Pertemuan Pertama

Black and White

Bagi pria itu, warna yang ada di dunia ini hanya ada hitam dan putih. Selebihnya abu-abu. Karena sudah sejak lama warna-warni dunia ini hilang baginya. Nama pria itu Bang Yongguk.

Ini pertama kalinya Nana tinggal sendirian selama hidupnya, jadi baginya ini akan jadi sebuah pengalaman yang amat menarik. Ia tidak harus mengepel lantai rumahnya setiap sore, mungkin bisa diminimalkan jadi dua kali seminggu. Ia bisa memasak semaunya dan mencoba resep-resep ajaib andalannya, dan yang paling penting, ia bisa bebas dari adik laki-lakinya yang suka mengganggu dan mencuri barang-barangnya. Lagipula flat barunya amat dekat dengan kampusnya, jadi ia tak perlu bangun lebih awal hanya untuk bersiap-siap.

Gadis itu menaikan kardus-kardus berat berisi barang-barang berharganya ke flat barunya di lantai dua. Sesaat ia menjadi amat menyesal karena memilih kamar di lantai dua, lalu ia berpikir tentang uang sewanya yang lebih murah, jadi ia hanya bisa menghela napas dan membayangkan es jeruk manis sesudah berpanas-panasan dan letih seperti ini. ‘Tinggal satu kardus lagi.’ Batinnya untuk menghibur diri.

Tiba-tiba seorang pria tinggi membuka pintu flat yang ada di sebelah flatnya. Mereka hanya saling bertatapan sebentar, lalu pria itu memalingkan wajahnya dan berjalan menuju ke arah tangga. “Cih, dingin sekali,sih. Setidaknya sebuah senyuman tidak akan menghancurkan wajah tampannya itu. Aku yakin dia akan terlihat amat tampan bila tersenyum. Hiah, Kenapa aku jadi melantur begini, sih?” katanya pada dirinya sendiri. Ia mengingat bagaimana punggung pria itu yang perlahan mulai menjauh terlihat agak... kesepian?

 

Jung Nana menegak es jeruknya sampai habis tak tersisa, menangisi pekerjaan meanata barang dan membereskan flat barunya. Matahari bersinar lumayan terik, dan pencahayaan di kamarnya luar biasa. Tak heran uang sewanya lebih murah dari flat yang lain. Tata letak gedung ini hancur lebur. Yah, setidaknya ia tak perlu mengkhawatirkan biaya listrik pada siang hari.

Hawa panas yang terasa menyiksa mulia terasa saat tengah hari. Jadi gadis itu memutuskan untuk menggulung rambutnya, membawa tas kecilnya, lalu mencari udara segar di luar. Kulitnya yang putih pucat mulai berubah kemerahan karena panas matahari. Tiba-tiba saja.

Byur.

Dingin. Nana bisa merasakan kaos putih polosnya basah kuyup, dan parahnya tank top hitam dalamannya kini tercetak dengan jelas “Sialan..” umpatnya pelan. Ia melihat pelaku di depannya dengan sebal, bersiap untuk memarahinya habis-habisan. Seorang laki-laki, mungkin masih sekolah? Tinggi sekali sampai Nana merasa ia sendiri adalah kurcaci di dongeng putri salju, sementara di depannya adalah raksasa berwajah baby face.

Nana ingin menangis dan pulang ke rumah.

“Noona, maafkan aku. Aku tidak sengaja. Huaaa.. Apa yang harus ku lakukan? Apa kau kedinginan? Woah, dalaman mu kelihatan.”

Mendengar ia mulai melantur tidak karuan, Nana memberikan isyarat dengan tangannya supaya anak itu penunduk dan mendekat ke arahnya. Walaupun kebingungan, ia tetap saja menuruti perintah gadis itu dengan polosnya, dan saat kepalanya sudah berada di jangkauan Nana, ia memukul kepalanya dengan keras.

“AAAAKKK.. Yah. Aduh, sakit sekali!” Bocah tinggi di depannya menggosok-gosok kepalanya sambil memejamkan matanya. Mulutnya tak henti komat-kamit menahan sakit.

“Ini balasanku karena kau ini mesum..” gertak Nana dengan tangan yang masih mengepal dengan semangat. “Maaf, aku tidak bermaksud..” katanya dengan suara pelan sambil menunduk memandangi sepatunya. Sejenak, Nana langsung diliputi perasaan bersalah, ‘apa aku memukul kepalanya terlalu keras, ya?’ tanya nya dalam hati.

“Hmm.. Aku juga minta maaf karena memukulmu, tapi anggap saja kita impas, okay?” Nana menunjuk bekas noda kopi di kaos putihnya yang basah kuyup. Bocah tinggi di depannya tersenyum lebar, lalu menggangguk dengan lucu. Wajahnya jadi terlihat semakin kekanakan. Ia melepas tas ranselnya, lalu mengeluarkan jaket dan memberikannya pada Nana.

“Ini sebagai permintaan maafku. Noona, pakailah..” Karena tak enak hati melihat niat baik anak itu, Nana memakai jaket nya, dan terlihat amat menyedihkan. Soalnya bukan hanya kebesaran, ia tenggelam di dalamnya.

“Baiklah, terlihat cocok, kok..” Ia memperlihatkan senyum kekanakannya lagi seraya mengacungkan jempol.

‘Dia meledek ku ya?’

“Udang Noona, aku pergi dulu kalau begitu. Sampai ketemu lagi! ” Bocah tinggi itu langsung pergi, menoleh sekali sambil melambai-lambaikan tangannya, meninggalkan Nana yang tak bisa berkata apa-apa karena sadar bahwa kulitnya memang merah seperti udang.

Ia jadi semakin ingin menangis, dan bergegas pulang ke flatnya, sampai anak itu memanggilnya lagi dari belakang.

"Noona!"

"Kau mau apa lagi?" tanya Nana dengan agak ketus, 

Bocah tinggi itu malah semakin memperlebar senyumnya, lalu bilang "Namaku Zelo, kurasa Noona perlu tahu namaku karena kita akan sering bertemu mulai saat ini.."

Nana hanya terbegong mendengar ucapan anak itu yang begitu percaya diri, dia pun mengangkat bahu kemudian berkata," Well, namaku Jung Nana kalau begitu.." Zelo mengisyaratkan tanda 'ok' dengan tangannya lalu berbalik, kali ini benar-benar pergi. Tiba-tiba saja perutnya mengingatkan Nana untuk segera makan siang. Sendirian tentu saja.

"Ya.. Ya.. Aku tahu, tidak usah cerewet begitu. Kau itu kenapa mudah sekali berbunyi, sih? Menyebalkan sekali." Seorang pemuda yang sedang menyirami bunga-bunga di depan sebuah toko menoleh lalu tanpa sadar memperhatikan Nana. Diam-diam ia menyimpulakan sebuah senyuman.

‘Eh? Ngomong-ngomong kemana aku harus mengembalikan jaket anak itu?’ pikir Nana

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet