2. Bahasa Version

No Way! Criminal

HONG-SEU-TA..! HONG-SEU-TA..! HONG-SEU-TA..!

Riuh rendah teriakan para penggemar dari kursi penonton memantul-mantul di dinding kokoh Yes24 MUV Hall, Seogyeok-Dong, Seoul hingga sampai ke kupingku yang sedari tadi mengintip dari balik backstage. Make-up ku sudah siap sejak lima belas menit yang lalu, namun aba-aba dari produser belum jua tiba. Haaah, sebentar lagi. Aku akan naik ke panggung dan memulai debut solo Koreaku. Huuft ini jauh lebih nerveous ketimbang bernyanyi bersama FTISLAND—saat masih menjadi roockie—delapan tahun lalu.

Jika biasanya aku berdiri bersama keempat member yang lain, maka kali ini hanya akan ada aku seorang diri—yah walaupun ada beberapa orang juga sebagai pengiring musikku. Tentu saja rasanya berbeda, meski ketika manggung bareng Jonghun, Jaejin, Minhwan dan Seunghyun ya aku juga penyanyi utamanya. Tetapi memiliki interaksi dengan yang lain saat bermusik menyimpan keistimewaan tersendiri dan itu tak tergantikan. Sungguh.

Aku heran kenapa mereka—maksudku FTISLAND—mati-matian mengizinkanku debut solo. Aku belum benar-benar merencanakannya karena bagiku panggung live FTISLAND adalah segala-galanya. Namun melihat keantusiasan empat lelaki itu, membuatku terdorong untuk mengabulkan harapan mereka. Baiklah, aku tak akan mengecewakan kalian, teman-teman! Janji!

“Hongki-Ssi, bersiaplah. Lima menit lagi kau akan masuk,” ucap produser menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk dan mulai menarik nafas. Inilah saatnya!

Aku menjauh dari sekat yang membatasi backstage dan panggung, mendekati kordi untuk bertanya apakah ia melihat Yunho hyeong-nim. Gelengan kordi tersebut membuatku susah senyum. Padahal manajer Song berjanji akan datang ke acara Showcase solo perdanaku ini, lalu kenapa belum tampak juga batang hidungnya sampai sekarang? Haaiish, jangan sampai ia tertular tingkah empat lelaki itu.

Sebelumnya, member FTISLAND yang lain sudah mendapat ‘undangan’ spesial dariku untuk menghadiri acara ini. Tapi tak satupun dari mereka yang yakin bisa datang. Paling bagus mereka terlambat. Begitu katanya.

 Jonghun, meski aku merengek, si lelaki yang mengaku tampan itu bilang ia akan usahakan datang tepat waktu jika tak terjebak macet. Huh, mentang-mentang mobil sendiri.

Jaejin, si fanboy Red Velvet itu tak berani janji katanya karena harus menemani kakak perempuannya untuk pergi ke suatu tempat—aku lupa namanya. Ah, baiklah, kakak kandungnya memang lebih penting dari aku.

Minhwan, si drummer gamer itu bersedia datang jika aku berjanji akan membelikannya beberapa piringan hitam setelah Showcase berakhir. Ya ampun, keadaan menjadi terbalik. Aku yang butuh janjinya, bukan dia yang menerima janji dariku!

Dan Seunghyun, si jangkung enambelas dimensi itu meski pun datang juga agak-agaknya hanya akan memicu keributan. Bisa jadi ia lebih dikerubuti penggemar ketimbang aku. Kemampuan bermain gitar serta bernyanyinya semakin berkembang. Itu bagus, sih, tapi ini kan Showcase milikku! Aku bintangnya, bukan Song itu, haish!

Sudahlah, aku tetap berharap mereka semua datang dan memberiku semangat lagi dan lagi. Tanpa mereka aku bukan apa-apa. Di samping para penggemar, aku butuh mereka semua untuk tetap bisa berdiri di atas panggung ini.

Three... Two... One... Sijak!”

Sorot lampu menghujani tubuhku yang sudah tegak berdiri menghadap puluhan penonton yang didominasi oleh kaum hawa. Aku membungkuk sebagai salam sebelum menyapa mereka semua. Jeritan demi jeritan terus mengudara tanpa henti, aku hanya bisa tersenyum dan tak bosan mengucapkan ribuan terima kasih.

Selagi MC membuka acara sekaligus memperkenalkan mini album bertajuk FM302 milikku secara singkat, aku mengecek jam tangan kemudian mengedarkan pandangan ke semua penjuru. Mencari-cari sosok Jonghun, Jaejin, Minhwan dan Seunghyun di antara bangku penonton. Masih belum ada, atau barangkali keberadaan mereka luput dari penglihatanku.

“Baiklah. Bagaimana kalau kita mulai saja Showcase hari ini? Lee Hongki-Ssi, kuharap kau sudah sangat siap!”

*

Hingga nyaris mencapai lagu terakhir yang aku bawakan, keempat orang itu benar-benar tidak muncul. Aku hampir mendengus namun segera teringat masih ada Yunho hyeong-nim yang tadi datang tergesa-gesa pada saat aku selesai menyanyikan Loudness Of Love. Lelaki itu buru-buru menempati kursinya sambil menyeringai padaku. Aku menangkap ada yang ganjil dengan ekspresinya namun aku tak punya waktu untuk memusingkan hal itu.

Ketika aku akan mengangkat mic untuk menyanyikan lagu terakhir, dua orang berjaket parasut gelap tertangkap netraku menerobos masuk dari salah satu pintu di sudut. Tidak hanya dua orang, masih ada yang lainnya. Dua orang berpakaian sama yang datang bersamaan dengan Yunho hyeong-nim tadi turut bergerak. Perasaanku mencelos tiba-tiba.

Dan benar saja, tak lama keributan tercipta. Dua dari empat penyusup yang kepalanya tertutup topi bisbol itu menodongkan pistol serta meletuskannya ke langit-langit ruangan. Kepanikan terjadi begitu saja, para penggemar histeris ketakutan. MC dan produser gelagapan, sementara para pengiring musik berhamburan entah ke mana.

“DIAM! Jangan coba-coba meninggalkan tempat ini jika ingin selamat!” Penyusup yang tengah menyandera salah seorang keamanan berteriak memperingati—atau mengancam lebih tepatnya. Kulihat semua orang menutup telinga, semaput di tempat duduk masing-masing.

“HOY, YANG DI SANA! Matikan ponselnya dan jangan menghubungi polisi!” bentak yang lain lagi pada salah seorang penggemar wanita yang menggenggam telepon seluler.

Aku mendengut ludah. Sebenarnya ada apa ini? Mengapa terjadi hal seperti ini? Ke mana tim keamanan gedung hingga sabotase bisa dengan mudah dilakukan oleh para penyusup? Aku mencari-cari keberadaan Yunho hyeong-nim yang ternyata sudah menjadi sandera salah satu penjahat berpistol. Ujung pelatuk terarah ke pelipis kanannya. Astaga, kumohon!

Debut soloku berubah menjadi petaka. Aura ketakutan di sana-sini, tak terkecuali diriku. Tak apa mereka melukaiku—meski kuakui itu mengerikan—tetapi jangan sampai menimbulkan korban, apalagi salah satu penggemar yang datang. Salah kami apa?!

“Hongki-ya, segera berlindung!” seru Yunho hyeong-nim masih dalam kekangan penjahat, berusaha memperingatiku. Aku harus bagaimana? Meninggalkan mereka dan menyelamatkan diri sendiri, atau tetap bertahan hingga kekacauan mereda?

Selagi aku berpikir, salah satu dari kawanan penjahat itu berjalan mendekati panggung. Dengan tak gentar ia mengarahkan pistolnya ke arah penonton yang tak berani bergerak sedikit pun. Bagus, setidaknya itu akan membuat kalian tetap aman, pikirku.

“Maaf, Tuan Penyanyi. Tampaknya hari ini kau kurang beruntung. Menggunakan gedung yang sudah menjadi target operasi kami adalah sebuah kesalahan,” ucap salah seorang penjahat yang tiba-tiba saja sudah melompat ke atas panggung dan mengacungkan pistolnya tepat di depan hidungku.

Si MC yang tadi berusaha melindungiku, dipaksa menyingkir hingga aku harus berhadapan dengannya sendirian. Mata kelam penjahat bermasker hitam itu mengancamku yang tak bergeming. Ah, andai saja ada Jonghun atau Minhwan di sini mungkin aku bisa mengandalkan otot-otot mereka untuk menggebuk para penjahat rendahan ini. Aku sama sekali tak yakin pada kemampuan bertarungku sendiri, ukh! Apalagi dia bersenjata api.

Kedua tanganku sudah terangkat sejajar kepala, seperti buronan tertangkap polisi ketika jarak pistol itu semakin menipis. Sebelum ujungnya yang berlobang menyentuh dahiku, teriakan para penggemar menyela niat jahat tersebut.

“Jangan lukai Hongstar kami! Biarkan dia pergi!”

Aku membelalak tak percaya karena mereka begitu berani. Tidakkah mereka memikirkan resikonya jika semisal penjahat itu mengamuk lagi karena ucapan tersebut? Oh kumohon jangan membahayakan diri kalian, fans!

“YA! KAU BOLEH MENYANDERA KAMI TAPI LEPASKAN DIA!!!” ujar penggemar lagi lebih nyaring dan lebih banyak suara.

“BERISIK!!!” umpat penjahat berpistol satunya lagi. Yang berada di atas panggung bersamaku terkekeh remeh. Mungkin baginya terdengar seperti lelucon yang pantas ditertawakan.

“Oho, jadi kalian ingin membela orang ini, begitu?”

GREP

Dalam satu kali gerakan, penjahat berpistol itu sudah berhasil meringkusku dari belakang. Ia mengaitkan lengannya yang kokoh ke leherku hingga menyulitkanku bergerak. Posisi itu semakin melahirkan jerit kekhawatiran dari para penggemar. Aku tahu rasanya ketika melihat idola kalian dijadikan sandera oleh penjahat yang bahayanya menyamai seorang teroris.

“Tenanglah, semuanya! Primadonna, tenang. Ak-aku, baik-baik saja.” Tanpa sadar aku mengucapkan nama penggemar kami—FTISLAND maksudku, menenangkan mereka walaupun aku tahu situasiku bisa dikategorikan awas level tiga ketika ujung pistol itu telah menempel di pelipis kananku.

ANDHWE! HONGKI OPPA, ANDHWE!!!”

“HONGKI-YA, BERTAHANLAH! AKH!”

Kedua mataku melotot menyaksikan Yunho hyeong-nim terkapar setelah penjahat yang menyanderanya memukul tengkuknya hingga pria itu jatuh pingsan. Terdengar tawa dari satu-dua penjahat melihat korbannya berjatuhan.

“Apa kalian juga mau bernasib sama seperti pria di belakang itu? Jadi berhentilah menjerit!” ancamnya lagi, tepat di samping kupingku. Sontak semua orang menoleh pada tubuh Yunho hyeong-nim yang tertelungkup di lantai kemudian sebagian menggeleng takut.

“Keluarkan semua barang berharga yang kalian bawa, letakkan di lantai,” suruh penjahat yang berada di bawah panggung. Satu persatu penonton mengeluarkan dompet, ponsel dan benda lain dari dalam tas mereka. Penjahat bertubuh paling pendek memunguti benda-benda tersebut lalu memasukkannya ke dalam kantung hitam yang besar.

Aku baru akan bernafas lega ketika dering ponsel salah seorang penonton membelah ketegangan. Wanita itu tergeragap merogoh ponsel di saku mantelnya, dan belum sempat ia menjawab panggilan telepon, si penjahat bertubuh pendek tadi segera merampasnya dan menekan tombol reject. Ujung pistol yang tadinya sudah diturunkan dariku, kini kembali menempel lebih keras.

“Ini salah penontonmu, Tuan Penyanyi. Kami kira mereka benar-benar patuh, ternyata tidak. Ayo, siapa lagi yang berani menyembunyikan ponselnya dan berniat menghubungi polisi? Lakukan saja, maka aku akan meledakkan kepala orang ini dalam satu kali tembakan.”

Lututku melemas dan bulu kudukku berdiri mendengar ucapannya. Apalagi ia terus menekan-nekan pelipisku menggunakan pistol. Seolah serius dengan kata-katanya tadi.

“Sudah, tembak saja dia!” seru penjahat yang berdiri di dekat tubuh Yunho hyeong-nim memprovokasi.

Aku hanya menutup mata erat-erat ketika penjahat itu menarik pelatuknya dan bersiap melepaskan peluru. Mungkin waktuku hanya sampai di sini. Maaf, teman-teman. Aku tidak mampu bertahan lagi!

DOORR!!!

Pelipis kananku berdenyut sakit seperti baru dihantam benda padat sebesar kelingking orang dewasa. Namun ada suara ‘tuk’ aneh ketika benda padat tadi menyentuh keningku, juga tidak terasa ada cairan hangat yang mengalir dari kepalaku—selain keringat. Dan hey, kenapa aku masih bisa mendengar jeritan-jeritan penggemar jika pistol tadi telah membunuhku?

Kuberanikan diri untuk membuka mata, perlahan kudapati ekspresi-ekspresi lega menghiasi wajah para penggemar. Mereka tidak menangis, mereka tertawa! Apa itu artinya aku belum mati, eh?

Begitu aku menoleh ke kanan, ke arah ujung pistol, ada sebuah bendera kecil dengan tongkat menyembul dari lubang senjata api penjahat itu. Ketika aku berpaling, penjahat berpistol tadi membuka maskernya dan sebuah senyuman jahil teramat lebar yang sangat kukenal mengembang di sana. Ia tercengir sambil mengacungkan peace-sign.

“KEJUTAAANN!!!”

“JONGHUN?! SIALAN KAU!” aku mengumpat lalu merebut paksa pistol mainan dari tangannya. Kubaca tulisan pada bendera kuning itu, tercetak ‘selamat Anda telah tertipu!’ di permukaannya. Terakhir kulempar pistol tersebut ke arahnya yang langsung menghindar.

Para penggemar sibuk bertepuk tangan dan bersorak. Rupanya mereka juga bagian dari konspirasi konyol ini. Kawanan penjahat yang tidak lain adalah Seunghyun, Jaejin dan Minhwan itu turut melepaskan masker dan topi jaket parasut mereka. Ketiganya tertawa lebar padaku yang masih kaget di atas panggung. Sial, harusnya aku mengenali orang-orang jahil itu!

“Selamat atas debut solomu, Hongki-ya! Goodluck!” Jonghun memberiku sebuah pelukan sebelum ketiga member FTISLAND yang lain ikut menjerit tidak jelas dari bawah sana.

Hyeong! Apa aktingku meyakinkan?” Minhwan bertanya sambil mengembalikan barang-barang milik penonton.

“Aku nyaris terpingkal-pingkal melihat wajah pucatmu yang ketakutan tadi, hyeong!” Jaejin tak mau kalah.

Hyeong maafkan aku! Aku hanya diajak oleh mereka untuk mengerjaimu—AADUH!” Seunghyun meringis di akhir kalimatnya setelah mendapat sebuah jitakan manis dari si bassist.

YA! Ide kalian benar-benar gila!”

*

Showcase berakhir hebat. Selain tak ada petaka—seperti yang kubayangkan sebelumnya, kejutan supergila dari member FTISLAND dan yaa Yunho hyeong-nim juga sudah membuat hariku menjadi berbeda. Ditambah lagi, semua orang ternyata tahu sabotase yang tadi hanya pura-pura, bahkan para penggemar. Mereka berakting dengan baik, seperti telah belajar pada ahlinya saja.

“Pelipismu sedikit merah, hahahahaa! Maaf, maaf, sepertinya aku terlalu kencang melepas peluru mainannya tadi.” Jonghun menyentuh pelipisku yang masih agak sakit. Aku hanya mencibirinya. Jaejin tampak mengagumi pistol mainan yang masih berada di tangannya sambil berkomentar, “Suaranya keras juga meski tidak ada pelurunya.”

“Dan aku seperti orang bodoh mempercayainya,” timpalku yang langsung ditetawai oleh yang lain. Yunho hyeong-nim datang membawakan enam gelas kopi ke ruang make-up di mana kini kami berkumpul. Ia membagikan semuanya satu persatu.

“Aku saja baru bergabung ketika tiba di lobi. Mereka menjelaskan rencananya padaku secara singkat, dan karena aku lupa skripnya, maka kuperintahkan Seunghyun agar membuatku seolah dipukul hingga pingsan. Jika tidak, mungkin rencananya akan berantakan,” jelas lelaki berstatus manager FTISLAND itu padaku dengan santai.

“Kukira kalian semua tidak datang hari ini. Aku sudah kecewa, dan tak kusangka mendapat kejutan di akhir.” Aku orang pertama yang menyeruput kopi, disusul Jaejin.

“Hebat kan, idenya? Sebenarnya, kami hanya ingin mengetes seberapa tangguh kau bisa bertahan sendiri di situasi genting seperti tadi, hyeong. Ternyata, kau sudah menyerah bahkan sebelum melakukan perlawanan!” Jaejin mendecak.

“Itu karena Jonghun menggunakan senjata api! Aku tidak mau pistolnya meletus dan mengenai orang tak bersalah.” Aku berusaha berdalih namun Minhwan dan Seunghyun tampak kompak tak mempercayainya.

“Tapi itu kan hanya pistol mainan, hyeong!”

“Kami selalu ada untukmu kok, hyeong! Tenang saja!” Seunghyun dan Minhwan bicara bergantian seperti anak kembar. Kukibaskan tangan di depan semuanya yang menatapku penuh olokan.

“Kupikir kalian datang ke mari untuk memberiku selamat. Jadi, hanya ingin mengatakan itu? Haaah aku keliru berharap banyak!” Aku mendengus kemudian melipat kedua tangan di depan tubuh.

“Tentu tidak! Kami sudah menyiapkan yang lainnya! Hey, keluarkan semuanya!” Jaejin memberi aba-aba agar yang lain melakukan sesuatu. Aku tertarik saat mereka berempat menaruh greeting card berbagai rupa ke atas meja dan mendorongnya kepadaku.

“Bacalah, kudengar mereka membuatnya sendiri,” ujar Yunho hyeong-nim memerintahku.

Kuambil keempatnya sekaligus dan menimbang-nimbang mana dulu yang mau dibaca pertama. Akhirnya kuputuskan membuka kartu dengan hiasan sederhana berwarna krem. Sepertinya aku tahu siapa pemilik kartu ini. Begitu dibuka, di dalamnya tertulis:

 “Hongstar, jika album ini berjalan dengan baik, jangan menelantarkan aku. Hanya dengan bermain gitar di sampingmu aku bisa merasakan hidup.” – Oksudong-I-am-Leader

Hah, benar ‘kan? Ini milik si Tuan Choi!

“Menelantarkan apa? Memangnya kau anakku, huh? Tapi, terima kasih!” itu tanggapanku atas kartu ucapannya.

Selanjutnya kartu berbentuk segitiga yang lain dari yang lain. Tanpa kukatakan juga, pasti kalian tahu orang yang memberinya. Pesannya berbunyi:

“Hongki hyeong mengeluarkan album bersamaan dengan EXO, tetapi bagi kita hyeong lebih daripada EXO.” – Seongsudong-bukan Seungheon tapi-Song-Seung-hyun

“Tidakkah nama julukanmu ini terlalu panjang? Menyebutnya saja susah sekali, heh! Tapi aku terharu pada kata-katamu, hehehe...” Kekehanku dibalas kekehan juga oleh Seunghyun. Lihat, dia bahkan berani mencantumkan nama idol lain. Haruskah kupukul si Song ini? (LOL)

Kartu berikutnya dari Minhwan. Tulisan bocah ini sudah seperti aku ini kakeknya saja. Kalau tidak percaya, baca ini:

“Hongstar-nim, saat melakukan kegiatan promosimu, harap berhati-hati agar tidak masuk angin. Setelah menyelesaikan latihan, jangan pergi ke Internet Kafe, tolong istirahatlah.” – Yulhyeondong-Gwiyeomminhwan

“Kau ini dokter atau drummer, sih? Lengkap sekali nasehat kesehatan darimu.”

Minhwan hanya tersenyum dengan mata menyipit mendengar responku untuknya. Yang terakhir kubaca adalah kartu dari Jaejin. Pendek saja tapi memiliki arti mendalam. Begini isinya:

“Kamu harus melakukannya dengan baik. Ini juga akan berjalan dengan baik sesuai dengan banyaknya kerja keras yang telah kamu lakukan.” – Cheongdamdong-Jaejinnie

“Apa selama libur kau belajar filsafat, Jaejin-ah? Kau pintar sekali memilih kata-katanya.”

Aku selesai membaca semua kartu dan menaruhnya kembali di atas meja. Bersanding dengan empat cup kopi. Secara bergantian mereka menyalamiku dan memberikan selamat serta dukungan untuk debut mini albumku yang telah resmi dirilis. Bagaimana pun, aku salah jika tak melakukan ini dengan baik sementara orang-orang di sekelilingku mendukungnya secara penuh.

“Terima kasih banyak, semuanya. Aku akan berjuang sampai akhir!”

Jonghun menodongkan pistol mainannya kembali padaku sembari berkata, “lain kali, traktir kami makanan mahal ya, Tuan Penyanyi.”

No way, kriminal!”


 

FIN


 

Gagal dan nggak lucu kan? XD

Udah ah, aku maluuu >///< silakan kasih komennya yaa~ sangkyu~


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Asuka_J12
Serial TK Paran (?) Episode #2 dan #3 coming soon! ^^

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet