Si Moon Pengkhianat

CASTLE NUMBER 9 || CHAEKI FF

 “Dengarkan Ibu baik-baik!

Di dunia kita, hanya ada dua jenis golongan.

Para penyihir yang terhormat seperti kita atau kasta Ghost Hunter pembuat onar.

Kita mungkin hidup berdampingan dan bernapas dalam cercaan mantera bersama-sama tapi satu hal yang harus selalu kau ingat, Joongki!

Kita golongan terpilih di antara jutaan manusia di muka bumi ini, karena itu jangan terlibat apapun dengan para hunter rendahan terutama si marga Moon itu.

Keluarganya berbahaya!”

.

.

.

 

Joongki mengikat setumpuk bukunya dengan dua ulur tali usang. Ia terlihat tak sabaran untuk segera meninggalkan tempatnya berpijak saat ini. Ada bau kertas-kertas lapuk kekuningan dengan ngengat serupa kumpulan debu yang bisa membuat hidungnya dihinggapi gatal semalaman.

Napasnya terhembus lemah dengan tungkai terseret tak beraturan menuruni tangga kastil sekolah yang meliuk berputar-putar – menyebalkan. Ia lelah tapi tidak ada yang bisa Ia lakukan kecuali bergegas menuju kelas pertahanan ilmu hitam yang akan berlangsung kurang dari dua menit lagi. Pofessor Kim pasti sudah mengintai di depan pintu dengan seringai maut andalannya.

Ah, Joongki benar-benar tak suka pelajaran ini. Daripada sibuk merapal mantera-mantera aneh dengan sepotong kayu konyol di tangan. Ia lebih suka berada di luar ruangan, melakukan hal-hal yang berhubungan dengan fisik seperti bermain sepak bola, basket atau apapun itu asalkan tidak terkungkung jendela kusam bersama sekumpulan manusia-manusia aneh macam dirinya.

Tapi, sekali lagi tidak ada yang bisa Ia lakukan. Terlahir di keluarga penyihir membuatnya harus rela dijejali segala klenik, mistik dan hal-hal aneh di luar nalar.

Joongki membenci sekolah sihirnya melebihi kebencian Doomsday pada Superman – Superhero favorite-nya.

 

:::

 

“Joongki, kau sudah makan sarapanmu nak?” Suara nyaring milik Nyonya Song menghentak lamunan pagi Joongki.

Remaja berusia 17 tahun itu mengangkat tangan kanannya dan melambai-lambai tak jelas yang intinya Ia sedang berusaha menghancurkan potongan kalkun setengah matang dengan giginya, serta tak ingin diganggu dengan segala jenis ocehan.

Sayangnya Ibunya hanya mengerti arti pertama isyarat itu dan ini berarti Ia akan memenuhi telinga sang anak dengan kucuran nasehat selamat paginya yang tak lebih indah dari rapalan mantera Professor Kim. Bising dan memuakkan.

“Good Morning…” Seorang gadis bergaya tomboy dengan topi terbalik di atas kepalanya, hinggap di samping Joongki.

Tangannya yang entah kotor atau bersih itu menarik sepotong kaki kalkun dari atas piring kemudian melahapnya bak monster. Gadis itu, Song Ji Hyo – kakak perempuan Joongki yang kelakuannya hampir sama tak normalnya dengan semua orang yang ada di sekolah.

Dia si ranking satu yang di usia 5 tahun saja sudah bisa menerbangkan mobil milik Jinyoung Ahjussi, si pria tua pemilik swalayan di ujung jalan. Jika kalian penasaran, coba saja cari di google dengan kata kunci mobil terbang google map. Kalian akan menemukan ulah Ji Hyo di salah satu lamannya.

“Kau ikut ke sekolah-kan hari ini?” suara kunyahan dan rasa penasaran milik Ji Hyo melebur menjadi satu menyambangi kedua telinga Joongki.

“Entahlah...” Joongki menggigit kalkun di tangannya dengan malas.

“Ikut saja! Hari ini ada pertunjukan seru dari para Ghost Hunter” Ji Hyo menyeringai lebar dengan alis berkepakan naik turun, mencoba mempengaruhi si adik.

Ia kemudian menarik sepotong paha kalkun lainnya dan membawanya berlari masuk ke dalam kamar, tak lupa diiringi suara mendesis layaknya ular peliharaan Kim Joong Kook, sepupu jauh mereka – yang artinya kurang lebih; Jangan beritahu Ibu!

Joongki menggelangkan kepalanya tak habis pikir, yeah… Kakaknya yang terlihat genius dan berbakat itu sebenarnya adalah pencuri. Pencuri tengik!

 

:::

 

Sihir, huh?

Joongki memandang tongkat di samping Android-nya dengan jengah.  Di jaman semaju ini apa kerennya ilmu sihir? Semua orang bahkan bisa pergi kemanapun tanpa perlu repot-repot menghapalkan mantera atau mengosongkan pikirannya demi kata ‘konsentrasi’

Agak berat hati, murid sekolah sihir Bidrewel itu memasukkan tongkat berbahan jati-nya ke dalam tas kemudian tangannya menangkup sebuah buku besar nan tebal berjudul; Sejarah Sihir jilid 2. Menaruhnya berdesakan dengan si tongkat yang masa bodoh akan patah atau tidak.

“Aku berangkat, Bu!” tangannya melambai, bersiap menaiki sepeda gunung kerennya yang mengkilap kemerahan. Ji Hyo menyembul dari balik pintu tanpa membawa apapun. Ia memakai sepatu roda kesayangannya yang warnanya sudah agak-agak pudar.

“Kau membawa tas sebesar itu?” tanyanya keheranan.

“Dan kau tidak membawa selembar kertas pun, Nuuna?” Joongki balik bertanya, cuek.

“Ayolah, hari ini ada parade sihir. Kau pikir akan ada pelajaran, adikku sayang?” Ji Hyo mengedipkan matanya sembari menepuk pundak Joongki. Ia kemudian berlari bersama sepatu rodanya dan lenyap dalam sekejap.

“Bahkan sapu terbang sudah ketinggalan jaman, Oh Yeah!” Joongki menggayuh sepedanya mengejar sang kakak yang entah sudah berteleport kemana.

 

:::

 

Jika ada yang bertanya, apa hal yang paling mengusik Joongki selain sekolah sihir, jawabannya adalah parade ini. Ia muak dengan segala pertunjukan basi serupa ilmu sulap itu. Hell yeah, demi para Goblin yang mulai punah. Parade seperti ini hanya membuang-buang waktu. Adu ketangkasan di antara para Ghost Hunter sok keren itu. Mereka yang melesak masuk di antara kasta penyihir dengan tujuan sok mulia – menyingkirkan hantu-hantu bobrok bawah tanah.

Ayolah, siapa yang masih percaya Hantu pada jaman semodern ini? Ilmu sihir itu sudah cukup menggelikan.

Seorang gadis berambut hitam dengan garis wajah asia berjalan cepat di hadapan Joongki yang asyik bermain game di bawah pohon keramat berjuluk si Rumbai Antariksa. Pohon yang konon katanya bisa hidup di malam hari. Tanaman pertama yang ditanam begitu sekolah sihir ini dibangun.

Joongki mengenalnya, Moon Chae Won. Si Gadis rangking satu, pemilik beasiswa selama 2 tahun berturut-turut. Kasta rendahan berjuluk Ghost Hunter. Keluarga Moon pengkhianat. Kakeknya pernah ditahan oleh kementrian sihir karena bersekongkol dengan salah satu bangsa Elderson. Bangsa siluman Kera yang licik. Entah bagaimana ceritanya, keluarga mereka masih selamat dan bahkan salah satu keturunan Moon itu bisa dengan bebas mondar-mandir di depan kedua matanya.

“Chae Won!” Seorang anak lelaki seusia Joongki berlari dan berteriak kepayahan menyusul sang gadis bermata hitam.

Mereka nampak berdebat, entah ada masalah apa hingga Chae Won mendorong pemuda itu pergi jauh-jauh.

Joongki tergelak remeh, “Joo Won si idiot itu berusaha mengejarnya?” gumamnya.

Iseng, Joongki menarik tongkat sihirnya dan membuat kedua tali sepatu Joo Won terikat menjadi satu. Hasilnya? Pemuda kikuk itu jatuh berdebam ke atas tanah begitu kakinya melangkah hendak mengejar kepergian Chae Won.

Chae Won menoleh dan nalurinya yang tajam telah berhasil membuat Joongki menutup mulut serta buru-buru menyembunyikan tongkat sihirnya di balik punggung. Ya, Chae Won mengendus kejahilannya. Gadis itu meliriknya tak suka. Ia bisa saja menerkam Joongki hidup-hidup jika Ia mau tapi parade sudah dimulai dan berita baiknya adalah, Chae Won terlibat dalam acara tolol itu, jadi anggaplah Joongki dan keisengannya selamat untuk saat ini.

Joongki berjalan memutari hampir seluruh lorong sekolah. Ia sungguh tak tertarik dengan segala hiruk pikuk penuh ledakan dan mantera sihir di luar sana.

 

Sesekali Ia mendengar suara bersorak dengan tepuk tangan membumbung tinggi ke angkasa. Seringai panjang kali lebar milik orang-orang abnormal berjuluk Guru dan Murid Bidrewel dapat Ia bayangkan dengan baik. Nanti, saat pulang ke rumah setidaknya dia bisa sedikit berbohong soal bagaimana parade hari ini berlangsung. Selebihnya, biarkan kakaknya yang mengambil alih. Gadis tomboi itu pasti sedang terbahak di barisan paling depan dengan mata berbinar-binar bodoh, bersama Kang Gary di sisinya – kekasihnya yang jelek namun setia.

 

Joongki melewati pintu lorong belakang yang begitu panjang. Ia masuk ke dalam sebuah tempat asing. Jalanan ini biasanya hanya dilewati oleh para guru. Jalan menuju Kastil nomor sembilan. Kastil terkutuk yang entah bagaimana legendanya, Joongki hanya tahu jika Ia akan dapat mendengarkan musik dan bermain game dengan nyaman di tempat itu. Tak akan ada yang berani mengusiknya.

 

Beberapa kelelawar dan segerombol tikus berlari menyerempet tubuhnya saat kedua tangan Joongki membuka engsel pintu keramat Kastil.

 

Ia bukan seorang penakut jadi hal seperti itu biasa saja. Bangunan ini begitu megah dan tua. Ada sederet lukisan menenggeri dinding-dinding kusamnya.

 

“Aku hanya ingin menyendiri disini, jadi tidak ada yang kulanggar.” Joongki bersenandika. Ia naik ke puncak menara dan duduk di sebuah langkan, menghadap ke taman yang begitu luas di bawah sana.

 

Nyaman, hening dan menyenangkan.

Waktu berlalu dengan tak terduga di tempat ini. Tahu-tahu langit sudah beranjak gelap dengan serpihan warna senja menyembur dimana-mana. Joongki lelap, bukan dalam permainan serta kesendiriannya, tapi Ia lelap dalam mimpinya. Ya, Ia jatuh tertidur. Hal biasa namun terlalu beresiko jika dilakukan di tempat se’istimewa’ ini.

 

Lambat laut, suara sorak sorai di halaman sekolah menghilang. Senyap ditelan kata “Pertunjukan berakhir.” Semua murid dan guru mulai kembali ke kediamannya masing-masing.

 

Joongki masih asyik bermain dalam dunia mimpinya saat telinganya yang sensitif diganggu oleh dengingan nyamuk-nyamuk liar penghuni taman Kastil. Nyamuk hutan yang besarnya bisa sampai sejempol tangan. Mereka hewan-hewan hasil kloning sihir yang gagal namun dibiarkan tetap hidup.

 

Entah harus merasa berterima kasih pada beberapa nyamuk itu atau merasa kesal, yang jelas Joongki jadi tahu jika parade telah sepenuhnya berakhir dan ini artinya Ia harus dengan cepat meninggalkan tempat ini.

 

Diraihnya tongkat sihirnya dengan malas. Haruskah Ia berteleport layaknya Jumper? Pemuda setinggi 178 centimeter itu mengurungkan niatnya, Ia tak terlalu percaya diri bisa sampai ke bawah dengan selamat tanpa sepeda merah mengkilapnya. Harus Ia akui, kekuatan teleportnya pagi ini seratus persen karena sepeda magis hadiah Paman Phil di ulang tahunnya yang ke 16, tahun lalu.

 

Ia mengepak semua barang bawaannya ke dalam tasnya yang besar. Ah, andai saja Ia tidak terlalu bodoh untuk menghapal mantera peyusut massa benda, pasti Ia tidak perlu repot-repot seperti ini. Joongki agak trauma, terakhir kali Ia mencoba mantera itu, benda yang Ia bawa bukannya menjadi ringan malah bertambah berat 1000 kali lipat.

 

Agak ogah-ogahan sepatu kets berbulunya berjalan menuruni anak tangga sementara tangannya menghunus tongkat kayu jati sepanjang 30 centimeter. Dari ujung tongkat itu berpendar cahaya redup kebiruan. Mantera Lampionius hasil gumamannya rupanya bekerja meski tak cukup baik.

 

Gelap… fokusnya tak dapat menangkap apapun kecuali kegelapan yang terhampar nyata membatasi langkahnya.

 

Ada desisan dan suara berisik yang mencurigakan di salah satu ruangan di lantai tiga. Joongki yang mulanya tidak takut jadi agak paranoid seiring suara-suara itu bergema lirih menangkupi gendang telinganya.

 

Legenda soal kastil nomor Sembilan yang terkutuk ini mungkin benar.

 

Ia mempercepat langkahnya, meluncur di tangga yang meliuk-liuk menyebalkan. Ada yang aneh! Tak perduli berapa kali pun Ia berjalan turun, tangga ini tak ada ujungnya. Joongki kepayahan mencari pintu keluar. Ia selalu sampai di lantai yang sama, lantai dimana suara seram itu berasal.

 

Merasa putus asa, pemuda tampan berkemeja hitam dengan celana jeans belel itu berhenti. Napasnya terengah-engah. Ia memutuskan untuk menghinggapi lorong berdebu di lantai aneh itu. Satu hal yang tak pernah orang-orang tahu, meski pemalas tapi Joongki bukanlah remaja yang sanggup dikalahkan oleh rasa takut.

 

Ia berjingkat pelan, menempeli tembok bak James Bond. Bedanya, tangannya menggenggam tongkat kayu bukan pistol penuh peluru.

 

Ada sebuah pintu tembaga berukiran aneh yang tak sepenuhnya menutup. Matanya yang masih mengantuk itu Ia paksa membelalak lebar. Mencari tahu apa yang tengah terjadi di dalam sana.

 

Beberapa orang berjubah hitam panjang dengan tinggi tubuh beragam terlihat tengah memperdebatkan sesuatu yang sangat rahasia. Kejutannya adalah, Joongki mengenal salah satu dari mereka. Gadis berwajah asia itu. Si Moon pengkhianat. Pemburu Hantu kelas rendah yang tadi pagi berkelebat melewatinya. Apa yang Ia lakukan di tempat ini bersama orang-orang aneh itu?

 

Joongki memicing curiga.

Ia tak berani maju lebih dekat meski telinganya tak bisa mendengar dengan jelas.

 

“… ketika Dewa Helios sanggup ditundukkan, Kirke akan kehilangan pesonanya, saat itu adalah waktu yang tepat!”

 

Sesosok tubuh jangkung yang kemudian Joongki kenali sebagai Kwangsoo membaca kalimat misterius itu dari sebuah buku.

 

Pria berambut blonde berjuluk Jerapah Hutan itu nampak tegas, berbeda 180 derajat dengan karakter tololnya di dalam kelas yang selalu berhasil membuat Profesor Kim mengertakkan gigi karena geram.

 

Kwangsoo adalah salah satu keturunan dari ras Penyihir yang terhormat. Kakek buyutnya bahkan salah satu mantan menteri di Direktorat Kementrian Sihir Lintas Dunia. Bergumul dengan berbagai golongan kasta seperti ini bukanlah kebiasaan temurun dari keluarganya.

 

“Dewa Helios? Kirkle?” Joongki bergumam lirih, bola matanya menari kesana-kemari memikirkan apa arti dari segala perumpamaan itu.

 

Mendadak, di tengah penyadapan rahasianya. Android Joongki berbunyi. Sebuah notifikasi dari aplikasi BBM sudah menganggu misi berbahaya-nya. Sekarang dia merasa menyesal sudah menyelundupkan benda elektronik ini ke dalam sekolah.

 

Ya, jika saja Ibunya tahu alasan Ia membawa buku sebesar itu hanyalah untuk dilubangi bagian dalamnya yang kemudian dipakai sebagai tempat menaruh Android maka, Ia berani bersumpah bahwa nama Song akan dicoret dari akte kelahirannya. Sekolah tidak mengijinkan para murid untuk membawa berbagai benda khas manusia normal. Sebisa mungkin tradisi Bidrewel sebagai sekolah sihir paling berbudaya harus tetap dipertahankan. Kolot sebenarnya tapi kini Joongki sadar betul alasan itu sebenarnya ada gunanya, selain agar tak terlacak oleh dunia luar.

 

Mata tajam Chae Won sudah berpendar ke arah pintu dan ini artinya, sebisa mungkin Joongki tak boleh tertangkap basah sedang menguping. Ia tidak ingin berpikiran buruk atau menganggap teman-teman sekelasnya itu sebagai penjahat tapi bayangan mantera sihir Deadirio tak bisa enyah dari benaknya. Ia takut dibunuh.

 

Kakinya bergerak mundur tanpa perlu diperintah. Sekarang adalah saatnya Ia menguji segala ilmu sihirnya yang terasah selama 2 tahun ini di sekolah.

 

Meski gugup, Joongki berusaha mengingat-ingat mantera apa yang harus Ia teriakkan untuk berteleport. Segala huruf berputar-putar menyusuri sel-sel otaknya. Ia harus ingat setidaknya satu mantera teleportasi itu.

 

Kecurigaan Chae Won tumbuh semakin besar. Gadis berkulit putih itu mendekat ke arah pintu. Jubahnya yang panjang berkepakan menyentuh tanah, membuat bayangan menyeramkan pada dinding-dinding kusam di sekitar Joongki.

 

Masih pukul 7 malam tapi, aura tempat ini seolah memiliki dimensi waktunya sendiri dan Joongki terjebak di panorama larut malam.

 

Tak disangka, Chae Won yang Ia pikir masih setengah perjalanan menuju pintu ternyata sudah berada di hadapannya. Berdiri 2 inci dari hidung bangir Joongki yang basah dihujani keringat dingin.

 

Mereka terlalu dekat, Joongki menelan ludahnya dan mendorong tubuh Chae Won dengan serta merta. Gadis itu jatuh berdebam menghantam patung besi ksatria di ujung lorong. Pengejaran dimulai, Joongki berlari menyusuri lorong. Mulutnya tak henti mengumamkan puluhan mantera sihir yang Ia pikir pasti merupakan mantera teleoprtasi salah satunya.

 

Kwangsoo yang paling jangkung berada di depan, Ia meninggalkan komunitasnya dan membantu Chae Won yang masih mencoba berdiri akibat dorongan Joongki. Jubah mereka berkibar seperti pembunuh bayaran.

 

Joongki berkali kali terantuk kakinya sendiri saat berbalik demi melontarkan cercaan mantera gatal. Bodoh atau konyol dia sendiri tak tahu, yang pasti di otaknya hanya mantera itu yang muncul.

 

Meski menggelikan, tapi mantera itu nyatanya berhasil mengenai Kwangsoo. Pemuda super tinggi itu menggeliat layaknya cacing kepanasan di atas lantai. Menggelinjang ke segala arah. Ia diserang gatal tingkat dewa. Sejenak Joongki ingin tertawa jika saja Chae Won tak tiba-tiba muncul dari tikungan dan menghadangnya. Mereka saling menarik dan mendorong. Bergulat – bergulingan di atas lantai.

 

Joongki kehilangan tongkat sihirnya, dengan sempoyongan Ia mencoba berdiri dan meraih benda yang terlontar 2 meter dari tangannya itu, namun Chae Won yang cekatan sudah lebih dulu menarik salah satu tungkai kakinya. Membuatnya kehilangan kesimbangan dan terjungkal melewati tepi pegangan tangga. Tubuhnya menggantung pasrah dengan kepala berayun di bawah. Chae Won masih memegangi kakinya dengan sekuat tenaga.

 

Hanya mereka berdua. Gadis berjubah hitam dengan tatapan setajam elang laut itu berusaha menggapai tongkat sihir milik Joongki di dekatnya dengan harapan pemuda itu bisa melakukan sesuatu jika tongkatnya kembali, namun jaraknya dengan benda bersinar redup itu terlalu jauh dan jika Ia nekat, tidak mustahil kaki Joongki akan terlepas dari genggamannya dan terjun bebas dengan kepala lebih dulu menumbuk tanah.

 

“Kumohon… jangan lepaskan aku!” Joongki berteriak ketakutan.

 

“Diamlah!” Chae Won mulai kehilangan kesabaran, peluh mengucur deras dari kedua tangannya.

 

“Aaaarrrghhh…” Ia menggertakkan giginya kuat-kuat, berusaha menarik Joongki namun sayang, usahanya sia-sia. Chae Won tak kuat lagi, tanpa Ia sadari, tubuhnya ikut terseret. Mereka berdua terjun bebas menghantam tanah.

 

Sebuah pendaratan yang tidak bisa dibilang manis sebenarnya tapi patut disyukuri. Meski tanpa tongkat sihir rupanya Joongki berhasil melakukan teleportasi kelas pemula. Ia terlontar tak terlalu jauh dari lokasi dimana Ia bisa saja mati. Tubuhnya terlempar ke atas akar-akar tua pohon Oak – si Rumbai Antariksa. 100 meter dari Kastil keramat bergelar Nomor Sembilan. Tasnya terserak tak jauh darinya – talinya putus.

 

Gadis bermata sayu dengan surai sepanjang bahu yang tadi berusaha keras menyelamatkannya pun sanggup Ia bawa lenyap ke atas tanah berhumus ini. Mereka mendarat berdua, saling menindih dengan tubuh Joongki lebih dulu mencium bumi.

 

“Chae Won, kau baik-baik saja?” Joongki menyadari jika si gadis bermarga Moon itu tak bergerak. Wajahnya masih betah menengkuri dada bidang Joongki yang empuk.

 

“Chae Won??? Chae Won???” Joongki mulai gugup, Ia mendekap tubuh Chae Won dengan hati-hati lalu membaringkannya di sisinya.

 

Jemarinya yang basah oleh keringat menepuk-nepuk tulang pipi Chae Won dengan pelan. Tak ada reaksi. Gadis ini mati?

 

Joongki menundukkan kepalanya, telinga-nya berusaha mencari tahu apa jantung gadis ini masih berdetak dengan wajar. Ia menempelkan pipinya di atas rongga dada Chae Won. Ia bukan dokter jadi ini adalah satu-satunya hal yang melintas di dalam otak sok pintarnya.

 

Masih… Ia masih hidup…

 

Joongki tersenyum lega, tak sadar jika Chae Won mulai siuman. Gadis beraura pembunuh itu syok mendapati kepala Joongki yang menempel tak sopan di atas payudaranya. Ia menjerit kaget dan mendorong Joongki dengan kekuatan ekstra yang entah darimana datangnya. Pemuda menyedihkan itu terhempas, menghantam batang pohon Oak. Bahunya terbentur cukup keras. Ia menjerit kesakitan.

 

Jika ditilik, Joongki harusnya tak berhak marah setelah ini karena beberapa menit yang lalu dia juga mendorong Chae Won hingga menabrak patung besi di dalam kastil. Mereka impas.

 

“Heiiiii… Apa yang kau pikir sedang kau lakukan?” Chae Won menggertakkan giginya, memulai serangan sumpah serapah. Ia memegangi dadanya dengan penuh waspada.

 

“Apa huh? Kupikir kau mati!” Joongki mengaduh-ngaduh sembari mengusap bahunya yang mungkin terkilir.

 

“Maksudmu karena kau pikir aku mati, kau mau???” Chae Won memerah dan Joongki makin salah tingkah menjelaskannya.

 

Ia merangkak mendekat, merasa tak terima oleh tuduhan Chae Won.

 

“BUKAN… HEIII… NONA!!!

KAU ITU HUNTER RENDAHAN! AKU PENYIHIR TERHORMAT!

KAU BAHKAN TIDAK PANTAS UNTUKKU!” Joongki berteriak, kehilangan kontrol akan kata-katanya.

 

Chae Won terhina. Ia benar-benar merasa terhina. Hunter rendahan itu apa maksudnya. Ia tahu, keberadaan Ghost Hunter di Sekolah sihir ini ibarat benalu bagi para penyihir sombong seperti si Marga Song ini, tapi jika saja orang-orang tahu, besok Ia akan mempertaruhkan nyawanya demi kelangsungan keturunan mereka mungkin Gordenos sang Menteri paling tinggi dalam tingkatan strata di dunia sihir ini pun akan mengangkat topi untuknya – memberi hormat.

 

“Brengsek!” Chae Won mengumpat dan memilih meninggalkan Joongki sebelum pria itu babak belur Ia hajar.

 

Dengan agak terseok, gadis keturunan Hunter paling setia itu merajut langkahnya menjauhi Joongki yang membisu dan merasa bersalah. Pemuda itu bukan tipikal penyihir kolot yang masih mengotak-ngotakkan pertemanan berdasarkan sejarah masa silam, hanya saja dikuliti dengan tuduhan sekotor itu membuat Joongki tanpa sengaja meloloskan segala cercaan yang selalu Ia dengar lewat nasehat Ibunya setiap hari. Tak bisa Ia pungkiri, keluarganya menyimpan kebencian berusia ratusan tahun pada golongan Hunter.

 

Suara lolongan anjing hutan yang melengking kuat di tempat ini menyadarkan Joongki jika Ia baru saja berteleportasi ke dalam arena terlarang. Tempat ini mungkin aman sebelum matahari terbenam namun saat bulan muncul, berada di lokasi ini adalah ide buruk.

 

Parade pagi ini diselenggarakan bersamaan dengan pesta bulan purnama merah. Malam perburuan berdarah bagi bangsa goblin bertaring panjang. Satu-satunya malam dalam seribu tahun dimana bangsa Goblin boleh mendiami hutan terlarang di dekat kastil nomor Sembilan. Mereka bebas memangsa apapun kecuali bangsa Penyihir.

 

Joongki berdiri seketika, Ia harus menemukan Chae Won. Gadis itu berada di tempat ini karena ulahnya.

 

“Chae Won? Moon Chae Won???” Joongki berteriak mengusik kedamaian hutan ini. Bahunya yang ngilu itu Ia paksa bergoncang kesana-kemari.

 

Saat itulah, Ia mendengar teriakan panjang dari arah pukul sembilan. Sembari berdoa bahwa itu bukan jeritan Chae Won yang dimangsa para Goblin, Joongki menyeret kakinya secepat mungkin menuju puncak tebing danau Duyung.

 

Meski remang dan samar, namun kedua manik matanya dapat menangkap siapa sosok yang tengah terkepung oleh dua Goblin gila menjijikkan itu.

Si Moon pengkhianat!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
rwita2008 #1
Chapter 2: Lanjutkan....:)
emoonsong #2
Suka banget CN 9, nunggu nunggu banget next story nya di tread sebelah... kan kalo ditread sebelah udah lumayan jauh storynya... eh gak nyangka ketemu dimari... asyikkk....
eonnifan
#3
Chapter 2: untung gary cuma dimanfaatin *eh... hahahahaha

joowon si you-know-who... huahahaha

kocak juga.. aku bacanya sambil bayangin harry potter XD