Look At Me!

Love Story

“Maafkan aku,” Jimin kembali berujar pelan. Pandangannya ia alihkan ke arah lain, enggan untuk bersitatap dengan seorang lelaki berkulit kecokelatan yang berdiri di hadapannya.

 

“Kenapa?” tanya Taehyung dalam intonasi yang begitu lirih, nyaris menyerupai sebuah bisikan sendu. Sepasang hazel beningnya tak lepas memandang obsidian di hadapannya dengan tatapan terluka yang sarat akan kekecewaan.

 

“Karena―” Jimin menggantung ucapannya sejenak dan berdeham untuk sekedar menepikan kegugupan. “Aku lebih mencintai Jungkook.” Jimin menggigit bibirnya gelisah, menanti reaksi apa yang akan Taehyung berikan setelah mengetahui jika ia telah berselingkuh di belakangnya.

 

“Oh,” Taehyung menggumam pelan, kemudian tersenyum pahit saat pandangannya bertemu dengan seorang pemuda bertubuh jangkung yang berdiri menanti kedatangan Jimin di dekat pagar sekolah. “Semudah itukah kau melepasku?” Taehyung kembali bertanya. Suaranya yang bergetar menandakan dengan jelas jika ia benar-benar terluka atas apa yang telah Jimin lakukan padanya.

 

“Ini yang terbaik. Aku tidak ingin melukaimu lebih dalam lagi jika kita tetap bersama.” jawab Jimin seraya menangkupkan kedua tangannya di wajah Taehyung dan mengusapnya lembut. “Maafkan aku, Taehyung-ah.” sebuah kecupan ringan membelai bibir Taehyung. Dan sebelum sempat ia mengerjapkan mata, ia pun tersadar jika itu adalah kecupan terakhir yang bisa Jimin berikan untuknya.

 

Tubuh tegap―mantan―kekasihnya pun segera berbalik memunggunginya, lalu berjalan menjauh dan menghampiri seorang lelaki lain yang setia menantinya di ujung sana. Untuk terakhir kalinya, Jimin kembali menolehkan kepalanya menatap Taehyung selama beberapa saat. Belahan bibirnya terbuka dan ia menggumamkan kata “Maaf” untuk yang ke sekian kalinya di sepanjang sore ini.

 

Taehyung ingin berteriak lantang dan mencegah lelaki itu pergi, tapi lidahnya terasa kelu dan bibirnya senantiasa terkatup rapat saat pasangan baru itu telah menghilang dari pandangannya. Dengan getir Taehyung mencoba menghela napas panjang, sekedar untuk menghilangkan rasa sesak yang kini menghimpit dadanya. Kepalanya tertunduk menatap tanah, dan isakan kecil berhasil lolos melalui celah bibirnya ketika merasakan adanya sepasang tangan lain yang kini memenjarakan tubuh kurusnya ke dalam sebuah dekapan hangat.

 

Taehyung menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu dan memeluk punggungnya posesif, membiarkan tangisnya merebak. “Ini sangat menyakitkan.” ucap Taehyung di sela isak tangis.

 

“Aku tahu.” sahut Hoseok seraya mengusap kepala Taehyung dengan lembut. “Menangislah jika memang itu bisa membuatmu merasa lebih baik.”

 

Dan kata-kata terakhir yang terlontar dari bibir Hoseok laksana sebuah mantra. Taehyung semakin mengeratkan pelukannya dan kembali menumpahkan badai tangisnya di pelukan Hoseok, sahabatnya.

.

.

.

.

.

“Taehyung-ah!” Hoseok berseru lantang, membuat langkah Taehyung terhenti saat itu juga ketika mendengar namanya disebut. Ia membalikkan tubuhnya dan menemukan Hoseok yang kini berlari kecil untuk menghampirinya, dan ia pun menanti kedatangan lelaki itu dengan seutas senyum simpul di bibirnya.

 

“Tidak biasanya kau berangkat sepagi ini.” ucap Taehyung ketika Hoseok telah berdiri di sampingnya. Mereka kemudian berjalan beriringan melintasi koridor di lantai dua.

 

“Motorku masuk bengkel.” jawab Hoseok pendek, tapi terselip kekesalan dalam nada bicaranya.

 

“Mogok lagi?” tanya Taehyung sambil menahan tawa.

 

“Begitulah kira-kira.” Hoseok menghela napas panjangnya, jengah dengan kenyataan menyebalkan yang harus ia dapati sepanjang menyangkut tentang motornya. Taehyung menepuk pundaknya simpati, tapi sebuah tawa kecil yang mengalun dari bibirnya membuat Hoseok mau tak mau ikut tertawa juga.

 

“Nanti sore mau ikut denganku?” ajak Hoseok setelah berhasil meredakan tawanya.

 

“Ke mana?” tanya Taehyung.

 

“Game center,” sahut Hoseok sambil tersenyum kecil. “Kau mau?”

 

“Tentu,” Taehyung membalas senyuman Hoseok dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Tapi kau harus mentraktirku makan malam.”

 

“Tidak masalah.” sahut Hoseok. Sebelah tangannya kemudian terulur ke depan dan membuka pintu kelas. “Tapi nanti kau tidak boleh―” ucapannya terhenti begitu saja ketika mendapati sepasang lelaki yang tengah berciuman dengan cukup intim di dalam kelas. Matanya membulat sempurna dan ia pun menutup kembali pintu kelasnya dengan cukup keras sebelum Taehyung sempat melihat pemandangan yang cukup panas di hari yang masih terlalu pagi ini.

 

“Kenapa ditutup lagi? Aku mau masuk.” protes Taehyung.

 

“Ja, jangan!” cegah Hoseok yang kemudian segera berdiri tepat di depan pintu, menghalangi Taehyung. “Eung, maksudku, bagaimana jika kau menemaniku ke perpustakaan dulu?”

 

“Perpustakaan?” tanya Taehyung bingung. “Untuk apa?”

 

“A, ada satu buku yang ingin kupinjam. Kau mau menemaniku, kan?” pinta Hoseok memelas.

 

Taehyung terdiam. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh pada Hoseok, tapi ia sendiri tidak tahu apa itu. Hoseok melarangnya masuk ke dalam kelas dan memintanya untuk mendatangi perpustakaan, sebuah tempat yang bahkan menurut Hoseok sangat membosankan. Tidakkah itu aneh?

 

“Ayolah, Tae.” suara Hoseok yang merengek bagaikan anak kecil membuat Taehyung kembali tersadar dari lamunan singkatnya.

 

“Baiklah, tapi aku ingin menyimpan tasku dulu di kelas.” Taehyung menggeser tubuh tegap Hoseok yang menghalangi pintu dan segera membukanya sebelum sempat dicegah.

 

Pintu kelas kini telah membuka dengan sempurna dan Taehyung hanya terpaku di tempatnya. Matanya menatap nanar pada Jimin yang saat ini tengah berciuman mesra dengan Jungkook, kekasihnya yang baru.

 

Jimin hanyalah masa lalu bagi Taehyung, tapi mengapa dadanya harus kembali berdenyut sakit? Dengan perlahan Taehyung melangkah mundur menjauhi kelasnya, dan beralih menatap Hoseok dengan pandangannya yang kini memburam karena tergenangi oleh air mata. “Bisakah kau membawaku pergi menjauh dari tempat ini?” pintanya putus asa.

.

.

.

.

Bagaikan déja vu, kejadian yang pernah mereka alami tiga minggu lalu kini terulang kembali. Taehyung kembali menenggelamkan wajahnya di dada Hoseok, sementara Hoseok mengusap kepalanya dengan lembut. Bulir-bulir air mata yang memaksa keluar melalui sudut matanya luruh semakin deras hingga membasahi seragam yang dikenakan oleh Hoseok. Sejujurnya, Taehyung bahkan tak tahu mengapa ia bisa kembali menangis seperti saat ini. Yang ia tahu hanyalah rasa sakit yang perlahan mulai melingkupi dadanya ketika melihat seseorang yang pernah ia cintai bermesraan dengan lelaki lain tepat di hadapannya.

 

Ketika Hoseok bertanya apakah ia masih mencintai Jimin, Taehyung tidak bisa menjawabnya. Ia hanya diam membisu dan semakin menenggelamkan wajahnya yang digenangi oleh air mata ke dalam dada Hoseok yang bergemuruh kecil.

 

Pelajaran pertama telah dimulai sekitar tiga puluh menit yang lalu, tapi Taehyung masih enggan untuk melepaskan dekapan hangat Hoseok yang selalu mampu membuatnya merasa lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Ia tidak lagi menangis meratapi kisah cintanya yang berakhir dramatis, melainkan mendengar dengan seksama gemuruh jantung Hoseok yang berdegup dengan irama konstan. Dan bagi Taehyung, hal itu lebih terdengar seperti alunan sebuah musik yang menenangkannya.

 

“Merasa lebih baik?” tanya Hoseok saat tak terdengar lagi isak tangis dari bibir Taehyung.

 

“Ya,” Taehyung menjauhkan tubuhnya dan tersenyum kecil ke arah Hoseok seraya mengusap matanya yang kebi. “Terima kasih.”

 

Hoseok membalas senyuman Taehyung dan mengusak rambut pirang Taehyung perlahan. Ia kemudian menarik sebelah tangan Taehyung dan mengajaknya untuk duduk berdampingan dengannya di sebuah kursi panjang yang ada di atap sekolah.

 

“Kenapa kau selalu menangis jika melihatnya bersama Jungkook?” tanya Hoseok seraya mengusap jejak air mata di wajah Taehyung.

 

“Entahlah.” jawab Taehyung tak yakin. Ia menundukkan wajahnya dan menghela napas panjang. “Dadaku selalu berdenyut sakit jika melihatnya bersama Jungkook.”

 

“Kau masih mencintainya.” itu adalah sebuah pernyataan. Dan Hoseok mengucapkannya dengan begitu pelan, entah kenapa terlihat begitu kecewa.

 

“Tidak.” bantah Taehyung cepat. “Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya―entahlah... Ini terlalu rumit untukku.”

 

“Tidak akan rumit jika kau mau melupakannya.” sahut Hoseok seraya mempertemukan punggung kokohnya dengan sandaran kursi. “Lupakan dia, Taehyung. Dia sudah menyakitimu. Dan dia tidak pantas untuk kau tangisi lagi.”

 

“Andai aku bisa.” Taehyung mendesah putus asa.

 

“Tentu saja kau bisa! Yang perlu kau lakukan hanyalah meyakinkan dirimu sendiri.” Hoseok meraih sebelah tangan Taehyung dan menggenggamnya lembut, mencoba untuk menyalurkan sebuah keyakinan dan kekuatan untuknya. “Tidak gunanya mempertahankan cintamu untuk laki-laki brengsek yang telah mengkhianatimu seperti Jimin.”

 

“Aku tahu, Hoseok. Aku tahu.” jawab Taehyung lelah.

 

Mereka sudah terlalu sering membicarakan tentang hal ini, tapi Taehyung seolah menutup mata dan telinganya. Ia pun ingin melupakan Jimin yang telah membuatnya merasakan luka dan kekecewaan yang begitu mendalam, tapi ia hanya bergeming di tempatnya. Enggan untuk bertindak lebih jauh.

 

Helaan napas berat kembali terdengar dari bibir Taehyung. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Hoseok dan menengadah menatap langit biru. “Melupakan seseorang yang kita cintai itu tidak semudah ketika kita mengedipkan mata. Semuanya membutuhkan proses.”

 

Hoseok ikut menengadahkan kepalanya menatap langit dan bergumam, “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”

 

“Peluk aku.” ujar Taehyung pelan. “Untuk sekali saja, aku ingin kau memelukku sampai aku tertidur. Dan ketika aku terbangun nanti, aku ingin melupakan segala kenyataan pahit ini.”

 

Hoseok tersenyum samar mendengar permintaan Taehyung. Ia kemudian mengangkat tangan kanannya ke udara dan merangkul pinggang Taehyung untuk lebih merapat padanya, sementara kepalanya ikut ia sandarkan pada kepala Taehyung yang masih bersandar di bahunya.

 

Di luar dugaan, Hoseok mengecup kening Taehyung ketika matanya telah terpejam. Ia terlihat begitu nyaman, seolah menikmati kebersamaannya berdua dengan Hoseok, sahabat sekaligus seseorang yang telah memendam rasa cintanya untuk Taehyung selama dua tahun belakangan. Taehyung tahu Hoseok menyayanginya, dan Taehyung pun tahu jika Hoseok mencintainya melebihi apa pun. Entah sudah berapa kali lelaki itu menyatakan perasaannya pada Taehyung, dan entah sudah berapa kali pula Taehyung mengabaikannya.

 

Berbagai cara telah Hoseok gunakan untuk mencuri hati dan perhatian Taehyung untuknya, tapi hanya dibutuhkan waktu tiga puluh detik bagi Taehyung untuk menerima pernyataan cinta dari seorang lelaki lain yang bahkan baru dikenalnya selama tiga hari. Hoseok akui, Jimin memang memiliki pesona tersendiri hingga berhasil membuat Taehyung balas mencintainya dalam waktu singkat. Hampir di setiap pertemuan mereka, nama Jimin tak akan pernah luput untuk terucap dari celah bibirnya.

 

Jimin begini, Jimin begitu, dan perlahan Taehyung pun menjauh. Hoseok kembali terabaikan.

 

Kemudian semuanya seolah terjadi begitu saja. Tanpa sengaja Hoseok memergoki Jimin dan Jungkook―siswa pindahan dari Jepang yang juga berada di kelas yang sama dengannya dan juga Taehyung―tengah berciuman mesra di dekat lapangan basket, ketika senja mulai menjelang dan semua siswa telah meninggalkan area sekolah. Ia mencoba memberitahukan hal itu pada Taehyung, tapi Taehyung justru membentaknya dan menuduh Hoseok telah memfitnah dan mencoba untuk menghancurkan hubungannya bersama Jimin yang terbina dengan baik selama enam bulan belakangan.

 

Hoseok membela diri. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia tidak berbohong, tapi lagi-lagi Taehyung mengabaikannya.

 

Dua minggu berselang setelah Hoseok memberitahukan tentang perselingkuhan Jimin, Taehyung mendatangi rumahnya pada suatu malam di pertengahan bulan September dengan wajahnya dibasahi oleh air mata. Hoseok, yang terkejut karena baru pertama kali melihat pujaan hatinya menangis, hanya mampu membawanya ke dalam sebuah dekapan hangat yang menenangkan. Berulang kali Taehyung menggumamkan kata “Maaf” untuknya dan Hoseok hanya membalasnya dengan usapan lembut pada punggungnya, mencoba untuk meredakan badai tangis Taehyung yang begitu dahsyat. Ketika tangisnya mulai mereda, Hoseok membimbingnya masuk ke dalam rumah dan mendudukkannya di sebuah sofa empuk yang ada di ruang tengah. Ketika Hoseok menanyakan apa yang terjadi, Taehyung kembali tenggelam dalam tangisnya.

 

Membutuhkan waktu sekitar hampir empat puluh lima menit bagi Hoseok untuk membujuk Taehyung menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan sedikit terbata, Taehyung menceritakan tentang dirinya yang telah melihat Jimin tengah mencumbui Jungkook dengan begitu intim di kamar apartemen Jimin yang tidak terkunci. Taehyung kembali menggumamkan kata maaf untuk yang ke sekian kalinya, menyesali tindakannya yang telah mengacuhkan ucapan Hoseok beberapa waktu lalu. Hoseok tersenyum kecil mendengarnya, dan dengan lembut ia meminta Taehyung untuk berhenti meminta maaf karena tanpa Taehyung meminta pun ia telah memaafkannya sejak jauh-jauh hari.

 

Dan di sepanjang malam itu, Hoseok mengajak Taehyung berkeliling kota dengan motornya. Ia mentraktir Taehyung semangkuk es krim rasa cokelat, mengajaknya ke sebuah game center, kemudian pulang dengan Taehyung yang terlelap di pelukannya setelah lelah bermain.

 


 

Keesokan paginya, Taehyung terlihat lebih murung dari biasanya. Ia hanya terdiam menatap halaman kosong dari buku catatannya yang terbuka dan terlihat dengan begitu jelas jika dia tidak sedang dalam kondisi yang baik untuk sekedar memperhatikan materi yang tengah diberikan oleh sang guru. Sepanjang pagi ini, Hoseok seringkali mendapati Taehyung yang melirik dan menatap ke arah Jungkook yang menempati meja di barisan depan dengan pandangan yang sulit untuk diartikan oleh kata-kata. Terkadang matanya terlihat berapi-api, menunjukkan rasa kesal dan benci yang begitu mendalam, tapi tak jarang pula ia kemudian menghela napas panjang dan berujung dengan mengusap sudut matanya yang kembali berair.

 

Ketika bel tanda berakhirnya pelajaran terakhir berbunyi, Taehyung segera beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Hoseok yang menempati meja di barisan paling belakang bersama Tony, salah seorang siswa pertukaran pelajar yang berasal dari California. Tony memakai jaketnya dan berbincang sebentar dengan Hoseok mengenai motor sport keluaran terbaru, kemudian ia tersenyum kecil pada Taehyung dan meninggalkan sepasang sahabat itu setelah sebelumnya meninju pelan bahu Hoseok yang mengejeknya. Hoseok tertawa pelan seraya mengusap bahunya yang terasa sedikit ngilu karena pukulan Tony, lalu tersenyum kecil ke arah Taehyung yang kini berdiri di samping mejanya.

 

“Hoseok, temani aku.” pinta Taehyung tanpa basa-basi. “Aku ingin bertemu dengan Jimin dan menyelesaikan semuanya sekarang juga.”

 

Meski terlihat ragu, tapi pada akhirnya Hoseok tetap menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Ia kemudian mengikuti langkah Taehyung yang ada di depannya. Taehyung tidak banyak bicara kali ini. Ia hanya terdiam sambil sesekali mengecek ponselnya dan mengetik sesuatu.

 

Awalnya Hoseok mengira jika Taehyung akan membawanya ke atap sekolah, tapi ternyata dugaannya salah. Taehyung berbelok ke sebuah persimpangan koridor yang terhubung dengan jalan lain menuju gerbang belakang sekolah yang jarang dilewati oleh para siswa. Dan tepat di sana, mereka dapat melihat sepasang lelaki lain yang telah menunggu kedatangan mereka berdua di penghujung sore ini.

 

Hoseok sempat melirik ke arah Taehyung melalui sudut matanya, ingin tahu reaksi seperti apa yang akan lelaki itu tunjukkan. Dan ia hanya mampu menghela napas simpati ketika melihat tatapan mata Taehyung yang tampak menyiratkan kekecewaan yang begitu mendalam ketika melihat kekasihnya berdiri di arah yang berlawanan dengan menggenggam tangan lelaki lain. Ketika ia beralih menatap ke arah Jungkook yang berusaha untuk menyembunyikan tubuh jangkungnya di balik punggung Jimin, pada saat itulah Hoseok juga merasakan simpati yang sama untuk lelaki berwajah inosen itu. Saat dirinya dan Taehyung telah berdiri di hadapan mereka, Jimin terlihat membisikkan sesuatu pada Jungkook dan lelaki bertubuh itu pun segera melangkah mendekati pagar sekolah, memilih untuk menanti Jimin di sana daripada harus terlibat sebuah percakapan yang cukup serius antara Taehyung dan Jimin. Tapi kemudian Taehyung pun melakukan hal yang sama pada Hoseok, meminta pada lelaki itu agar memberikannya ruang yang cukup untuk membicarakan hal ini secara empat mata dengan Jimin. Mengerti bahwa ia tidak berhak untuk ikut campur dalam masalah ini, Hoseok memilih untuk bergeser menjauh sembari tetap mengawasi segala pergerakan Jimin.

 

Jimin adalah orang pertama yang membuka mulutnya. Dan kata pertama yang bisa ia ucapkan pada Taehyung hanyalah “Maaf” yang ia ucapkan berulang kali, seolah satu maaf tidak akan pernah cukup untuk meluluhkan hati Taehyung yang kini hanya menatapnya dengan tatapan datar. Taehyung bertanya kenapa, dan Jimin dengan lugasnya mengatakan bahwa ia lebih mencintai Jungkook.

 

Jungkook adalah cinta pertama Jimin, dan begitu pun sebaliknya. Mereka telah saling mengenal sejak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar, saling mengakui perasaan masing-masing di tahun kedua Junior High School, tapi kemudian hubungan keduanya harus terputus begitu saja saat Jungkook dan keluarganya diharuskan untuk pindah ke negeri Sakura. Mereka kehilangan komunikasi selama hampir dua tahun lamanya, dan saat itulah Jimin bertemu dengan Taehyung yang terlihat begitu mempesona ketika menggerakkan tubuhnya dengan lihai sesuai dengan irama musik yang bertempo cepat.

 

Jimin tidak berbohong saat ia mengatakan jika ia mencintai Taehyung. Namun sayangnya, masih ada Jungkook yang selalu setia menempati separuh ruang hatinya yang kosong.

 

Jimin kemudian menyatakan cintanya pada Taehyung ketika ia telah kehilangan harapan pada Jungkook yang sama sekali tak pernah menghubunginya lagi sejak hari kepindahannya. Di luar dugaan, Taehyung menerima pernyataan cintanya dengan senang hati dan mereka pun memulai hubungan baru sebagai sepasang kekasih pada awal bulan Maret.

 

Sepanjang tujuh bulan membina hubungan, hampir tak pernah ada masalah atau pun perselisihan yang membuat hubungan keduanya merenggang. Taehyung yang manis bersanding dengan si tampan Park Jimin yang juga merupakan ketua di klub fotografi. Mereka pasangan yang serasi menurut banyak orang. Dan mereka pun hanya tersenyum senang mendengarnya.

 

Tapi semua hal indah dan manis itu seakan berbalik menjadi sebuah kenyataan yang mengejutkan bagi Jimin saat ia bertemu dengan seorang siswa pindahan dari Jepang yang dikenalkan oleh Taehyung ketika ia mengunjungi kelas kekasihnya itu di waktu istirahat makan siang. Jimin ingin berpura-pura seolah ia tidak pernah mengenal anak baru itu, tapi hal itu begitu sulit untuk dilakukan. Karena sekeras apa pun ia mencoba untuk berpura-pura, hal itu tidak akan pernah mengubah fakta yang berbicara melalui tatapan matanya. Penuh akan kerinduan yang begitu mendalam, namun juga terbersit perasaan bersalah ketika ia menangkap tatapan penuh kecewa di mata lelaki itu saat mengetahui jika Taehyung adalah kekasihnya.

 

Jauh di lubuk hatinya, Jimin begitu merindukan lelaki itu, merindukan Jungkooknya. Waktu selama dua tahun yang mereka lewati nyatanya telah berhasil mengubah Jungkook. Ia yang dulunya terlihat tak acuh dengan penampilannya kini terlihat lebih menawan dengan rambut pendeknya yang diberi highlight cokelat terang. Tapi meski begitu, masih ada satu hal yang tidak berubah dari diri Jungkook, yaitu bagaimana ia tersenyum dan menatap Jimin dengan penuh kasih. Dan Jimin sangat berharap jika ia bisa kembali memeluk tubuh itu seperti dulu.

 

Tapi ia tahu, ia tidak mungkin melakukan hal itu di depan Taehyung. Ia tidak ingin menyakiti Taehyung, tapi ia juga tidak bisa mengacuhkan keberadaan Jungkook begitu saja. Ia mencintai Jungkook melebihi rasa cintanya terhadap Taehyung dan kehadiran Jungkook bagaikan menemukan kembali sekeping puzzle yang telah lama hilang dan menyempurnakan kepingan lainnya yang tercecer di sembarang tempat. Sama seperti separuh ruang kosong di hatinya yang kembali terasa penuh karena pemilik hati itu telah memutuskan untuk merebut kembali tempat yang seharusnya memang menjadi miliknya.

 

Jimin menemui Jungkook secara diam-diam tanpa sepengetahuan Taehyung dan kembali merajut benang-benang asmara bersama cinta abadinya yang sempat terputus oleh jarak dan waktu. Tapi sepandai-pandainya bangkai disembunyikan, cepat atau lambat baunya pasti akan segera tercium. Dan hal itu terjadi begitu saja ketika Taehyung berniat mengunjungi Jimin di apartemennya dan menghabiskan malam akhir pekan bersama-sama. Tapi apa yang ia dapatkan justru sebuah pemandangan yang mampu membuat hatinya terkoyak. Suara debam dari kotak berisikan makan malam yang terjatuh di atas lantai apartemen yang dingin membuat kegiatan make out antara Jimin dan Jungkook terhenti begitu saja. Keduanya hanya mampu terdiam membeku di posisinya masing-masing saat melihat keberadaan Taehyung yang berdiri di depan pintu kamar Jimin. Sebelum Jimin sempat menjelaskan segala sesuatunya pada Taehyung, lelaki itu telah lebih dulu berlari meninggalkan apartemennya dengan hentakan kaki yang bergema di segala penjuru ruangan.

 

Dan sekarang di sinilah mereka, saling berdiri berhadapan dengan kepala yang sama-sama tertunduk menatap tanah. Tidak tahu apa lagi yang harus mereka lakukan. Sepasang telapak tangan yang menangkup kedua pipinya membuat Taehyung menengadahkan kepala.

 

“Ini yang terbaik. Aku tidak ingin melukaimu lebih dalam lagi jika kita tetap bersama.” Jimin berujar pelan seraya mengusap wajah Taehyung lembut. “Maafkan aku, Taehyung-ah.” Sebuah kecupan ringan membelai bibir Taehyung. Dan sebelum Taehyung sempat mengerjapkan mata, ia pun tersadar jika itu adalah kecupan terakhir yang bisa Jimin berikan untuknya.

 

Jimin memberikan senyumnya untuk Taehyung sebelum akhirnya berbalik memunggungi Taehyung dan menghampiri Jungkook yang masih setia menantinya di dekat pagar sekolah. Punggung keduanya pun perlahan mulai menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangan. Hoseok beranjak dari tempatnya berdiri dan melangkah mendekati Taehyung yang hanya tertunduk lesu menatap tanah. Sebelah tangannya terangkat ke udara, dan ia pun segera membawa Taehyung ke dalam dekapannya. Membiarkan lelaki itu untuk menumpahkan tangisnya hingga ia tak sanggup meneteskan air mata lagi.

.

.

.

.

.

“Untukmu,” Taehyung tersenyum kecil seraya mengulurkan secangkir teh hangat untuk Hoseok.

 

Hoseok membalas senyuman Taehyung dan menerima cangkir minumannya dengan senang hati. Ia kemudian mengisyaratkan Taehyung untuk menempati ruang kosong yang ada di samping kanannya dan Taehyung pun menurut. Ia terduduk di samping Hoseok setelah sebelumnya meletakkan cangkir minumannya di meja kayu yang ada di hadapan mereka.

 

“Kapan orangtuamu pulang?” tanya Hoseok.

 

Taehyung terlihat berpikir sebentar, tapi kemudian ia hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. “Mereka tidak bilang kapan mereka akan pulang. Mungkin dua atau tiga hari lagi.”

 

Hoseok mengangguk affirmative, lalu mengambil semangkuk popcorn yang sebelumnya telah disiapkan oleh Taehyung. Taehyung sendiri meraih sebuah remote yang tergeletak di atas meja dan menyalakan televisi. Selama beberapa saat ia terlihat mengganti-ganti channel dengan sedikit debat kecilnya bersama Hoseok untuk menentukan channel mana yang akan mereka tonton. Di satu pihak Hoseok terlihat begitu gigih ingin menonton pertandingan sepak bola, sementara di pihak lain ada Taehyung bersikeras ingin menonton kartun. Lalu seperti biasanya, Hoseok akan menertawakan Taehyung, mengatainya seperti bocah TK karena masih suka menonton kartun, dan diakhiri dengan Taehyung yang menghadiahi Hoseok sebuah jitakan keras di puncak kepalanya. Sambil meringis kesakitan, Hoseok mengambil alih remote yang dibawa oleh Taehyung dan menggantinya ke sebuah channel yang menayangkan sebuah drama percintaan anak SMU, tipikal drama-drama picisan yang mudah sekali ditebak jalan ceritanya. Taehyung memaksa Hoseok untuk mencari acara lain, tapi Hoseok menggelengkan kepalanya dengan tegas dan menyembunyikan remote yang ia bawa di bawah bantal sofa.

 

Sambil menggerutu kesal, Taehyung pun akhirnya mengikuti jalan cerita dari drama itu dengan terpaksa. Berdebat dengan Hoseok tidak akan pernah ada habisnya jika mereka sudah saling berebut remote seperti ini. Dan bisa ditebak, selalu saja Hoseok yang menang. Tsk, menyebalkan.

 

“Apa kisah cinta yang seperti itu benar-benar ada dalam kehidupan nyata?” tanya Taehyung skeptis saat melihat dua karakter utama dari drama itu yang selalu terlihat bahagia satu sama lain.

 

“Eung? Apa maksudmu?” tanya Hoseok bingung.

 

“Maksudku, apa memang semudah itu untuk merasakan sebuah kebahagiaan dengan pasangannya?” Taehyung menolehkan kepalanya pada Hoseok dan menatapnya penuh minat. “Apa menurutmu ada seseorang di luar sana yang bisa mencintaiku dengan tulus dan sepenuh hatinya?”

 

“Tentu saja ada.” jawab Hoseok lirih. “Dan kau seharusnya mengetahui hal itu sejak dulu.”

 

Taehyung tersenyum pahit mendengar ucapan Hoseok. Ia menghela napas berat dan menyandarkan kepalanya di bahu sang sahabat. “Mungkin aku terlalu bodoh hingga tak mengetahui tentang hal itu.”

 

“Kau tidak bodoh, Tae.” bantah Hoseok pelan. “Mungkin kau hanya terlalu takut untuk menyadarinya.”

 

“Mungkin kau benar. Aku hanya terlalu takut untuk mengakuinya.” Taehyung menyahut sambil tertawa kecil. “Aku tahu jika dia mencintaiku dan―mungkin―aku juga mencintainya. Tapi dia sahabatku. Aku tidak ingin melukai perasaannya jika aku menerimanya begitu saja tanpa aku sendiri tahu apakah aku juga mencintainya atau tidak.”

 

Selagi Taehyung menghentikan ucapannya, Hoseok masih saja terdiam. Pandangan matanya menatap lurus pada layar televisi yang saat ini tengah menayangkan sebuah iklan kosmetik wanita, namun telinganya tetap menunggu ucapan Taehyung selanjutnya. Dan seakan mengerti dengan apa yang diinginkan oleh lelaki itu, Taehyung pun kembali melanjutkan ucapannya.

 

“Setiap kali aku bersamanya, aku bisa merasakan detak jantungku yang berdegup lebih kencang dibandingkan biasanya. Tapi saat itu aku masih terlalu naif untuk mengartikan hal itu sebagai cinta. Aku mengelak untuk membalas pernyataannya yang mengatakan bahwa ia mencintaiku. Dan bodohnya, aku justru mengatakan cinta pada seorang lelaki yang baru kukenal. Seperti yang kau tahu, ternyata dia hanya menjadikanku sebagai pengalihan sementara dia masih mengharapkan cinta pertamanya. Dan ketika cintanya kembali ke dalam pelukannya, dia meninggalkanku begitu saja.” Taehyung mengulas senyum pahit seraya mengusap sudut matanya yang kembali berair. “Aku benar-benar tidak menyangka jika rasanya akan sesakit ini.”

 

“Cukup, Tae. Tidak usah kau ingat-ingat lagi tentang dia.” ujar Hoseok lembut. Ia melingkarkan tangan kanannya di pundak Taehyung dan mengusapnya penuh kasih.

 

“Tidak apa-apa.” sahut Taehyung yang kembali memperlihatkan senyumnya. “Kau masih mau mendengar ceritaku, kan?”

 

Hoseok tertawa kecil dan mengusak rambut Taehyung gemas. “Lanjutkan kalau begitu.”

 

Taehyung menganggukkan kepalanya tanda mengerti, lalu kembali melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti. “Jika saja aku mau mendengarkan apa kata sahabatku sejak awal, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini. Tapi setidaknya aku bersyukur karena memiliki dia. Dia selalu ada untuk merangkulku, memelukku, dan mengusap air mataku. Kau tahu? Setiap kali dia memelukku, jantung masih saja berdetak dengan keras seperti dulu. Dan kurasa sekarang aku alasannya.”

 

“Benarkah?” tanya Hoseok sambil tersenyum kecil. “Lalu apa alasannya?”

 

Taehyung menjauhkan kepalanya dari pundak Hoseok dan beralih menatapnya intens. Belah bibirnya kembali terbuka dan ia berkata, “Aku mencintaimu, Hoseok.” ungkapnya bersungguh-sungguh. “Kau boleh menyebutku bodoh karena baru menyadari hal itu setelah sekian lama, tapi apakah masih ada kesempatan bagiku untuk membalas perasaanmu?”

 

“Tidak,” jawab Hoseok dengan senyum yang terkulum. Ia mengabaikan Taehyung yang terkejut dengan jawabannya dan kembali berkata, “Tidak mungkin menolakmu setelah apa yang aku lakukan untukmu selama ini. Aku senang karena pada akhirnya kau bisa membalas perasaanku. Aku juga sangat mencintaimu, Taehyung-ah.”

 

Taehyung tersenyum senang mendengar ucapan Hoseok. Terlalu senang, sampai-sampai kedua matanya melengkung menyerupai bulan sabit dan ikut tersenyum bersama hatinya. “Kalau begitu, apa aku boleh memelukmu?”

 

Hoseok tertawa kecil mendengarnya. Tapi kemudian ia merentangkan kedua tangannya dengan lebar, mengisyaratkan Taehyung untuk segera menenggelamkan diri ke dalam pelukannya yang hangat. Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, Taehyung pun segera menghamburkan diri ke dalam pelukan sang kekasih dengan seutas senyum bahagia yang mungkin tidak akan pernah terhapus lagi dari wajahnya.

 

Setelah saling berbagi kehangatan dalam sebuah dekapan, Hoseok melepaskan pelukannya di tubuh Taehyung dan beralih menangkupkan sebelah tangannya di wajah pujaan hatinya. Sama halnya seperti Taehyung, senyuman yang terukir di bibirnya seolah enggan untuk dihapuskan begitu saja. Hoseok menatap dalam-dalam sepasang hazel bening milik Taehyung yang memancarkan sejuta cinta untuknya seraya berbisik, “Aku mencintaimu.”

.

.

.

.

.

++_FIN_++

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
vhope00 #1
Chapter 1: AJDBSNSLSMSOSNSISISSIANPWOSBSSSSSINSOSNWISISJSNSISNSOS GA SANGGUP ILY POKOKNYA THOR
shintaft #2
Chapter 1: ntahlah baca ini rasanya pengen nguburin jimin idup idup -__-

tapi akhir bahagia karna tae masih punya hoseok yang bakal selalu nemenin dia di keadaan tepuruk sekalipun
semoga ada laki laki kek gitu di dunia nyata TT /abaikan/
kimtaehyeng #3
Chapter 1: ini maniiiiisssssss uhhhh jimin nyebelin banget sih nelantarin(?) orang semanis taetae:( btw moment vhopenya kurang banyak tapi tetep bagus ceritanya aku suka
blackmelody
#4
Chapter 1: So sweet banget deeh