Breakdown of her Giant Wall

Hatred

_Chapter 1_

#Breakdown of her Giant Wall#

.

Gadis bermata hazel itu sibuk dengan bukunya yang tebalnya nyaris sama dengan kamus oxford. Konsentrasinya ia curahkan penuh untuk dapat memahami setiap kalimat yang dibacanya, sampai sebuah tepukan lembut dipundaknya pun tidak mengusik konsentrasinya.

“Ya! Seulgi”

Akhirnya suara nyaring itu berhasil memecah konsentrasi gadis itu. Gadis bernama seulgi itu menoleh kearah sumber suara sambil tercengir lebar. “Wae chagi? Begitu rindunya kah kau padaku,” ujarnya sembari diakhiri tawa renyah.

Sosok yang baru saja meneriaki Seulgi dengan suara khasnya mengibaskan rambut panjangnya sembari mendesah malas. “Ya! Dengan kepribadianmu itu kau benar-benar bisa disangka lesbi. Kau bisa merusak reputasiku sebagai gadis paling cantik diangkatan kita, hah menyebalkan,” ocehnya panjang. “Nah, karena kau sudah selesai dari kegiatan belajarmu itu, bagaimana kalau kita ke kantin sekarang?”

“Sebenarnya kegiatanku belajar belum selesai sampai kau menggangguku, Irene sayang.” Seulgi membuat senyum yang dipaksakan pada bibirnya.

“Oh, ayolah kau akan tetap pintar tanpa harus rajin begitu, aku saja yang diperingkat sepuluh besar terakhir tidak belajar sekeras dirimu,” Irene menutup buku yang dibaca Seulgi. “Jika tidak makan daya otakmu akan menurun, kau tahu?”

Sosok yang sedang berusaha dibujuk itu melepaskan tawanya. “Teori bodoh dari mana itu?” Seulgi memandang sahabatnya itu, biasanya ia hanya akan berbaur dengan kaum yang bisa dijangkaunya. Bukannya ia tidak suka dengan kalangan orang-orang beruang, hanya saja orang-orang itu tidak ada alasan untuk menyukainya bukan? Tentu keputusannya saat mendaftar di universitas paling ternama di Korea ini merupakan keputusan yang tidak mudah, ia harus memastikan beasiswanya tidak terputus jika ia tidak ingin diberhentikan dari sana. Irene adalah sahabat pertamanya di Universitas ini dan tentu saja ia anak orang kaya. Irene menjangkaunya terlebih dahulu, aneh? Itu yang dipikirkan Seulgi pada awalnya, tetapi mereka sudah berteman dan bukankah memang tidak ada alasan apapun yang mendasarkan pertemanan.

“Entah, aku asal bicara, aku sangat lapar.”

“Ada satu hal yang membuatku iri padamu, bagaimana bisa badan kecilmu ini menampung nafsu makanmu yang besar.”

“Ya, itu memang kelebihanku. Hanya itu kelebihanku, hahaaa...”

Cafetaria kampus hari itu tidak begitu sesak, memang karena saat itu bukan jam untuk makan siang. Masih ada bangku yang tersedia di beberapa tempat. Irene memutuskan untuk memilih makanannya terlebih dahulu, karena masih banyak bangku yang tersisa untuk tempat makannya nanti. Biasanya pada peak jam makan siang, mereka harus mencari tempat duduk dan menempatinya terlebih dahulu, setelahnya baru mereka bisa nyaman mencari santapannya.

“Seulgi-ya, bantu aku membawa ini.”

Seulgi melihat nampan penuh berisi makanan, ia hanya terkekeh geli melihat tingkah sahabatnya yang seperti belum diberi makan seharian.

“Kau duluan saja, aku akan memesan minum untuk kita,” dan Irene langsung pergi meninggalkannya.

Mata Seulgi menginspeksi seluruh penjuru cafetaria, mencari spot yang nyaman untuk tempat makan mereka. Dan ia menemukannya, tempat dipinggir cafetaria dengan kaca yang membatasinya dengan pemandangan luar menjadi tempat pilihannya. Seulgi melambaikan tangan pada Irene, sembari memberi petunjuk dimana mereka akan duduk. Setelah mendapat tanda ‘ok’ dari Irene, Seulgi bergegas menuju tempat pilihannya, akan tetapi...

BUKKK!

Seulgi merasa menubruk seseorang dan ia segera mengecek makanan dinampannya. Aman. Eh, tetapi bagaimana dengan orang yang ditabraknya? Seulgi melihat seorang wanita berkulit pucat, bahkan untuk ukuran orang korea kulitnya benar-benar putih yang mengingatkannya akan putihnya salju. Wanita itu sibuk membersihkan jusnya yang terlihat tumpah dan mengotori kemejanya.

“Maaf, maafkan aku... aku benar-benar tidak sengaja,” Seulgi menaruh nampannya itu pada meja terdekat dan merogoh tissue dari tasnya untuk ditawarkan pada wanita dihadapannya.

“Tidak apa-apa, bukan sepenuhnya salahmu,” wanita itu menerima tissue yang disodorkan padanya.

Suara wanita itu terkesan datar, intonasi yang mengiringi kata-katanya seakan terkesan dingin namun tidak angkuh. Seulgi mengira wanita dihadapannya itu akan marah besar, melihat kemeja yang dipakainya pasti mahal.

“Aku juga tidak begitu memperhatikan jalan tadi,” kata wanita itu yang sama datarnya dengan kalimat pertamanya. Ia masih sibuk membersihkan kemejanya, “Aku juga minta ma..” kalimatnya terputus saat wanita itu menatap Seulgi, tissue yang dipegangnya jatuh. Wajah yang awalnya tak menampakkan emosi apapun kini terlihat mengeras, walau memang sulit diartikan apa arti dari raut wajahnya saat ini. Pada detik berikutnya wanita itu seakan tersadar akan sesuatu dan segera menampakkan kembali wajah tanpa emosinya, kemudian berlalu pergi meninggalkan Seulgi.

Seulgi berpikir keras tentang adegan yang baru saja terjadi. Apakah ia memasang raut muka yang aneh sehingga membuat wanita tadi kesal. Ia yakin wanita itu juga tengah mengucap kata maaf sebelum wanita itu melihat wajahnya.

“Hei!”

Sebuah suara menyadarkannya dari lamunan singkatnya. Seorang laki-laki yang menurutnya tampan. Sangat tampan.

“Wanita tadi namanya Dasom, dan jika kau berpikir dia marah padamu itu tidak benar,” laki-laki itu melanjutkan. “Sikapnya memang kaku dan tampangnya selalu sedatar papan triplek, jadi kalau kau khawatir dia marah padamu itu tidak benar. Hanya memang Tuhan tidak memberinya wajah yang ekspresif,” ujarnya diakhiri dengan senyum yang merekah.

“Jadi serius Tuhan tidak memberikan wajah unni cantik itu emosi? Apakah itu penyakit?” entah kenapa malah pernyataan itu yang keluar dari mulut Seulgi.

Laki-laki dihadapannya itu juga terlihat tidak menduga respon dari lawan bicaranya akan seperti itu dan ia malah tertawa terbahak atas pertanyaan Seulgi. “Kau serius wanita yang aneh,” katanya sembari menahan tawanya.

“Oh, sepertinya aku harus pergi,” laki-laki itu melihat jam ditangannya dan ia berjalan menjauhi Seulgi.

Seulgi sempat ingin menanyakan nama laki-laki itu sebelum pergi menjauh tetapi ia masih memiliki rasa malu untuk melakukannya. Jika ia nekat menanyakannya tentu ia sadar akan dicap sebagai wanita genit yang ingin mencari perhatian dari laki-laki tampan itu.

“Hei, aku Son Dongwoon,” sesaat Seulgi sudah putus asa untuk mencari tahu nama laki-laki itu, justru objek incarannya itu yang menyuarakan rasa penasarannya itu. “Namamu?”

Seulgi butuh jeda beberapa detik sebelum merespon pertanyaan Dongwoon. “Seulgi. Kang Seulgi.”

Laki-laki bernama Son Dongwoon itu tersenyum ke arahnya dan berlalu. Kini bisa terlihat segurat senyum tipis Seulgi yang menghiasi wajahnya.

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Wanita itu melalui lorong yang ramai dengan pandangan sayu, matanya tak fokus memandang ke depan, pikirannya entah berada dimana namun kakinya terus melaju ke depan. Wajahnya yang datar tidak mengisyaratkan apapun bagi orang-orang yang memandanginya. Namun dalam hatinya ia merasakan sesuatu yang retak, yang mampu menghancurkan dirinya berkeping-keping. Dinding berlapis yang telah dibuatnya untuk membatasi dirinya dari masa lalu kini terasa retak.

 

Dia yang tersenyum bahagia sambil memegang tangan pria itu...

 

Dia yang bisa membuat pria itu tersenyum hanya dengan memandangi fotonya...

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Saat menyantap makanannya, Irene terus menghujani Seulgi dengan pertanyaan-pertanyaannya. Ia tidak menyangka bahwa sebegitu fangirling-nya sahabatnya itu pada pria yang berbicara padanya tadi.

“Ya Seulgi! Itu tadi Son Dongwoon? Son Dongwoon tingkat tiga jurusan business and management? Dia berbicara padamu? Bagaimana bisa? Dia yang menghampirimu lebih dulu atau kau yang lebih dulu menghampirinya?” Irene sangat antusias dengan topik pembicaraanya kali ini. Ia sampai mengabaikan makanan yang tadi dipesannya. “Aku benar-benar tidak percaya kau diberi kesempatan emas oleh Tuhan untuk dapat menatap wajahnya dari jarak yang sangat dekat? Sangat tampan kan? Aaaah aku sangat iri padamu.”

“Sumpah, saat ini kau lebih berisik dari biasanya,” balas Seulgi yang memang sudah pusing mendengarkan celotehan Irene yang tak kunjung berhenti.

“Tentu saja aku berisik. Itu Son Dongwoon. Son Dongwoon. Putra kedua Geas Corporation, dia pintar, tampan, kaya dan dia itu kami kategorikan sebagai anggota MOST, dan tentu saja kau tidak tahu apa yang kubicarakan ini,” ujarnya sangat antusias. “Well, jika kau menonton drama di TV pasti sering melihat anak-anak orang kaya yang membentuk kelompok, tapi disini mereka tidak membentuk kelompok seperti itu, mereka punya dunianya sendiri dan karena itulah kita memberi julukan pada mereka yang paling kaya, paling cantik, paling tampan, paling pintar, pokoknya paling dalam segala hal dan Dongwoon sunbae termasuk dalam kategori MOST menurut anak-anak di kampus ini. Nah, sekarang ceritakan padaku bagaimana kau bisa berbicara dengannya tadi?”

Seulgi mengeluarkan hembusan napas panjang. Sebelum sahabat baiknya itu semakin berisik ia memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Irene, mulai dari ia menabrak wanita bernama Dasom sampai Dongwoon sunbae menghampirinya.

“Wah, tidak hanya Dongwoon sunbae kau juga berhadapan langsung dengan Dasom sunbae, kau benar-benar orang yang beruntung bisa berhadapan langsung dengan dua anggota MOST hari ini.”

“Aku rasa aku tidak seberuntung itu, meskipun Dongwoon sunbae mengatakan bahwa Dasom sunbae tidak marah padaku, aku merasa tidak seperti itu. Pandangannya padaku saat tadi terkesan sinis, aku akan meminta maaf padanya lebih sopan lain kali.”

“Tidak perlu,” ujar Irene santai.

“Tidak perlu? Kenapa?”

“Dasom sunbae memang seperti itu, walaupun aku belum pernah dipandangnya secara langsung tapi ketika melihatnya saja rasanya aku sudah terintimidasi oleh tatapan matanya. Dia terkenal dingin bahkan dihadapan para profesor.”

“Benarkah aku tidak perlu minta maaf lagi padanya?”

“Tentu saja, dia tidak marah padamu seperti yang dikatakan Dongwoon sunbae” kata Irene yakin. “Aku benar-benar mengidolakan Dasom sunbae, dia cantik, kulitnya sangat mulus, punya aura yang keren, dan cantik dan keren,” timpal Irene dengan wajah yang berseri.

“Ckck, kau terlalu berisik dan bodoh untuk bisa seperti Dasom sunbae.”

“Ah menyedihkan sekali punya teman dengan mulut yang tajam, aku memang mendapat peringkat yang mengenaskan disini tapi saat di sekolah menengah atas aku cukup pintar, setidaknya aku pernah mendapat rangking 12,” kata Irene bangga. “Lagi pula Dasom sunbae tidak masuk anggota MOST karena kepintarannya, dia tidak terlalu pintar bahkan sering mendapat panggilan karena nilainya yang rendah.”

Seulgi mengerutkan keningnya tak percaya.

 “Maka dari itu aku mengidolakan Dasom sunbae, karena hanya dengan kecantikan, aura dan kekayaannya dia bisa dikategorikan sebagai MOST, ah benar-benar idola sejatiku.”

Kali ini Seulgi tidak memberikan komentar apapun pada sahabatnya itu atas pemikirannya yang sangat konyol itu.

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Gadis berkulit pucat itu tengah sibuk mencari sesuatu di dalam lokernya, sebuah buku dengan judul Arts of Management diambilnya yang kemudian dimasukkan kedalam tasnya. Ia melihat seorang gadis tak jauh dari tempatnya yang juga terlihat mengambil sesuatu di dalam lokernya, beberapa foto tertempel pada bagian dalam lokernya. Dengan wajah datarnya gadis itu kembali menatap lokernya yang kosong, hanya ada beberapa buku, buku dan buku. Entah berapa lama ia menatap kosong pada lokernya sebelum menutupnya.

“Hei, Dasom”

Sapaan yang familiar itu menyambutnya dengan senyum yang tertoreh dari orang menyapanya.

“Kau ada kuliah setelah ini?” tanya pria itu.

“Ada.”

Dasom berjalan sambil diikuti pria itu dibelakangnya.

“Kenapa kau mengikutiku? Apa kau tidak ada kelas di jam ini, Dongwoon?”

“Aku cuma mau mengobrol denganmu sebelum ke kelasku,” katanya sambil menyamai langkah gadis itu. “Kau tahu, kau seharusnya mulai mengubah sikapmu itu, tidak ada yang mau menjadi temanmu jika sikapmu seperti ini.”

“Kau temanku.”

Dongwoon tersenyum kecut. “Tentu aku temanmu, tapi akan lebih menyenangkan jika temanmu lebih banyak.”

“Ada Bora dan Chaerin.”

“Oke, oke aku menyerah. Setidaknya bersikaplah ramah pada orang yang berpapasan denganmu atau pada orang yang sudah minta maaf padamu bahkan menyodorkan tissue nya.”

Dasom menghentikan langkahnya, ia tidak menyangka jika Dongwoon akan mengungkit kejadian di cafetaria tadi. Kenapa tiba-tiba orang yang paling dekat dengannya ini membuat mood nya semakin kacau hari ini. Rasanya ingin ia membentak Dongwoon bahwa itu bahkan bukan urusannya, namun bukan Dasom namanya jika tidak bisa memasang topeng tanpa emosi pada wajahnya.

“Baiklah, lain kali aku akan menjadi orang yang ramah,” ujarnya sambil berlalu menuju kelasnya.

Memang wajah dan intonasi suaranya tidak terkesan tulus, namun Dongwoon hanya bisa tersenyum pasrah melihat kelakuan temannya itu.

Saat memasuki kelasnya, seorang wanita berkulit semi-tan melambaikan tangannya pada Dasom dan menunjuk kursi disebelahnya untuk tempat duduknya. Dasom berjalan ke arahnya dan menempati kursi yang disediakan oleh temannya itu.

“Well, apa yang terjadi dengan bajumu itu?” tanya gadis berkuit semi-tan tadi sambil memperhatikan bercak kemerahan pada kemeja putih Dasom.

“Terkena tumpahan jus yang kuminum.”

“Kau menumpahkan jusmu sendiri atau...”

“Aku sedang tidak mood untuk bercerita, Bora”

Bora hanya bisa diam, mungkin sungkan untuk melanjutkan percakapan mereka. Sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya, seorang gadis berambut blonde yang duduk dibelakangnya memberi isyarat yang menunjuk pada Dasom.

“Kalau dilihat dari auranya dia sedang sangat kesal hari ini,” katanya dengan suara yang bisa didengar jelas oleh Dasom.

Bora hanya bisa mencicit kecil, mengingatkan untuk tidak berbicara apapun yang bisa menambah mood temannya itu semakin memburuk.

“Pasti ada seseorang yang menumpahkan jus itu padamu,” tambahnya tanpa rasa gentar. “Tapi aku masih penasaran, hal kecil seperti itu tidak akan membuatmu sampai seperti ini.”

“Chaerin, kau terlalu banyak bicara,” akhirnya yang merasa jadi topik pembicaraan mengangkat suaranya.

“Hn... benarkah?”

Baru saja Bora berpikir hal apa yang akan ia lakukan untuk mendinginkan suasana diantara temannya itu. Tepat saat itu, untung saja sang profesor memasuki kelas dan kuliah hari ini dimulai dengan tenang.

Dasom sama sekali tidak menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh profesor itu di kelasnya. Kepalanya mulai memikirkan hal yang ia telah buang sejak lama. Ia mulai merebahkan kepalanya pada mejanya dan menempatkan buku yang sengaja dibiarkan terbuka untuk menutupi kepalanya. Matanya memang mulai terpejam namun pikirannya masih berjalan, memikirkan kenangan-kenangan yang tak ingin diingatnya. Suara profesornya semakin sayup-sayup terdengar, tergantikan oleh suara-suara menyeramkan yang membangkitkan mimpi buruknya.

 

“Sial, sialan, hidupku berantakan karena kau brengsek!”

 

“Jika saja anak itu tidak ada, hidupku tidak akan sesulit ini...”

 

“Like your mom, you’ll be great in seducing a lot of men out there. You damn !”

 

Dalam bayangannya seorang laki-laki membanting pintu dengan keras dan melangkah pergi, ia berusaha mengejarnya namun kakinya tak bisa bergerak. Teriakkannya pada pria itu bahkan tak dihiraukannya. Seorang wanita berusaha meredam tangisnya akan kepergian pria itu, dielusnya pucuk kepalanya dan dipeluknya erat badan mungilnya oleh wanita itu. Rasa damai itu hanya terasa sesaat ketika ia merasa pelukan itu mulai renggang, sampai ketika ia merasakan tidak ada siapapun didekatnya. Bahkan ketika ia menjerit perih dan menangis sekencangnya tak ada yang datang, orang-orang yang diharapkannya tidak kunjung menghampirinya. Mereka meninggalkannya dalam ruang itu sendirian, ruang yang kosong, sunyi dan gelap.

 

“Dasom...”

“Hei Dasom, kelas sudah selesai”

Suara itu membangunkanya dari mimpi buruknya, ia masih mengumpulkan kesadarannya dari kenangan buruknya tadi. DI kelas itu sudah sepi, hanya ada Bora dan Chaerin.

“Bagaimana bisa kau tertidur pulas di kelas,” ujar Bora sembari tertawa kecil. “Lagi pula beruntung sekali karena kau tidak ditegur oleh profesor Jung.”

“Tentu tak ada yang berani menegurnya,” kini Chaerin menimpali. “Dia anak ketua yayasan, tak akan ada yang berani mengusiknya.”

Chaerin memulainya lagi dan Bora tidak menyukai situasi seperti ini. “Ah, Dasom sepertinya aku harus pergi terlebih dulu, aku ada janji” Bora membuat alasan seadanya untuk bisa kabur dari situasi ini, ia sangat tidak suka jika sifat Chaerin yang blak-blakan mulai muncul apalagi jika itu mengungkit Dasom. Sungguh keajaiban besar mereka masih bisa berteman sampai saat ini. “Aku duluan,” ujarnya sambil melambaikan tangannya pada Dasom dan Chaerin.

Hanya keadaan sunyi yang terlihat ketika Bora sudah meninggalkan mereka berdua di kelas itu. Keduanya hanya duduk diam di bangkunya masing-masing. Dasom yang terlihat seperti boneka porselen yang mematung tanpa cela, entah tengah memikirkan apa. Sementara Chaerin yang terlihat bosan, dengan pandangannya yang tertuju pada Dasom. Dan pada akhirnya, Dasom memutuskan untuk meninggalkan ruang kelas itu.

“Apa yang terjadi padamu hari ini sebenarnya?” perkataan Chaerin menghentikan langkah Dasom. “You really like an evil right now.”

Senyum tipis tercetak dibibirnya, “really?”

“Bahkan gunung yang sudah mati pun bisa menumpahkan laharnya, kau tahu?”

“Punya seseorang yang terus membalas perkataanku ternyata cukup menarik,” balas Dasom.

“You just need someone that can face your mouth honestly,” ujar Chaerin. “You can order all es out there cause they’re afraid of you, but i’m not. I’m not afraid of anything”

“Hanya orang yang telah kehilangan segalanya yang tidak takut akan apapun,” kini Dasom berjalan ke arah Chaerin, matanya menyalak seakan menyindir orang dihadapannya itu.

“Just the same as you are,” Chaerin mengatakannya tepat saat mata mereka saling berhadapan. “But remember, you’re just fine in this state and dont let you fall deeper than this.”

Dasom kini membelakangi Chaerin, menjauhinya, memutuskan untuk segera meninggalkan kelasnya. Sebelum benar-benar mendekati pintu kelas, ia menoleh pada Chaerin “Thanks, and I won’t.”

Chaerin hanya bisa memandangi temannya yang mulai menghilang dari pandangannya. Pertama kalinya ia bertemu dengan Dasom , ia seperti melihat cerminan dirinya pada Dasom, bahkan mungkin cerminan yang lebih gelap dari dirinya. Ia bukan tipe orang yang peduli dengan kisah orang lain di sekitarnya, namun ia tidak bisa mengabaikan Dasom. Orang yang telah bersama-sama dirinya berusaha keluar dari keruhnya dunia yang mereka rasakan.

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Dasom berjalan menyusuri perumahan mewah dan yang ditujunya tentu saja rumah tempat tinggalnya sekarang. Sebenarnya keluarganya sudah menyediakan kendaraan untuknya berpergian, tetapi Dasom tidak ingin menggunakannya. Ia lebih menikmati ketika berjalan menyusuri jalan yang panjang, mungkin sebagian alasan juga karena ia sebenarnya ingin memperpanjang waktu perjalanan ke rumahnya dengan menaiki kendaraan umum. Keluarga itu benar-benar masih asing untuknya, termasuk ibu kandungnya sendiri. Sudah hampir dua tahun ia tinggal dirumah itu, namun ia masih tidak menganggapnya rumah. Bahkan ia lebih sering menginap di rumah Bora atau Chaerin untuk tidur ketimbang rumah itu. Dulu, ia memang mengharapkan memiliki keluarga yang utuh. Tetapi itu dulu.

Ketika sampai di depan gerbang rumahnya, banyak pelayan yang menyambutnya, mendampinginya sampai masuk ke dalam kediaman rumah megah itu. Suara tawa gadis kecil terdengar membahana menyambut kedatangannya. Gadis itu berlari menuju kearahnya dengan senyum secerah matahari.

“Eonni, gendong” katanya dengan raut wajah yang sangat manis.

“Mungkin lain kali Nara, eonni sangat berkeringat dan letih sekarang”, ujarnya masih dengan wajah datarnya dan langsung menghindari adiknya itu, yang merupakan anak dari ibu kandungnya serta ayah barunya. Yang ditinggal hanya bisa memasang wajah cemberut kearahnya, namun Dasom hanya mengabaikannya.

“Kris Oppa!”

Saat Dasom mulai mendekati tangga rumahnya untuk menuju kamarnya, suara itu mampu membuat langkahnya terhenti.

“Oppa, gendong. Eonni tidak mau menggendongku,” adu adiknya itu.

Saat itu Dasom memandang ke arah saudara-saudaranya itu. Kris, kakak tirinya yang memandangnya tajam, seakan menyindir sikapnya itu. Saat Nara mengulurkan kedua tangannya kearah Kris, Kris menyambutnya dengan senyum lebar ke arah adiknya yang paing kecil itu. Dasom kembali melanjutkan langkahnya menuju kamarnya, menghiraukan pemandangan yang tidak disukainya itu. Kenapa hari ini ia harus bertemu dengan orang-orang yang harusnya ia hindari, gerutunya dalam hati.

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Jika seseorang bisa mengukur kesempurnaan hidup dengan meihat banyaknya senyuman yang tercetak pada wajah seseorang setiap harinya, maka Seulgi dapat dengan mudah mengukurnya. Melihat sahabatnya sendiri –Irene—yang tak hentinya menorehkan senyumnya ketika bersamanya, menurutnya masih jauh dari kesempurnaan hidup itu. Irene cantik, ramah dan berasal dari kalangan yang berada, Seulgi pikir itu adalah suatu kesempurnaan yang bisa mengiringi kehidupannya dengan kebahagiaan. Namun wajah ceria sahabatnya itu bisa berubah 1800 jika mengungkit masalah ayahnya yang tak pernah memiliki waktu untuk dirinya. Apakah itu pola pikir yang kekanakan? Hanya karena kurangnya perhatian dari seseorang yang sangat diharapkannya itu mampu memuat sahabatnya itu sangat  terpuruk, tapi Seulgi pikir itu wajar. Karena tidak ada yang lebih menggambarkan kesempurnaan hidupnya tanpa kedua orang tua disisinya.

Seulgi segera mengirim pesan singkat pada Irene. ‘Jika kau kesepian dan membutuhkan belaianku, aku siap kapan saja. Just call me babe :D.’ Semoga pesannya dapat menjadi moodbooster bagi sahabatnya itu.

Tak lama menunggu, sebuah pesan singkat masuk ke handphone miliknya. ‘Aku ingin berduan denganmu saat makan siang nanti, Love.’

Seulgi hanya bisa terkekeh geli melihat isi pesan itu. Setidaknya ia tahu kalau Irene terbawa oleh candaannya tadi. Dan tak lupa, Seulgi membalas pean itu dengan gaya yang lebih mendramatisir kisah percintaan mereka. ‘Ok babe, aku sudah tidak sabar ingin berduaan denganmu ©©©.’

Saat sedang asik berkirim pesan dengan Irene, Seulgi tidak menyadari keberadaan seseorang yang tiba-tiba duduk disampingnya. Pria itu memandangi Seulgi yang sedang sibuk dengan handphone miliknya sembari tertawa kecil.

“Hei.”

Seulgi menoleh kesumber suara dan mendapati sosok yang tidak dibayangkannya tengah duduk tepat disampingnya. “Dongwoon sunbae...” ia menatap Dongwoon keheranan. “Sunbae, kau mengikuti kelas ini?” Seulgi berpikir bukankah mata kuliah ini diberikan untuk mahasiswa tingkat satu.

“Ya, aku mengulang mata kuliah manajemen strategi.”

“Aku pikir kau pintar, sunbae” respon dari Seulgi membuat Dongwoon terbelalak kaget. “Menurut gosip yang beredar, sunbae itu tampan, kaya dan pintar, tapi sepertinya tidak semua dari hal itu benar,” tambahnya.

“Wah, kau benar-benar gadis yang unik,” balas Dongwoon tak percaya ada orang yang bisa berbicara negatif tantangnya, dihadapannya, denan wajah yang sumringah seperti itu. “Asal kau tahu, aku mengulang kelas ini bukan karena aku bodoh. Tetapi karena tahun lalu aku tidak menyukai profesor yang mengajar pada mata kuliah ini, jadi aku jarang masuk kelasnya.”

“Aah, jadi sunbae tetap pintar?”

“Tentu saja. Aku pintar, tampan dan kaya.”

“Dan narsis,” timpal Seulgi. “Wah, sepertinya aku punya info tambahan untuk fansclub MOST.” Tiba-tiba ia mendengar Dongwoon yang tertawa pelan setelah mendengar ucapannya. “Ada yang lucu?”

Dongwoon mengendalikan tawanya, “Tidak...” ia berpikir sejenak sebelum melanjutkankan kalimatnya, “aku hanya  merasa kau mirip dengan seseorang yang kukenal.”

Saat kelas dimulai percakapan mereka berhenti secara otomatis, keduanya fokus dengan untuk dapat mengikuti mata kuliah ini dengan baik. Walaupun demikian, sesekali Dongwoon mencuri pandang kearah samping, memperhatikan wanita yang begitu serius mencerna kalimat-kalimat yang dilontarkan sang profesor. Sebuah senyum terlukis pada wajahnya, dan ia pun kembali fokus dengan kuliahnya. Sampai saat kelas sudah selesai pun Dongwoon masih menyimpan rasa penasaran dengan gadis yang duduk disampingnya tadi, ada suatu hal yang familiar pada gadis itu. Dengan langkah kakinya yang panjang, ia berusaha menyusul Seulgi yang telah meninggalkan kelas itu terlebih dahulu. Dongwoon berniat untuk mengajak gadis itu untuk makan siang bersamanya, namun gadis itu itu menolak dengan sopan dan mengatakan bahwa ia sudah berjanji untuk mekan siang dengan sahabatnya.

“Sunbae, kalau kau sangat ingin makan siang denganku kau harus memberitahuku sehari sebelumnya karena biasanya jadwalku sangat padat,” canda Seulgi.

“Wah, wah tentu saja, seharusnya aku membuat janji terlebih dahulu dengan orang penting sepertimu,” jawabnya sambil tersenyum.

“Kalau begitu, aku pamit duluan” ujar Seulgi dengan senyuman yang tak kalah cerianya dengan lawan bicaranya.

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Orang bilang kau akan dengan mudah menemukan sesuatu yang menarik perhatianmu, meskipun itu ditengah keramaian sekalipun, matamu akan dengan mudah menangkap objek itu. Menarik dapat berarti dua hal, pertama hal yang kau sukai, kedua adalah hal yang kau benci. Tetapi jika menemukan dua hal tersebut secara bersamaan, di tempat yang berdekatan, rasanya itu sangat menyebalkan.

Dasom menghentikan langkahnya ketika ia berniat menuju cafetaria. Kedua maniknya dengan jelas melihat sosok Dongwoon bersama gadis itu sedang mengobrol bersama. Tak ada ekspresi apapun yang tersirat di wajahnya, namun pandangan Dasom tak lepas dari sosok itu. Banyak hal yang langsung merasuki kepalanya. Kenapa mereka bisa bersama? Mengapa mereka bersama? Kenapa gadis itu tertawa lepas dihadapan Dongwoon? Kenapa gadis itu terlihat bahagia? Dan kenapa hatinya terasa terbakar melihat pemandangan itu. Sesuatu dalam hatinya terasa kembali tersayat. Sebersit pikiran buruk terlintas dikepalanya untuk bisa menampar gadis itu sekencang-kencangnya.

“Well, i dont know what’re you thinking right know with that flat face,” suara Chaerin berhasil menyadarkannya dari bayang-bayang pikiran buruknya. “Sedih? Marah? Ataukah cemburu?”

“Seperti yang aku katakan kemarin, gunung yang mati bisa saja tiba-tiba meledak karena menampung lahar yang begitu banyak dalam waktu yang lama tanpa bisa dideteksi,” ujar Chaerin. “Tiba-tiba..... BOOOOOOM!!!” Chaerin menggerakkan tangannya untuk menggambarkan suasana ledakan. “Dan biasanya permukaan gunung itu akan hancur berkeping-keping dan hanya menyisakan kesengsaraan.”

Chaerin menarik Dasom dari tempatnya berdiri dan menggiringnya menuju cafetaria. Dasom mengerti dengan tindakan Chaerin yang menjauhkannya dari hal-hal yang tidak disukainya. Karena ialah yang mengatakan pada Chaerin bahwa orang-orang seperti mereka jika menginginkan hidup yang wajar maka hindarilah hal-hal yang akan membangkitkan kembali iblis dalam hatimu.

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Jam dinding dikamarnya masih menunjuk pukul enam pagi, tapi gadis berkulit pucat itu sudah siap untuk berangkat kuliah. Tentu bukan karena ia adalah tipe orang yang rajin untuk menghabiskan waktunya di kampusnya, hanya saja disana ia bisa menghindari orang-orang dirumah ini. Biasanya pada jam ini, di rumah megah ini masih sepi, hanya ada para pelayan yang tengah sibuk melaksanakan tugas masing-masing. Dasom hampir melakukan ini setiap harinya jika sedang tidak menginap di rumah teman-temannya, berangkat sangat pagi ke kampusnya dan pulang tengah malam saat ke rumahnya.

Saat Dasom tengah mencapai hall tengah di kediaman rumahnya, seseorang yang sangat dihindarinya tiba-tiba muncul.

“Dasom, kau sudah mau berangkat?” ujar sesosok perempuan dengan kulit yang tak kalah pucatnya dengan miliknya. “Ibu jarang melihatmu akhir-akhir ini, bagaimana dengan kuliahmu?” kali ini suaranya dipenuhi kegetiran bagi siapapun yang mendengarnya saat itu.

“Baik,” jawab Dasom singkat.

Kekecewaan sempat tergambar pada wajah wanita itu yang mengharapkan respon lebih dari putrinya itu. “Ah baguslah jika begitu.”

Dasom kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan ibunya. Namun genggaman tangan ibunya padanya membuat langkahnya terhenti. “Kau belum sarapan? Ibu akan membuatkannya.”

“Aku sedang terburu-buru,” wajah Dasom mengeras, tangannya terasa panas akibat genggaman tangan ibunya.

“Kalau begitu ibu akan membuatkanmu bekal,” katanya sambil menyeret Dasom ke arah dapurnya yang megah. Tentu saja kedatangan nyonya besar dirumah itu membuat para pelayan yang ada disana membungkuk sopan dan segera menyediakan keperluan si nyonya besar. “Ini tidak akan lama,” ujarnya sembari mempersiapkan beberapa helai roti untuk putrinya itu.

 Dasom mengepal tangannya keras, memandang wajah wanita itu sungguh dapat membuat seluruh tubuhnya terasa tersayat secara perlahan.

Memang tak butuh waktu yang lama sampai ibunya itu menyelesaikan kegiatannya, disimpannya hasil karyanya itu pada kotak bekal yang akan diberikannya pada putrinya. “Ini...” ibunya memberikan kotak bekal itu pada Dasom. “Ini roti isi selai kacang, memang tidak begitu spesial tapi ini adalah kesukaan Nara, kau juga pasti akan menyukainya,” katanya sambil tersenyum cerah.

Dasom tak menggubris kotak makan yang disodorkan ibunya padanya. Dipandangnya ibunya dengan wajah tanpa emosinya, “Aku alergi kacang.” Dan pada detik berikutnya, Dasom pergi meninggalkan ibunya yang masih berdiri mematung akibat responnya yang dingin.

Sebuah air mata jatuh menghiasi wajahnya yang penuh kekecewaan. Tersadar bahwa gelagatnya menjadi perhatian bagi pelayannya di dapur, ia segera meninggalkan ruangan itu. Ia melihat punggung putrinya yang berjalan menuju pintu keluar, ia merasa sangat jauh dengannya... sangat jauh.

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Laki-laki itu menikmati suasana kesunyian yang tercipta si tempat yang penuh dengan buku-buku ini. Matanya mencari buku buruannya, setelah puas mendapati buku-buku incarannya, ia kemudian mencari spot yang nyaman untuk tempat duduknya. Ia menyukai keheningan ini, perpustakaan selalu menjadi tempat favoritnya, baik itu perpustakaan rumahnya, perpustakaan kampus maupun perpustakaan umum dan ia ingat bahwa tempat ini adalah tempat favorit-nya juga.

Sudah satu jam lamanya, ia menghabiskan waktunya di perpustakaan kampusnya. Tentunya bukan tanpa tujuan, ia tengah menyelesaikan tugas akhirnya sehingga membutuhkan banyak buku sebagai bahan referensinya. Ia menginginkan kesempurnaan pada tugas akhirnya. Bukan karena tuntutan keluarganya, tetapi mungkin itu adalah kebiasaan. Kebiasaan yang memang berawal dari titah sang ayah untuk dapat berhasil dalam hal-hal yang akan diembannya.

Kris dididik dengan keras oleh ayahnya, sebagai anak tungganya pada waktu itu. Namun kini ayahnya telah membebaskan Kris dari cap ‘kesempurnan’ yang telah ia tanamkan sejak kecil. Ayahnya telah berubah. Menurutnya itu bukan perubahan yang buruk. Ia merasa, ayahnya yang sekarang lebih manusisawi. Perubahan itu ia rasakan semenjak ayahnya yang telah mendapatkan ibu baru untuknya, sejak itu ayahnya berubah menjadi ayah yang normal, yang akan menghabiskan sebagian waktunya dengan keluarganya tanpa lagi menuntut apapun darinya. Namun tidak semudah itu bagi Kris untuk dapat ikut berubah, setelah didikan keras ayahnya selama bertahun-tahun kini ia sadar bahwa dirinya yang sekarang sangat mirip dengan ayahnya yang dulu, yang akan melakukan apapun untuuk mencapai keberhasilan. Tidak ada kegagalan dalam kamus keluarga kita, itu yang diajarkan ayahnya dulu.

“Ah, Kris kau disini juga rupanya.”

Suara yang familiar itu membuat Kris menoleh pada sumber suara dan mendapati temannya disana –Suho—yang kini ikut duduk disampingnya.

“Ya, aku membutuhkan beberapa referensi untuk tugas akhirku.”

“Tentu, sudah pasti Mr.perfect akan melakukan semua tugasnya dengan perfect.” Suho mulai membuka buku bacaannya ketika ia teringat akan sesuatu, “Ngomong-ngomong adikmu juga ada disini, apa kalian berangkat ke kampus bersama-sama?”

Pertanyaan itu membuat Kris mengerutkan keningnya, “Adikku?... Dasom, dia di perpustakaan?”

“Hn, jadi kalian tidak datang bersama, memang sangat mustahil jika dipikirkan,” Suho mengecilkan suaranya pada bagian akhir kalimatnya.

“Dimana dia?”

“Kenapa? Kau mau menemuinya?” tanya Suho yang agak heran, karena menurutnya jarang sekali ia melihat Kris maupun Dasom mau saling berinteraksi di kampusnya. Jawaban yang tak kunjung ia dapatkan malah tergantikan dengan tatapan tajam kearahnya, membuat Suho tersadar bahwa seharusnya ia tidak mengatakan hal itu. “Dasom ada di bagian sastra Korea.”

Tanpa mengatakan sepatah katapun lagi, Kris langsung pergi meninggalkan Suho. Ia menyusuri beberapa bagian perpustakaan untuk dapat sampa ke tempat tujuannya. Bagian sastra Korea mungkin merupakan tempat yang relatif sepi di perpustakaan ini, bisa terlihat dari minimnya orang-orang yang berada disana dibandingkan dengan bagian lainnya di perpustakaan. Dan akhirnya sosok yang ia cari berhasil ditemukannya, sosok itu tengah membaringkan kepalanya pada meja yang ia tempati dengan mata yang terpejam –ia sedang tertidur lelap—. Kris menghampirinya dengan perlahan, seakan tak ingin mengusik wajah yang terlelap itu dari tidurnya. Dipandanginya wajah dengan kulit pucat itu.

 

“Kau suka buku?”

“Ya. Karena mereka tak pernah membohongiku.”

 

“Kita keluarga sekarang, kau bisa memberikan sebagian bebanmu padaku.”

“Apa aku bisa mempercayaimu?”

 

Tangannya hendak menggapai wajah itu, ingin rasanya dielusnya lembut kulit pucatnya itu. Namun kesadarannya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia adalah seorang Kris, ia tidak boleh melanggar batasan yang ada.

“Dasom!”

Suara berat miliknya langsung mampu membangunkan gadis yang tertidur lelap itu. Bisa dilihatnya wajah gadis itu yang terkejut melihat Kris yang tengah berdiri dihadapannya.

“Kris...”

“Ada yang ingin kubicarakan,” lanjut Kris dan matanya menatap tajam kearah adiknya tirinya itu. “Dan bukankah seharusnya kau menghabiskan waktu luangmu untuk hal yang lebih berguna.”

Tak ada respon apapun yan dikeluarkan Dasom. Ia hanya bisa mengepal tangannya keras, ia memang tak pernah bisa membantah kata-kata yang dikeluarkan Kris. Ia seakan mati kutu akan sosok sempurna yang ada dihadapannya itu.

“Aku mendapat teguran dari pihak kampus,” ujar Kris masih dengan tatapan yang mengintimidasi. “Kau sering tertidur di kelas dan nilaimu sangat turun,” suara baritonenya mampu membuat lawan bicaranya itu semakin menciut.

Sial! Sial! Sial! Orang-orang itu tak mengatakan apapun padanya dan hanya berani mengadu pada orang yang dihindarinya itu.

“Maaf, aku ak...”

“Aku tak butuh alasan apapun, tapi ingat... saat kau sudah masuk menjadi bagian keluarga ini, kau tidak diperbolehkan untuk mencoreng nama baik keluarga!”

Dasom tidak menatap lawan bicaranya. Memandangnya hanya akan mengingatkannya  pada janji-janji busuk yang pernah sampai di telinganya. Kris yang selalu melakukan semua hal dengan baik, selalu membuat nama keluarganya terangkat akan prestasinya, tidak ada kesalahan yang pernah dibuatnya. Dasom tidak tahan dengan wujud sok sempurna itu yang terus menuntutnya demi nama baik keluarga yang bahkan tidak diakuinya.

Kris langsung meninggalkan Dasom yang masih duduk diam ditempatnya.

Hari ini benar-benar hari yang buruk bagi Dasom, bertemu dengan orang-orang yang sudah di blacklist dalam kamusnya benar-benar menjengkelkan. Sial!

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Hari ini memang sudah cukup berat bagi Dasom, ditambah kenyataan ia harus mengulang beberapa mata kuliah akibat nilainya yang brobrok. Sebenarnya ia bisa saja membolos kelas seperti biasanya, tapi dia tidak akan membiakan profesor-profesor pengecut itu mengadu pada keluarganya lagi. Benar-benar mengesalkan dan membosankan, pikirnya. Menunggu kelasnya selesai terasa sangat lama, begitu sang profesor menutup kelasnya, hembusan napas panjang dikeluarkan oleh gadis berkulit pucat itu.

Kini kegiatan selanjutnya adalah mengecek handphone miliknya yang dari tadi bergetar. Ada pesan dari Bora ‘waiting for you at VIP cafetaria.’ Julukan tempat itu terdengar bodoh bukan? Sebenarnya itu adalah tempat yang sama dimana semua mahasiswa di universitas ini menyisihkan waktunya untuk sekedar mengobrol atau makan. Kenapa ada orang-orang aneh yang memberikan julukan tempat dengan nama yang aneh pula. Tempat itu terletak di lantai dua cafetaria, tempatnya memang lebih nyaman dari cafetaria di lantai bawah. Dari bentuk desain ruangan, sampai menu yang disajikan memang bisa dikatakan lebih ‘wow’ dari cafetaria pada umumnya, apalagi cafetaria kampus. Dan yang mengunjungi tempat itu bisa dikatakan sangat sedikit, atau hanya kalangan tertentu saja yang bisa ‘berani’ untuk menempati tempat itu. Biasanya anak-anak yang merasa memiliki harta dan kekuasaan memang lebih menyukai tempat-tempat yang lebih private.

Dasom sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan hal yang seperti itu, menurutnya tidak ada batasan bagi manusia untuk bisa melangkah sesuai keinginan mereka.

“Yo Dasom! Kau mau kemana?”

Nah, sekarang orang yang memiliki pola pikir yang sama dengannya berlari kecil menghampirinya. Sapaan yang sangat familiar baginya itu sempat membuat Dasom antusias untuk menjawabnya, sampai ia melihat ada orang lain yang berdiri tepat disamping pria yang baru saja menyapanya.

“VIP cafetaria,” jawab Dasom singkat.

“Wah kebetulan sekali, kita juga akan kesana. Bukan begitu, Seulgi?”

Yang disebut namanya menganguk singkat dan tersenyum ramah. “Tapi memangnya ada tempat bernama VIP cafetaria di kampus kita, Dongwoon sunbae?”

“Tentu saja ada... kau akan segera mengetahuinya.”

“Ayo kesana bersama-sama,” Dongwoon merangkul Dasom dan memberikan isyarat padanya untuk tersenyum. Ia mengatakan sesuatu pada Dasom tanpa mengeraskan suaranya, mulutnya bergerak memberikan kalimat yang dipahami Dasom. ‘Kau sudah berjanji padaku’ setidaknya itulah yang ditangkap Dasom.

Dasom membuat lengkungan kecil pada bibir mungilnya dan dengan bangga ditunjukkannya itu pada Dongwoon.

“Wah Dasom sunbae... aku tidak menyangka Dasom sunbae bisa tersenyum seperti itu.”

Suara itu membuat lengkungan pada bibir Dasom menghilang.

“Tapi menurutku itu terkesan tidak tulus,” lanjutnya. “Walaupun begitu Dasom sunbae tetap terlihat sangat cantik,” Seulgi mengakhiri kalimatnya dengan senyuman lebar.

Sebuah gelak tawa membahana setelah kalimat terakhir yang dilontarkan Seulgi. “Dia benar-benar gadis yang unik kan?” kata Dongwoon. Sebenarnya Dongwoon menyadari kesamaan antara sahabatnya itu dengan Seulgi, keduanya sama-sama mendapat kategori unik menurutnya, yang satu sangat ceria dalam keadaan apapun sementara yang satunya lagi bahkan tidak bisa dideteksi apa yang sedang dipikirkanya. Namun ia yakin suatu saat nanti Dasom akan membuka hatinya untuk bisa menerima orang lain dengan mudah.

Dan akhirnya mereka bertiga sampai pada tempat tujuannya. Dasom langsung menemukan sosok Bora dan Chaerin yang menyadari kedatangannya. Tempat itu benar-benar sepi kali ini, hanya ada Bora, Chaerin dan beberapa pengunjung laki-laki, eh... ! Dasom sangat mengenal postur laki-laki yang duduk membelakanginya itu, laki-laki itu –Kris— sedang menikmati santapannya dengan teman-temannya. Ia berpikir untuk makan dengan tenang dan cepat, lalu pergi meninggalkan tempat ini segera.

Dasom baru saja akan menghampiri tempat dimana Bora dan Chaerin duduk ketika tangannya digenggam oleh Dongwoon dan menghentikan langkahnya. “Kusarankan kau duduk bersamaku jika ingin menambah teman,” paksa Dongwoon yang langsung membuat Dasom duduk pada meja pilihannya.

Dan disanalah mereka duduk, ada Dongwoon yang duduk berhadapan dengannya sementara Seulgi duduk disampingnya. Dasom sempat melihat gelagat Chaerin yang mentertawainya, Chaerin mengarahkan telunjuk tangannya pada bagian keningnya dan membuat gerakan berputar dengan tangannya ‘Kau gila!’, dan itu pesan yang ditangkap Dasom.

“Kalian mau pesan apa?” tanya Dongwoon.

“Entahlah, tapi sepertinya menu disini agak mahal sunbae” Seulgi menimpali.

“Hn, bagaimana jika hari ini aku akan mentraktir makan siang kalian,” pancaran mata Dongwoon terlihat berbinar, kali ini ia harus mensukseskan rencananya untuk mencarikan teman yang baik untuk Dasom.

“Aku bukan tipe orang yang sungkan jika kau memutuskan seperti itu sunbae,” ujar Seulgi sambil tertawa. “Baiklah aku pesan vegetable toast dan jus lemon, boleh kan senpai?”

Dongwoon mengangguk dan kini perhatiannya tertuju pada Dasom, “dan kau ingin pesan apa?”

Green tea panas.”

“Hanya itu?”

Dasom menganguk. Dan saat itu juga Dongwoon memesan pesanan mereka.

Sambil menunggu pesanan datang, Dongwoon berusaha menghidupkan suasana dengan mengajak teman-temannya itu untuk mengobrol.

“Dasom kau tahu, Seulgi bisa memasak sup tomat, yaa... walaupun aku belum pernah mencobanya tapi dia bilang itu sangat enak,” ujar Dongwoon berharap memicu ketarikan bagi Dasom untuk bisa terpancing dalam percakapan mengingat sup tomat adalah makanan favoritnya.

“Tentu saja itu benar-benar enak sunbae,” aku Seulgi.

“Kau bisa membuktikannya kalau begitu, dan itu adalah makanan kesukaannya,” kata Dongwoon dengan matanya yang mengarah pada Dasom.

“Benarkah? Kalau begitu aku akan membuatkannya untukmu sunbae,” kata Seulgi antusias sambil memandang Dasom.

Butuh jeda agak lama sebelum Dasom merespon pertanyaan Seulgi, ia menghembuskan napas perlahan, “Mungkin... lain waktu.”

Pesanan milik Dasom datang lebih dahulu, seorang pelayan meletakkan green tea pesanannya. Masih terlihat kepulan asap tipis di atas cangkir bermotif tribal itu.

“Oh ya sunbae, aku bisa membuat sup tomat itu karena ayahku memberikan resep rahasianya padaku,” Seulgi memecah keheningan setelah kepergian pelayan yang mengantarkan pesanan mereka. Kalimat yang dilontarkannya sempat membuat mata Dasom melotot kearahnya tanpa disadari oleh Seulgi.

 

“Ibu masakan ini enak, apa namanya?”

“Itu sup tomat Dasom, ayahmu yang membuatnya. Makanlah yang banyak, agar cepat sembuh”

“Ayah yang memasaknya? Wah, senangnya... seharusnya aku lebih sering sakit supaya ayah selalu memasak untukku”

 

“Wah, ayahmu seorang chef?” balas Dongwoon.

“Bukan, bukan. Dia hanya hobi memasak, dia sering sekali memasakkan masakan yang enak untukku dan ibuku.” Seulgi terlihat menerawang sejenak, ia terlihat meningat suatu kenangan tentang ayahnya.

 

“Ibu, kenapa ayah jarang pulang?”

“Dia sibuk bekerja sayang”

“Padahal baru sekali aku merasakan masakannya...”

 

 “Dia ayah yang sangat baik,” Seulgi melanjutkan kalimatnya.

 

“Ibu, kenapa ayah meninggalkan kita? Apa karena aku berperilaku buruk?”

“Tidak, bukan begitu sayang. Dasom anak yang penurut, kau anak yang baik.”

“Kalau begitu... ayah yang tidak baik pada kita? ”

 

Dasom berusaha mengendalikan emosinya karena hujanan memori yang tiba-tiba mengusiknya, mungkin teh hangat akan membantunya menenangkan pikirannya. Ia mengangkat cangkir tehnya berniat untuk meminumnya, saat itu ia sadar tangannya gemetar.

 

“Ayahku... ayah yang paling baik sedunia”

“Ayah...”

“...”

Tidak ada, tidak ada ingatan baik tentang ayahnya. Ingatannya gadis mungil itu akan ayahnya, henya ketika ayahnya membanting pintu rumahnya dan tidak pernah muncul lagi.

 

Tanpa sadar Dasom menjatuhkan cangkir yang digenggamnya. Setelahnya ia mendengar suara Seulgi yang meringis pelan disebelahnya. Ia melihat pecahan cangkirnya menggores tangan milik Seulgi. Dongwoon yang melihat keadaan itu langsung meraih tangan Seulgi yang terluka. Dan saat ini Dasom hanya terdiam melihat pecahan cangkir dihadapannya.

“Seulgi kau tidak apa-apa?”

“Hanya tergores sunbae, tidak apa-apa”

“Lebih baik kita ke ruang kesehatan”

“Tidak apa-apa sunbae, sungguh”

Dasom hanya bisa mendengar sayup-sayup suara Seulgi dan Dongwoon. Ia tidak bisa menangkap percakapan mereka. Dasom tetap menunduk, pandangannya kosong walaupun mengarah pada pecahan cangkir yang dibuatnya.

“Minta maaf!”

Suara lantang itu menyadarkan Dasom.

“Minta maaf pada gadis itu.”

Dasom melihat kearah sampingnya dan mendapati Kris yang berdiri disana.

“Kau yang membuatnya terluka, minta maaf padanya.”

Dasom masih memandang Kris. Kenapa orang ini selalu ikut campur dengan urusannya, pikirnya. Walaupun saat ini ia merupakan pribadi yang dingin, Dasom merupakan tipe orang yang akan mengakui kesalahannya. Tetapi saat melihat orang yang dibencinya mengaturnya layaknya raja, dan mempermalukannya dihadapan teman-temannya. Ya, saat ini semua perhatian orang yang ada –meskipun tidak banyak— di sana beralih padanya. Dasom melihat sekelilingnya, pandangan yang terarah padanya membuatnya seolah adalah makhluk paling sadis sedunia. Kini pandangannya tertunduk kebawah, diambilnya napas panjang dengan kedua tangan yang mengepal erat.

“Aku tidak perlu minta maaf, aku tidak sengaja” suaranya pelan namun bisa terdengar oleh Kris yang ada di sampingnya.

“Sengaja atau tidak, perbuatanmu telah melukai orang lain,” balas Kris

“Sunbae, tidak apa-apa, Dasom sunbae tidak...” Seulgi berusaha mengeluarkan pendapatnya sampai kalimatnya terpotong oleh Kris.

“You act like a now!” Suara Kris terdengar pelan namun mengintimidasi. “Minta maaf, SE-KA-RANG!!!”

Dasom memandang Seulgi yang terlihat memasang wajah khawatir padanya. Ia benci saat orang-orang memandang rendah dirinya, pura-pura mengkhawatirkannya agar terlihat seperti malaikat dihadapan orang-orang.

“Aku tidak perlu minta maaf, aku tidak sengaja,” kalimat itu kembali terucap dari mulut Dasom.

Kini Dasom memandang Kris dengan tatapan yang seakan menantangnya, “Aku tidak perlu minta maaf, aku tidak SE-NGA-JA!,” katanya lagi dengan intonasi yang lebih menekan.

Plakk!!!

Tangan kris mendarat pada wajah Dasom. Dari suara yang ditimbulkannya, orang-orang bisa mengira bahwa itu adalah tamparan yang keras. Dan hal itu terbukti dengan rona kemerahan yang menghiasi pipi Dasom.

Dasom berdiri dari tempatnya duduk, ia mengambil pecahan gelas yang ada didekatnya. Perlahan ia menggoreskan pecahan gelas itu pada bagian tangannya di posisi yang sama dengan luka yang ada pada tangan Seulgi.

Seulgi terkejut saat aliran darah mulai merembes dari kulit pucat Dasom. Dongwoon yang melihat kelakukan sahabatnya hanya bisa meringis dalam hati melihat ekspresi yang dikeluarkan Dasom. Tidak, bahkan Dasom tidak berekspresi, wajahnya terlihat datar seakan luka yang ditimbulkannya tidak terasa sakit. Namun wajah tenang Dasom membuat hati Dongwoon seakan teriris.

Kris tidak kalah terkejutnya dengan tingkah adik tirinya itu. Lalu ia melihat Dasom yang tersenyum kearah Seulgi.

“Sekarang kita sama,” Dasom memperlihatkan lukanya pada Seulgi. “Aku tidak perlu minta maaf.”

Seulgi melihat lirih pada luka sunbaenya itu. Tidak sama, bahkan luka itu terlihat lebih dalam dari lukanya.

 

_H.A.T.R.E.D_

 

Seulgi berjalan perlahan menuju gerbang kampusnya, sesekali diperhatikannya plester kecil yang melekat pada tangannya. Kenapa? Kenapa Dasom sunbae membencinya? Apa karena kecelakaan di cafetaria saat pertama kali bertemu dengannya? Apa mungkin karena hal sepele itu membuatnya sangat dibenci oleh Dasom?

Seumur hidupnya Seulgi belum pernah merasakan ketidaknyamanan yang menderu hatinya. Kebencian orang lain terhadapnya, rasanya Seulgi baru merasakannya saat ini. Ia selalu dapat membuat orang-orang disekitarnya tersenyum dengan keceriaannya. Ia tidak ingin membuat orang-orang bersedih atau marah karena sikapnya. Pandangan Dasom kepadanya tadi menyiratkan kebencian, Seulgi yakin akan hal itu. Meskipun bibirnya tersenyum, namun matanya seakan mencabik-cabiknya. Hal ini membuat Seulgi tidak nyaman, kenapa rasanya sangat sakit saat orang lain membencimu?

Seulgi sampai di luar gerbang kampus, ia hendak menuju halte bus di sebrang jalan. Saat itu ia melihat sosok Dasom yang sedang duduk sendirian di halte itu. Ah.. tangan sunbae belum diobati, pikirnya saat melihat noda kemerahan yang sudah mengering di sekitar pergelangan tangan Dasom. Entah hal apa yang membuat hatinya terenyuh saat melihat sosok Dasom saat itu. Seulgi merasa sosok yang dilihatnya itu terlihat sangat kesakitan, Dasom yang terkenal tidak ekspresif, namun saat ini Seulgi melihat air mata mengalir di pipinya. Bahkan Dasom sendiri terlihat tidak menyadarinya saat air mata meluncur di wajahnya. Seulgi melihat Dasom yang mengangkat tangannya, mengusap air mata diwajahnya, kemudian memandang percik air yang tersisa ditangannya seakan tak percaya bahwa ia tengah menangis. Saat itu Seulgi sadar bahwa ini semua bukan tentangnya, tetapi tentang gadis dengan wajah tanpa emosi itu.

 

_Continued_

 

Nah, nah bersambung ke part selanjutnya saudara-saudara. Ternyata butuh tiga hari buat nulis satu part ini #curcoldikit, maklum udah lama ga nulis fanfic. Sebenernya part 1 ini udah selesai seminggu yang lalu tapi baru berani ngepost setelah selesai bikin plot untuk cerita yang part 2. Dan mohon maaf kalau ada banyak typo, sekali lagi... maklum udah lama ga nulis fanfic.  Gimana-gimana pairingnya? Aneh kah? Alurnya masih terombang-ambing ya kayaknya, hahaa... Please write your comment for me :D , i’ll accept all your comment, critique, and suggestion from youuuuuu... and all of that will be the moodbooster for me to continue this story.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet