Satu

Limitless

“Akh…” Chorong merintih pelan karena merasakan sakit di perutnya. “Hhh kenapa lagi-lagi sakit saat sedang ujian begini sih?” umpatnya dalam hati. Sakit di perutnya bukan kali ini saja dirasakan Chorong. Sejak ibunya meninggal 6 bulan yang lalu, ia kerap merasakan sakit pada perut bagian atasnya. Selama 6 bulan ini Chorong hanya menganggap maag biasa, karena pola makannya mulai tidak teratur sejak dia hidup sendiri, mengingat dia adalah anak tunggal dan ayahnya bekerja di luar negeri. Chorong tidak pernah memeriksakan keadaanya karena ia benci sekali dengan rumah sakit. Rumah sakit membawa kenangan buruk baginya.

                Sesampainya di rumah, Chorong hanya merenung. Merenungkan nasibnya. Ia telah kehilangan semangat hidup sejak kejadian 6 bulan lalu, ketika ibunya meninggalkan dia seorang diri di dunia yang sangat kejam ini. Ya, dia masih mempunyai ayah, tetapi ayahnya tersebut telah meninggalkannya sejak Chorong berusia 5 tahun, dan sekarang bahkan sudah mempunyai keluaga lagi di negeri sana, Chorong tidak peduli dengan hal itu. Isakan terdengar dari sebuah kontrakan kecil di sudut kota Seoul. “Ibu… Aku sangat merindukanmu. Aku ingin ikut saja kesana. Aku tidak tahan lagi hidup seperti ini..” Hampir setiap malam terdengar tangisan pilu dari kontrakan mungil itu.

                Walaupun sering mengeluh tentang keadaannya, Chorong masih tetap berjalan menuju kampusnya, datang setiap jam 5 sore ke kedai kopi di tengah keramaian kota untuk bekerja paruh waktu, dan memasang topeng penuh keceriaan.

                Saat ini dihadapannya ada seseorang yang dapat membuat Chorong tersenyum lebar. Dia adalah Jang Dongwoo, senior satu tahun diatasnya. Melihat senyumnya dari kejauhan saja sudah membuat Chorong bisa tersenyum seharian. Chorong hanya bisa melihat dari kejauhan karena seniornya itu sudah memiliki kekasih. Chorong hanya bisa menghembuskan nafas panjang dan memilih untuk beranjak dari tempat persembunyiannya.

Bruk. “Udah puas ngeliatnya? Mau sampe kapan lo ngeliatin cowok gue hah?”

“Ngg.. Ngga kok, tadi aku cuma― Akh..” ucapan Chorong terhenti, lagi-lagi dia merasakan sakit itu.

“Cuma apa hah? Mau bikin alesan apa lagi lo? Dasar cewek―” makiannya terputus karena syok melihat tubuh Chorong yang limbung dihadapannya.

○ ○ ○

                “Saya kenapa dok?” Tanya Chorong hati-hati. Ia kini berada di sebuah klinik di dekat kampusnya.

                “Apa Anda akhir-akhir ini merasakan sakit di perut bagian atas?” Chorong hanya menggangguk lemah. “Sudah berapa lama?”

                “Eum.. Sekitar 6 bulan, dok.” Sejujurnya Chorong ingin pergi dari ruangan serba putih dengan bau menusuk indera penciuman yang amat dibencinya.

                “Maaf saya harus mengatakan ini. Tapi ada kemungkinan kalau Anda menderita kanker lambung. Untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Kita berharap ini bukan kanker ataupun masih di stadium awal. Pemeriksaan yang nantinya―”

                “Apa.. Kalau saya terkena kanker.. Apa saya masih bisa bertahan hidup dok?” Tanya Chorong sambil menatap kedua sepatunya, dia tidak menyangka doanya terkabul secepat ini.

                “Kami masih belum dapat memastikan apa Anda terkena kanker atau tidak, jadi―”

                “Berapa lama lagi waktu yang saya punya dok?” kali ini Chorong menatap dokter dihadapannya dengan tatapan sendu.

                “Jika benar kanker lambung, maka saya tidak bisa memastikannya, karena belum dipastikan seluas apa, sedalam apa, dan mengenai jaringan lambung yang mana. Kemungkinan terbaiknya adalah 5 tahun jika Anda mau melakukan operasi secepatnya.”

                “Baiklah. Terima kasih dok.” Chorong lantas meninggalkan ruangan itu dengan pikiran yang sangat kalut.

○ ○ ○

                Chorong memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya, yang menurutnya tinggal sebentar lagi, di kampung halamannya, dimana banyak kenangan manis yang dilaluinya bersama ibunda tercinta. Udara segar khas pedesaan dihirupnya dalam-dalam. Sudah lama ia merindukan kampung halamannya ini. Walaupun Chorong hidup serba sederhana namun ia masih mempunyai sebuah rumah mungil di dekat perkebunan jeruk milik keluarganya turun-temurun. Sejak kepergiaan ibunya, tidak ada lagi yang mengurus kebun jeruk mereka karena Chorong memutuskan untuk pergi ke Seoul, meninggalkan kenangan buruk 6 bulan yang lalu. Tapi ketika hidupnya sudah tinggal sebentar lagi, hanya tempat ini yang Chorong rindukan.

                Baru 6 bulan ia meninggalkan desa ini, namun terasa sudah banyak terjadi perubahan. Chorong tak ambil pusing, toh dia juga hanya sebentar disini, pikirnya. Setelah merapikan barang bawaanya, Chorong memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar, melihat betapa berkembang desa yang ditinggalkannya setengah tahun yang lalu ini. Langkahnya terhenti di depan sebuah kedai makanan yang dulu sering dikunjunginya. Tanpa sadar kakinya membawanya memasuki kedai tersebut.

                “Selamat datang! Chorong! Sudah lama sekali kau tidak kesini. Ayo silakan duduk. Maaf ya hanya bangku ini yang tersisa.” Sapa hangat dari sang pemilik kedai yang sudah kenal dekat dengan Chorong.

                “Ah, iya, tidak apa Bu. Terima kasih.”

                “Mukamu terlihat pucat, apa kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran, Chorong sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.

                “Ah, tidak kok, aku baik-baik saja Bu…”

                “Aaaah, baiklah aku bawakan ceker ayam super pedas kesukaanmu. Tunggu sebentar..”

                “Ndeh..” tidak banyak yang berubah dari kedai ini, pikirannya kembali pada saat-saat ia mengunjungi kedai bersama ibunya. Lamunanya buyar karena ada cowok yang makan dengan heboh didepannya. Chorong hanya menatap cowok itu kesal. Cowok itu hanya menatap Chorong sekilas, tak peduli. Chorong hampir saja memarahinya kalau saja makanan kesukaannya itu belum sampai dihadapannya. Begitu selesai makan Chorong langsung membayar dan sedikit bercakap-cakap dengan pemilik kedai tersebut. Cowok yang duduk dihadapannya tadi berlalu begitu saja tanpa membayar makanannya. Lantas membuat Chorong marah, ditambah lagi kejadian sebelumnya yang sudah membuatnya kesal.

                Chorong mengejar cowok itu. Menarik lengan bajunya, dan cowok itu pun berbalik. “Enak banget ya, abis makan langsung pergi gitu aja, bayar dulu. Cepet!” omel Chorong.

                “Urus aja urusan lo sendiri. Dasar cewek merepotkan!” cowok itu pun memulai langkahnya lagi.

                “Ih, cepet bayar!”

                “Gue gamau!”

                “Emangnya hidup bisa sesuka lo hah?!”

                “Iya, gue hidup emang sesuka gue! Atur aja hidup lo sendiri, cewek nyebelin!”

                Chorong makin naik pitam, tadi cowok itu bilang dia cewek merepotkan, dan sekarang cewek nyebelin?! “Apa? Seengganya gue ga senyebelin lo yang makan ga punya aturan terus abis itu langsung kabur tanpa bayar!”

                “Terserah lo lah.” Cowok itu lagi-lagi hendak berbalik, dan Chorong langsung menarik lengan bajunya. Namun, “Akhh…” chorong langsung memegang perutnya, berharap sakitnya berkurang. “Jangan bilang karena tadi aku makan terlalu pedas, dan sial! Aku lupa bawa obatnya. Bagaimana ini, sakit sekali… Ibu…” rintihnya dalam hati.

                Melihat Chorong kesakitan, bukannya membantu, cowok itu malah lantas pergi. Lagi-lagi Chorong membatin mengapa ada cowok senyebelin itu, dan kenapa saat hari pertama dia sampai di desanya saja sudah bisa sesial ini. Mau tidak mau Chorong berjalan merambat memegangi dinding, dengan salah satu tangannya menahan sakit di perutnya.

                “Hhh dasar cewek merepotkan, kenapa sih lo? Rumah lo dimana? Cepet gue anter.” Tiba-tiba ada mobil yang menghampirinya dan yang sedang bicara dengannya… adalah cowok nyebelin tadi.

                Chorong tidak berkata apapun, hanya menatap heran pada cowok yang berada dibalik kemudi mobil yang cukup mewah itu. “Dasar aneh, mobil sih boleh keren, tapi bayar makan aja gamau.” Itu yang ada dipikiran Chorong.

                “Heh! Mau gue anter ga? Apa lo mau ngesot sampe rumah?” kata-kata nyebelin cowok itu menyadarkan Chorong dari pikirannya sendiri.

                “Seriusan?”

                “Cepeeet!”

                Sepanjang perjalanan mereka berdua hanya diam terlebih Chorong sedang menahan sakit di lambungnya. Dan akhirnya sampai juga di depan rumah mungilnya itu. Chorong pun turun, “Terima kasih udah nganter sampai rumah. Abis ini jangan lupa bayar makanan yang tadi. Awas aja kalo ngga bayar juga.” Chorong tetap mengomel walaupun sambil menahan sakit.

                “Yaampun lagi sakit masih bisa ngomel aja. Iya, iya udah sana cepet masuk terus minum obat.”

                Chorong mengangguk perlahan dan kemudian memasuki rumahnya.

○ ○ ○

                Hari ini Chorong berencana untuk mendaki bukit. Perbekalan sudah disiapkannya sejak pagi. Dan tidak lupa juga sebuket bunga mawar putih kesukaan ibunya. Perjalanan terasa sangat sebentar, karena Chorong sudah hafal dengan jalan-jalan ini dan tibalah ia di depan makam sang ibu.

                “Ibu.. Apakah Ibu disana bahagia? Maaf selama ini kerjaanku hanya mengeluh dan menangis. Dan sebentar lagi aku akan menyusulmu. Mengapa sekarang aku menginginkan hidupku agar lebih panjang? Ibu, aku berjanji, ini terakhir kalinya aku menangis, sampai saat itu tiba, aku akan menjalani hidup ini dengan senyuman.” Tanpa diketahuinya, ada sepasang mata yang mengamatinya dari kejauhan.

                Setelah menangkan diri, Chorong beranjak dari sana. Merasakan perutnya sudah meronta meminta makanan, dia segera duduk di bangku yang disediakan dan membuka perbekalannya. Chorong makan dalam diam, banyak yang sedang terlintas dibenaknya saat ini. Namun tiba-tiba ada seseorang  yang duduk disebelahnya dan langsung mengambil makanannya seenaknya. “EH? Lo ngapain disini? Ngapain lo makan makanan gue tanpa ijin?” maki Chorong pada cowok disebelahnya.

                “Gue laper tau, capek juga ternyata ngedaki bukit, gue ga bawa makanan, jadi minta ya?” jawab cowo itu sambil lagi-lagi mengambil bekal makanan Chorong.

                “Huh, oke kali ini gue biarin, itung-itung ucapan terima kasih gue karena lo udah nganterin gue kemaren.” Jawab Chorong sebal.

                “Oia, lo sakit apa emangnya? Sampe ngesot gitu jalannya kemaren. Atau lo emang lebay biar mengharapkan cowok ganteng kayak gue nganterin lo?”

                Chorong memutar bola matanya kesal. “Mwo? Ganteng? Huh. Emangnya gue ngarepin lo biar nganterin gue gitu? Perasaan lo yang maksa nawarin gue!”

                “Hahaha maksa? Mana ada! Jelas-jelas lo sendiri yang masuk ke dalam mobil tanpa paksaan.” Jawab cowok itu ngga mau kalah.

                “Ya ya ya. Terserah lo aja, gue males berdebat sama lo.”

                “Eh, tapi tadi gue serius nanya, lo sakit apa emangnya?” dari nada bicaranya terdengar kalau cowok itu ngga lagi bercanda.

                “Maag? Gue mau pulang. Lo abisin aja makananya.” Chorong berlalu dari tempat itu, dia pulang ke desanya untuk melupakan tentang penyakitnya, tapi cowok nyebelin itu malah mengungkitnya.

                “Eh? Seriusan? Okedeh, gomawo!” teriak cowok itu kepada Chorong yang sudah berjalan di depannya. “Maag? Masa sih hidupnya tinggal sebentar lagi cuma gara-gara maag?” pikir cowok itu.

○ ○ ○

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
harakimmy #1
Chapter 3: Sukak deh sassy nam nya total disini. Good job author! Oya ada saran nih gmn kalo fanfic ini ditranslate ke bhs inggris pasti rame yg bakal baca hehe saran ajasih :)

Sincerely, woorong fanfics seeker
aee_eusebio
#2
Chapter 3: omaigatt level sassiness woohyun maksimal abissss
sukaaaaaa <3 ahahahahah
woorongx #3
Can this be translated into english?