersekolah di sekolah ini dalam tangisanku ini. Betapa menyesalnya aku menerima beasiswa tersebut dan pindah ke sekolah ini. Betapa berantakannya hidupku saat ini, di sekolah ini.

                Sampai akhirnya, bel pun berbunyi. Dengan singkat aku menghapus air mataku dan mencuci wajahku, berharap agar tidak akan ada orang yang mengetahui apa yang sedang aku lakukan satu istirahat penuh. Setelah selesai, aku pun keluar dari toilet tersebut, disambut oleh wajah yang tidak ingin aku hadapi lagi.

                “Hyejin,” dia memanggil namaku. Aku mengabaikan keberadaannya dan menuju ke kelas. Tetapi, dia menarik pergelangan tanganku, membuat aku berhenti. Aku melepaskan genggamannya dan berkata setenang mungkin, “Jangan ganggu aku lagi.”

                Sebelum aku sempat kembali berjalan ke kelas, dia menarik lagi tanganku dan melingkari diriku di antara kedua lengannya. Mataku membesar, terkejut dengan apa yang dia lakukan.

                Park Jimin memelukku.

                Aku berusaha mendorong diriku dan melepaskan diriku dari pelukannya, tetapi ia memelukku lebih erat lagi.

                “Maafkan aku,” ia berbisik di telingaku. Aku terdiam, masih terkejut dengan apa yang dia lakukan dan katakan. Tetapi kejutannya tidak hanya sampai di sana. Kata-kata terakhirnya membuatku bahkan lebih terkejut lagi.

                “Saranghae.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet