Final

Love Is Not Over

From: Im Jaebum

Come over to my place.

 

Pesan yang dikirimkan sesederhana itu membuatku beranjak dari marathon drama yang sedang kulakukan dengan adikku. Padahal sudah mencapai adegan yang kutunggu-tunggu sejak teman-temanku membicarakannya. “Yoo Chang Soo menangis tersedu-sedu! Ah, aku tak akan mungkin bisa meninggalkan lelaki seperti itu biarpun harus menghadapi mertua penyihir macam ibunya!” Kang Seul Gi sudah meracau membocorkan cerita drama “High Society” sejak minggu lalu oleh karena itu aku menghindari sahabatku membocorkan ceritanya lebih jauh dan membuat drama ini membosankan dengan melakukan marathon drama bersama adikku yang juga penggila drama. Sudah terlalu banyak episode yang kami lewatkan karena eomma yang belakangan ini membuatku sibuk dengan makan malam bersama rekan kerja appa. Beruntung sebagian besar waktu adikku tak dihabiskan di rumah hingga dia bisa menghindari acara makan malam itu, namun kesibukan lain tetap membuatnya tak sempat mengikuti drama secara rutin.

“Kau mau kemana, Noona?” Tanya Taehyung, adik lelakiku satu-satunya. Aku tak menyangka dia akan menyadari pergerakanku karena sejak tadi matanya tak berkedip memandang Jang Yoon Ha yang diperankan oleh UEE.

“Apartemen Jaebum. Dia memintaku datang. Sepertinya ada hal penting.” Jawabku seraya menaiki tangga menuju kamar untuk mengambil sweater agar menutupi kaos tipis yang kukenakan.

Kata-kata Jaebum dalam pesan tadi mungkin terlihat seperti perintah yang menyebalkan jika orang lain yang mengirimkannya. Aku bahkan tak akan berpikir dua kali untuk menolak permintaan itu jika bukan karena Jaebum yang memintanya. Aku memutuskan untuk datang juga bukan karena menduga bahwa ada sesuatu yang penting. It’s simply because it’s him.

“Ayo!” Taehyung memasang senyuman lebar ketika aku hendak melewati ruangan keluarga. Dia sudah bersiap dengan jaket di lengan seolah aku mengajaknya untuk pergi juga.

“Kemana?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Apartemen Jaebum hyung. Aku akan mengantarkanmu kesana. Aku kan sudah punya SIM. Hehehehe.”

Tentu saja. Taehyung kesayanganku yang bahkan tak akan menggerakkan tubuhnya sedikit pun ketika aku meminta tolong tak mungkin mengantarkan aku hanya karena dia ingin mengantar. Dia hanya ingin memamerkan SIM yang baru saja dapatkan olehnya. Lelaki yang sudah menginjak usia dewasa itu ingin memperbanyak jam terbang mengemudi.

“Hhhhhh. Baiklah. Jangan membuat mobilku lecet.” Aku melemparkan kunci mobil yang mendarat tepat di tangan Taehyung. Aku hanya bisa berdoa dia tidak menjadikan mobilku sebagai sasaran latihan mengemudi. Meski aku tak membeli mobil kesayanganku itu dengan uangku sendiri, tapi appa praktis memanfaatkanku sebagai sekretaris pribadinya selama DUA TAHUN ketika aku mengutarakan keinginan memiliki sebuah Range Rover. Paling tidak, appa mengabulkan keinginanku meski aku harus mengetik proposal dan menyiapkan presentasi projek selama dua tahun.  It’s more than worth it anyway.

“Taehyung-ah, pelan-pelan saja. Aku tak terburu-buru kok. Eung ? » aku menatap getir adikku yang duduk di kursi kemudi, kursi kebesaranku.

« Eiy, Noona. Kau tidak perlu ragu dengan kemampuanku mengemudi. » meski Taehyung memegang stir dan duduk dengan santai, tetap saja membuatku khawatir.

« Masa cicilanku menjadi sekretaris appa baru saja berakhir ㅠㅠ » aku mencengkram sabuk pengaman dengan erat ketika mobil mulai melaju dengan kecepatan normal.

Taehyung terkekeh, « Tenang saja, aku tak mungkin membahayakan mobil kesayanganmu. » untuk kali ini saja, Taehyung, aku akan berpikir bahwa kau benar-benar ingin menghabiskan waktu berhargamu bersamaku dengan mengantarkanku.

 

Akhirnya kami tiba dengan selamat setelah perjalanan yang lebih menyeramkan daripada film thriller. Tapi itu hanya didasari oleh kekhawatiranku yang berlebihan karena ternyata Taehyung memang pengendara yang baik.

“Masuklah, aku akan menunggumu.” Ujar Taehyung dengan tatapan I’m-proud-of-my-self karena berhasil menjaga rekor bersih mengemudinya.

Aku mengangguk pada Taehyung lalu bergegas meninggalkan area parkir memasuki gedung apartemen tempat Jaebum tinggal.

Jaebum membukakan pintu pada bunyi bel kedua dan dia menyambutku dengan wajah ditekuk. Lingkar hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa dia kembali akrab dengan insomnia. 

Spill it.” Ucapku tanpa basa-basi. Sebisa mungkin aku menyembunyikan rasa gugup karena duduk bersebelahan dengan Jaebum di sofa. Dampaknya bagiku bahkan masih sekuat itu setelah sekian tahun berlalu.

Tanpa sedikit pun menoleh, Jaebum menyerahkan sebuah kartu undangan pernikahan padaku. Nama Bae Joo Hyun yang tertera sebagai calon mempelai wanita terlalu menarik perhatianku hingga mengabaikan huruf-huruf lain bertinta emas yang tercetak di kartu berwarna putih itu.

Aku menghela napas pelan, tak lagi terkejut atas berita yang sebetulnya sudah kuketahui beberapa waktu lalu. Aku bahkan berada di sana ketika Song Minho, calon mempelai pria, menyematkan cincin pertunangan dalam sebuah acara yang kusebut sebagai ‘makan malam pengganggu rutinitas drama’ akibat appa yang memaksaku untuk hadir.

Aku mengenal Bae Joo Hyun bukan hanya sebagai puteri dari rekan bisnis appa. Joo Hyun sudah mulai memasuki cerita kehidupanku semenjak kami masih SMA, semenjak Jaebum menyebutkan namanya di setiap kisah cinta yang dia ceritakan padaku. Dengan alasan itu, meski aku tak pernah membenci Joo Hyun sedikit pun, namanya pernah mengundang air mataku menetes serta hatiku berserakan tak lagi utuh. Karena nama itu pernah bersanding dengan nama Im Jaebum sebagai sepasang kekasih.

How do you feel?” aku bertanya meski penampilan kusut Jaebum sudah menjelaskan jawabannya.

I feel like sh*t” jawaban seperti inilah yang mencegahku untuk membuka mulut ketika mengetahui Joo Hyun akan segera menikah. Meski mereka sudah berpisah sejak lama, tapi aku tahu Jaebum belum benar-benar bisa menghilangkan perasaannya meski Joo Hyun meninggalkan dia untuk seorang pria pilihan ayahnya.

“Kau tahu ini pernikahan yang berlandaskan bisnis, kan?” oh, aku berbicara seolah Jaebum masih memiliki kesempatan untuk merebut Joo Hyun atas nama cinta. “Puteri pemilik maskapai penerbangan dengan putera mahkota pemilik brand fashion ternama. Tentu saja. Cih.” Kuharap Jaebum menyadari dengusanku sebagai tanda sarkastik. Sekali lagi aku mengatakan bahwa aku tak sedikit pun memiliki kebencian pada Joo Hyun. Aku hanya benci kepada fakta bahwa pernikahannya menyakiti hati Jaebum sedalam itu.

“Dia mengundangmu untuk datang? Bagaimana bisa?” tanyaku tak percaya. Apakah Joo Hyun ingin menaburkan garam di luka Jaebum? Lama-kelamaan aku bisa saja mengubah pikiranku tentang Joo Hyun.

“Tidak. Dia tidak memintaku datang. Dia hanya ingin aku mengetahui berita ini darinya langsung. Bukan dari mulut orang lain apalagi media massa. »

« Dan kau terlalu larut dengan musikmu hingga tak mengetahui pertunangan mereka yang beberapa waktu lalu menjadi headline di setiap majalah ekonomi dan selebiriti. » gumamku, mengundang tatapan tajam curiga dari Jaebum seolah dia menuntutku dengan pertanyaan ‘Jadi kau sudah tahu tapi kau tidak memberiku kabar sedikitpun ?’

« Tentu saja aku mengetahuinya dari berita ! Kupikir kau juga sudah tahu. Aku tak pernah menyinggungnya karena kurasa kau tak ingin membahas. » aku berkilah agar bisa keluar dari perangkap yang Jaebum pasang melalui tatapan tajamnya.

Jaebum mempercayai alasanku dan kembali memalingkan wajah. Kami sudah lama bersahabat hingga aku mengetahui segala hal tentang Jaebum tapi kurasa dia tak pernah benar-benar mengenalku sepenuhnya. Dia bahkan tak menyadari aku sedang berbohong saat ini.

“Aku tidak tahu rasanya akan sesakit ini.” Ungkap Jaebum. Matanya menerawang, mungkin membayangkan masa-masa indah dia bersama Joo Hyun dulu.

“Paling tidak, kau tahu dia pernah mencintaimu dan fakta bahwa dia sendiri yang ingin menyampaikan berita itu berarti kau masih penting untuknya, bukan?” tebakku.

“Tidak. Kurasa dia hanya ingin menegaskan bahwa cerita kami benar-benar sudah selesai.” Sanggah Jaebum.

“Itu artinya sudah saatnya kau memulai cerita baru. Bukankah kau juga sedang dekat dengan seorang wanita? Siapa namanya? Han Groo?”

Jaebum tersenyum tipis ketika mendengar nama baru itu disebut. Meski tak bisa lagi menghancurkan hatiku yang memang sudah hancur, menyebutkan nama Han Groo tetap membuat tenggorokanku seperti terganjal duri ikan. Apalagi dengan senyum yang menghiasi wajah Jaebum.

“Maaf karena telah membuatmu datang kesini malam-malam begini. Aku benar-benar membutuhkan teman bicara.” Rupanya setelah beberapa lama melampiaskan patah hatinya, Jaebum baru menyadari bahwa dia telah meminta seorang gadis untuk keluar dari rumahnya pada tengah malam. Hebat.

“Ah! Aku lupa Taehyung masih menunggu! Aku bisa pulang sekarang kan? Kau tahu, ada benda yang disebut ponsel jika kau butuh teman bicara. » sindirku, meski dalam hati aku lebih senang Jaebum memintaku bertemu langsung. Pekerjaannya sebagai seorang produser musik di sebuah manajemen artis terlalu banyak menyita waktu Jaebum hingga pertemuan kami semakin berkurang dari tahun-tahun ke tahun, menyisakan aku dengan kerinduan yang menyiksaku sendiri.

Jaebum mengacak-acak rambutku pelan, « Kupakai kesempatan ini untuk bertemu sahabatku yang selalu sibuk menjadi sekretaris ayahnya, tahu!”

« Says the one who stays in his studio 24/7. Lagi pula masa magangku menjadi sekretaris appa sudah selesai. Kau bahkan tidak tahu itu. » aku menunduk kecewa karena tak lagi merasakan Jaebum sebagai sahabat yang meski kelihatannya selalu dingin dan tak peduli tapi tetap memperhatikanku.

« Benarkah ? Ayo, kuantar kau ke parkiran. »  Jaebum berdiri dan mendorongku pelan dari belakang, mengakibatkan perasaan membuncah dalam hati hanya karena merasakan tangan Jaebum di bahuku. Diam-diam merasa sebal karena Jaebum masih memiliki efek seperti itu untukku.

« Eh ? Di mana bocah itu ? » Aku celingukan mencari di mana mobilku berada. Walaupun daya ingatku tidak terlalu kuat, tapi aku yakin tadi Taehyung memarkirkan mobil tak jauh dari pintu masuk basement. Lagipula Range Rover merah itu cukup mencolok di antara deretan mobil-mobil yang sebagian berwarna putih, hitam, atau silver.

« Kau yakin dia menunggumu ? » tanya Jaebum ragu.

« Dia sih bilang begitu. » aku mencoba menelpon Taehyung tapi dia tidak mengangkatnya sekalipun. Kuharap dia tidak macam-macam dengan mobilku.

« Mobilku sedang di bengkel. Aku tak bisa mengantarkanmu pulang. Menginap saja di apartemenku. Aku terlalu lelah untuk mengantarkanmu naik taksi. » Jaebum beralasan. Nada bicaranya datar seperti biasa, seolah seorang gadis menginap di apartemen pria bukanlah hal yang janggal. Dulu kami memang sering menginap bersama sahabat kami yang lain bahkan tanpa memikirkan bahwa ketika camping aku tidur satu tenda dengan sahabat-sahabat lelakiku. Tapi itu dulu ketika kami masih remaja, dan jumlah kami ada lebih dari 5 orang bukan hanya menyisakan aku dengan Jaebum seperti sekarang.

 

Untung saja aku sudah memakai pakaian untuk tidur ketika datang ke sini, paling tidak aku tidak harus meminjam pakaian Jaebum meskipun sepertinya akan terasa lebih manis seperti yang kubaca di fanfictions. Tapi ini kenyataan, aku tak bisa menyamakan imajinasi dengannya.

« Tidurlah di kamar. Aku akan tidur di sofa. » kata Jaebum yang lagi-lagi lebih terdengar seperti perintah. Dia membawa selimut menuju sofa sebelum akhirnya kutahan.

« Biar aku saja yang tidur di sofa. Kau terlihat seperti belum tidur selama seminggu berturut-turut bagaimana bisa aku membiarkanmu tidur tidak nyaman ? » omelku. Saat terbaik di setiap kesempatan aku bertemu dengan Jaebum adalah mengomelinya sebagai wujud dari perhatianku.

«Kau pikir aku akan membiarkanmu tidur di sofa ? Bukan berarti sofaku tidak nyaman untuk tidur, tapi tidakkah kau menjadikanku sebagai lelaki tak jantan dengan begitu ? » uh… Jaebum and his pride !

« Lalu bagaimana ? » aku tak bisa memikirkan solusi lain ketika Jaebum tiba-tiba memotong, “Kita sama-sama tidur di kamar saja. It’s not like we had never slept together, right?”

Pembaca, tolong buang jauh-jauh pikiranmu jika itu yang sedang kau pikirkan. Sudah kubilang sebelumnya bahwa dulu kami sering tidur bersama. Tidur dalam arti beristirahat memejamkan mata dan pikiran. Tidak kurang dan tidak lebih.

Y…yeah, sure.” Aku tidak gelagapan kan?

Aku dan Jaebum berbaring dengan membelakangi satu sama lain karena terlalu canggung untuk saling berhadapan. Meski aku memejamkan mata, tapi sepertinya kantuk tak akan menyapaku dalam waktu dekat.

“Kim Jisoo?” Jaebum menyebutkan namaku setelah sekian lama.

“Hm?” aku menyahut tanpa memalingkan badan karena Jaebum pun tak melakukannya.

“Kenapa kau mau datang malam ini?” tanya Jaebum.

« Karena kau memintaku. » jawaban yang seharusnya tak patut dipertanyakan.

“Kenapa kau mau menuruti permintaanku?”

« Karena kau adalah sahabatku. » bohong.

« Sudah berapa lama kita bersahabat ? »

« Delapan tahun. » rasanya baru kemarin melihat dia pertama kali memakai seragam sekolah. Kesan pertamaku mengenai Jaebum tak ada bagus-bagusnya. Kupikir dia adalah mama’s boy yang manja dan congkak. Toh, dugaanku tak sepenuhnya salah. Terkadang dia memang congkak, dia juga mama’s boy. Tapi mama’s boy yang tak pernah ragu membantu ketika ibunya meminta bantuan untuk membereskan rumah, bahkan menemani berbelanja ke supermarket. Aku mengetahui tentang mama’s boy itu pada tahun kedua setelah menyadari perasaan yang tersimpan di hatiku untuknya tidaklah sesederhana rasa suka sebagai sahabat.

« Sudah selama itu? Time really flies, huh ?» Jaebum mendesah. Mungkin pikirannya juga melayang pada saat-saat di mana kami masih remaja yang memenuhi kisah dengan mimpi, persahabatan, dan percintaan.

“Lalu sudah berapa lama perasaan itu mengganggumu?”

DEG

Pertanyaan itu keluar di saat yang paling tak kuduga. Demi apa pun, dia sedang patah hati saat ini kenapa harus membahas perasaanku?

Aku terdiam.

« Sudah berapa lama, Kim ?” ulang Jaebum. Terdengar suara gemerisik sprei kasur yang menandakan Jaebum bergerak, sepertinya membalikkan badan menghadap ke arahku.

Aku tak bergeming. “Tujuh tahun lebih. Entahlah, aku tak lagi menghitung.” Satu tahun pertama yang terasa berat ketika Jaebum menjaga jarak karena dia mengetahui perasaanku, satu tahun selanjutnya sebagai proses untuk hubungan kami menjadi normal kembali, satu tahun setelahnya merupakan masa terindah saat dia selalu datang padaku untuk teman berbicara, dan aku berada di sisi Jaebum ketika dia melewati masa-masa tersulitnya karena berpisah dengan Joo Hyun. Bukan berarti aku senang dia menderita, tidak sama sekali. Aku sangat benci melihat Jaebum terluka, sungguh. Tapi pada saat itu dia mencariku untuk tempatnya bersandar. Paling tidak akhirnya aku bisa melakukan sesuatu untuknya. Paling tidak rasa sayang itu tak hanya mengendap dalam hatiku sendiri. Lalu 4 tahun selanjutnya adalah masa di mana aku mempertimbangkan perasaanku sendiri. Apa yang membuat perasaanku padanya tak berkurang sedikit pun meski aku sudah mengenal sifat Jaebum bahkan yang paling tak kusukai sekalipun? Apa yang membuat perasaan ini bertahan walau lambat-laun kami terpisahkan oleh jarak yang tak lagi dekat, ditambah dengan kesibukan yang semakin memadat?

“Kau membuatku menjadi pria brengsek, Kim. Kenapa kau harus datang ketika aku memintamu ? Kenapa kau harus mendengarkan ocehanku mengenai… Joo Hyun. » gumam Jaebum, ragu ketika menyebutkan nama Joo Hyun yang sekarang bukan hanya menorehkan luka untukku tapi juga untuknya.

« Jangan pernah merasa begitu. Sekali pun orang lain menilaimu seperti itu, jangan pernah dengarkan mereka, Im. Karena itu hanya akan membuatmu menjauh dariku seperti sebelumnya. » aku merasakan air mata mulai meleleh di pipi, tak menyangka akhirnya aku bisa mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan terlalu dalam di hatiku.

« Kau belum pernah mendengar orang mengataimu bodoh karena perasaan itu ? » sekalipun terdengar kasar, aku tahu bukan itu yang dia maksud. « Kau menyiksa dirimu sendiri, Kim. » See ? Dia begitu karena mempedulikan perasaanku.

“Selalu. Aku selalu mendengarnya. Tapi kurasa hanya orang bodoh yang bisa mengerti orang bodoh sepertiku. Kau tidak akan pernah mengerti.”

“Ya, aku tak mengerti. Aku minta maaf, Kim. Aku hanya ingin menjaga persahabatan kita tapi ternyata dengan begitu aku malah bersikap dingin padamu.”

“Tanpa pernah menyadari dengan begitu kau justru menyakitiku lebih jauh.” Aku menyimpulkan. “Jangan khawatir, Jaebum. Aku tahu kau tak pernah dan tak akan pernah bisa melihatku sebagai wanita. Aku tahu aku tak bisa memberikan efek yang sama dengan efek yang selalu kau berikan padaku. Apa pun yang pernah, sedang, dan akan kulakukan untukmu tak sedikitpun bertujuan untuk mendapatkan balasan darimu. Aku melakukan itu karena aku menyayangimu, karena aku ingin selalu ada untukmu.” Sampai titik ini aku tak bisa lagi menahan air mataku yang meleleh di pipi.

Tangan Jaebum perlahan melingkar di pinggangku sementara dagunya menempel di puncak kepalaku. “I’m sorry, Kim”

No, I am sorry that I’ve fallen for you.” Debaran jantungku melonjak karena pelukan Jaebum yang juga membuatku bisa mendengar detak jantungnya yang tak kalah cepat. “Bukan salahmu jika kau tak bisa bertanggung jawab terhadap siapa pun yang jatuh cinta padamu, Im.”

I’m sorry…I’m sorry…I’m sorry.” Jaebum menggumam, seolah kata maaf itu dapat meluruhkan rasa cintaku padanya. Seolah semua akan menjadi baik-baik saja.

“Pernah terlintas di pikiranku untuk menghilang dari kehidupanmu agar perasaan itu berhenti, agar kau tak lagi perlu mengkhawatirkan sikapmu padaku bisa membuatku salah paham. Tapi itu berarti aku juga harus menjauh dari Seulgi, Soojung, Jackson, dan Sungjae kan? Aku terlalu menyayangi kalian hingga tak mampu melakukannya.”

Memoriku memainkan kenangan kami ketika SMA. Sedikit semu tapi aku masih bisa mengingatnya. Aku, Seulgi, dan Jung Soojung adalah jurnalis untuk majalah sekolah kami sementara Wang Jackson yang satu angkatan dengan Jaebum dan aku berteman dekat dengan Taehyung dan Yook Sungjae, adik kelas kami(selain Taehyung yang juga adik kandungku), melalui tim basket sekolah. Kami mulai dekat karena tim jurnalis sering kali harus meliput anggota tim basket latihan dan bertanding baik di sekolah kami sendiri ataupun ketika harus bertandang ke sekolah lawan. Siapa yang tak mengenal anggota tim basket di sekolah karena wajah mereka hilir-mudik berkali-kali mengisi halaman-halaman dalam majalah kami berkat prestasi mereka. Murid perempuan mana yang tak terpesona oleh Im Jaebum, kapten basket sekolah yang tak hanya satu atau dua kali menyandang gelar MVP dengan posisinya sebagai shooting guard? Bahkan Seulgi dan Soojung pun tak ragu mengakui kalau dia keren. Namun, perasaanku padanya tak muncul hanya karena dia keren. Aku tak jatuh cinta pada Jaebum ketika dia memakai jersey basket seperti halnya murid-murid perempuan lain menggilai dia. Perasaanku padanya muncul perlahan, menguat, kemudian mengakar melalui proses di mana aku mengetahui sedikit-banyak kelebihan dan kekurangan Jaebum.

“Kalau kau memintaku untuk pergi, aku akan melakukannya.” Ungkapku, mengundang gerakan dagu Jaebum di puncak kepalaku yang kuasumsikan sebagai gerakan menggeleng. “Kalau kau ingin aku tetap bersamamu, bersama kalian, kuharap kau mengizinkanku untuk tak mengurung perasaan sayangku padamu sendirian.” Aku lebih memilih untuk menahan rasa sakit karena mencintainya dibandingkan jika harus kehilangan dia sama sekali.

 « Terima kasih, Kim. Kau benar-benar sahabat terbaikku. »

Sahabat. Tentu saja. Karena pada akhirnya hanya kata itu yang dapat membuatku berada di sampingnya.

***

 

Do leave a comment and tell me what you think ^^

thank you :)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet