Just For A Moment

Just For A Moment

Sebelum menikah, aku berjanji pada ayahmu. Berjanji akan selalu mencintai putri bungsunya. Menjaga dan melindungi putrinya. Juga bersedia di samping putrinya dalam keadaan suka maupun duka. Dan setelah mengucap janjiku pada ayahmu. Ia mengizinkanku menikahimu.

Aku mencintaimu tulus tanpa menuntut apa pun. Hanya ingin kau menerimaku sebagai suamimu. Menerimaku sebagai laki-laki yang akan menjadi ayah bagi anak-anakmu. Sebagai orang yang akan selalu menjadi tempatmu bersandar di kala kau rapuh. Dan sebagai sosok yang akan hidup sampai tua bersamamu.

Beberapa bulan setelah aku mendapatkan izin ayahmu. Aku menikahimu. Seketika aku menjadi laki-laki paling bahagia di dunia. Ketika kita dinyatakan resmi menikah, kau tersenyum sambil menatap mataku. Matamu adalah mata paling indah yang pernah kulihat. Warnanya hitam kecoklatan dan memancarkan ketulusan. Berkali-kali kuucap syukur karena pemilik mata itu kini menjadi pendamping hidupku. Sungguh, aku mencintaimu.

Kau dan aku hidup dengan bahagia. Seperti akhir kisah pangeran dan permaisuri di dongeng anak-anak. Rumah kecil kita tidak penuh barang-barang mewah, tetapi penuh kebahagiaan. Penuh cinta dan kasih sayang. Meskipun kau dan aku hanya bertemu di waktu malam karena pekerjaan kita. Aku tetap bahagia.

Aku bekerja sebagai produser di salah satu stasiun radio dan kau sebagai akuntan di sebuah perusahaan ternama. Aku tidak bisa memintamu berhenti bekerja karena aku tahu menjadi akuntan adalah cita-citamu. Terkadang kita membicarakan masa depan keluarga kecil kita sambil bercengkrama di ruang keluarga. Dengan ditemani dua cangkir cokelat hangat kesukaanmu. Kau akan bercerita penuh semangat dan aku akan membayangkan betapa bahagianya kita ketika semua itu terwujud.

Bahagia. Sebelum aku menemukan amplop putih di dalam tas kerjamu. Amplop putih berisikan selembar kertas yang menyatakan kau mengidap Alzheimer. Ingin rasanya kuremukan kertas itu. Tetapi, aku tahu. Itu tidak akan membuat penyakit itu pergi dari tubuhmu. Pada kertas itu tertulis tanggal dua minggu yang lalu. Sudah dua minggu berlalu dan kau tidak mengatakannya padaku. Rasa kesal bercampur marah seketika memenuhiku.

Baru setelah aku mengetahui penyakitmu. Aku merasakan perbedaan dalam dirimu. Kau mudah lupa dan sering merasa bingung. Terkadang kau lupa di mana letak piring dan gelas. Pergi ke dapur padahal kau ingin mandi. Dan masih banyak lagi. Aku hanya bisa tersenyum dan berpura-pura tidak tahu saat itu.

Siang itu, tanpa memberi tahumu, kuputuskan untuk menemui dokter yang menanganimu. Namanya Hong Jisoo. Aku mengetahuinya dari surat rumah sakit yang ada di dalam tas kerjamu. Dia menjelaskan semuanya. Mulai dari faktor, gejala dan akibat penyakit yang kau derita. Hidupku rasanya berakhir saat itu juga. Aku pulang dengan air mata yang membasahiku.

Aku tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan menjemputmu di tempat kerjamu. Kita tidak mempunyai mobil atau pun sepeda motor. Jadi aku menjemputmu dengan berjalan kaki. Hari sudah sangat malam dan gedung tempatmu bekerja tampak sepi. Bahkan di luar hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Aku berdiri bersandar pada tiang lampu di depan gedung. Jejak air mata masih terlihat jelas di kedua pipiku. Aku menangis sejak siang tadi. Mungkin kalau kau melihatku seperti ini, kau akan berkata kalau akau laki-laki yang payah. Tapi, aku tidak peduli. Hatiku terlalu sakit mengetahui kenyataan.

Tidak lama, aku melihatmu keluar dari gedung. Tanpa menunggu lama, aku segera berdiri tegak menghadapmu. Kau terkejut ketika melihatku. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya tumpah. Pundakku sampai bergetar karena menahan tangis yang siap pecah. Kita bertahan dengan posisi itu cukup lama. Aku hanya diam sambil menatapmu dari tempatku berdiri. Begitu juga denganmu. Lalu aku melihat kau tersenyum dengan air mata yang mengalir di pipimu.

“Kau sudah tahu, ya?” Tanyamu sambil tetap tersenyum.

Aku masih diam. Tidak dapat mengucap sepatah kata pun. Takut kalau tangisku pecah di depanmu. Tetapi, ketika aku melihat kau menangis kencang. Aku langsung menarikmu ke dalam pelukanku. Dan membiarkan tangisku keluar.

“Aku sakit, Seokmin. Aku sakit. Tidak lama lagi aku akan melupakanmu, melupakan teman-temanku, melupakan keluargaku, dan aku juga akan melupakan diriku sendiri. Aku tidak akan bisa seperti dulu lagi. Aku akan lupa segalanya dan kemudian mati.”

Kau mencengkram kemejaku kencang. Dan aku semakin membawamu ke dalam pelukanku. Aku tidak membantah ucapanmu karena aku tahu itu tidak akan membuatmu terhibur. Maka dengan segala kemampuanku, aku berbisik di telingamu.

“Kau kuat, Yuju. Kau perempuan yang kuat. Kita bisa hadapi ini sama-sama. Kau ingat janji kita, bukan? Kau mempunyai aku di sampingmu. Aku akan membantumu mengingat semuanya.”

Kemudian kupandang wajahmu lekat. Mempertemukan mata kita. Lalu kucium bibirmu. Menyalurkan keyakinan lewat sana. Bibirmu terasa asin karena air mata, tapi tidak kupedulikan. Sesaat kita lupa tentang penyakitmu.

 

 

Sekarang rumah kecil kita penuh dengan tempelan kertas yang kau buat agar kau tidak lupa dengan berbagai macam hal. Aku tidak keberatan sedikit pun. Dua bulan setelah aku tahu penyakitmu, kau memutuskan untuk berhenti berkerja. Aku menghormati keputusanmu. Tidak kusangka penyakitmu bertambah parah secepat ini.

Pernah sewaktu malam aku melihatmu mondar-mandir di sekitar dapur. Wajahmu tampak bingung. Aku pun segera bertanya apa yang kau cari. Tapi tiba-tiba aku melihat celana tidur yang kau pakai basah dan air menggenangi tempatmu berdiri. Wajahmu tampak ingin menangis. Dengan senyum di wajah, aku menghampirimu. Menuntunmu masuk ke kamar kita dan membantumu berganti celana.

“Maaf,” ujarmu sambil menunduk ketika aku selesai membantumu berganti celana. Kau duduk di pinggir ranjang dan aku berlutut di depanmu.

“Tidak perlu minta maaf.” Aku tersenyum sambil menatap matamu.

Kemudian kau memandangku lekat. Dari ekspresi wajahmu, aku tahu kalau kau sedang berpikir tentang siapa diriku. Rasanya ingin menangis, tapi sebisa mungkin aku tetap tersenyum.

“Seokmin. Aku Lee Seokmin, suamimu.”

Suaraku bergetar. Meskipun aku sudah berusaha meredamnya. Aku melihatmu tersenyum kemudian. Sambil menganggukkan kepala kau menangkup wajahku dengan kedua tangan kurusmu. Aku bersyukur kau masih ingat ketika aku mengatakan aku adalah suamimu.

“Aku mencintaimu, Seokmin. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku tahu tidak seharusnya aku melupakanmu. Tapi...”

Perkataanmu berhenti sampai di sana. Kau mengusap pipiku sambil menangis. Tidak kencang tapi aku dapat merasakan kesedihan yang sangat di tangisanmu.

“Aku ingin mengatakannya sebelum aku lupa cara mengatakannya. Sebelum aku lupa siapa dirimu. Dan sebelum lupa siapa diriku. Kalau nanti aku sudah lupa, tolong terus ingat kalau aku mencintaimu. Ingatkan aku kalau aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Seokmin. Sungguh aku mencintaimu.”

Dadaku sesak. Aku menangis saat itu juga. Tidak pernah kubayangkan masa depan keluargaku akan jadi seperti ini. Sekalipun tidak pernah. Aku ingin marah, tapi aku tahu kaulah yang lebih pantas untuk marah. Karena itu, aku hanya melampiaskan emosiku dengan memelukmu erat.

 

 

Penyakitmu semakin parah dan orang tuamu ingin membawamu pulang ke rumah. Tapi aku menolak. Aku suamimu, maka sekarang kau adalah tanggung jawabku. Dengan penuh keyakinan aku mengatakan kalau aku yang akan merawatmu. Mereka pun akhirnya setuju.

Tidak sampai setahun dan kau melupakanku sepenuhnya. Juga melupakan siapa dirimu. Sekarang kau harus selalu didampingi perawat. Ketika aku menghampirimu, kau akan menatapku seolah aku adalah orang asing. Dan aku akan selalu mengenalkan diriku padamu seperti baru pertama bertemu.

“Selamat pagi, Yuju.”

Kau lantas menoleh ke arahku. Terlihat bingung. Aku tersenyum lalu berlutut di depanmu yang sedang duduk di teras rumah. Dengan senyum yang kupaksakan, aku mengenalkan diriku padamu.

“Aku Lee Seokmin. Boleh berkenalan denganmu?”

Setelah cukup lama terdiam, kau akhirnya mengangguk. Lalu tersenyum padaku. Tidak ada yang berubah darimu. Hanya saja kau tidak mengenalku lagi. Kemudian kugenggam tanganmu. Dan kau hanya diam. Tidak mengatakan apa pun. Aku tahu kau pasti bingung. Lalu aku pun pamit untuk berangkat kerja. Kau hanya mengangguk. Aku lantas berdiri dan melangkah pergi, tapi tiba-tiba kau memanggilku. Membuatku terkejut.

“Seokmin.”

Aku berbalik menghadapmu. Dan dapat kulihat air mata membasahi kedua pipimu. Kau menangis. Lalu sambil tersenyum kau berkata,

 

 

 

 

 

“Aku mencintaimu.”

 

Seketika bumi berhenti berputar.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
chocopologie #1
Chapter 1: a sad love story yet so romantic... Waiting for another seokju story!! a fluffy one!! is it possible?
astroish #2
Chapter 2: The most touching seokju story. Gatau mau bilang apa, intinya makasih udah bikin cerita ini author-nim!!!
Jjangiya
#3
Chapter 2: Ntap jiwa kebayang bgt feelnya... terima kasih sudah menulis ini author-nim
Xi_Yi177 #4
Chapter 1: Asli nyentuh banget, sampe nangis aku jadinya :') feelnya kerasa banget, good job author!
Navydark
#5
Chapter 1: Noooo, abis baca fluff berharap fluff lagi dapet angst. Jangan lupankan seokmin yujuuu
kimhyera11 #6
Chapter 1: GUA GABISA FF INI GANORMAL GUA BUTUH LEBIH INI BAGUS BANGT :'(
PiperGrace08
#7
Chapter 1: Asli ini nyentuh banget... pengen nangis tp gengsi hahaha good job author-nim! Pls read more in the future!!