Pray

Pray

Seharusnya Soonyoung sudah siap untuk berangkat sekolah pagi ini. Tapi sekarang ia malah masih berbaring di kasurnya. Membuka matanya saja pun belum.

Semalam tubuhnya panas sekali. Ia menggigil hebat dan kepalanya sangat sakit sampai rasanya mau mati. Soonyoung bahkan menangis malam itu. Ia takut kalau dirinya benar-benar akan mati kemarin.

Soonyoung hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Ibunya sudah meninggal sejak ia berusia tujuh tahun dan tidak memiliki saudara. Dengan tubuh yang lemas, ia mencoba berjalan menghampiri ayahnya di depan rumah. Rumah Soonyoung tidak besar, hanya berukuran 7 x 7 meter. Di dalamnya terdapat dua kamar, satu kamar mandi, satu dapur kecil, dan satu ruangan tengah yang sekaligus ruang tamu. Walaupun tidak besar, Soonyoung nyaman tinggal di sana.

Pelan tapi pasti ia mulai berjalan. Soonyoung berpegangan pada dinding agar tubuhnya tidak jatuh. Ketika dirasa sudah dekat, ia memanggil ayahnya.

“Ayah.” Suaranya pelan dan serak. Kepalanya semakin sakit saat berbicara, apalagi untuk bersuara keras.

Ayahnya tidak mendengar panggilannya karena di luar sedang hujan deras. Suaranya kalah dengan suara hujan. Soonyoung mencoba memanggilnya lagi dan beruntung ayahnya menoleh di panggilan yang ketiga.

“Soonyoung, ada apa?” tanya ayahnya. Ia belum bisa melihat kondisi Soonyoung dengan jelas.

“Sakit, yah.” Tubuhnya merosot ke lantai ketika bicara. Ia benar-benar tidak kuat berdiri lagi. Matanya hampir tertutup sempurna.

“Ya tuhan, kau kenapa?” Ayahnya sedikit tergesa ketika menghampirinya lalu segera membantunya berdiri.

Soonyoung rasanya ingin menangis. Tubuhnya semakin menggigil karena udara di luar kamar lebih dingin. Belum lagi ia hanya memakai kaus lengan pendek dan celana training panjang.

Ayahnya membopong tubuh kurus Soonyoung menuju kamarnya. Dengan hati-hati ia membaringkan tubuh Soonyoung dan menyelimutinya dengan selimut hijau yang tergeletak di lantai.

Soonyoung tidak mengerti apa yang terjadi dengannya. Ia belum pernah sakit sampai seperti ini. Biasanya hanya demam biasa dan itu pun masih sanggup untuk berangkat sekolah atau sekedar mengantar pesanan di tempat kerjanya. Tapi sekarang untuk membuka mata saja berat sekali.

Ia akhirnya menangis setelah tubuhnya sudah terbalut selimut. Masa bodoh dengan usianya yang sudah tujuh belas tahun. Soonyoung benar-benar tidak kuat. Tangannya mencengkram selimut dengan kuat saat pusing di kepalanya datang.

“Eungh..” Soonyoung mengeluh sambil memijat kepalanya sendiri. Kedua pipinya sudah basah karena air mata.

“Ayah keluar sebentar ya, beli obat.” Soonyoung dan ayahnya tidak pernah sedia obat-obatan di rumah.

Walaupun kepalanya terasa ingin pecah, Soonyoung masih bisa tahu kalau di luar hujan deras dan hari sudah hampir tengah malam. Ia tidak mau ayahnya kehujanan. Karena itu Soonyoung segera menahan tangan ayahnya ketika laki-laki berusia lima puluh tahun itu siap pergi.

“Tidak usah, besok saja.” Matanya yang berair bertemu pandang dengan milik sang ayah. Tapi belum terlalu lama, Soonyoung sudah menutup matanya. Pusing datang lagi dan kali ini ia harus menggigit bibirnya guna menahan sakit.

Tiba-tiba ia merasakan pijatan lembut di dahinya. Ayahnya memijat kepalanya yang sakit. Tangan ayahnya terasa kasar tapi Soonyoung menyukainya. Ia lebih tenang setelah itu karena pusing yang dirasakan berkurang.

Suara itu terdengar pelan bahkan hampir menyerupai bisikan. Tapi Soonyoung yakin ayahnya sedang bergumam. Soonyoung mencoba mendengar lebih jelas dan akhirnya ia tahu ayahnya sedang berdoa untuknya. Tidak lama, ia pun tidur disertai iringan doa ayahnya.

 

***

 

Beberapa menit kemudian Soonyoung membuka matanya. Ia melirik jam di atas meja belajar. Jam sembilan, kelas sudah dimulai, ia pun terpaksa tidak sekolah. Lagipula tubuhnya masih lemas dan kepalanya masih pusing.

Ia kembali memejamkan mata, mengingat kejadian semalam.

 

Ayahnya berdoa untuknya

 

“Masih pusing?” Soonyoung melirik ke arah pintu. Ayahnya datang sambil membawa mangkuk dan gelas.

Soonyoung mencoba bangun dari posisinya. Ia mendirikan bantal di belakang tubuhnya agar ia bisa bersandar di sana. Bantalnya sedikit keras tapi setidaknya itu bisa membantunya duduk.

“Sedikit,” jawabnya. Ia melihat isi mangkuk yang ayahnya bawa. Itu bubur nasi. Pasti ayahnya membuat bubur itu sendiri.

“Ayah tadi masak bubur. Kamu makan ya.” Soonyoung mengangguk lalu mengambil mangkuk dari tangan ayahnya.

Soonyoung tidak nafsu makan kalau boleh jujur. Perutnya mual terlebih ketika ia mencium aroma bubur itu. Dengan hati-hati ia menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya. Baru satu sendok yang masuk tapi ia sudah ingin muntah.

Ia menggeleng dan menyerahkan kembali mangkuk itu ke ayahnya. “Aku mual, yah.” Soonyoung meminum air dari gelas yang tadi dibawa ayahnya lalu kembali berbaring.

Ada rasa bersalah di ucapannya barusan. Soonyoung tidak bermaksud untuk menolak bubur buatan ayahnya. Tapi ia benar-benar tidak bisa menghabiskannya.

Soonyoung melihat wajah ayahnya lekat-lekat. Wajah laki-laki yang selalu di sampingnya selama tujuh belas tahun. Wajah itu sudah tidak secerah sepuluh tahun yang lalu. Keriput sudah tampak di berbagai sisi. Guratan lelah juga ada di sana. Tapi senyumnya masih sama. Masih menenangkan Soonyoung. Masih bisa membuat Soonyoung tersenyum ketika melihatnya.

“Masih panas. Kita ke dokter, ya.” Ayahnya menatapnya, meminta persetujuan untuk pergi ke dokter. Soonyoung hanya diam. Ia tidak memberi jawaban apapun.

Hanya sakit seperti ini saja Soonyoung rasanya ingin mati kemarin. Ia mengeluh bahkan menangis. Rasanya Soonyoung sudah tidak kuat padahal sakit yang ia rasakan tidak lebih sakit dari yang dirasakan sang ayah. Ayahnya menderita sirosis hati. Setiap tiga minggu sekali ayahnya pergi kontrol ke rumah sakit. Hanya dengan berbekal obat-obatan, ayahnya berjuang melawan penyakitnya.

Ayahnya bekerja sebagai koki di sebuah restoran milik pamannya. Karena itu ayahnya masih dapat bekerja walaupun sakit. Ia bisa istirahat kapan pun kalau merasa lelah. Penderita sirosis hati tidak boleh terlalu lelah. Ayahnya tidak pernah mengeluh selama ini, ia terlihat baik-baik saja. Padahal Soonyoung tahu ayahnya tidak sebaik kelihatannya. Ia malu pada dirinya sendiri. Soonyoung tidak bisa melakukan apa-apa untuk membuat ayahnya merasa lebih baik, malah terkadang ia suka melawan perkataan ayahnya. Walaupun Soonyoung tidak pernah membuat ayahnya merasa lebih baik, ayahnya selalu membuat Soonyoung merasa baik. Bahkan ayahnya berdoa untuknya. 

Di luar, hujan masih turun. Dan suara gemuruh masih terdengar. Soonyoung menggeleng lalu air mata mengalir dari kedua matanya. Ayahnya memijat kepalanya lagi. Seperti mengetahui kalau kepala Soonyoung sakit lagi karena menangis.

“Kenapa menangis? Sudah, nanti kepalamu tambah sakit.”

“Maaf, yah. Buburnya tidak habis.” Bukan. Bukan itu yang mau Soonyoung katakan. Ia mau mengatakan kalau ia ingin minta maaf karena selama ini selalu melawan perkataannya dan tidak pernah menurut.

“Iya, sudah tidak apa-apa. Kenapa kau sampai menangis seperti ini hanya karena itu, hm? Cengeng.” Ayahnya tertawa kemudian menyisir rambut Soonyoung menggunakan jari-jarinya.

“Maaf karena menyusahkan. Padahal kalau ayah sakit, aku tidak pernah melakukan apa-apa,” bisik Soonyoung. Suaranya memang sangat pelan, tapi ayahnya masih bisa mendengar itu dengan jelas.

Dari sudut matanya, Soonyoung bisa melihat senyum tulus ayahnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya karena malu.

“Kau tahu Soonyoung, sekalipun kau membenci ayah, ayah akan tetap menyayangimu. Kau satu-satunya untuk ayah karena itu jangan sakit.” Perkataan itu membuat dada Soonyoung hangat. Singkat tapi penuh makna, terlebih itu dari ayahnya.

Kalau bisa Soonyoung juga ingin mengatakakan Ayah jangan sakit. Tapi sayangnya kata-kata itu selalu tertahan di tenggorokan.

“Ke dokter, ya?” Melihat ayahnya yang khawatir akhirnya ia mengangguk.

“Tapi di luar hujan.”

“Ayah akan meminta paman untuk mengantar kita,” kata Ayahnya sambil tersenyum. Soonyoung mengangguk lagi.

“Pasti mataku merah karena menangis.” Soonyoung mengusap-usap matanya dan itu membuat ayahnya tertawa kecil.

“Siapa suruh kau menangis.”                        

Soonyoung ikut tertawa mendengarnya. Ia berharap telinganya selalu bisa mendengar tawa merdu sang ayah.  

 

 

 

 

 

 

 

 

Di tengah-tengah tawanya ia meneteskan air mata dan berdoa

 

Ayah cepat sembuh

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Tikakyu #1
Chapter 1: Nice story Author-nim. Love this story... <3
Tikakyu #2
Chapter 1: :-( :-( ;-( ;-(
"tangan ayahnya terasa kasar namun Soonyoung menyukainya"
apa yg dirasakan Soonyoung sma sperti yg aku rasakan. Meskipun tangan ibu ku kasar tapi aku sangat menyukainya.