Chapter 1

Crazy Stupid Dream

Crazy Stupid Dream

Pagi yang cerah dengan semburat keemasan dari sang mentari pagi ternyata tak mengurangi rasa kantuk yang menyelimuti tubuhku. Beberapa kali kudapati diriku menguap dalam sepuluh menit terakhir. Pelajaran Fisika tak ubahnya sebuah lagu pengantar tidur. Tak hanya aku yang tersihir olehnya. Hampir seluruh penghuni kelas tertunduk lesu. Bahkan ada anak yang terang-terangan tertidur. Besar juga nyalinya. Pikirku.

Aku mengedarkan pandangan ke setiap penjuru kelas berniat mengusir rasa kantuk yang bergelayutan di atas kelopak mataku. Satu saja tiupan angin membelainnya, aku pasti sudah tersungkur kemeja dan tertidur. Merasakan indahnya alam mimpi. Berlarian di taman bunga di musim semi.  Terbang bersama kupu-kupu yang tak mau ketinggalan menikmati musim semi yang indah.

Seorang pemuda datang menghampiriku. Aku menyipitkan mata untuk melihat siapa pemuda itu. Dari kejauhan wajahnya tampak samar. Begitu dia mendekart, barulah aku tahu siapa dia. Itu Luhan. Dia masih satu kelas denganku.

Dia tersenyum diantara langkahnya. Manis sekali. Dengan wajahnya yang tampan tanpa sedikitpun batu kerikil. Sosoknya membuatku terpesona, sungguh sosok seorang pemuda idaman.

“Hai,” Begitu dia menyapa. Suara baritone nya membelai gendang telingaku. Membuatku bergidik.  Aku berdo’a agar Tuhan memberiku kekuatan extra. Tapi aku tetap  meleleh. Rasa-rasanya lututku melemas saat menatap dua manic coklat itu. Jantungku berdegup tak karuan. Seperti ditendang-tendang Troll yang berusaha melepaskan diri dari kurungan.

“Hei juga.” Balasku. Bodohnya, itu terdengar manja. Seperti menggoda.

Ia tertawa ringan. Mungkin karena kekonyolan yang aku timbulkan. Dan sepertinya ia memang tertawa untuk itu.  

“Apa yang sedang kau lakukan disini?” Tanyanya dengan santai. Demi Tuhan, dia keren sekali. Aku tidak perlu mendeskripsikan terlalu jauh. Karena dia benar-benar…  keren. Titik!

“Berdiri di antara bunga-bunga yang bermekaran di musim semi.” Jawabku. Lagi-lagi dia terkekeh. Andai saja aku bisa berkata : “Berhenti tertawa, bung. Kau membuatku menyukaimu.” Akan kukatakan. Sayangnya aku tak punya nyali untuk itu.

“Kenapa kau tertawa?” Kali ini aku yang bertanya. Dia memberikan jeda yang panjang. Membuatku bingung, apakah dia sedang berpikir untuk menjawabnya atau tidak. Pada akhirnya yang Ia lakukan hanya menatapku. Matanya memaksa agar aku juga balas menatapnya. Tapi itu tak berlanjut lama, aku terlalu lemah jika harus menatap ke dalam matanya. Sorot matanya terlalu menusuk.

“Aku tidak menyuruhmu menatapku. Aku hanya bertanya, ‘kenapa kau tertawa?’” Aku mengulangi pertanyaanku dengan suara bergetar. Berdoalah semoga ia tidak mengetahui rahasia kecil itu.

“Kau gugup.”

“Tidak!” Pekikku cepat. ‘Iya, aku gugup, bung. Berhentilah menatapku seperti itu.’

“Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Tidak usah kau jawab.”

“Hei, kenapa kau menyebalkan sekali?”

“Aku menyukaimu.” Ujarnya santai, tapi tersirat keseriusan dari caranya bicara.

“…”

“Aku ingin kau menjadi kekasihku.”

Apa?

Apa yang dia katakan?

Oh tidak!

Seseorang, tolong aku. Aku kehilangan keseimbangan. Aku kehilangan gravitasi. Aku terbang seperti burung tapi tetap menyentuh tanah.

“Jawabannya ada padamu. Hanya ada ‘Ya’ dan ‘tidak’”

“Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Kau tidak memerlukan jawaban apapun dariku.” Aku tersenyum puas. Sangat puas. Rasakan itu bung, kedudukannya seri.

“Kau meng-copy kalimatku. Dan itu sebuah pelanggaran.” Ujarnya dengan suara yang—entah mengapa membuatku sesak. “Jangan membuatku menunggu lama.” Tambahnya. Ibu jarinya yang dingin mengusap lembut pipiku. Membuat bulu kudukku meremang. Aku tak bisa berkata-kata. Lidahku kelu. Jantungku berdegup semakin cepat membuat perutku mulas. Dan tanpa aku sadari—oh Tuhan—aku menganggukkan kepalaku.

Dia tersenyum. Lalu mendaratkan sebuah kecupan di keningku. Kemudian ia membawa tubuhku ke dalam dekapannya. Aku tidak pernah merasa tubuhku kecil. Tapi dalam pelukannya, membuatku aman. Aku merasakan ketenangan saat menghirup aroma tubuhnya. Sesaat, aku berharap waktu berhenti. Aku ingin tetap seperti ini. Di dalam pelukannya. Selamanya.

“Nanti malam jam tujuh, aku akan menjemputmu. Ini kencan pertama kita, jangan sampai lupa.” Luhan berkata tanpa melepaskan pelukannya.

“Terserah, asal kau tidak menyuruhku menggunakan high heels.”

Dia terkekeh, “Baiklah kita sepakat.” Kemudian aku merasakan puncak kepalaku dikecup olehnya.

Segalanya menjadi buyar saat sebuah suara memanggil namaku. Semuanya bergerak dengan cepat sampai aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Sekarang aku berada di tengah-tengah orang dengan balutan seragam sekolah. Duduk di belakang meja dengan buku Fisika yang terbuka. Beberapa kali aku mengerjapkan mataku dan melihat papan tulis yang sekarang penuh dengan rumus.

Kusisir seluruh ruangan dengan mata sayu. Saat aku mendapati sosok tampan yang duduk di barisan depan, barulah aku sadar…

Aku sudah kembali ke dunia nyata.

“Kenapa kau membangunkanku sekarang? Bahkan aku belum sempat bersiap untuk kencan pertamaku.” Bisikku kesal kepada Maria. Bukannya mendapat jawaban, dia malah memberiku sebuah isyarat yang aku sendiri tidak tahu apa maksudnya.

“Nah, nona yang duduk di pojok sana!” Aku terkesiap. Sekarang aku tahu alasannya.  “Tolong jawab pertanyaan di papan tulis.”

Aku menelan ludah. Demi Tuhan, aku sama sekali tidak memperhatikan. Dan, apa itu di sana? Ingin sekali aku menjawab ‘Maaf, Pak,  itu pernyataan, bukan pertanyaan. Jadi aku tidak harus memberikan jawaban untuk anda.’ Tidak, itu kalimat dalam mimpiku. Dan ini bukan dalam dunia mimpi. Pria tua itu menginginkan jawabannya. Dan dia menunggu.

“Ayolah, aku tahu kau pasti bisa. Tak perlu sungkan di kelasku.”

“Tentu saja aku tidak akan sungkan.” Aku berusaha tersenyum. “Aku hanya sedikit… gugup.” Tambahku. Kembali aku mengedarkan pandangan. Berharap seseorang berbaik hati mengacungkan tangannya dan menawarkan diri untuk menjawab pertanyaannya untukku. Tapi tak seorangpun melakukannya. Bahkan Maria pun tidak melakukannya sebagaimana seorang teman yang baik.

Mataku berhenti pada sosok tampan Luhan—kekasihku, di dalam  mimpi—duduk. Dia mengangkat kertas bertuliskan jawaban di bawah dagunya. Dia menatapku seolah berkata, ‘percayalah padaku. Ini jawaban yang benar.’  Kemudian ia mengangguk. Karena desakan sang guru, aku pun membacakan jawaban di kertas.  Pria tua itu bertepuk tangan untukku dan mengucapkan selamat karena aku berhasil menjawab pertanyaannya degan benar.

Bibirku bergerak mengucapkan kalimat ‘terima kasih’ secara verbal namun tak bersuara. Aku mengulum senyum saat mengingat kembali mimpiku bersamanya. Benar-benar  mimpi yang aneh dan gila.

Tapi sayang, aku belum sempat berkencan dengannya.

Hei, pikiran macam apa itu!?

Sudahlah, lupakan!

****

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet