FINAL

Proper Place

A Proper Place

 

 

Dengan kaki yang bergemetar di atas sini. Merasakan angin yang berhembus menyapa permukaan kulit yang memucat.

Hari itu adalah hari terakhirnya.

Diakhiri dengan melangkahkan kaki dari sisi luar balustrade.

 

 

Ada saat-saat dimana kau kehilangan tempatmu untuk berdiri. Kau bahkan tidak bisa mengadu dan bersandar pada siapa pun. Ketika kau menilik sekali lagi, kau hanya bisa mendapati dirimu tidak ada dimana pun selain di titik terdalam dalam hidupmu.

Kau sangat menyedihkan.

Pluk

Kau mendekatkan telingamu ke permukaan pintu loker. Apa pun yang kau lakukan saat ini adalah bentuk kepedulianmu untuk memastikan apakah secarik surat yang kautulis tadi malam telah sampai dengan selamat ke dalam loker. Dengan benar-benar tulus kau tersenyum dan menyeret kakimu ke samping, ke depan loker selanjutnya.

Setelah memilih satu dari setumpuk surat yang tersimpan di dalam dekapanmu, kau memutuskan memasukan surat berwarna biru muda. Tentu kau tidak sembarangan. Kalau kau tidak salah, pemilik loker di hadapanmu ini adalah seorang dari kelas Biologimu. Seorang teman yang kehilangan semangat belajar karena terus dibandingkan dengan kakaknya.

Dengan hati-hati kau mendorong masuk surat kecilmu melalui lubang loker, tidak lupa buru-buru mendekatkan sisi kepala ke loker, agar telingamu menangkap jelas betapa dramatisnya suara surat itu beradu dengan barang-barang lain di dalam sana.

Lalu kau tersenyum dan menggeser kakimu lagi.

Kau tidak peduli bagaimana orang-orang menyebutmu. Pengirim surat? Pemberi kebahagian?

Kadang kau mendengar beberapa sebutan lain untukmu, terutama di pagi hari ketika anak-anak di sekolahmu membuka loker dan mendapati ‘kebahagiaan kecil’ mereka telah dikirimkan melalui surat-suratmu.

Tentu kau hanya menulis hal-hal baik. Kau hanya menulis pesan semangat, dan saran, dan terkadang sekedar emoticom manis tanpa diminta oleh siapa pun. Banyak yang menyukai tulisanmu, tapi tak sedikit juga yang menganggap ‘kebahagiaan’ yang mereka dapatkan tak lebih dari sekedar surat teror yang iseng dan mengganggu.

Kau tidak pernah ambil pusing.

Karena mereka pun tidak pernah mengenalmu. Mengenal siapa sebenarnya pengirim surat-surat kecil itu ke loker mereka.

Jadi kau nyaman melanjutkan.

Memilih secarik yang berwarna merah muda, lalu mendorong surat kecil itu masuk ke dalam loker. Terakhir mendengarkan surat itu yang seakan berteriak padamu ‘aku sudah sampai di dalam!’ dan membiarkanmu tersenyum karenanya.

Lalu kau melanjutkan ke loker selanjutnya.

Kau tidak merasa sendirian melakukan hal ini, mengirim surat. Walau kau sedang ada di loker yang kosong di sore setiap harinya pun, kau tidak akan keberatan.

Bagimu kau bisa merasakan surat-surat dalam dekapanmu sedang berdesakan meminta dominasi, mengharapkan peluang agar kau mengambilnya dan segera mendorongnya ke lubang loker.

Dengan seperti itu, bagaimana bisa kau merasa sendiri?

Lagi pula kau masih sering mendengar suara anak-anak klub baseball bersahutan dari lapangan di bawah sana. Kau tidak tahu, mungkin mereka tengah mempersiapkan pertandingan untuk pertengan musim panas nanti. Terkadang pula, ada musik yang mengalun dari ruangan auditorium di sisi lain koridor. Mungkin klub jazz sedang berlatih juga.

Tapi, kau tidak pernah bertemu satu yang benar-benar di sampingmu, menangkap basah tindakanmu.

Sampai anak laki-laki itu menyembulkan kepalanya dua hari yang lalu.

Dan dia datang lagi hari ini.

“Hai, pengirim surat!”

Kau hampir melompat ke belakang karena terkejut saat mendengar suara pekikan anak laki-laki itu dari ujung koridor. Dia masih jauh tapi berseru antusias menyapamu. Kadang kau merasa malu karena anak itu menangkap basah pekerjaanmu mengirim surat kebahagiaan. Tapi kau juga tidak keberatan untuk akhirnya ditemani. Dan yang paling membuatmu merasa nyaman, anak laki-laki itu tidak pernah protes walau sudah jelas dia adalah satu-satunya orang yang memergokimu. Satu-satunya yang mengenali identitas asli pengirim ‘kebahagiaan’ yang misterius.

Dia hanya bertanya, “Apa kau membagi surat-surat itu? Setiap hari?”

Lalu ketika kau mengangguk pelan dengan malu-malu, dia hanya tersenyum dan tidak bertanya lagi. Yang membuatmu terkejut lagi adalah anak laki-laki menepuk bahumu sekali lalu segera pergi di pertemuan pertama kalian dua hari yang lalu. Dia tidak bertanya siapa namamu, kenapa kau mengirim surat pada anak-anak lain. Dia tidak berkata apa pun. Dengan mata sipitnya yang hilang saat tersenyum dan tulang pipinya yang tinggi dan wajahnya yang putih dan agak bulat, kau tidak bisa melepas bayangan anak laki-laki itu setelahnya.

“Mengirim surat-suratmu lagi? Mau kubantu?”

Mau kubantu? Apa dia baru saja menawarimu sebuah bantuan?

Tiba-tiba saja kau tidak bisa mendengar sahutan anak klub baseball atau suara saxophone dari anak klub jazz. Kau hanya mendengar suara anak laki-laki itu berbicara lagi padamu.

“Aku Seunghoon. Lee Seunghoon. Kau tahu kita tidak pernah berkenalan sejak pertemuan kita dua hari lalu.”

Lee Seunghoon, ulangmu dalam hari.

 

 

Lee Seunghoon.

Kau tidak pernah tahu sebuah nama bisa terdengar sangat indah di telingamu. Sesaat kau merasa mengkhianati jeritan meminta perhatian dari surat-surat di dekapanmu.

“Jadi, mau kubantu?”

“Oh. Tidak perlu,” ujarmu lugas. Mungkin saja kau memang terlalu tenggelam dalam kehadiran Lee Seunghoon, tapi kau masih punya sisa kewarasan dalam dirimu untuk segera cepat menjawab.

“Tidak perlu.” Kau mengulanginya. Lee Seunghoon mengangkat bahunya. Kau bisa melihat keningnya yang mengkilat karena keringat. Sekarang kau menebak-nebak apa yang membuatnya berkeringat seperti itu. Bahkan setiap kalian bertemu Lee Seunghoon selalu terlihat berkeringat. Atau paling tidak, kelelahan.

“Aku masih bisa menemanimu. Kau bisa melanjutkan, aku akan di sini.” Kau membelalakan matamu saat Lee Seunghoon melangkah mundur selangkah. Seakan memberimu ruang yang cukup untuk melanjutkan pengiriman suratmu.

Kau menatapnya masih dengan matamu yang kebingungan. Alih-alih menjawab, Lee Seunghoon justru memiringkan kepalanya ke samping. Sudah jelas anak laki-laki ini tengah memintamu melanjutkan aktivitasmu.

Dengan dirinya di sampingmu.

“Oke,” kau bergumam.

Lalu kau memilih surat berwarna hijau dan memasukannya ke dalam loker di depanmu, tak lupa mendengarkan seruan si surat kecil di dalam sana.

‘Aku sudah sampai!’

Kau bertanya-tanya apakah Lee Seunghoon juga mendengarnya.

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

.

“Jadi, siapa namamu?”

Sudah jelas kalau pertanyaan itu ditujukan padamu. Hanya ada kalian berdua disini. Di koridor.

Dalam hati kau menghitung jumlah surat yang tersisa. Tinggal 4. Lalu kau menatap pintu loker di hadapanmu.

Kau tidak pernah tahu sudah kali ke berapa hingga sore ini. Tapi, Lee Seunghoon selalu menemanimu setiap sorenya sekarang. Dia akan datang di tengah-tengah aktivitasmu mengirim surat. Lee Seunghoon akan datang dengan keringat di keningnya dan tampak sangat kelelahan. Tapi, dia selalu menemanimu. Terkadang dia hanya menyandar di dinding koridor di belakangmu. Terkadang bersenandung – walau kau tidak tahu lagu apa yang dia senandungkan – dan kadang dia mengajakmu bicara.

Soal cuaca hari ini. Atau soal sahut-sahutan klub baseball di bawah sana.

Tapi Lee Seunghoon tidak pernah bertanya siapa namamu.

“Yoon Hye Seol,” kau menjawab. Kau ingin memberitahunya sejak dulu, kalau namamu adalah Yoon Hye Seol. Tapi, karena Lee Seunghoon terlihat tidak pernah mengungkit apa pun tentang siapa dirimu, kau hanya berasumsi kalau dia memang tidak ingin tahu.

Sebenarnya ketika dia bertanya barusan, kau merasa sangat gembira.

“Yoon Hye Seol? Apa itu namamu?”

Kau melirik Lee Seunghoon yang berjalan ke sampingmu. Menatapmu penasaran. Kau mengangguk sekali, lalu memasukan suratmu.

“Kenapa aku tidak pernah melihatmu sebelumnya? Kau di kelas mana?”

Kau menatap Lee Seunghoon. Sejujurnya kau juga tidak pernah melihatnya di waktu sekolah. Kadang kau berharap bisa menemukannya di perpustakaan, berpapasan di kafeteria atau mungkin bahkan di kelas yang sama denganmu. Tapi sepertinya kalian tidak pernah memiliki jadwal kelas yang sama.

“Kelas 2-11 adalah homeroom-ku,” kau memberitahu.

Bagaimana denganmu, Lee Seunghoon?

Kau ingin bertanya, tapi kau hanya terlalu malu.

“Kita mungkin ditakdirkan untuk bertemu di sore hari seperti ini.”

Apa yang Lee Seunghoon lakukan di sore hari?

Apa yang membuatnya terlihat lelah dan berkeringat setiap harinya?

Apa yang membawanya kemari? ke koridor kosong di sore hari?

“Kenapa aku tidak pernah menemukan suratmu di lokerku?”

Kau benar-benar terkejut mendengarnya. Sedangkan Lee Seunghoon menatapmu dengan serius, kau hanya bisa membalas tatapannya dengan ekspresi kebingungan.

Kenapa? Kenapa kau tidak mengenal Lee Seunghoon sebelumnya dan mengirimkan surat yang tepat sesuai masalahnya ke loker anak laki-laki itu?

Kenapa?

“Aku hanya mengirim pada orang-orang yang kukenal. Aku tidak sembarang mengirimkan,” ujarmu memberitahu. Lee Seunghoon mengerutkan keningnya. Kecewa.

“Oh,” helanya.

Kau tidak yakin jawabanmu memuaskannya. Sebenarnya kau sudah mengenalnya bukan? Kau tahu dia adalah Lee Seunghoon sejak beberapa hari yang lalu. Kau kira Lee Seunghoon akan mengelak alasanmu.

Tetapi, dia sama sekali tidak.

“Lagipula,” kau berucap sembari memiringkan kepalamu. Berusaha mencari arah pandang Lee Seunghoon yang menekuri lantai koridor.

“Dimana letak lokermu?”

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

Semua orang di dunia ini memiliki masalah dalam hidup mereka. Terkadang terasa terlalu berat. Terkadang kau butuh pegangan untuk mempertahankan dirimu dari masalahmu sendiri.

Terkadang ada yang merasa tak mampu menggenggamnya lebih lama lagi.

Seperti dirimu.

Dengan secarik surat di tanganmu, kau bersiap memanjat balustrade. Dari jauh kau mendengar klub baseball bersahut. Samar kau juga mendengar musik yang mengalun.

Hanya saja sekarang kau tidak terlalu jelas mendengarnya. Semua orang ada di sisi lain gedung sekolah. Dan kau tidak lagi ada di koridor kosong menghabiskan sore mengirim kebahagiaanmu yang masih tersisa pada orang lain.

Tetapi kau disini. Di gedung teratas sekolah, di balik balustrade. Seakan kau siap menyerahkan semuanya.

Tidak ada yang mengenalmu di sekolah, tidak ada yang tahu motifmu mengirim surat ke loker-loker anak-anak lain.

Hanya satu anak yang tahu. Dan kau tidak yakin dia akan bersedih atas kematianmu nantinya.

Yah, dimana Lee Seunghoon?

Bukankah dia masih di sekolah di hari sore seperti ini?

Tidakkah dia penasaran karena tidak menemukan di koridor seperti biasanya?

Tidakkah dia sadar hari ini adalah waktunya?

Kau meremas satu-satunya surat yang kaubawa hari ini. Surat yang terakhir yang kautulis, kau bisa memastikan.

Kau berharap bisa mendnegar jeritan surat itu ketika dia tersampaikan pada pemiliknya.

Ketika dia telah tiba pada tempatnya yang sesuai.

Kau harap kau masih bisa mendengarnya saat itu terjadi.

Kau menghela nafasmu. Lalu dengan sekali desahan kau membuat langkah terakhirmu. Menuju tempat yang sesuai menurut anggapanmu.

Saat tubuhmu meluncur turun ke bawah. Kau tidak bisa mendengar apa pun lagi. Hanya dalam hati kau menjerit, setidaknya biarkan kau menyampaikan surat kebahagiaanmu yang terakhir.

Untuk Lee Seunghoon.

Tanpa sadar kau berkeringat. Kau tidak tahu, tapi tiba-tiba saja kau merasa sangat kelelahan.

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

“Siapa nama gadis itu?”

“Yoon Hye Seol. Dia satu homeroom denganku di 11-2. Aku tidak pernah bicara dengannya. Dia aneh.”

“Apa kau lihat surat yang dia bawa?”

“Apa menurutmu dia yang mengirim surat di loker-loker?”

“Itu pesan kematiannya ya, kan?”

“Gadis malang. Dia tidak perlu mengakhiri hidupnya seperti ini.”

Sore itu kau ditemukan oleh seorang anak dari klub fotografi. Dengan sangat menggemparkan.

Kau dibawa ke rumah sakit dan ayah ibumu diberitahu segera.

Hari itu seisi kelas mengenalimu. Kau adalah Yoon Hye Seol. Dan kau adalah pengirim surat penuh pesan kebahagian yang misterius itu.

Kau meninggal hari itu.

“Ini mengerikan. Ada apa dengan sekolah kita? Dua kasus bunuh diri dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun?”

“Apa dua anak ini saling mengenal atau memiliki hubungan?”

“Yoon Hye Seol tidak akrab dengan siapa pun di sekolah.”

“Yah, tapi semua orang tahu Lee Seunghoon yang meninggal dua tahun lalu sangat periang dan memiliki banyak teman. Siapa yang tahu kalau Yoon Hye Seol pernah mengenalnya?”

 

 

 

 

 

.

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

Kenapa?

Kenapa kau tidak mengenal Lee Seunghoon sebelumnya? Dan mengirimkan surat yang tepat sesuai masalahnya ke loker anak laki-laki itu?

Kenapa?

“Aku hanya mengirim pada orang-orang yang kukenal. Aku tidak sembarang mengirimkan,” ujarmu memberitahu. Lee Seunghoon mengerutkan keningnya. Kecewa.

“Oh,” helanya.

Kau tidak yakin jawabanmu memuaskannya. Sebenarnya kau sudah mengenalnya bukan? Kau tahu dia adalah Lee Seunghoon sejak beberapa hari yang lalu. Kau kira Lee Seunghoon akan mengelak alasanmu.

Tetapi, dia sama sekali tidak.

“Lagipula,” kau berucap sembari memiringkan kepalamu. Berusaha mencari arah pandang Lee Seunghoon yang menekuri lantai koridor.

Menatap matanya yang sipit dantulang pipinya yang tinggi.

Tiba-tiba rasa penasaranmu menjadi jauh lebih besar lagi.

“Dimana letak lokermu?”

“Dimana letak lokerku?”

Kau mengangguk dan kali ini Lee Seunghoon-lah yang terlihat kebingungan menanggapi pertanyaanmu.

“Apa kau akan mengirimkan surat untukku jika aku memberitahumu?”

“Tentu saja.”

Kau menjawabnya terlalu yakin. Kau melihat sebuah senyum lebar terbentuk di wajah Lee Seunghoon. Dengan sekali gerakan, tangan besarnya menepuk puncak kepalamu.

“Hei, Hye Seol-ah. Menurutmu apa yang akan kau lakukan besok sore?”

 

 

I found it for you.

The proper thing that you only have

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
mojomichi #1
Chapter 1: agak menebak2 sedari awal ...dan dugaan benar Seunghoon itu udah mati ... bagus kak ceritanya ^^
1004gif #2
[ Sunny Advertisement ]
Want posters for your stories? Or you're an talented artworkers who want to contribute with our shop called "Blank Space"
Now open & hiring for only two amazing artworkers. Please take a look first ( http://www.asianfanfics.com/story/view/972937 )