Chapter 1

Artificial Love

Adalah pada babak eliminasi Inter-high tahun keduanya, saat sekolah mereka bertemu, untuk pertama kalinya Sehun melihat sosoknya. Rekan-rekan setimnya sudah terlebih dahulu menuju ruang ganti stadium setelah selesai bertanding melawan tim basket sebuah SMA yang tak lagi ia ingat namanya, namun ia mengabaikan panggilan kesal Chanyeol-hyung dan malah berdiri menganga setelah tim lawan mereka berjalan lewat.

"Selamat siang, semoga pertandingan kita lancar!"

Seru teman setimnya, tetapi hanya dia sendiri yang tidak bicara.

Pertama kali Sehun melihatnya, mata rusa itu telah menangkap perhatiannya.

"Hyung... barusan itu... malaikat?"

Chanyeol menatapnya aneh. Sehun diseret ke lapangan dengan pikiran tidak tenang.

Permainan berlangsung dalam tempo sederhana, sejauh mata dan pengalamannya sebagai pemain kelas dua mengamati. Tetapi Sehun tak terlalu merasuk dalam permainan. Karena, aalam satu persekian detik, mata elangnya berhasil mengenali manik jernih yang tadi tak luput oleh amatannya.

Tubuh orang itu ramping dan sedikit menyerempet kata feminim, walau kesan berisi tak luput dalam deskripsi. Caranya berkelit mengejar bola dari pemain lawan bagai tarian enerjik, tangannya sesekali terangkat untuk memberi kode-kode alih strategi.

Saat rahangnya mengatup keras, Sehun tahu ia tengah menggertakkan gigi. Mungkin kesal karena kemampuan lawan mereka tak bisa dipandang sebelah mata, atau mungkin malah ia menahan tawa kencang dari adrenalin permainan?

"Luhan! Pass ke sini!"

Mata rusanya juga—faktor utama yang membuat Sehun tertarik padanya. Sesekali sepasang netra itu akan mengernyit di bawah pengaruh emosi, sesekali bergerak liar dalam zona penglihatannya untuk mencari target passing yang tepat, dan beberapa kali juga akan berkilat senang saat bola jingga sebesar kepala itu berhasil masuk dalam ring mereka.

"Luhan, sini!"

"Luhan, lempar bolanya!"

"Nice pass, Lu!"

Cara pemuda itu tersenyum pada rekan-rekannya seraya berseru semangat, cara pemuda itu mengarahkan permainan timnya dari lini belakang, cara pemuda itu mengekspresikan emosi tegangnya, cara pemuda itu tertawa lepas atas dua poin yang timnya terima...

Buk!

Luhan termangu ketika seorang lawan berkulit terlalu pucat yang barusan hendak ia halangi itu tiba-tiba melempar bola dengan kasar ke arahnya.

"Luhan-hyung! Jadilah pacarku!"

... he?

Tarik nafas dramatis dari orang-orang yang menonton mereka.

Bola basket yang sebelumnya direngkuh kuat si pemuda Cina menggelinding bebas, dilepas si empu yang masih melongo kaget mendapat pernyataan cinta dadakan. Nyaring peluit wasit pertandingan terabai tanpa segan.

Tunggu, bilang apa dia tadi?

Sebentar-sebentar... Luhan saja tidak kenal dia ini siapa!

Si manis habis kata-kata. Lidahnya berkelit menolak bicara. Bocah ini, berteriak sekencang itu, sekasual itu, seolah mereka sedang ada di reality show katakan cinta dan bukan di tengah gym indoor yang dikepung tribun berisi ratusan kepala sekaligus jadi sorotan pertandingan dan bocah yang bahkan hanya pernah ia sapa satu sekali seumur hidupnya yakni pada saat mereka berpapasan di koridor ruang ganti dan sekarang dongsaeng ini berani-beraninya bilang begitu di depan mukanya tanpa tahu malu akan tatapan ratusan orang apa anak ini serius hah beraninya dia—oke, Luhan, ambil nafas dulu.

Oh Sehun di depannya berdiri tegap (Luhan sekilas melihat nama di jerseynya). Menatap tajam walau muka pucatnya agak sedikit merah dan itu justru menambah kesan imut dan tampan—Luhan, Luhan, apa yang kau pikirkan!

Gym indoor yang lima detik lalu riuh oleh sorakan penonton, pantulan bola, bising peluit dan teriakan para pemain itu tiba-tiba hening. Luhan berani bertaruh kalau ia menyuruh sahabatnya si Kyungsoo berbisik di sini, pasti akan kedengaran saking sepinya. Padahal suara sahabatnya itu kalah kencang dengan semilir angin.

Si pria mungil tidak sempat melihat reaksi tribun ketika ia sendiri terlalu sibuk mengumpulkan serpihan nyawanya yang terpencar berantakan, seperti kaca besar yang dihantam palu godam bertuliskan jadilah-pacarku-hyung dengan Oh Sehun sebagai pelempar. Ini juga berarti, ia tidak sempat melihat reaksi teman setimnya atas drama hormonal di tengah arena pertandingan mereka. Apalagi Oh Sehun yang dibicarakan ini dari tim lawan. Seingat Luhan, ini pertandingan basket antar sekolah dan bukan live action Romeo & Juliet versi Asia.

"Aku menyukaimu, Hyung. Sejak pertama aku melihatmu, aku jatuh cinta."

Gombalan diucap semangat dengan muka datar.

Luhan gelagapan.

"Se-Sehun-ssi..."

"Hyung mau jadi pacarku, tidak? Mau, ya? Ya?"

Sudah tampan, putih, tinggi, ngotot, budeg lagi. Oh Sehun ini minta digaplok sepertinya.

"H-hah?"

"Pacarku! Pa-car-ku. Pacar. Hyung mau tidak?"

Oh Sehun tentu tahu kalau rusa manis ini adalah siswa pindahan dari Cina. Walau cinta mereka terancam dihalang tembok bahasa, tapi ia rela mendobrak runtuh tembok itu demi Luhannya.

Si rusa masih mematung, seperti disorot lampu mobil pemburu. Oh Sehun berdecak. Baik, kalau bahasa tidak bisa menyatukan mereka, Sehun tak punya pilihan lain selain lewat tindakan. Talk less, do more.

Terjang saja.

Tanpa memperhatikan perubahan cuaca pada muka Luhan, ia maju menghambur padanya sambil menjulurkan tangan hendak mencumbu.

"A-andwaeee!"

Plak!

Selain tembok bahasa, sepertinya yang harus ia terjang juga tembok budaya.

Si pucat sepertinya lupa kalau Luhan itu daging segar di tanah Korea. Si mata rusa adalah siswa pertukaran pelajar yang bahkan hangul 'a' saja dia tidak kenal. Heran, satu-satunya frasa Korea yang ia tahu hanya 'andwae' saja, referensi dari drama Korea favorit sang mama. Tapi demi passion musiknya yang luar biasa, Luhan nekat merantau ke sekolah musik terbaik di Korea walau orang tuanya tidak tega. Luhan memang begitu, kepalanya seperti batu. Jika sudah fokus ingin sesuatu, ia rela melakukan apapun demi meraih apapun itu.

Dan lagi, di Cina, Luhan itu primadona wanita—walau ia belum sampai dalam level seorang Casanova. Parasnya manis, mukanya cantik. Tiap ia melangkah wanita pasti menoleh dua kali.

Ia hanya tidak menyangka pada minggu kedua ia tinggal di tempat baru ini, yang menembaknya pertama kali adalah seorang lelaki.

Oh Sehun adalah pria yang manis.

Walau memang agak dingin, membuat Luhan teringat es krim setiap menatap adik kelas aneh yang sudah sebulan ini menempel padanya, merengek minta dijadikan kekasih.

Apa populasi perempuan Korea tidak ada yang berminat pada manusia setampan Sehun ini?

B-bukan berarti Luhan pikir Sehun itu tampan, ya!

"Hyung. Mau bubble tea?"

Luhan menatap Sehun kebingungan, seperti bocah SD ditanya rumus fisika.

"Mau? Bubble tea?" Sehun membuat gestur minum dan bundar-bundar dengan jemarinya. Luhan memiringkan kepala, masih buntu. Sehun yang gemas menggigit bagian dalam mulutnya, kemudian menunjuk kedai teh yang agak ramai. Mata Luhan melebar, menangkap yang dibicarakan.

"Ooh. Bubble tea?" Luhan tersenyum sumringah. Menganggukkan kepala berkali-kali dengan semangat.

"Baiklah," Anggukan Luhan adalah jawaban yang cukup. "Tunggu di sini, oke? Biar aku yang beli."

Luhan tidak tahu Sehun bilang apa. Kata-kata Sehun asing untuk telinga lunak si rusa. Tapi sentuhan pada pundaknya seolah mengisyaratkan agar Luhan diam dan membiarkan Sehun pergi beli kudapan.

Dia benar.

Ini minggu kedua sejak insiden tembak-menembak memalukan itu, dan Luhan sebenarnya agak terpaksa menyanggupi ajakan kencan perdana mereka.

Sambil memandang Sehun yang antri paling belakang, diam-diam Luhan bangga bisa mengerti maksud Sehun non verbal. Padahal Bahasa Koreanya nol besar. Apa mereka sudah punya telepati? Atau mungkin tautan hati?

Aish, dia ini berpikir apa. Dia ini manly! Dan orang manly tidak berpikir sesuatu yang lembek seperti ini!

Luhan menoyor dirinya sendiri, tepat ketika Sehun kembali dengan satu gelas bubble tea yang mereka bagi.

Sehun berdebar ketika menyadari kecerobohannya tidak mengambil dua sedotan tadi.

"Eum, jadi Luhan-hyung mau jadi pacarku, kan?"

Luhan tidak tahu apa yang mendorongnya untuk mengangguk. Entah tatapan Sehun, kebaikan hatinya, manis perilakunya, atau sekadar penasaran saja.

Tapi ia tidak merasa pilihannya salah.

.:xxx:.

"Sehunnie mau kuliah teknik?"

"Iya, Lu. Mungkin di Universitas Seoul. Kau tahu, mereka punya prodi yang pas dengan keahlianku. Aku ingin jadi mekanik."

"Oh... Semangat kalau, begitu, Hunnie. Fighting!"

"Wah, Bahasa Koreamu jadi makin lancar."

"Terpaksa meladeni ocehanmu membuatku harus buka kamus tiap hari."

SMA Internasional tempat Luhan bersekolah punya acara khusus hari ini; wisuda angkatan ke empat belas—atau bagi Sehun, wisuda Luhannie-nya. Si pria dingin sampai nekat bolos sehari untuk menghadiri upacara formalitas penyelesaian studi setelah sebelumnya mampir membeli sebuket besar mawar. Luhan yang menyambutnya dihadiahi ucapan selamat dan pelukan hangat, juga kecupan lancang pada bibir yang membuat dahi Sehun nyeri disentil keras. Tapi Luhan memaafkan tingkah liarnya begitu Sehun menyodorkan oleh-oleh dari toko bunga. Manik rusa melebar senang, bibirnya mengucap 'terima kasih' sedikit gagap. Sudah lama ia tahu mawar adalah favorit Luhan. Mereka sangat cantik, begitu alasan si rusa.

Tapi di mata Sehun, mawar patut layu di depan senyum malu kekasihnya.

Luhan adalah mawar favorit Sehun.

Pesta yang diadakan sekolah elit itu begitu meriah. Kantung udara berbagai warna dilepas sana-sini, tebaran confetti dari enam posisi, air mata dan gelak tawa, hidangan pengundang saliva dan seluruh suka cita lainnya. Sehun gugup berhadapan dengan orang tua Luhan yang memandangnya garang. Tetapi begitu bambi kecil mereka bercerita dengan Mandarin fasih yang hanya dipahami Sehun lamat-lamat, ujung bibir mereka tak ayal naik juga.

"Kami orang tuanya Luhan."

Luhan menerjemahkannya dalam Korea sederhana. Sehun yang masih membutuhkan restu lalu melangkah maju menghampiri keduanya. Keduanya merengkuhnya dalam satu gerakan.

"Terima kasih sudah merawat Luhan kami. Tolong cintai dia sebaik mungkin, ya?"

Kesan pertama; Luhan sungguh beruntung lahir di tengah keluarga yang selalu siap menerimanya apa adanya.

Setelah pipi Luhan bengkak dicubiti dan gaya rambut Sehun hancur diusak si Mama, Luhan lalu menariknya ke atap sekolah, menjauh dari keramaian. Sehun mengikuti sambil jemarinya sesekali berusaha mengembalikan rambutnya ke jalur yang benar. Ia harus terlihat tampan, setidaknya di depan Luhan.

Jalinan anggur yang ditanam membentuk kanopi alami, menjalar hampir separuh luas atap sendiri. Sang liana melukis mozaik indah siluet daun-daunnya berkanvas lantai. Luhan berjalan duluan ke tempat ia biasa duduk dan makan bekal bersama Kyungsoo, kemudian menepuk sampingnya agar Sehun ikut duduk.

"Lulu sendiri mau ke mana?"

"Jangan panggil aku begitu, seperti perempuan!"

"Tentu saja tidak. Kau lebih cantik daripada mereka."

"Aku ini laki-laki! Aku manly!"

Luhan yang ngambek malah jauh lebih lucu lagi. Sehun terkekeh tapi tidak minta maaf.

"Um... mungkin aku akan ambil jurusan musik. Aku ingin punya label sendiri."

Sehun tidak terkejut. Luhannie-nya memang manusia sejuta bakat. Mutiara Cina yang begitu berharga. Larinya cepat seperti rusa. Tariannya gemulai seperti angsa. Kaki tegapnya jadi aset bermain basket dan sepak bola, dan kemampuan otaknya juga di atas rata-rata. Terlebih, ia cantik melebihi segala bunga.

(Sehun tahu ia sudah berkata begitu lebih dari sepuluh kali hari ini. Tapi itu normal, mengingat biasanya ia memikirkan begitu dalam tiap nafasnya)

Tapi bakat yang paling Luhan banggakan mungkin adalah ini. Ia punya vokal tenor yang merdu dan pita suara yang lentur. Tak akan ada orang yang tak menyukainya setelah ia sukses dan terkenal dan punya konser sendiri nanti. Dan selama itu terjadi, Sehun akan selalu di belakangnya, menahan punggungnya, mengusap keringat dan mengecup semua air matanya. Sehun akan jadi fansnya yang pertama dan utama. Karena ia sendiri pun jatuh cinta pada suara Luhan. Sekalipun diminta semalaman, Sehun takkan jenuh mendengarkan ia menyanyi, bersenandung, mengoceh, berteriak, berbisik, memanggil namanya...

"Sehunnie! Dengarkan aku!"

Yah, terutama itu.

"Iya, aku dengar, kok."

"Bohong! Sehunnie melamun dari tadi!"

Sehun tersenyum kecil, mencubit bibir Luhan yang maju dua senti.

"Jangan cemberut! Katanya laki?"

"Mumungnyu luku tuduk buluh cumburut?"

"Ya tidak boleh, lah! Kalau begini jadinya kau imut!"

"Uku tuduk umut! Uku munli! Suhunni lupuskun!"

Luhan balas dendam dengan menghukum Sehun pakai kepal tangan kecil. Sehun merasa digelitiki alih-alih dipukuli. Otaknya bermain iseng, ia menarik pundak Luhan dan berakhir tubuh si mungil jatuh menimpa.

Si rusa seketika diam. Sehun menatapnya dalam-dalam.

"Sehunnie..."

"Hm?"

Pesta belum usai. Pengeras suara hampir meledak oleh volume musik yang begitu nyaring. Suara ratusan orang di bawah yang bicara pada satu sama lain. Wangi seruak bunga dekorasi yang mampu memanjat hingga lantai tertinggi. Ada puluhan balon lagi yang dilepas ke udara, melayang di belakang mereka seperti latar belakang cantik sebuah kisah romansa. Dan malaikat yang baru ia culik dari surga kini menatapnya sayang.

Sehun tidak bisa memikirkan hidupnya lebih indah dari ini.

"Sehunnie, bagaimana kalau kita tinggal bersama setelah kau lulus nanti? Apartemenku sepi kutinggali sendiri."

Tapi ternyata bisa.

Sehun tak buang waktu untuk menyerang merah merekah yang terus membisikkan 'aku mencintaimu'.

.:xxx:.

Kalau dulu Sehun selalu pulang ke apartemennya yang sunyi, kini ini ia sering pulang disambut pelukan bayi rusa dan teh manis.

Sehun bahkan belum lulus, tapi dia sudah rutin mengunjungi apartemen Luhan lebih sering daripada rumah orang tuanya. Untung pemuda manis itu tidak keberatan. Lagipula ia senang di rumah punya teman makan.

"Sehunnie sudah makan? Yah, taruh sepatumu di rak!"

"Belum," Sehun pura-pura tuli, melangkah masuk tanpa mengindahkan peringatan si empunya rumah. Lalu merangkul Luhan sambil tersenyum bodoh. "Aku mau makan."

"Akan kubuatkan ramyun kalau kau sudah menaruh sepatumu di rak."

"Bawel," Sehun mencubit pinggang Luhan yang lalu menjerit. "Aku lapar! Aku belum makan dari pagi!"

"Salah sendiri tadi tidak mau sarapan di sini!"

"Aku tidak mau tahu. Pokoknya sekarang aku mau makan ramyun." Sehun mengedip. "Atau Lulu yang aku makan?"

Sikut Luhan itu tajam. Apalagi ketika disodok keras ke perut Sehun yang keroncongan. Luhan mendengus ke arah dapur, bergumam "sudah kubilang jangan panggil aku Lulu!"

Sakit sih, tapi Sehun hanya tertawa melihat kekasihnya bertingkah kekanakan.

Wisuda Sehun datang cepat sekali. Atau mungkin Sehun saja yang merasa waktu berlari selama ia berada di samping Luhannie. Universitas yang ia pilih menerimanya dengan beasiswa penuh—tidak mengejutkan.

Oh Sehun bukan mahasiswa biasa. Ia adalah prodigi di bidang sains dan teknologi. Intelejensinya di atas rata-rata, dan yang paling diapresiasi adalah gairahnya di bidang robotik. Deretan merk mahal di Korea berani bayar mahal untuk otaknya.

Dan Luhan lebih dari bangga memilikinya.

"Sehunnie, sudah malam." Kepala Luhan menyembul dari balik pintu. "Tidak tidur?"

Kamar Sehun gelap, tapi lampu belajarnya menyala. Meja lipat dari kaca tertutupi permukaannya oleh sketsa dan pensil dan gelas kopi yang tinggal separuh penuh.

"Nanti," Sehun membetulkan posisi kacamatanya. Desain flat screen pada kertas gambar menjadi pusat perhatian—Sehun hanya melirik sekilas ketika Luhan mengganti gelas kopinya dengan yang penuh. "Terima kasih, Sayang."

Luhan tersenyum kecil.

Sejak jadi mahasiswa, Sehun memang semakin sibuk. Agenda kencan yang awalnya seminggu tiga kali jadi seminggu sekali, lalu sebulan sekali. Tapi mau bagaimana lagi. Luhan tahu betul repotnya mengerjakan tugas. Apalagi yang butuh ketelitian dan otak panas seperti Sehun. Masalah kencan itu gampang, toh mereka tinggal seatap sekarang. Luhan tidak merasa diberatkan.

"Jangan terlalu malam tidurnya," si rusa mengusak rambut kekasihnya. Jarum pendek menunjuk angka dua. "Nanti kantung matamu bisa tambah tebal."

"Hm. Tidurlah duluan."

Sehun meletakkan pensil, meraih tengkuk Luhan kemudian menariknya mendekat. Satu kecupan singkat dan ia kembali bekerja.

Luhan membeku, kemudian memerah malu.

Semakin hari, waktu yang tersita makin lama makin banyak. Sehun kini sudah mulai sering menginap di kampusnya, mengerjakan proyek ini dan itu yang entah kenapa seperti tidak pernah selesai. Luhan mulanya mengizinkan, karena Sehun hanya pamit untuk minggu malam itu saja. Tapi kelima kalinya Sehun pamit, ia tidak pulang sampai tiga malam.

Luhan menggigit bibir.

Ia merasa apartemennya yang hangat jadi seperti dulu lagi. Dinding-dinding itu makin dingin. Kamarnya makin gelap. Rangkulan dan rengekan manja Sehun yang minta dimasakkan sarapan, dengkur lembut Sehun di samping telinganya, semua tidak terdengar.

Ketika malam tiba, Luhan begitu merindukannya.

Ketika sampai dua hari kemudian Sehun tidak juga menampakkan batang hidungnya, Luhan gerah.

Ia sudah berusaha mencari Sehun di kampusnya. Tiga kali keliling komplek mewah universitas dan hasilnya nihil. Luhan yang moodnya buruk dari pagi kesal setengah mati. Dihubungi pun tidak diangkat. Ia bertanya pada hampir semua orang yang ia lewati dan tidak ada yang tahu keberadaannya.

Sekarang begini, kalau dilogika, masa iya orang seperti Sehun tidak ada yang tahu keberadaannya? Apa dia ditelan bumi? Diculik alien? Apa dia diam-diam pindah ke luar negeri? Luhan hampir saja membentak marah orang terakhir yang ia tanyai, untungnya ia berhasil menahan diri.

Sehun pulang petang harinya, lusuh dan wajah kotor oleh tinta.

"Jangan sekarang, Lu," Luhan dipaksa menelan lagi semua emosinya. "Aku lelah."

Luhan tidak bertingkah. Sehun akan mandi dan makan, lalu tidur nyenyak di atas ranjangnya. Dan Luhan selalu bertanya-tanya kenapa Sehun lebih memilih tidur beralas matras di lab daripada di atas beludru ditemani rusanya.

Dan itu bukan sekali. Berkali-kali.

Sudah lama sekali. Satu malam saat Sehun kembali setelah meninggalkannya selama beberapa minggu dan kembali dengan baju yang sudah tak layak disebut baju oleh oli, saus, dan debu. Setelah Sehun mandi dan tertidur di meja makan, ia membopongnya ke kamar, menyelimutinya lalu berbaring di sampingnya.

Luhan memejamkan matanya yang mulai berat. Aroma maskulin Sehun membuatnya rindu. Muka manis mengusak dalam dekapan bidang, pinggang ramping dilingkari lengan pucat. Luhan terlelap dalam naungan hangat kekasihnya.

Sehun membuka sebelah mata. Nafas malaikatnya sudah teratur.

"Maaf, Lu."

Ia mengusak rambut pria mungil dan mengecup puncaknya.

.:xxx:.

"Pacarmu, Hun?" Kepala Chanyeol muncul dari bawah mobilnya. Skateboard yang sudah dimodifikasi jadi papan luncur menyangga punggung si calon montir profesional. "HP-mu berisik dari tadi."

Sehun melempar ponsel canggihnya ke atas matras di sudut lab kumuh mereka, jarak dan sudut lemparan sudah diperhitungkan dengan baik karena Sehun tak mau beli ponsel baru setelah semua isi rekeningnya dicurahkan untuk proyek robot kali ini.

"Maaf, Hyung. Luhannie mau pulang."

"Luhan pulang? Kemarikan obengnya." Si pria jangkung gesit menangkap besi panjang yang dilempar Sehun, lalu meluncur lagi ke bawah mobil. "Ke mana? Cina?"

"Hmm. Dia pamit barusan."

Bunyi debam keras. "Ow, bangsat!"

"Apa, Hyung?"

"Ck, tangki olinya bocor. Sialan." Chanyeol meluncur keluar, menghampiri teko kopi dan minum langsung dari ujungnya. "Kau tidak mengantarnya ke bandara?"

Mengantar?

"Tidak," Sehun melirik pojok ruangan tempat barang-barangnya berserakan—dan prototype blueprint yang belum rampung menempel di dinding depannya. "Luhannie bilang dia bisa berangkat sendiri. Dia tidak manja, kok. Dia bisa sendiri."

Chanyeol menatapnya seolah Sehun punya enam kepala. Sehun balas menatapnya.

"Apa?"

"Kau bercanda?" Chanyeol minum seteguk lagi. Lembur lima hari itu melelahkan. Kalau bukan karena bayaran menggiurkan yang ditawarkan si pemilik Audi bisa mendanai candle lit dinner dengan Baekhyun-nya, Chanyeol mungkin tidak akan mau. "Ini bukan soal manja atau bisa sendiri. Waktu Baekkie pergi summer camp ke Jeju saja aku mengantarnya. Karena setelah itu kami tidak akan bertemu agak lama, lebih baik aku menghabiskan waktu terakhirku dengannya, kan? Ini Luhan mau pulang ke negaranya dan kau tetap sibuk di lab?"

"Kau berlebihan, Hyung. Luhannie nanti juga kembali."

"Tapi tetap saja. Dengan begitu Baekkie tahu kalau aku sayang padanya, Hun. Minimal antar dia sampai di bandara."

Sehun terkekeh.

"Aw, Hyung. Romantis sekali. Lagipula aku tidak punya waktu untuk itu. Universitas butuh proyek ini cepat selesai dan aku bisa cepat lulus. Ini penting buatku."

Breaking news gempa 7,8 SR di Beijing itu yang membuat Sehun mati-matian ingin menelan semua ucapannya. Dua hari berlalu dan Sehun kira tidak ada pesan dari Luhannie-nya itu wajar. Tiap kata yang diucap datar si pembaca berita menarik titik demi titik air bening keluar dari sudut mata.

Terkutuk Tuhan yang meletakkan rumah orang tua Luhan di pusat Cina.

Jujur baru kali ini Park Chanyeol melihat sahabat dan adik tingkatnya itu hilang rasional. Sehun mirip orang gila, berlari keliling ruangan dengan tangan gemetaran mencengkeram ponsel dekat telinga. Bibirnya bergemeletuk membisikkan 'ayo angkat, angkat, angkat' dan 'Luhannie kumohon, Sayang' dan Chanyeol yakin suhu udara masih dua puluh delapan celcius di Korea—kenapa Sehun gemetaran?

Delapan puluh panggilan gagal, Chanyol melirik teks yang berkedip pada layar kecil ponsel adik tingkatnya. Sehun mengacak rambut dengan tangan kotor oleh tinta, berteriak kencang dan meringkuk di sudut ruangan.

Yang ia takutkan jadi kenyataan.

Ini semua terlalu cepat.

Baru kemarin ia membayangkan cepat lulus dan menikah. Baru kemarin ia memikirkan tempat yang sesuai untuk lokasi pelamaran. Baru kemarin ia mengunjungi toko emas dan mengira-ngira model cincin mana yang Luhannie-nya suka.

Sehun bekerja begitu keras untuk mengubah mekanisme parabola televisi di lab mereka dan meretas sinyal internasional. Ia tidak pulang sejak berita itu ditayangkan. Dengan begini, ia bisa memantau berita dari Xinhua—kantor berita Cina. Headline besar memberitahunya jumlah korban tewas dalam gempa terbesar di negara itu selama satu dekade terakhir, dan daras doa Sehun frustasi agar Luhan bukan satu di antaranya.

Ia mengutuk Tuhan yang mentakdirkan Luhan pulang ke Beijing di waktu yang salah.

"Sehun, sudahlah. Ini sudah takdir..."

"Tidak, Hyung. Aku masih belum dapat kabar apapun darinya. Aku tidak akan berhenti sampai... dapat... Ow! Sialan!"

Chanyeol mengernyit sedih melihat Sehun mengutuk kabel terbuka yang menyetrum tubuhnya.

"Sehun di sini?" Kepala mungil menyembul dari balik pintu. Chanyeol yang jongkok di sudut mendongak, hafal dengan surai cokelat manis tersebut.

"Dia di sini."

Baekhyun yang barusan mengintip lari ke pelukan kekasihnya. Chanyeol tidak bisa pulang untuk tiga hari. Ia begitu khawatir pada Sehun dan memutuskan untuk menemaninya, termasuk mengingatkan agar si pria pucat itu makan dan minum dan tak lupa mandi—tapi semuanya ditolak.

"Baby," Baekhyun berjinjit dan mencium kening Chanyeol. "Aku bersama Kyungsoo."

Ada Kyungsoo berarti ada sesuatu. Baik Kyungsoo atau Baekhyun tidak ada ketertarikan sama sekali terhadap dunia teknik. Kyungsoo anak rumahan yang tidak akan berkunjung ke tempat sejauh ini bila bukan untuk hal yang teramat darurat dan menyangkut nyawa. Itu candaan mereka berempat yang kemudian jadi kenyataan.

"Sehun, Sehun," Agak kagok, Kyungsoo berlutut di sampingnya, menggoyangkan punggung Sehun dan mengangkat dagunya agar menengadah. Mereka bertiga adalah teman sepermainan—Sehun, Chanyeol, dan Kyungsoo. Tambahkan Baekhyun dan Luhan selama mereka kuliah di Seoul. "Jangan seperti ini..."

"Dia belum makan dari kemarin," Chanyeol menggigit bibir. "Hanya minum, itupun cuma dua teguk. Serius, Sehun, jangan buat Luhan khawatir. Kalau kau begini, tidak akan mengubah apa-apa."

Atas penyebutan nama yang kini jadi tabu, Kyungsoo bergerak gelisah. Ia dan Baekhyun juga tahu semuanya. Malah, mungkin, ia lebih tahu.

Sehun masih tak mau bicara. Matanya kosong tanpa nyawa.

"Sehun... Aku dapat kabar dari sepupuku yang dapat kabar dari kekasihnya yang tinggal di Cina... kalau... Luhan..."

"... mana?"

Refleks Sehun merespon. Tenggorokannya sakit saat dipaksa menggerakkan pita suara. Perih saat bibir keringnya bergesek paksa. Lirihnya serak hingga nyaris tak terdengar. Chanyeol merasa Baekhyun meremas lengannya. Iba.

"Dia di rumah sakit. Luhan masih hidup." Kyungsoo menelan ludah. Melirik marah pada Baekhyun yang memaksanya jadi orang yang memberitahu Sehun. "Tapi..."

Baekhyun yang menyelesaikan seraya menunduk dalam. Chanyeol merasa ini tidak akan berakhir bagus.

"Tapi dia koma."

Chanyeol kira Sehun akan berteriak sekencang mungkin, atau menangis dan tak kunjung berhenti. Ia tidak mengira Sehun hanya akan jatuh merosot dari dinding dan terisak sekali sebelum hilang sadar.

"—Hun? Sehun! Oh Sehun, buka matamu!"

.:xxx:.

Universitas?

Lulus?

Proyek?

Tangan pucat Sehun menghapus semuanya dengan sebuah nama, "Luhan".

Sehun harus berterima kasih pada Kyungsoo dan Chanyeol dan Baekhyun, sungguh. Oh, dan juga pada sepupu Kyungsoo dan kekasihnya, Joonmyeon-hyung dan Yifan-hyung. Tanpa mereka, Sehun yang lemah takkan bisa duduk di dalam Korean Airlines menuju Beijing secepatnya.

"Sehun, mau minum?"

Sehun menggeleng, tetapi Kyungsoo tetap memaksakan segelas jus dalam genggaman.

Ia tidak mau jus. Ia mau menggenggam tangan Luhan.

"Sebentar lagi kita sampai," Chanyeol dari depan menoleh, memberitahunya.

Sehun tidak mengangguk.

Joonmyeon menyambut hangat mereka di rumahnya. Ia mempersilahkan Kyungsoo, Chanyeol, dan Sehun masuk dalam apartemen satu lantainya. Dan yang dimaksud satu lantai, ia benar-benar memiliki satu lantai penuh dari apartemen paling elit di Beijing itu.

"Hyung!"

"Kyungsoo-ya, selamat datang! Masuk, masuk!"

Kamar tamu itu lebih luas dari kamar-kamar yang pernah Sehun lihat selama hidup. Chanyeol menempati kamar di depannya. Kyungsoo dua kamar dari mereka. Yifan dan Joonmyeon lima kamar dari mereka.

"Gila," Chanyeol bersiul. "Dasar orang kaya. Kamar sebanyak ini untuk apa, coba? Mereka mau menyewakan jadi penginapan? Eh, Sehun. Jangan seperti orang mati begitu." Ia menendang pantat Sehun yang melamun ke luar jendela. "Setelah ini kita akan ke rumah sakit."

"Aku hanya... Hyung, aku tidak tahu," Sehun memejamkan matanya. "Apa keputusanku benar, langsung datang kemari? Maksudku, urusanku di kampus belum selesai."

Hening lama.

Ketika Sehun menoleh, jantungnya mencelos melihat ekspresi keras Chanyeol.

"Sehun."

Andai tatapan benar-benar dapat membekukan—baru kali ini Sehun melihat sahabatnya yang terkenal dungu tanpa bisa marah itu seperti ini.

"Hyu—"

"Jangan membuatku memukul kepala kosongmu itu, Sehun." Gigi sempurna digertakkan marah. Tak percaya akan pendengarannya. "Dasar hati batu. Kita jauh-jauh ke Beijing karena kekasihmu koma dan kau malah mengkhawatirkan studimu? Yang benar saja! Bangun, Sehun! Kau mau kulempar dari sini? Ingat alasanmu kemari!"

Penekanan penuh ancaman. Pria pucat terkesiap akan letupan sahabatnya.

Sehun tertunduk.

Kita jauh-jauh ke Beijing karena kekasihmu koma dan kau malah mengkhawatirkan studimu?

Chanyeol benar. Sehun betul-betul malu.

"Hyung... Maaf, aku—"

"Jangan padaku. Kalau mau minta maaf, minta pada Luhan."

Sehun menelan ludah. Kepala Kyungsoo yang menyembul dari balik pintu menyuruh mereka ke bawah menyelamatkan baik Sehun maupun Chanyeol dari situasi kikuk.

"Aah, sudah datang?" Yifan menjitak Kyungsoo pelan. Yang dilukai merengut. "Apa kabar, Kyungsoo? Kau masih pendek, ya. Sama seperti kakakmu."

Mengabaikan pekik marah Kim bersaudara, Yifan menoleh pada dua orang asing yang berdiri kagok di samping ("Masih calon, Hyung!") adik iparnya.

"Ini Oh Sehun dan temannya, Park Chanyeol"

Keduanya membungkuk. Yifan mengangguk. "Wu Yifan. Senang bertemu kalian. Dan aku sudah dengar semuanya," Sehun mendongak. "Aku turut berduka. Sungguh. Semoga Luhan cepat sadar."

Sehun mengangguk. Impresi pertamanya pada Wu Yifan cukup baik. Mengizinkan orang asing sepertinya untuk tinggal di rumahnya, bahkan mau repot-repot menyediakan kamar tidak hanya untuk satu malam, tetapi hingga Luhan-nya bangun dari koma.

"Aku benar-benar berterima kasih. Sungguh." Sehun membungkuk beberapa kali. "Anda terlalu baik. Bahkan aku ini hanya orang asing tapi Anda—"

"Panggil aku Hyung saja, jangan terlalu formal. Aku sudah biasa begini. Toh Joonmyeon-ku juga mencintaiku karena aku baik hati—ow!"

Joonmyeon mengusap tangannya yang baru mencubit pinggang Yifan. "Maafkan dia, Sehun. Memang kepalanya kadang bisa membesar sendiri."

Chanyeol tertawa keras atas candaan yang sebenarnya tidak lucu itu. Sehun terkekeh pelan untuk menghormati tuan rumah. Joonmyeon cengar-cengir. Kyungsoo tampak tidak tertarik.

"Jangan melawak, Hyung. Lagipula kau tidak lucu."

"Kyungsoo-ya yang lucu mau kucubit pipimu sampai kempeees?"

Setelah ramah tamah yang menyenangkan, Yifan menyarankan mereka untuk segera istirahat. Tapi Sehun menolak, tentu saja. Ia memilih untuk berkunjung ke rumah sakit tempat mayoritas korban gempa Beijing dirawat.

"Aku tidak tahu tepatnya di rumah sakit mana Luhan-hyung dirawat," Kyungsoo yang baru menelepon pihak rumah sakit menyahut dari ujung ruangan. Kesal. "Joonmyeon-hyung menemukan namanya kemarin di Rumah Sakit Beijing, tapi kemarin pagi ada dua belas bangsal yang dipencar ke enam rumah sakit pembantu. Kecuali kau mau malam-malam memohon pada resepsionis rumah sakit untuk mengecek daftar nama pasien, kusarankan—"

"Cuma enam bukan masalah, Kyungsoo-hyung," Sehun meraih mantelnya dari atas sandaran sofa. "Ini tidak akan makan waktu lama. Aku akan segera kembali."

"Sehun, kau tidak bisa menunggu sampai besok?" Joonmyeon dari arah dapur berseru. "Kalian masih jet lag, kan? Bahaya kalau mengemudi malam-malam begini. Kalau besok, aku bisa mengantar dan menemani—"

"Tidak perlu, Hyung, terima kasih. Paling tidak, cuma ini yang bisa kulakukan. Siapa tahu Luhannie sudah bangun dan sedang menungguku. Lagipula," Kunci mobil yang dipinjamkan Joonmyeon diraih, digenggam erat. "Aku benar-benar ingin melihatnya malam ini juga."

Pintu depan dibuka. Angin malam di Beijing punya potensi tinggi membuatnya tak enak badan, tapi itu halangan kecil untuknya. Bersedekap, Chanyeol diam-diam menatap bangga pada punggung dongsaengnya. Bukan sia-sia ia menjejali Sehun dengan akal sehat tadi di kamarnya.

"Ayo, Hyung! Kau tidak ikut?"

"Eh? Ya-ya, tunggu sebentar!"

Mereka cukup beruntung jarak antar rumah sakit tidak terlalu jauh, hanya beberapa kilometer dan beberapa menit ditempuh mobil sport Joonmyeon. Chanyeol sampai tidak sempat mengamati variasi interior mobil itu saking tegangnya ia.

Pencarian Luhan dimulai dengan salam sopan dan tutur lembut. Kesabaran panjang menunggu si resepsionis membuka tiap lembar rekaman keluar-masuk pasien (di abad 21 begini Oh Sehun tidak bisa percaya masih ada rumah sakit kolot yang mencatat arsip di kertas). Senyum segan dan bokong panas menunggu hasil pencarian.

"Maaf sekali, tidak ada pasien bernama Luhan di sini."

"Anda yakin?" Chanyeol bertanya dalam Mandarin patah-patah.

"Tentu saja. Semuanya ada di arsip ini."

Sehun mencibir pada gores tinta malas yang jelas kalah tangguh dengan software multiacces buatannya yang sudah dibeli pengembang OS Amerika.

"Terima kasih. Maaf merepotkan. Ayo, Hun."

Rumah sakit kedua, ketiga, keempat pun sama saja. Tidak ada nama 'Luhan' tercatat di arsip mereka. Sumbu Sehun mulai memendek. Jantungnya berdegup kencang akan kemungkinan mereka tidak menemukan pria manis bermata rusa itu.

"Di sini juga tidak ada."

Wajah tampan mulai merengut jelek.

"Mungkin mereka tidak teliti mencarinya. Coba suruh mereka cari lagi, Hyung."

"Oh Sen, kau gila? Sebegitunya kau ingin lihat aku ditampar malam-malam begini? Ayo kita lanjut."

Sehun merapal doa-doa sebisanya agar ia menemukan Luhan di rumah sakit terakhir ini. Kalau sampai tidak... ia tidak tahu apa ia bisa menahan diri untuk tidak mencekik siapapun itu yang berdiri di balik meja resepsionis.

Brak!

"Tidak mungkin tidak ada di sini!"

Nyatanya memang tidak ada.

"Kumohon, bisakah Anda periksa sekali lagi?" Chanyeol mencengkeram bagian belakang mantel Sehun, mencegah pemuda yang lebih muda melompat kalap dan mencakar muka perawat wanita bermuka ketus yang tampak lelah sekali—tentu saja, ini sudah jam dua pagi. "Kami sudah mencari pasien ini di lima rumah sakit lain dan hasilnya negatif. Tolonglah, Anda harapan terakhir kami."

Senyum manis penggoda iman sebagai umpan.

Si resepsionis agak gentar sejenak. Daripada pria pucat tak tahu adab yang jelas-jelas menatapnya tidak suka itu, ia lebih suka si jangkung dan rambut merah menawannya.

Perempuan itu menjulurkan badan. Bersyukur belah dadanya agak rendah jadi pasti kelihatan.

Sayang sekali si perawat tidak tahu Chanyeol lebih doyan yang menonjol di bawah.

"Akan kuusahakan... Tapi kalian harus tinggal di sini agak lebih lama lagi. Tidak apa, kan? Dan tolong tulis nomor Anda di sini."

Modus.

"Tentu saja, Nona. Tolong, ya. Kami sangat membutuhkannya."

Sehun mendengus. Melengos. Meregangkan badan yang kemang. Chanyeol duduk diam di sampingnya, bersandar pada dinding dingin bercat putih dan bau alkohol. Hidung besarnya merengut tak suka. Chanyeol lebih suka bau oli daripada alkohol.

"Gege yang di sana, boleh ke sini sebentar?"

Yang dipanggil si suster genit hanya Chanyeol saja. Sehun sebenarnya ogah ke sana kalau bukan karena mereka mencari Luhan.

"Bagaimana?"

Binar harapan di mata besar Chanyeol membutakan si perawat sejenak.

"Aku masih belum berhasil menemukan 'Luhan' ini. Tapi," si perawat melirik tidak suka. Chanyeol buru-buru berdeham menyamarkan geraman marah Sehun. "Ada empat pasien yang belum dikonfirmasi oleh pihak keluarga sehingga kami tidak mencatat mereka. Ada di bangsal enam belas."

"Apakah pasiennya laki-laki?"

"Ya, dua laki-laki dan dua perempuan. Apa Luhan ini orang yang begitu penting sampai kalian rela malam-malam mencarinya?" Dan beruntung dicari dua pria tampan, si suster menambahkan dalam hati.

"Tentu saja," sergah Sehun yang sudah ingin lari ke bangsal enam belas sedari tadi. "Dia kekasihku. Dengar, kalau sampai aku tidak menemukan Luhannie-ku di sini, siap-siap saja aku mengadu pada manajermu. Dan lagi, jauh-jauh dari Hyungku. Dia sudah punya anak anjing kesayangan yang namanya Baekhyun-hyung dan kau kalah jauh darinya!" Ia menyeret Chanyeol yang tergagap. "Ayo, Hyung, kita ke sana!"

Chanyeol mengangguk sopan sebagai bentuk terima kasih. Mengabaikan si perawat yang menganga.

Derap mereka mengganggu para pasien yang beristirahat. Perawat lain yang mendorong troli makanan meneriaki agar tidak ramai, tapi Sehun sudah kabur sementara Chanyeol membungkuk-bungkuk minta maaf diomeli Mandarin menyebalkan.

"Dasar!" Chanyeol mengumpat di depan bangsal enam belas. Satu-satunya bangsal yang lampunya menyala. "Kenapa kau biarkan aku dimarahi perawat tadi, heh? Kau ini, sudah ditemani, masih seenaknya saja—"

Chanyeol tidak melanjutkan ucapannya. Percuma, toh Sehun juga sudah menutup telinga di samping ranjang seorang pasien mungil dengan perban membebat kepala dan tangan dililit selang IV. Tangan pria pucat itu mengelus muka mulus penuh luka.

Mata bulat Chanyeol membesar.

"Akhirnya," desahnya lega. "Ketemu juga."

Luhan dipindahkan ke ruang VVIP hampir saat itu juga. Sehun menolak pinjaman uang dari Yifan, sekalipun pria tinggi itu memaksa. Ia justru meminta Chanyeol menghubungi Baekhyun di Korea dan membantunya mengurus proposal proyeknya. Proposal itu nantinya akan dicairkan dan uang yang harusnya Sehun gunakan untuk proyek robotik yang akan menentukan kelulusannya itu akan digunakan untuk membayar biaya rumah sakit Luhan sementara. Sampai Luhan sadar, ia akan cari pekerjaan sementara atau mungkin menjual blueprint proyeknya yang lain.

Tetapi yang pasti, ia takkan pulang ke Korea selama Luhan belum sadar.

"Sehun, aku tidak mengerti."

"Apa?"

"Kenapa orang tua Luhan-hyung belum mengonfirmasinya? Harusnya mereka mengurus administrasi Luhan, kan? Mereka orang terpandang di Cina, dan rumah mereka juga di Beijing, kan. Kecuali—oh." Chanyeol menutup mulutnya dengan sebelah tangan begitu tersadar sesuatu dari yang ia katakan.

Tubuh Sehun menegang. Chanyeol benar. Luhan adalah semata wayang dari keluarga kaya yang tentu sangat disayang. Tidak mungkin administrasinya tidak diurus bahkan sampai tidak ada keluarga yang mengonfirmasinya dalam kondisi koma seperti ini.

Kecuali keluarga itu berada di tempat yang sama saat gempa.

Tidak perlu jadi psychic untuk tahu apa yang Chanyeol pikirkan.

"Aku tidak mau jadi orang yang memberitahunya kabar duka ini, Sehun."

Sehun pun tidak mau.

.:xxx:.

"Ya, baby, aku baru saja mau bilang kalau, yah, aku minta maaf..."

"Yah! Kau ini kan bukan ayahnya!" seruan marah Baekhyun terdengar menggema ruang rawat Luhan. Chanyeol buru-buru mematikan mode loudspeaker saat Sehun meliriknya. "Pulanglah! Tega sekali dua minggu membiarkan kekasihmu ini hanya main dengan tangannya!"

"Ssh, iya, iya, baby. Kalau Luhan sudah bangun, nanti aku pulang, oke?"

"Tapi ini sudah dua minggu! Aku tidak bisa kalau harus terus cari alasan untuk absenmu, Dobby! Urus saja kuliahmu sendiri!"

"Yah, apa-apaan, sih? Kenapa sensi sekali? Kau lagi datang bulan atau kenapa?"

"..."

"Dia diam," Chanyeol membentuk gerak bibir pada Kyungsoo. Si mata bulat menyuruhnya terus bicara. "Ahem, oke, jadi..."

"Pulang atau kubuang semua boksermu?"

"Iya, baby. Aku paham. Tapi masalahnya... Luhan belum sadar. Baekkie, aku—"

"Luhan, Luhan, Luhan terus saja! Pacarmu itu aku atau Luhan?!"

Kali ini walau tanpa loudspeaker pun, baik Kyungsoo maupun Sehun mendengarnya.

"Pikirkan itu, Park!" Ditutup dengan lirihan yang sangat bukan-Baekhyun-sekali. "Aku sudah lama tidak melihatmu."

Diputus sepihak. Chanyeol menatap tak percaya pada ponselnya.

Lalu hening. Tidak ada yang berani bicara.

Sehun menggigit bibir, tangan tetap mengelus surai Luhan yang tetap lembut. Matanya menatap tetes demi tetes IV yang masuk dalam tubuh lemas itu.

"Hyung, pulanglah." Chanyeol menoleh pada Sehun. "Aku tidak mau jadi penyebab rusaknya hubunganmu dengan Baek-hyung."

"Tapi, Sehun, kau—"

"Aku tidak apa-apa di sini. Aku bisa mengerti perasaan Baekhyun-hyung yang sendirian selama itu. Benar-benar tidak menyenangkan." Mungkin itu yang dirasakan Luhan dulu saat ia sibuk sendiri dengan proyeknya, tapi Luhan tidak seekspresif Baekhyun saat mengatakannya. Sehun merasa degup nyeri pada hatinya. "Lagipula ada Joonmyeon-hyung dan Yifan-hyung. Kyungsoo-hyung juga, kau bisa pulang kalau mau."

Kyungsoo menggeleng. "Aku sudah menyelesaikan draft skripsiku. Aku bisa menemanimu menunggu di sini."

Chanyeol berkedip, lalu tersenyum kecil.

Ia berangkat esok paginya. Kyungsoo dan Sehun menemaninya ke bandara, sementara Joonmyeon menunggu di mobil.

"Kau tidak menelepon Baekhyun-hyung dulu?"

"Tidak usah," Chanyeol mengedip. "Biar ini jadi kejutan buatnya. Bayangkan, pagi buta aku mengetuk pintu apartemennya lalu dia masih dalam piyama babydollnya membuka pintu dengan rambut kusut dan cemberut unyu itu karena moodnya masih buruk lalu ia melihatku di depan matanya kemudian aku memeluknya lalu menciumnya lalu menggendongnya ke kamar dan kami akan—"

"Oke, berhenti sampai situ. Aku cukup tahu."

Chanyeol tertawa pada sensitivitas Kyungsoo.

.:xxx:.

Kalender itu sudah disobek angkanya dua puluh kali. Tirai putih disibak sekali lagi, sorot bias matahari masuk tanpa permisi. Sehun memalingkan muka pada sosok kekasihnya.

Masih manis. Masih tertidur. Pulas. Tanpa ada tanda-tanda ia akan bergerak atau bangun sedikitpun.

Manik jernih seiras rusa betina yang ia rindukan tak kunjung terbuka.

Tiap hari pemandangannya tetap sama. Dokter akan memeriksa denyut nadi dan suhu Luhannya, perawat akan mengganti cairan IV dan kadang selimut Luhannya, Kyungsoo akan mengajaknya makan di luar dan mereka akan pulang sebentar, mandi dan berganti baju. Sesekali Joonmyeon dan Yifan akan datang menjenguk seraya membawa bunga dalam buket besar berlilit pita. Andai Luhannya terjaga, ia pasti akan heboh sendiri melihatnya.

Tapi tidak. Nafas pria mungil itu tidak ada perubahan.

"Bersabarlah," Joonmyeon berkata seraya menepuk pundaknya. "Paling tidak, ia masih bernafas."

Sehun mengangguk.

Hiburannya mungkin hanya video call dari Chanyeol, kadang dengan Baekhyun yang bertingkah lucu berusaha menyemangati Sehun. Kadang keduanya membuat keributan sendiri di apartemen Baekhyun, apapun agar Sehun setidaknya tersenyum atau ikut tertawa gila.

"Pahit, pahit," Sehun terkekeh melihat dua sejoli itu lepas kendali di depan kamera. "Aku tidak perlu lihat kalian saling makan muka, Hyung."

Chanyeol tertawa menggelegar.

Luhan tak kunjung menunjukkan tanda-tanda ia akan bangun.

Sehun menyergah pikiran bahwa hidupnya monoton.

Tangan Sehun yang gatal kadang akan bermain dengan baut, mur, besi ranjang kekasihnya. Kadang selain dengan membelai wajah dan surai hitam Luhan, ia akan memilin selimutnya, membentuknya jadi beberapa formasi ringan. Kadang ia meminta beberapa lembar kertas kosong dari si perawat dan mencoretinya dengan persegi dan lingkaran dan rumus-rumus yang sudah lama ia tidak berkutat, mengabaikan tatapan aneh yang ia terima.

Sampai satu hari itu, ponselnya bergetar dari atas nakas.

"Halo? Chanyeol?"

"Aku tidak tahu, Sehun. Sungguh." Chanyeol terdengar lelah sekali. Sehun mengangkat sebelah alis. Ada apa ini? "Baekhyun bilang pihak kampus mencarimu. Proyekmu yang belum selesai... Kau sudah mengambil uang untuk proyek dari proposalmu, tapi mereka belum melihat proses apalagi hasilnya. Kalau begini terus, mereka mengancam akan mengeluarkanmu."

"!" Tirai putih diremas. Mata Sehun jelalatan. Panik. "Aku harus bagaimana, Hyung?"

"Sehun-ah, apa proyek itu penting bagimu?"

"Ya, tentu saja! Tanpa itu, apalagi kalau mereka tahu uangnya kugunakan untuk Luhannie, aku pasti di-drop out!"

Chanyeol juga bingung. Sehun terutama. Kelereng jernihnya jelalatan dari jendela ke Luhan, kembali lagi ke jendela, lalu pada pintu ruang rawat Luhan yang terbuka.

Sosok malaikat penolong bernama Kyungsoo itu datang lagi untuk yang kedua kalinya.

"Pulang dulu?" Kyungsoo mengangkat sebelah alis. "Seingatku kau yang bersumpah tidak akan pulang sebelum Hyung sadar?"

"Kondisi di kampusku sulit. Bisa dibilang sekarang aku buronan. Sungguh, kalau bisa, aku pun sebenarnya tidak mau pulang."

Kyungsoo tidak tahu apa tepatnya yang terjadi, tapi ia hanya mengangkat bahu. Tak ambil pusing.

Sehun mencegat taksi satu jam kemudian. Ia tidak punya banyak pakaian untuk dipak, Yifan-hyung menyiapkan hampir semua keperluannya dan Chanyeol di sini. Bahkan pria itu juga yang memesankan tiket lewat layanan kilat khusus yang tentu tidak dipunyai tiap orang. Ia terkadang sampai ngeri sendiri melihat kekayaan pria tampan kelewat tinggi itu.

"Ke mana, Tuan?"

"Bandara Chang-ie. Tolong cepat, ya."

"Baik."

Taksi yang ia naiki bukan taksi biasa. Ini taksi untuk kelas atas, bisa dilihat dari kualitas jok kulit yang ia duduki. Sehun bersandar ke belakang, melongok ke luar jendela.

Beijing berlalu dengan cepat di matanya.

Sesekali ia melihat pantulan dirinya sendiri di kaca jendela. Pria awal dua puluhan yang tampak lusuh dengan kantung mata tipis. Si jenius calon mekanik profesional. Sejak kedatangan Luhan, sungguh Sehun tak tahu bagaimana cara rusa betina itu menjungkir balikkan seluruh hidupnya yang sudah tertata.

Saat usianya masih lima belas, ia selalu bermimpi menjadi orang kaya yang tiap hari bermain-main di labnya. Bukan pemuda matang yang berlalu-lalang di negeri orang dengan perasaan tak karuan sebab kekasihnya di ambang bernyawa dan tidak.

Begitu cepat waktu berlalu. Begitu cepat semua terjadi.

Taksi berhenti oleh lampu merah.

Si sopir taksi tidak bicara sama sekali, dan Sehun tidak keberatan. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia butuh ketenangan.

Dan getar ponselnya lebih dari gangguan.

Sehun merengut. Berpikir itu mungkin alarmnya yang berbunyi. Tanpa melirik, ia mematikan ponselnya dan melemparnya masuk tas terdalam. Lalu melihat ke luar lagi.

Cina. Luhan.

Kapan ia bisa kembali kemari?

Ia tiba tak lama kemudian. Sehun sudah akan keluar dari taksi ketika ia menyalakan ponselnya lagi, langsung disambut gelegar dering panggilan masuk. Ia menarik uang yang hendak dibayarkan.

Kyungsoo. Sehun punya firasat si cebol ini tidak meneleponnya hanya karena celana dalamnya ketinggalan di kamar. Ia menekan tombol hijau dengan sedikit ragu.

"Kyung—"

"KAU DI MANA?"

Bahkan si sopir taksi berjengit mendengar kepanikan Kyungsoo dari seberang sana.

"A-aku di bandara—"

"RUMAH SAKIT, SEKARANG!"

Jakun Sehun naik-turun.

"A... ada apa?"

Gelap mengitarinya. Sehun tidak melihat apapun walau matanya terbuka lebar. Pendengarannya disumpal Kyungsoo dan suaranya, dan berita apapun yang ia terima.

"Luhan—dia shock! Cepat!"

Sehun sungguh beruntung si sopir taksi paham Bahasa Korea. Ia memutar balik ke arah rumah sakit yang disebut si penelepon tanpa tunggu lama. Pemuda itu—penumpangnya, kini tak ubahnya arca tak bernyawa.

.:xxx:.

"Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku bersumpah. Aku akan selalu di sini, menunggumu bangun. Karena itu... bangunlah, Luhan. Bangunlah..."

"Sehun."

"Kumohon..."

"Sehun, sudahlah," Kyungsoo terpaksa menarik kerah kaus Sehun lebih kuat. Tangan Luhan tak patut dicengkeram sekuat itu. "Ia sudah tenang lagi. Tadi memang sempat panik, entah kenapa. Tapi dokter bilang dia sudah tidur lagi."

Mata Sehun tak pernah semerah itu. Kyungsoo yang katanya tak punya hati menghela napas panjang.

"Apa... d-dia bangun, Hyung?"

"Tidak. Hanya shock saja, lalu tenang lagi. Sehun, maafkan kepanikanku tadi. Tapi sedetik itu aku benar-benar takut kalau ada apa-apa..." Kyungsoo memalingkan muka. "Aku tidak bisa berpikir jernih. Kau tidak kunjung mengangkat telepon dan Luhan kejang hebat sekali. Grafik jantungnya tidak stabil. Dokter dan perawat itu berteriak-teriak, dan aku tidak bisa apa-apa. Mereka memakai alat-alat yang aku hanya pernah melihatnya di drama-drama. Seolah... seolah Luhan akan mati. Aku... aku takut."

Sehun mengusap puncak kepala Kyungsoo yang bahunya gemetar. Ia mengerti. Betul-betul mengerti perasaannya.

Kyungsoo adalah sahabat Luhannie-nya.

"Aku akan di sini. Aku tidak akan pulang." Sehun menegaskan. Kyungsoo tampak terkejut. "Aku tidak mau ini terulang lagi. Apapun yang terjadi, aku ingin jadi orang pertama yang ia lihat saat ia membuka matanya."

"Tapi kuliahmu—"

"Itu bisa kuatur belakangan."

Sehun mengulas senyum. Kyungsoo tahu sebenarnya ia ragu.

"Aku pulang dulu. Hyung pasti khawatir."

Sehun mengangguk, mengantar Kyungsoo sampai gerbang rumah sakit dan kembali.

Luhannienya masih di sana, terbaring. Hidupnya dibantu selang dan masker udara.

Bibirnya tidak tersenyum.

"Apa, Luhannie?" bisik Sehun pelan. "Apa yang mau kau katakan? Kenapa saat aku hampir pulang, kau jadi begini?"

Ia menarik sebuah kursi. Melirik jam dinding. Pukul sepuluh malam.

Tiket yang Yifan beli sia-sia di tangannya.

"Luhannie..."

Ia menggenggam tangannya. Erat.

"Aku sudah bilang tadi. Kali ini akan kutepati." Sehun mengecup dahinya. "Aku akan jadi orang pertama yang kau lihat kalau kau bangun nanti. Setelah itu, setelah kau sehat, akan kuajak kau kencan ke tempat kita pertama kencan dulu, kau ingat? Lalu ke sekolah lamamu. Kita bisa nostalgia di atap seperti dulu lagi. Aku janji tidak akan meninggalkanmu seperti dulu, sungguh. Aku akan pulang tepat waktu tiap hari. Aku akan... aku akan..."

Senyumnya berubah jadi ringisan. Tetes bening mengalir bebas.

"Apapun... akan k-kulakukan apapun... asal... a-asal... kau bangun... Luhannie..."

.:xxx:.

Sehun terbangun dengan tangan Luhan di atas kepalanya. Ia berkedip sejenak, linglung, melihat ke sekeliling. Masih pagi sekali. Belum ada cahaya matahari yang masuk seperti biasa.

"Uahm..."

Ia meregangkan badan. Tersenyum menatap Luhannie-nya.

"Selamat pagi, Luha—"

Masker udara itu terlepas. Luhan-nya terbaring dengan kepala miring.

Dan sesuatu yang hangat. Sehun menunduk.

Darah menutup tangannya.

"Sehun, aku bawakan—astaga, kenapa tanganmu? Dokter!"

Ia tidak tahu apa-apa. Yang ia tahu, Kyungsoo dan Joonmyeon yang datang menjenguk tiba-tiba ramai di depan pintu.

Joonmyeon mendudukkannya di kursi tunggu.

Sehun linglung. Tangannya merah dan belum dicuci. Kaus putihnya terciprat warna yang sama. Bahkan dagunya. Hampir seluruh bagian depan tubuhnya, sebenarnya.

Darah Luhan.

Dokter yang keluar dari ruangan Luhan tidak mengenakan ekspresi yang menenangkan. Sehun menatap lantai rumah sakit tanpa minat. Kaki Kyungsoo dan Joonmyeon mengitari dokter itu. Suara mereka ramai. Berisik. Ribut.

Sehun tidak suka.

"Kami benar-benar tidak tahu—"

Isakan Kyungsoo meledakkannya.

"KAU DOKTER DAN KAU TIDAK TAHU BAGAIMANA INI BISA TERJADI?"

"Sehun! Sehun! Kendalikan dirimu!" Kyungsoo menahan tangisnya, menarik lengan Sehun tanpa tenaga. "OH SEHUN!"

Lengannya diayun paksa. Kasar. "Apa yang bangsat itu katakan?! Kenapa Luhan?!"

Joonmyeon benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Pengunjung lain mulai menonton mereka walau dari kejauhan.

Sehun yang marah adalah epitom menyeramkan.

"Sehun. Bagaimanapun, mereka itu hanya dokter." Joonmyeon berbisik. "Mereka juga manusia. Mereka bukan Tuhan."

Tidak.

Tidak mungkin secepat ini.

Tidak...

Pria berjas putih itu melemparnya tatapan prihatin.

"Kami telah berusaha semampu kami."

.:xxx:.

Sehun tidak datang di upacara pemakaman Luhan.

.:xxx:.

Sehun memutuskan tak ada gunanya menetap di Cina. Baekhyun dan Chanyeol rutin mengunjunginya di apartemennya.

.:xxx:.

Kyungsoo lagi-lagi membawakannya serantang makanan. Dan teman-teman berwajah asing yang menyampaikan belasungkawa.

Sehun hanya tiduran. Membuka mata pun tak kuasa.

.:xxx:.

Baekhyun harusnya menyerah memaksanya keluar.

Tidakkah Sehun sudah jelas memberitahunya kalau ia hanya ingin tiduran?

.:xxx:.

Chanyeol keluar dari apartemennya dengan mata membiru. Salah sendiri. Siapa suruh memaksa Oh Sehun berangkat kuliah?

.:xxx:.

Telepon rumahnya berdering beberapa kali.

Kyungsoo bilang itu dari orang tua Sehun.

Tapi entah lagi. Apa mereka sudah ingat kalau punya anak lelaki?

.:xxx:.

Berita itu akhirnya datang. Surat yang ia tunggu akhirnya datang.

Keputusan dikeluarkannya ia dari kampus idamannya.

Hah.

Sehun menjadikan kertas berstempel rektor itu bangau di samping jendela.

.:xxx:.

Dua bulan.

Atau dua belas bulan?

Entah. Sehun tidak melihat kalender sama sekali.

.:xxx:.

"Sehun, kau tidak boleh hidup seperti ini selamanya."

Sosok jangkung berpakaian kumal yang meringkuk di atas sofa berdebu itu tidak menjawab. Hanya melamun ke luar jendela. Ia belum kenal lama dengan Joonmyeon tapi pria kelewat baik ini rela bertandang ke Korea untuk menjenguknya. Kyungsoo sempat bercerita tentang kakaknya yang betul-betul terkejut melihat rupa Sehun yang tak terurus saat si pria mungil mengantarkan sekotak pizza dengan harapan akan dimakan (tentu saja tidak, Sehun membiarkan isinya membusuk di dapur belakang), tapi Sehun tidak mendengarkan.

"Kau harus melangkah maju, Sehun. Apa namanya, move on? Gaya hidup seperti ini tidak baik. Lihat lantai apartemenmu, berapa minggu tidak kau sapu?"

Apa peduliku?

Apa pedulimu?

Apa peduli dunia ini padaku?

Apa peduli Tuhan padaku?

"Ambil mantelmu. Kau ikut keluar denganku."

Sehun tahu percuma ia melawan. Joonmyeon menyeretnya ke luar dan ia mengikuti seperti boneka rongsok tanpa emosi.

Mati.

"Kita akan ke tempat Yifan dulu, lalu ke mall." Joonmyeon berkata tanpa ditanya. "Waktunya memperbarui isi lemarimu. Apa kau tidak sadar sudah seminggu kau belum sekalipun ganti baju?"

Tidak. Apa peduli Sehun?

Mereka sampai beberapa jam kemudian, Sehun sudah hampir mati kebosanan selama Joonmyeon bercerita ini dan itu—ia tak terlalu mendengarkan. 'Tempat Yifan' adalah rumah elit di kawasan Gangnam yang dikawal petugas keamanan 24/7 dan dipagari besi tajam setinggi dua meter. Tanah luas dengan bangunan bergaya barat itu adalah gabungan dari rumah pribadi, kebun plus rumah kaca kesayangan Joonmyeon sendiri, garasi delapan Mercedes antik yang bisa membuat Chanyeol menangis, dan laboratorium yang hanya Yifan dan Joonmyeon yang punya izin masuk.

Tapi semua percuma. Semua bau abu. Yang Sehun inginkan sekarang hanya pulang dan tidur di ranjangnya, menghirup aroma Luhan yang sudah pudar semaunya.

Dan sekarang Sehun punya kesempatan untuk masuk laboratorium impiannya—dulu. Tapi sungguh, maniak teknik mana yang tak mau masuk potongan surga bernama laboratorium pribadi Wu Yifan, lulusan summa laude Massachussets Institute yang punya potensi jadi petinggi di NASA kalau ia mau?

Sehebat itulah Wu Yifan. Tiap majalah teknik yang ia baca dulu pasti ada headline tentangnya. Wu Yifan adalah fenomena di dunia sains dan teknik dan biologi—karena ia menggabungkan ketiganya. Inovasi dan kreativitasnya begitu luar biasa hingga diakui oleh dunia. Tapi alih-alih pindah ke Amerika untuk mengaplikasikan kemampuannya, ia memilih untuk tinggal di Cina dan bereksperimen dengan institutnya—sekaligus tinggal seatap dengan kekasihnya.

Kekasih. Sehun mendengus dan memendam nyeri di ulu hati.

Mengingatnya membuatnya semakin sakit.

Saat bibir Joonmyeon dan Yifan bertemu dalam kecup rindu, Sehun memalingkan muka. Ia lebih memilih meninggalkan dua burung kecil kasmaran itu dan menyusuri laboratorium yang didominasi lampu biru.

Banyak blueprint. Banyak sketsa. Banyak rak yang lebih tinggi darinya. Banyak peralatan dalam berbagai jenis dan ukuran, Sehun yang dulu akan senang memainkannya. Banyak kotak kaca dan tabung-tabung, cairan-cairan dan serbuk. Tangan Sehun hati-hati menyentuh semuanya satu-satu.

Berjalan di sini seperti berjalan dalam diorama hidup. Membuatnya nostalgia akan gairah masa lalunya. Teknik dan mesin dan segalanya itu.

Gairah yang telah membuatnya kehilangan kekasihnya.

Sehun sudah akan berbalik dan memaksa Joonmyeon mengembalikannya dalam lubang kelinci berkedok apartemen kecilnya ketika sudut mata menangkap kotak kaca besar di sudut ruangan. Ia berjalan mendekat dituntun rasa penasaran.

Apa itu? Besar sekali?

Sehun mengernyitkan mata, mengamati atas bawah. Lalu menekan satu tombol yang membuat mika buram turun dan tak lagi menghalangi pandangannya.

Tersentak.

.:xxx:.

"Lu—!"

Ia menutup mulut.

Seumur hidup, belum pernah melihat yang seperti itu.

Di balik kaca besar itu adalah sebuah... manusia. Bukan, sebuah boneka. Atau patung? Mungkin pahatan lilin? Tidak, tunggu, itu robot. Atau mungkin—itu Luhannya.

Karena sungguh, rambut hitam dan manik rusa dan kulit putih khas Asia. Hidung kecil dan bibir tipis, dan tingginya bahkan sama persis, sampai ke bentuk telinga dan panjang kaki-tangannya yang Sehun hapal di luar kepala.

"Sehun, kau lihat apa?"

Sehun berbalik dengan mata lebar, menatap Yifan dengan penuh tuduhan. "Hyung, apa itu?"

"Ah, itu..." Yifan terkekeh. Joonmyeon mengikuti di belakangnya, tampak tidak terkejut. "Kau sudah melihat proyek terbaruku? Itu prototype pertama. Robot hybrid dengan AI dan EI. Aku menyebutnya proyek 520."

Manik Sehun melebar. AI—Artificial Intelligence, Kecerdasan Buatan. Konsep ini sudah banyak dipakai oleh para jenius robotik di seluruh dunia, implantasi otak buatan yang membuat robot mampu menghafal pola tertentu dan menjalankan perintah tertentu, menerapkan fungsi logika dan aritmatika, pula dibekali dengan memori buatan dan ketepatan dalam identifikasi maupun responsibilitas. Tapi EI—Emotional Intelligence, yang akan membuat robot-robot ini tidak hanya memiliki logika namun juga perasaan, adalah sesuatu yang baru dan belum pernah berhasil dicoba.

Wu Yifan bukan orang biasa jika ia berkehendak membuat terobosan ini.

"Aku tahu kau bukan mahasiswa rata-rata," Yifan memotong kebingungannya. "Kau Oh Sehun, si prodigi Korea. Namamu tidak asing di telingaku maupun di institusiku. Apalagi setelah melihat blueprint 4th energy dan celestial screen chip buatanmu. Kau pernah dengar Microsoft berniat membeli ide itu darimu? Benar-benar luar biasa. Asal kau tahu, aku sudah dengar berita drop outmu—tapi tidak usah malu. Ada ratusan universitas di dunia ini yang mau menerimamu sekalipun kau sudah pernah DO. Universitas Seoul bodoh melepas aset sepertimu semudah itu."

Jika Sehun adalah dirinya yang dulu, mungkin ia akan tersenyum bangga dan berterima kasih, tetapi Sehun yang sekarang tidak. Matanya kembali pada sosok yang memejamkan matanya, bersandar pada dinding seolah tertidur lelap untuk waktu yang sangat lama.

"Kau mau melihatnya?"

Sehun tak henti terkagum-kagum bahkan sampai Yifan menurunkan tubuh mirip manusia yang lemah itu dan mendudukkannya pada kursi dekat mereka. Ia tidak membuang waktu untuk melarikan jemarinya di sekujur tubuh kaku itu, memeriksa tiap soket, tiap senti kulit sintetis, tiap helai microfiber yang dijalin pintar menjadi hamparan rambut hitam, tiap lekuk yang dibentuk begitu persis dengan aslinya.

Ini 99% Luhan.

Mata Sehun perih.

Ia ingin menangis menyentuh semua kemiripan ini.

Joonmyeon bersandar di dinding belakangnya, tersenyum kecil melihat Sehun menunjukkan emosi walau sedikit. Paling tidak, ia menunjukkan bahwa ia masih hidup dan bukan hanya cangkang kosong.

Satu kedip dilayangkan pada Yifan yang tersenyum bangga. Ini seperti kloning Luhan tanpa nyawa.

"Penasaran, Sehun?"

"Apa... ini... android barumu?"

Alih-alih menjawab, Yifan berjalan menuju laci lain dan mengeluarkan dua buah chip kecil. Bentuknya persegi, satu berwarna hitam dan lainnya semerah mawar. Ia menunjukkannya Sehun yang menatapnya bingung.

"... chipnya?"

"Benar." Yifan menunjuk yang hitam. "Ini chip hitam, Kecerdasan Buatan. Dan yang ini," ia menunjuk yang merah. "Emosi Buatan."

Sehun belum pernah tahu ada robot yang membutuhkan dua chip. Yifan memang jenius.

"Kau hebat, Hyung. Sampai bisa membuat teknologi seperti ini... kalau berhasil, pasti diborong banyak pesanan."

"Kalau berhasil," Joonmyeon mengulangnya dengan sedikit pahit. Pria ini punya gelar master di bidang sastra, dan dia juga suka sains walau sedikit-sedikit. Dia lebih meletakkan dirinya pada sains fiksi, perwujudan sempurna dari gairahnya dan kekasihnya. "Tapi Yifan belum menyelesaikannya."

Tatapan bingung Sehun butuh penjelasan lebih. Yifan mengangguk mengiyakan.

"Chip Kecerdasan Buatan ini sudah selesai dengan sempurna. Fungsi logika dan pola juga kapasitas memori internalnya sudah diupgrade sampai ribuan tera. Ini lebih dari chip AI biasa. Robotku kelak akan punya ratusan pilihan tindakan dan ia bisa memilih yang paling rasional menurut logikanya saat berhadapan dengan ratusan ribu kondisi. Tapi yang ini," Yifan mengelus yang merah. "Aku belum bisa menyelesaikan bahkan separuhnya."

"Apa kesulitannya?"

Sayang sekali kalau proyek sebesar ini gagal. Sehun yakin Yifan tidak menghamburkan sedikit isi brankasnya.

"Chip EI mengambil mekanisme dari manusia sesungguhnya. Di mana setiap DNA manusia menyimpan apa yang dirasakan oleh individu tersebut, dan pusatnya ada pada hati. Daging itu bukan cuma tempat detoksifikasi atau rumah pabrik empedu. Rupanya ia lebih dari itu. Emosi, semua rahasia tentang itu terletak di hati. Bagaimana ia diolah dan dimanipulasi, bagaimana emosi disimpan dan diingat hingga mati. Tetapi karena hati tidak punya syaraf yang langsung berhubungan dengan otak sebagaimana organ lain, hati punya jembatan khusus dengan jantung, sehingga segala perubahan dalam hati akan tersalur ke jantung untuk dapat dideteksi. Seperti perubahan kecepatan detak jantung, contoh kecilnya. Karena itu, aku membuat slot chip AI di belakang kepala prototype, dan slot chip EI di dada kanannya."

Sehun meraih chip merah itu. "Lalu?"

"Untuk menyelesaikan chip EI, aku butuh sampel DNA dari donor yang bersedia."

"Hyung sudah mendapat sampel DNAnya? Milik siapa?"

"Sudah, dan," Yifan tampak sedikit meminta maaf. "Itu milik Luhan. Sudah diekstrak dan diperbanyak, dan inti sarinya telah tertanam dalam chip yang kau pegang."

Butuh beberapa saat untuk Sehun meresap semua informasi yang ia terima. Begitu semua sudah masuk dalam tabung otak dan ditutup sempurna, Sehun menunduk pada chip yang ia pegang.

Di dalamnya... di dalam chip ini...

"... ada semua emosi Luhannie. Ada semua... di dalam chip ini... ada Luhannie..."

Yifan mengangguk pada ucapan terbata Sehun. "Maafkan kelancanganku, Sehun. Tapi ini satu-satunya kesempatan yang kumiliki."

"Apa... Hyung berniat membuat kloning manusia?"

"Mirip, tetapi tidak sama. Kloning tidak hidup selamanya, tetapi prototypeku akan tetap hidup selama ia dicharge dan suku cadangnya dirawat. Tetapi, Sehun, EI tidak semudah itu. Chip ini butuh dilatih, ia butuh berinteraksi dengan orang-orang yang sudah ia kenal dalam memorinya. Hanya dengan demikian chip ini akan berfungsi penuh dan proyek ini dinyatakan berhasil."

"Bagaimana melatihnya? Bagaimana aku tahu chip itu sudah selesai?"

"Kau akan tahu jika sudah kuhidupkan. Kau bisa menanyakan pada si android berapa persen chip merah ini terisi. Untuk sekarang, karena hanya baru diisi DNA-nya saja, mungkin masih lima puluh persen."

Yifan menatap Sehun yang maniknya terombang-ambing padanya, pada chip itu, pada sosok pria mungil yang terduduk kaku di kursi, begitu terus tanpa suara.

"Apa... apa dengan begini... aku bisa menghidupkan Luhannie?"

Pemuda berkulit pucat itu tertatih bertanya seperti anak kecil.

"Sehunnie," Joonmyeon berbisik dan menegakkan diri. Separuh tak punya hati mengatakannya. "Bukan begitu. Yifan bukan Tuhan. Luhannie sudah tiada..." Ia memalingkan muka. "Kalaupun ada yang bisa menghidupkan Luhannie lagi, maka itu adalah keajaiban."

"Hyung," Sehun balas berbisik. "Aku tahu."

Joonmyeon tak bisa berbuat apa-apa selain memeluk Sehun dari belakang dan berbisik, 'maaf'.

"Tapi... di dalam chip ini... ada Luhannie..." Sehun merasa matanya pedih. "Sekali saja... hanya sekali... kalau boleh, aku ingin b-bertemu Luhannie..."

Yifan merasa pedih dalam dirinya. Sehun bukan pria cengeng, bukan. Tapi untuk dirinya semudah ini menangis, pasti bebanny berat sekali. Penyesalannya pasti dalam sekali. Bahkan ia bukan pemeran dari kisah Sehun, tetapi ia merasakannya. Gejolak untuk bertemu dengan yang tercinta.

"Walaupun untuk yang t-terakhir kali..." Sehun tidak berhenti. Tubuhnya gemetar tanpa kendali. "Aku ingin... bertemu Luhannie... Hyung..."

"Mau kuhidupkan?"

Sehun tersedak dalam isakannya hanya untuk sekadar berkata 'ya, tolong'.

Chip hitam dimasukkan dalam slot belakang kepala. Yifan menyibak beberapa helai rambut dan memasukkan chip itu dalam lubang kecil hampir tak kelihatan.

Sehun berjengit ketika kepala robot itu tersentak ke atas, lalu terkulai ke samping. Menampakkan leher jenjang yang entah dimantrai apa oleh Yifan hingga dapat meniru lekuk jakun dan leher Luhan.

Bibir robot itu terbuka. Tangan Sehun tergerak untuk menyentuhnya.

Basah. Hangat.

Ia menarik tangannya lagi oleh keterkejutan yang tak kunjung usai.

"Aku menanam heater di dalam rongga tubuhnya untuk memberi kesan hangat kulit." Yifan menjelaskan pada Sehun yang tampak bingung ketika menyentuh kulit si prototype. "Dan regulator udara internal untuk kesan lembab. Robotku bisa memberi kesan saliva dan air mata."

Sehun hanya bisa ternganga.

"Dia... s-sangat mirip."

"Aku tahu." Yifan berdiri di sampingnya. "Aku memang sengaja membuat replika Luhan."

Chip merah dimasukkan pada slot di dada.

Hampir seketika, kelopak mata itu perlahan terbuka.

Iris jernih yang cantik. Yang sudah lama sejak terakhir kali Sehun melihatnya.

Ini kali pertama Sehun percaya pada keajaiban.

Yifan berbisik di belakangnya.

"520, selamat pagi. Berapa persen chipmu hari ini?"

Bibir merah itu terbuka.

"Chip telah terisi 50%."

Suara Luhan. Tetapi nadanya monoton.

Sehun mulai gemetaran.

Gerak robot itu mulus. Orang takkan tahu bahwa ia adalah mesin dan bukan makhluk hidup. Sehun tak berkata apapun ketika robot itu berdiri, membungkuk pada Joonmyeon ("Joonmyeon-hyung, selamat pagi," ucapnya dengan suara Luhannie-nya, tetapi tanpa intonasi)... lalu matanya beralih padanya.

Sehun tak bisa memalingkan muka.

"Kau kenal dia, 520?"

Joonmyeon bertanya.

"Kau tahu siapa dia?"

Manik itu mengawasinya tajam. Dari atas ke bawah. Tak satu sentipun ditinggalkan.

"Saya mengenalnya." Kepala si robot dimiringkan. Mencari dalam brankas memori. Orang ini sangat familiar. Ah, ya. "Saya mengingatnya."

"Siapa dia?"

"Dia adalah Sehun." Senyum robot itu terasa tidak natural. "Oh Sehun. 22 tahun. Mahasiswa Seoul University jurusan teknik. Makanan favoritnya adalah ramyun goreng dan minuman favoritnya bubble tea rasa taro. Kekasih dari Luhan, dan tanggal jadiannya 20 Mei. Apa Anda ingin saya melanjutkan dengan riwayat pendidikannya?"

Sehun melempar pandangan bertanya pada Yifan.

"Semakin penuh chipnya, ia akan berlaku semakin normal." Yifan menjelaskan. "Memori dan perasaan butuh trigger. Semakin ia sering bersentuh dengan kenangannya, semakin ia akan berlaku sebagaimana Luhan yang asli. Jangka memorinya adalah semenjak ia bisa mengingat hingga kematiannya."

"Chip telah terisi 52%."

Si android bicara tanpa diminta. Semua menoleh padanya.

"Apa yang membuat chipmu bertambah?" Yifan agak bingung.

Android itu memiringkan kepala. Gestur yang Luhan juga sering melakukannya.

"Karena saya telah bertemu dengan Oh Sehun." Ia tidak tersenyum. "Oh Sehun adalah orang yang sangat penting dalam memori Luhan. Bertemu dengannya membangkitkan beberapa kenangan dari Luhan sehingga angka chip naik 2%."

Tidak perlu tunggu lama. Cara robot itu menatapnya telah membuat Sehun meneguhkan diri.

"Penting bagi Luhan?"

"Luhan sangat mencintai Oh Sehun. Walau saya tidak mengerti mengapa dan bagaimana."

Jika Tuhan memang memberinya satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya...

... ia takkan menyia-nyiakannya.

Ia takkan menyia-nyiakan android ini, yang memiliki esensi Luhan dalam dirinya.

Ia akan mencintainya sebagaimana ia mencintai Luhannie-nya.

"Kubawa dia pulang," tegas Sehun, mengejutkan. "Biarkan aku membawanya pulang, Hyung."

Joonmyeon terperanjat.

"T-tapi... Sehunnie, dia itu belum—"

"Joonmyeon-hyung, aku akan merawatnya. Aku akan menyelesaikan chip merah itu."

"Sehunnie, robot itu—"

"Dia bukan 'robot itu' lagi, Hyung." Sorot mata Sehun menyanggah segalanya. Tangannya terjulur. Pelan tapi pasti, meraih pipi si robot gemetaran.

Robot itu menatapnya kosong.

"Lulu. Mulai sekarang namanya Lulu."

Kedip.

Robot itu merasakan percik dalam dadanya. Lulu. Mulai sekarang ia punya nama. Bukan hanya '520' atau 'robot' atau 'prototype' belaka.

Lulu. Mulai sekarang namanya Lulu.

Percik ini terasa baru. Meningkatkan suhu tubuhnya.

"Suhu meningkat empat derajat celcius," sebut robot itu—ah tidak, Lulu. Yifan dan Sehun berdebat sengit d belakang mereka, dan Lulu menoleh pada sosok Joonmyeon. "Tuan Kim, saya merasa ada yang aneh dengan sistem saya. Kenapa saya merasa ada yang meledak dalam diri saya? Apakah saya rusak?"

Joonmyeon tampak terkejut. Tetapi sedetik kemudian tersenyum.

"Apakah ledakan itu menyenangkan, Lu?"

Ia mulai membiasakan diri pada nama barunya.

Robot itu mengangguk kaku.

"Itu, namanya rasa bahagia."

Bahagia.

Memorinya mencatat, percik ini bernama bahagia.

"Lulu bersedia pulang bersama Sehun." Senyum tipis robot itu. "Chip telah terisi 55%."

.:xxx:.

 

.:To be Continued:.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet