final

MIRROR

 

“Yiyun! Yiyun!” Dengan malas Yiyun menuruni tangga rumahnya setelah mendengar neneknya memanggil.

Yiyun menghampiri neneknya yang sedang memasak di dapur, “Ada apa, nek?”

“Tolong taruh secawan nasi di meja persembahan,” agamanya mengajarkan untuk selalu memberi persembahan untuk anggota keluarganya yang setelah meninggal. Hal itu dilakukan untuk menghormati arwah leluhurnya. 

“Apa? Aku tak mau.” 

“Ayolah, nenek sekarang sedang sibuk.” 

Ibu Yiyun yang gemas melihat kelakuan anaknya itu pun angkat bicara, “Jangan malas dong, bantu nenekmu. Kalau kamu seperti itu terus, ayahmu di surga akan menangis.”

Akhirnya dengan terpaksa Yiyun melaksanakan perintah nenek dan ibunya itu. Sepanjang jalan menuju ruang persembahan, gadis tomboy itu terus menggurutu dalam hati.

‘Nenek belum percaya juga padaku! Kalau aku ke ruang persembahan aku selalu melihat…’

“KYAAA!!”

 

 

Di sekolah, Yiyun seperti orang yang tidak semangat untuk hidup. Melihat itu, Henry dan Kyungsoo menghampiri Yiyun yang berwajah lesu.

Henry menyapa Yiyun dengan ramah, “Yiyun, selamat pagi!”

“Mukamu pucat, lihat hantu lagi ya?” tanya Kyungsoo sambil duduk di bangku sebelah Yiyun, “Iya, benar. Hantu berbaju biksu.” 

Henry menahan tawanya mendengar masalah yang telah sering Yiyun ceritakan itu, “Sepertinya tidak seseram yang kamu  bilang tuh,” Yiyun menatap Henry dengan muka masam, “Susah bicara sama orang yang senangnya melucu seperti kamu!”

“Orang rumah bilang apa?” tanya Kyungsoo.

“Aku tak melihat dengan jelas, jadi ibu sama sekali tak percaya. Tapi nenekku bilang kalau itu kakek buyutku, karena sebelum kakek buyutku meninggal, beliau menduduki jabatan sebagai biksu tertinggi. Dan katanya mungkin ada yang kakek buyutku ingin ceritakan padaku,” terang Yiyun yang disambut tawa Henry dan Kyungsoo.

“Biksu tertinggi? Salah kali! Kakek buyutmu mungkin kepala bos mafia,” celetuk seorang lelaki yang berada di belakang Yiyun. 

“YAK KIM JONGIN! Awas kau!” Yiyun dan Jongin berkejaran mengelilingi kelas. Jongin selalu saja meledek Yiyun apabila ia menceritakan perihal hantu kakek buyutnya itu. Henry dan Kyungsoo yang melihat tingkah mereka hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kenapa sih mereka berdua selalu saja bertengkar? Tidak mau jujur satu sama lain,” kata Henry pada Kyungsoo.

“Iya, padahal kita sekelas tahu kalau mereka saling menyukai. Ngomong-ngomong kamu percaya cerita Yiyun?” 

Henry meletakkan tangannya di belakang kepalanya, “Aku tak begitu peduli,” katanya.

“Eh, lihatlah keluar jendela! Sepertinya proyek pembangunan gedung sekolah, baru dimulai.” 

 

 

 

Orang-orang proyek sedang sibuk membangun gedung. Bunyi ketokan palu dan gergaji terdengar dimana-mana. Seorang yang terlihat seperti pemimpin mereka memberikan intruksi-intruksi pada anak buahnya. 

Salah satu pekerja bangunan mendatanginya dengan langkah terburu-buru, “Pak mandor!” panggilnya.

“Ada apa?”

“Waktu kami menggali sisa-sisa akar pohon, kami menemukan sebuah benda aneh,” kata orang itu sambil menunjukkan kotak kayu berukirkan bunga sakura yang dibawanya, “Kotak? Kelihatannya kotak kuno, pasti amat berharga, kita serahkan saja ke sekolah.”

Pekerja bangunan itu pun menyerahkan kotak itu pada atasannya. Naasnya, karena dirinya yang tak berhati-hati, kotak itu pun terjatuh dan karenanya sebuah cermin yang ada didalam kotak itu jatuh dan pecah.

“Aduh, gawat!” kata orang itu panik. 

“Sudahlah, kumpulkan semua pecahannya dan kembalikan ke kotaknya. Bilang saja pada pihak sekolah bahwa cermin sudah pecah saat ditemukan!”

Mereka pun segera melaksanakan perintah mandor itu. Sayangnya tanpa mereka sadari, terdapat sebuah pecahan cermin yang tertinggal. Dari cermin itu terlihat bayangan sebuah sabit yang akan menjadi awal sebuah masalah besar.

 

 

“Yiyun, tak usah pasang harga diri terlalu tinggi begitu, deh! Kalian kan cuma punya waktu setahun untuk bersama,” ujar Minah, salah satu sahabat Yiyun.

“Bicara apa sih kamu?”

Minah menyenggol sahabatnya itu gemas, “Soal Jongin, Kim Jongin.”

“Kalau kamu tak bilang suka padanya, nanti menyesal, lho!” ucapan Minah membuat kedua pipi Yiyun memanas. Wajahnya kini merona merah.

Habis… Semua sudah begini, mau apalagi? Kalau bertemu, pasti langsung bertengkar. Kalau aku bilang suka, pasti ditertawakan. Aku tak punya cukup keberanian.

Yiyun termenung melihat kearah jendela kelasnya, butiran-butiran air terlihat jatuh dari langin, ‘Lho? Hujan?’

Tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan hitam di kaca jendela kelasnya. ‘Apa itu?’

“Yiyun!” seseorang menepuk bahu Yiyun dari belakang.

“AAAAA!”

Minah heran melihat Yiyun berteriak, “Kenapa terkejut begitu?” 

“A, ada bayangan aneh di jendela.”

“Mana? Tak ada, kok.”

Apa aku salah lihat? Tadi jelas sekali…

“Yiyun, tanganmu itu kenapa?” tanya Minah. Yiyun melihat telapak tangannya yang telah banyak mengeluarkan darah.

“Wah, tergores! Kamu tak sadar ya?” Minah segera mengambil saputangannya dan melilitkannya di telapak tangan Yiyun.

“Iya, tak terasa. Tak sakit, sih.”

“Seperti perbuatan kamaitachi saja,” gurau Minah. 

Yiyun tersentak, ia menyadari sesuatu, “Bayangan yang barusan aku lihat di jendela membawa sabit!”

Minah yang mendengar ocehan Yiyun pun tertawa geli, “Ya Liu Yiyun sadarlah, ini Korea Selatan bukan Jepang. Lagipula yang aku tahu Kamaitachi itu hanya gejala alam biasa bukan peri jahat seperti yang dibilang orang-orang. Mungkin yang kau lihat tadi hanya seekor burung.”

Yiyun menatap kesal sahabatnya itu, “Tapi tak mungkin aku salah lihat. Itu tadi jelas sekali!”

“Sudahlah jangan bercanda terus Yiyun, lebih baik kita bersihkan lukamu dulu nanti infeksi,” ajak Minah. 

Belakangan ini memang Yiyun sering melihat bayangan seperti kamaitachi di setiap cermin atau jendela. Ia pun tak tahu kenapa bisa begitu. Ditambah lagi dengan hantu yang selalu ia temui di ruang persembahan yang membuatnya uring-uringan. Sayangnya tak satupun ada yang mempercayainya.

“Akhir-akhir ini kamu aneh. Dimulai dari cerita hantu kakekmu sampai yang paling konyol adalah kamaitachi. Bicara soal itu terus, membuat orang lain takut. Mungkin kamu terlalu banyak menonton film horror,” timpal Kyungsoo yang tak sengaja mendengar percakapan keduanya.

Mereka tak mengerti karena mereka tak mengalaminya…

 

 

Yiyun pergi ke toilet untuk membasuh lukanya, ditemani oleh Minah. Di toilet, mereka tak sengaja bertemu dengan Soojung, “Lho, Yiyun tanganmu kenapa?” tanyanya.

Yiyun mencoba tersenyum, ia melirik kearah Minah. Minah yang melihat itu menunjukkan raut wajah malas, “Biasa.. sindrom hantunya kambuh lagi.”

“Ya Minah berhenti mengejekku,” kata Yiyun kesal.

Namun tiba-tiba, tak sengaja Yiyun melihat bayangan itu lagi, bayangan yang dianggapnya kamaitachi di cermin yang terpasang diatas wastafel. Kamaitachi itu berusaha untuk melukai Soojung yang berdiri tak jauh dari cermin.

Tak mungkin…

“Kamu kenapa, Yiyun?” tanya Soojung.

Sabit yang dibawa kamaitachi itu semakin mendekati Soojung. Namun sayangnya tak ada yang dapat melihatnya.

“SOOJUNG AWAS!” Yiyun mendorong Soojung agar kamaitachi itu tak dapat melukainya. Setelah Soojung terjatuh, bayangan kamaitachi itu pun menghilang.

“Ahh, sakit,” Soojung memegangi lututnya yang lecet akibat bergesekan dengan lantai. Minah pun membantu Soojung untuk berdiri, sementara Yiyun hanya bisa terdiam.

Minah menatap marah pada Yiyun, “Kamu ini kenapa sih?!” 

Yiyun memegang kedua bahu Minah, “Minah, aku melihat bayangan kamaitachi yang ada di jendela waktu itu! Sekarang aku melihatnya di dalam cermin itu!”

“Aku kan sudah bilang, itu hanya gejala alam!” Yiyun masih berusaha untuk meyakinkan Minah bahwa yang dilihatnya adalah kamaitachi, “Bukan, bukan! Dia betul-betul membawa sabit!”

Minah yang sudah kesal pada Yiyun akhirnya meluapkan emosinya. Ia betul-betul marah, bagaimana ia bisa mendorong Soojung hanya karena alasan konyol seperti itu, “sudah, hentikan! Ayo minta maaf pada Soojung, jangan salahkan khayalanmu itu!”

“Tapi ini betul..”

Percayalah…

“Kalau kamu masih bicara seperti itu, aku tak mau bicara denganmu lagi sampai kau meminta maaf pada Soojung!” kata Minah sambil berlalu pergi yang diikuti oleh Soojung. 

Dengan wajah murung, Yiyun kembali ke kelasnya. Namun, saat ia sampai di kelas, teman-temannya terlihat sedang membicarakannya. Semuanya memandangnya sinis.

‘Pasti kejadian di toilet tadi,’ batin Yiyun. Ia segera mengambil tasnya dan keluar dari kelas sambil menahan air matanya untuk keluar. Sementara seorang pria yang sejak tadi memperhatikan gadis itu, memandangnya iba.

 

 

Nyonya Liu heran melihat anaknya sudah pulang, padahal seharusnya kegiatan belajar-mengajar selesai dua jam lagi. Ia menghampiri sang ibu yang sedang sibuk melipat baju.

“Yiyun kenapa bu? Kenapa sudah pulang?”

“Sakit kepala katanya.” 

 

 

Kenapa… Kenapa tiba-tiba semua ini terjadi? Sebelum ini aku hanya anak SMA biasa. Punya teman yang baik. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Tak ada yang mau percaya. 

“Bibi, selamat siang!” Yiyun tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara yang familiar di telinganya. 

“Lho, Jongin! Apa kabar? Sudah lama tak ketemu. Yiyun ada di kamarnya,” terdengar balasan dari ibunya. Seketika wajah Yiyun bersemu merah. Untuk apa Jongin kesini, pikirnya.

Tak lama pintu kamarnya terbuka. Jongin masuk dan menutup kembali pintu itu. Kemudian ia duduk di kursi dekat meja belajar Yiyun.

“Ternyata kamu sehat. Tiba-tiba langsung pulang, aku jadi khawatir,” kata Jongin. Yiyun memandang Jongin dengan wajah bingung, “Khawatir?”

 “Eh, anu, bukan khawatir, hanya saja… ah sudahlah ini, aku bawakan buku catatan pelajaran tadi,” Jongin yang gelagapan dan salah tingkah menyerahkan sebuah buku catatan pada Yiyun, ia tak berani memandang wajah gadis itu. Yiyun tersenyum manis, “Terima kasih, Jongin.”

Jongin mencoba menetralisir rasa gugupnya. Ia mencoba memulai topik pembicaraan yang lain, “Kamu tadi kenapa?”

 

 

Entah kenapa, Yiyun merasa nyaman membicarakan semua masalahnya pada Jongin. Pria itu pun mendengarkannya dengan penuh perhatian. Tak sedikit pun cerita Yiyun ia lewatkan. 

“Jadi dia hanya terlihat olehmu? Persis sama dengan kakek buyutmu?” 

“Bukan! Sama sekali tidak mirip. Waktu itu aku hanya ketakutan, kalau diingat-ingat, kakek buyutku sama sekali tidak menakutkan. Tapi kamaitachi ini benar-benar menyeramkan,” terang Yiyun. 

Jongin terlihat berpikir. Ia berusaha mencerna semua yang telah Yiyun ceritakan. Dimulai dari hantu kakek buyutnya hingga kejadian kamaitachi yang selalu dilihatnya dicermin.

“Jika kamu tak percaya juga tak apa-apa, cerita itu memang sulit dipercaya,” Yiyun menunduk lemah. Entah mengapa ia merasa bahwa tak ada yang bisa mempercayai ceritanya itu.

“Aku percaya, aku hanya berpikir kenapa ia tiba-tiba muncul. Lagipula Kamaitachi adalah legenda di Jepang, tapi mengapa muncul disini?”

Yiyun terperangah, “Kamu… percaya?” 

Jongin menunduk malu, “Habisnya kamu, bukan orang yang suka bohong.”

“Jongin…”

“Aku, aku akan melindungimu, Yiyun.”

 

 

“Jongin! Buku catatan apa yang kamu bawa?!”

Pagi itu di kelas telah diwarnai oleh teriakan Yiyun dan Jongin. Seperti biasa, mereka bertengkar. Kali ini diawali oleh ulah Jongin. Ternyata buku catatan yang kemarin ia berikan pada Yiyun bukan hanya berisikan tentang catatan pelajaran, melainkan juga terdapat sebuah gambar monster jelek bertanduk yang diberi tanda panah dengan nama Yiyun diatasnya. Jelas saja itu membuat Yiyun jengkel pada pria itu.

“Bagaimana? Karya hebat kan?” balas Jongin sambil berlari menghindari kejaran Yiyun.

“Apa?!”

Minah, Kyungsoo, dan Henry yang melihat kelakuan Yiyun dan Jongin hanya bisa menggelengkan kepala mereka, “Yiyun sudah ceria lagi,” kata Kyungsoo.

“Iya, kemarin aku bersikap keterlaluan padanya,” sesal Minah, ia tak bermaksud untuk melukai hati Yiyun. Hanya saja ia terlalu kesal dengan semua khayalan sahabatnya itu. Henry tersenyum lebar, tiba-tiba ia mendapatkan ide. Dipandangnya kedua temannya itu, “Aku punya ide, bagaimana sebagai permintaan maaf…”

 

 

Yiyun bergegas pergi ke ruang arsip sejarah setelah Soojung memberitahunya bahwa ia dipanggil oleh Lee seonsaengnim, “Loh, dimana Lee Seonsaengnim? Kata mereka ada disini,” katanya setelah masuk ke ruangan tersebut.

Namun tak lama, tiba-tiba pintunya tertutup dengan kencang. Yiyun yang terkejut segera menghampiri pintu dan berusaha membukanya, namun usahanya sia-sia karena pintunya terkunci dari luar. Yiyun pun panik dan menggedor – gedor pintu itu, “Tolong buka pintunya! Jangan bercanda, ini keterlaluan! Buka!”

Tak hilang akal, ia berusaha mencari jalan keluar lain dari ruangan arsip itu. Entah itu jendela atau semacamnya. Namun yang ia temukan malah sebuah cermin yang ukurannya agak besar. Entah kenapa daya tarik cermin itu begitu kuat yang membuat Yiyun mendekatinya. Cermin itu seperti pernah jatuh karena terlihat jelas sekali pecahan-pecahan kaca yang di rekatkan membentuk cermin itu. Namun, ada yang janggal. Sebuah pecahan cermin itu tak ada di tempatnya. 

Belum sempat Yiyun menyentuh cermin tersebut, secara mendadak munculah sebuah cahaya yang terang dihadapannya. Yiyun sontak terlonjak kaget dan berteriak. Ia memejamkan matanya sambil meminta tolong. 

“Yiyun…” Rasa takut Yiyun lenyap begitu saja ketika mendengar sebuah suara lembut memanggil namanya.

Bukan kamaitachi…

Lagi-lagi ia melihat seorang pria tua memakai baju biksu yang memegang tasbih.

Baju biksu? Kakek buyutku?

 “Maaf ya, Yiyun. Karena kamu mewarisi dengan kuat garis darahku, kamu harus mengalami hal menyeramkan seperti ini,” katanya sambil mengelus pelan kepala Yiyun.

Aneh, rasanya aku merasa damai. Aku merasa jauh dari rasa takut.

Yiyun pun mulai memberanikan diri untuk bertanya pada kakek buyutnya itu, “Tolong beritahu aku, bayangan dengan sabit itu… apa?”

Kakek buyut Yiyun memandangnya dengan tatapan lembut, “Itu roh jahat,”

“Roh jahat? Roh siapa?”

“Ini sebetulnya cerita lama. Waktu perang masih berkecamuk, ada seorang pembunuh di daerah ini yang selalu membawa-bawa sabit. Dulu daerah ini hanya sebuah desa sepi. Polisi tidak berusaha menangkapnya. Apa boleh buat, akhirnya penduduk desa ramai-ramai menangkapnya. Tapi pembunuh itu bunuh diri, sambil mengutuk penduduk desa.”

Kakek buyut Yiyun mengambil jeda sebentar dan kembali melanjutkan kisahnya, “Kematiannya menjadikan dia sebagai roh jahat pemakan darah manusia. Satu-satu penduduk desa yang menangkapnya, dibunuh. Itulah yang kalian sebut Kamaitachi.”

“Tapi, bukankah Kamaitachi hanyalah sebuah legenda di Jepang? Tapi mengapa terjadi di Korea?” tanya Yiyun.

 “Ya memang itu adalah legenda Jepang. Namun sebenarnya Kamaitachi yang sekarang muncul tidak ada hubungannya sama sekali dengan legenda itu. Masyarakat zaman dahulu menamainya Kamaitachi karena dianggap mirip dengan legenda tersebut. Aku yang kebetulan memiliki kekuatan untuk mengusir roh jahat dari para nenek moyang dan sedang melakukan perjalanan ibadah sebagai seorang biksu, diminta penduduk desa untuk mengusir roh jahat tersebut.”

“Untuk mengusir roh jahat aku menggunakan sebuah cermin. Setelah melalui pertarungan yang sengit, aku pun berhasil mengurungnya di dalam cermin itu. Dan ketika  cermin tempat aku mengurungnya kumasukkan ke dalam kotak, aku mulai berpikir. Kalau kotak ini sampai dibuka orang, apa yang akan terjadi? Kalau cerminnya pecah, roh jahat itu pasti akan kembali. Aku menitipkan semua ini pada anak cucuku. Kalaupun cermin ini pecah suatu hari nanti, roh jahat dalam cermin ini hanya akan bisa keluar apabila aku tak punya keturunan. Untuk itu aku menikah dan berhenti menjadi biksu. Waktu umurku sudah sampai akhir batas, aku tanam kotak itu jauh di dalam tanah. Karena perjalanan waktu, rahasia keberadaan kotak itu terlupakan. Untuk menghindari resiko, keturunanku menanam pohon besar di atas kuburan kotak itu, agar tak seorang pun menggalinya. Namun waktu terus bergulir, desa ini menjadi kota. Penduduk bertambah dan pohon itu pun ditebang.”

“Yiyun, kalau boleh aku katakan, kamu adalah tamengku. Selama kamu hidup, roh jahat itu hanya akan berupa bayangan seperti itu. Oleh karena itu dia menakut-takutimu supaya dia bebas.”

Yiyun menatap kakek buyutnya itu, “Kalau, kalau aku kalah… mati misalnya?”

“Roh jahat akan keluar dari cermin, pembunuhan itu akan terulang lagi. Dan sasarannya orang-orang di kota ini. Kecuali kamu menemukan pecahan kaca yang hilang. Cermin ini, tempat ia ditawan. Kalau kamu bisa menemukan sisa pecahannya, dia akan kembali terkurung di dalamnya…”

Bersamaan dengan terbukanya pintu ruangan itu, bayangan kakek buyutnya pun menghilang. Terlihatlah Soojung, Minah, Kyungsoo, Henry, dan juga teman-temannya yang lain menadorong Jongin untuk masuk ke ruangan itu.

“Hai, Yiyun! Maaf, kamu menunggu lama. Ini, pangeranmu tiba!” kata Minah riang. Jongin tidak mengerti apa yang terjadi, “Ka, kalian ini sebenarnya mau apa, sih!” 

“Kita hanya buat kesempatan, kok!” ujar Henry.

“Ayo cepatlah ungkapkan perasaanmu padanya!” kali ini Kyungsoo ikut bicara.

 

Cermin…

 

“Cepat temukan pecahan cermin itu! Pecahan cermin itu pasti masih ada di halaman sekolah. Ini betul, kalau tidak roh jahat pembawa sabit akan kembali kemari. Aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan!” ucapan Yiyun yang tiba-tiba itu membuat semua orang yang ada disana terdiam.

Jongin menatap gadis itu iba, “Yiyun…”

“Kamu masih juga bicara begitu,” ejek Soojung. Minah menatap kesal pada Yiyun, “Kami sudah sudah susah-susah merencanakan ini.”

“Roh jahat apa sih? Sepertinya kamu terlalu banyak menonton televisi,” ujar Henry.

“Sudah tinggalkan saja.”

“Ada-ada saja! Hentikan saja semua ini.”

“Dia pasti sudah gila.”

Dan berbagai gunjingan lain pun menerpa Yiyun. Jongin mendekati gadis itu. Ia khawatir pada Yiyun, “Yiyun… teman-teman kita sebetulnya baik. Mereka mengkhawatirkan kita sedemikian rupa. Seharusnya jangan kamu katakan itu sekarang,” nasihat Jongin. 

“Tapi ini semua kenyataan! Kakek buyutku mengatakannya padaku!” bela Yiyun. Jongin hanya bisa terdiam. Ia tak tahu harus bagaimana lagi memberi tahu Yiyun.

Yiyun yang salah paham, mengira Jongin tak percaya padanya dan hanya membohonginya dengan mengatakan bahwa ia mempercayainya, “kamu juga tak percaya kan? Pembohong!!”

“Bukan begitu! Bukan, tapi…”

“Sudah! Aku akan cari sendiri! Aku tak peduli kamu percaya atau tidak!”

“Yiyun!”

“Jangan ikuti aku!” Yiyun pun berlari pergi meninggalkan Jongin sendiri.

“Yiyun…”

‘Aku percaya. Tapi aku tak tahu bagaimana cara membuat mereka mengerti. Kalau begini terus, kamu hanya akan dikucilkan…’

 

 

Hujan deras mendera kota Busan. Namun walaupun begitu Yiyun hal itu tak menyurutkan niat Yiyun untuk mencari pecahan kaca itu. Ia sibuk mengais-ngais tanah di sekitar tempat pembangunan gedung baru. Teman-temannya memperhatikan apa yang dilakukan Yiyun dari dalam kelas. Mereka terus mengejeknya. Berbagai cemoohan terus dilontarkan. Dengan peluh bercampur air hujan yang membasahi, Yiyun terus dan terus mencari. 

‘Tak ada, padahal aku yakin bisa menemukannya. Para pekerja proyek sedang istirahat sebab hujan. Apa mereka kuburkan lagi setelah memecahkannya?’ batin Yiyun.

Tanpa gadis itu sadari di genangan air tepat dibelakangnya, terpantul sebuah bayangan sabit. Secara tiba-tiba sabit itu keluar dari genangan air beserta dengan sekelebat bayangan hitam, itu Kamaitachi! 

Ia mengayunkan sabit yang dibawanya kearah Yiyun. Dengan spontan Yiyun menghindar  dan berteriak setelah melihatnya. Ia terpelanting ke belakang karena terkejut.

Kamaitachi itu kembali masuk kedalam genangan air. Namun bayangannya masih terpantul. Yiyun berusaha bangkit dan menjauhinya. Sayangnya Kamaitachi itu tak melepaskan Yiyun begitu saja. Ia kembali muncul dan menyerang Yiyun di genangan air yang lain. Hal itu terus berulang. Yiyun berlari sekuat tenaga dan pergi menjauhi lokasi proyek pembangunan karena merasa nyawanya terancam.

Gawat! Kamaitachi sudah mulai memburuku. Bagaimana ini? Padahal pecahan cermin itu belum bisa ku temukan.

Sementara di kelas, teman-temannya heran melihat Yiyun yang berlarian di luar sana. Sebagian menganggapnya sudah gila dan sebagian lainnya tak peduli. Jongin sebenarnya merasa marah pada teman-temannya. Tapi sayangnya ia tak dapat berbuat banyak.

 

 

BRAAK

Yiyun membuka dan menutup pintu rumahnya dengan kencang. Neneknya bingung melihat Yiyun yang pulang dengan tergesa-gesa. 

“Yiyun, kenapa kamu?” tanya neneknya. Namun Yiyun tak menjawab, ia langsung memasuki kamarnya dan menutup pintu dengan keras.

Yiyun meringkuk dibalik pintu kamarnya. Ia tak kuasa membendung air matanya lagi. Yiyun menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat takut.

Nenek dan ibu hanyalah istri yang datang dari keluarga lain sebelum menikah. Ayah sudah tiada. Keturunan langsung hanya aku. Tak ada yang lihat, tak ada yang mau mengerti. Aku hanya sendirian…

Kalau dipikir-pikir, aku ini bodoh. Kakek buyutku berkali-kali muncul di depanku, aku malah ketakutan, aku jadi tak tahu apa-apa. Padahal beliau ingin memberitahuku tentang cermin itu. 

Kalau memang aku harus mati, daripada menunggu tanpa melakukan apa-apa lebih baik berbuat sesuatu biarpun hasilnya sama. Aku harus terus berjuang, ini demi Jongin dan demi semua orang.

Aku mungkin tak akan menang. Tapi, dengan begini mungkin teman-teman akan percaya. Meski taruhannya nyawaku, kalau semua percaya, pasti mereka akan membantuku mencari pecahan cermin itu. Aku harus mencobanya…

 

 

Semua murid berhamburan ke segala penjuru sekolah setelah mendengar bel sekolah. Namun tidak dengan Yiyun. Ia duduk tenang di mejanya, memegang erat cermin yang telah pecah itu setelah diam-diam mengambilnya di ruang arsip sejarah tadi pagi. 

Sebelum ia melaksanakan niatnya, satu-persatu ia melihat wajah teman-teman yang disayanginya. Minah, Kyungsoo, Henry, Jongin, dan teman-teman yang lain. Yiyun pun memejamkan matanya. 

Kupertaruhkan nyawaku. Mudah-mudahan mereka bisa mengerti kenyataan ini. Kakek, bantulah aku. Sebelum aku terbunuh, beri aku kekuatan untuk masuk ke dunia cermin.

Seketika suasana kelas yang riuh menjadi hening, lingkungan di sekitar Yiyun berubah menjadi gelap. Yiyun mulai membuka matanya. Di depannya terdapat sebuah cahaya yang menyilaukan. Ia pun pergi ke tempat cahaya itu berasal. Setelah ia memasuki cahaya itu, tampaklah pantulan-pantulan cermin disekitarnya.

Dimana aku? Dalam cermin?

Tiba-tiba dari arah samping, Yiyun diserang oleh sabit milik kamaitachi. Dengan cepat Yiyun menghindarinya. Ia pegang erat cermin itu dan dijadikannya tameng bagi dirinya. Dengan begitu pandangan kamaitachi itu teralihkan dan serangan-serangannya tak tepat sasaran. Namun hal itu tak akan berlangsung lama, hanya sekedar untuk mengulur waktu. Seharusnya apabila cermin itu utuh, maka ia dapat kembali mengurung kamaitachi kedalam cermin itu.

 

 

Di kelas, lagi-lagi teman-teman Yiyun memandang Yiyun dengan aneh. Mereka merasa Yiyun tak mendengarkan omongan mereka. Berbagai gunjingan tak mengenakan mengenai keanehan Yiyun pun kembali terdengar. 

“Lihat, anak itu mulai aneh lagi. Memandangi cermin sambil termenung begitu,” kata Soojung. Minah mengikuti pandangan Soojung, ia mendengus kesal, “Sudahlah biarkan saja.”

Jongin yang melihat teman-temannya memperlakukan Yiyun seperti itu pun akhirnya tak bisa diam lagi. Ia menggebrak meja dan memarahi teman-temannya, “Jadi itu sikap dari orang yang selama ini menjadi temannya?! Karena sesuatu yang kalian rencanakan berantakan, kalian salahkan semuanya pada Yiyun! Kami ini bukan mainan!”

“Bukan hanya karena itu saja, akhir-akhir ini anak itu memang agak aneh,” balas Henry yang diamini oleh teman-teman sekelasnya yang lain.

“Kalau kalian tak percaya pada ceritanya aku mengerti! Tapi setidaknya, kalian bisa dengarkan dia kan?!”

Tak ada yang berani membalas ucapan Jongin setelah tiba-tiba meja didepan Yiyun yang tak bergeming itu bergerak-gerak tanpa ada yang menyentuhnya sedikit pun. Awalnya pelan, namun lama-kelamaan semakin cepat dan kencang. Hal itu membuat orang-orang di kelas itu terlonjak kaget.

Jongin melihatnya dengan mata terbelalak, “Yiyun, kamu sedang apa?” 

Karena goyangan yang begitu kencang, sebuah buku yang ditaruh Yiyun dengan rapi diatas mejanya jatuh, dan terbukalah sebuah halaman yang terdapat tulisan didalamnya. Dengan cepat Jongin mengambil buku tersebut dan membaca tulisan itu. 

‘Ini buku yang pernah aku pinjamkan padanya,’ batinnya.

 

Untuk Jongin,

Aku pergi ke dunia cermin untuk mengurung kamaitachi. Tapi aku tahu aku pasti kalah. Saat itulah kau harus mengatakan pada semuanya, bahwa apa yang aku ceritakan itu bukanlah suatu kebohongan.

Aku mati karena ingin membuktikannya. Usahakan agar mereka mencoba mencari lagi pecahan cermin itu.

 

           Liu Yi Yun

 

“Jongin! Lihat itu, Yiyun!” kata Kyungsoo tiba-tiba memanggilnya. 

Jongin pun segera melihat apa yang dimaksud oleh Kyungsoo. Tubuh Yiyun kini telah tergores seperti terkena sabit. Dan itu terus berlangsung dihadapan mereka. Darah Yiyun mulai keluar membasahi tubuhnya. Jeritan murid-murid wanita pun terdengar. Soojung mulai menangis, “Jongin, bagaimana ini? Darahnya keluar terus,”

“Yiyun sekarang sedang bertempur sendirian di dalam dunia cermin. Kita cari pecahan cermin itu! CEPAT!” perintah Jongin. Dengan serentak seluruh murid di kelas itu berhambur ke lokasi pembangunan gedung baru dan mencari pecahan cermin tersebut. Tak dihiraukan teriakan larangan dari pekerja-pekerja bangunan. Di pikiran mereka sekarang adalah bagaimana caranya menemukan pecahan cermin itu dan menyelamatkan Yiyun.

‘Ternyata cerita Yiyun itu benar, bukan bohong.’

‘Maafkan kami Yiyun.’

Semuanya sibuk mengais-ngais tanah. Seragam sekolah mereka kini telah kotor. Hari sudah semakin terik dan mereka belum bisa menemukannya. Soojung terus menangis menyesali perkataannya pada Yiyun.

“Sudahlah Soojung, tak ada waktu untuk menangis,” kata Minah sambil menyeka air matanya. Jongin pun hampir putus asa, kalau saja Henry tidak berteriak-teriak yang membuat semuanya melompat senang.

“AKU MENEMUKANNYA! AKU MENEMUKANNYA!”

“Cepat! Cepat! Kita harus memasangnya di cermin itu!” 

 

 

Yiyun masih terus berusaha melawan kamaitachi. Kecepatannya untuk menghindar semakin melambat. Ia sudah kelelahan melawan makhluk itu, ditambah lagi dengan luka-luka disekujur tubuhnya.

‘Cermin ini hilang sebagian, hanya bisa mengalihkan pandangannya. Seandainya pecahan cerminnya ada.’

“Yiyun!” tiba-tiba saja ia mendengar suara Jongin. Entah hanya halusinasinya sajakah atau memang Jongin yang memanggilnya.

‘Jongin?’

 

 

“Yiyun, pecahan cermin itu sudah kami temukan! Aku akan memasangkannya,” kata Jongin. Ia pun segera memasang pecahan cermin itu pada tempatnya. Secara ajaib, keluar cahaya yang amat terang dari cermin itu disertai dengan makhluk hitam pembawa sabit yang berusaha keluar dari cermin tersebut. Semua orang di kelas itu sontak berteriak histeris menjauhinya. Terdengar suara geraman yang amat menyeramkan dari makhluk tersebut. Namun perlahan makhluk itu kembali terhisap kedalam cermin secara perlahan dan akhirnya menghilang.

Yiyun yang tadinya berada didalam dunia cermin tiba-tiba tersadar. Kini ia telah berada di ruang kelasnya.

Lho, aku di kelas? Cermin itu… oh! Sudah tak retak lagi! Siapa yang menemukannya?

Yiyun melihat seisi kelas. Ia melihat teman-temannya yang kelelahan dan seragam mereka yang kotor oleh tanah. Yiyun tersenyum haru.

Terima kasih…

 

 

Beberapa minggu kemudian…

Kamaitachi berhasil dikurung kembali kedalam cermin. Kami pun menitipkan cermin itu di kuil. 

“Jongin! Bekalku pasti kamu yang makan ya?! Hei jangan lari!”

Lagi-lagi kelakuan Yiyun dan Jongin membuat teman-teman mereka menggelengkan kepalanya. Setelah kejadian itu berlalu tak ada yang berubah dari mereka berdua. Minah menatap mereka malas, “lagi-lagi begitu, sama sekali tak ada kemajuan!”

“Tapi ngomong-ngomong, kejadian itu rasanya sulit dipercaya ya…” kata Henry.

Kyungsoo mengganggukkan kepalanya, “Semua pasti juga merasa begitu, tapi semua itu nyata. Yah walaupun tak akan ada yang percaya.”

“Yiyun pasti sedih sekali saat itu,” timpal Soojung. Minah duduk disamping Kyungsoo yang sedang membuka-buka buku pelajarannya, “tapi… kenapa kakek moyang Yiyun tidak menitipkannya di kuil saja saat itu?” tanyanya.

“Waktu itu kan zaman perang, pasti keadaan saat itu masih mengkhawatirkan. Kalau ada serangan udara bagaimana?” Terang Henry. 

 

 

Kamitachi telah tiada, namun kakek buyutku tentunya sekarang pun masih tetap melindungiku dari suatu tempat disana…

Aku juga masih sering bertengkar dengan Jongin. Pengalaman waktu itu betul-betul menyeramkan. Tapi aku sekarang tahu satu hal penting. Hadapi hidup dengan berani agar tidak pernah menyesal dikemudian hari.

“Terima kasih ya, katanya kamu yang memimpin pencarian waktu itu,” Yiyun tersenyum manis pada Jongin yang membuat pemuda itu salah tingkah.

“Eh, i, iya sama-sama. Aku kan sudah berjanji akan melindungimu.”

Hiduplah dengan berani…

Wajah Jongin berubah seperti kepiting rebus ketika tiba-tiba Yiyun memeluk lengannya. Yiyun lagi-lagi tersenyum pada Jongin, “Jongin, aku sayang kamu.”

 

 

 

 

 

 

 

-END-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
wujia1288 #1
Chapter 1: woooo pertama kali baca komik ini sepuluh tahun yang lalu kayaknya. well written!!
Rindibooc #2
Chapter 1: maaf baru bisa komen. yaa soalnya baru baca jugaa. ceritanyaa keren bgtsiiii gua sampe gak ngedip pas bacanya (?). bikin lagi yaa kalau bisaaa
mangifera #3
Chapter 1: ceritanya bagus
ajol_fxonee
#4
Chapter 1: Wow.. ceritanya keren... serasa lagi nonton film horor misteri... amber emang cocoknya genre film seperti ini klopun nanti bakal main film beneran...
Jongin hehhe.. masa cewek duluan yg ngomong...
End nya kecepatan belum dijawab tuh...
Walopun gak ada jawaban, udah tau juga sih... hhehe
Nice story... XD