Mungkin Penantian

Mungkin Penantian | ONESHOOT

Aku mulai tersadar, dan telah terbangun dari perjalanan indah mimpi semuku bersama gadis pujaanku. Aku telah membuka mata setelah sekian lama terpejam menikmati malam indahku, berkelana menanti senja kala siang bangunkanku. Gadis tempat kumenggantung asa telah lama pergi. Ia tak pernah terlihat lagi sejak ada kabar yang aku terima sepuluh tahun lalu.

Aku beranjak dari tempat tidurku dan sedikit melakukan peregangan badan.Lalu berjalan pelan untuk melakukan ritual pagi di kamar mandi.Setelah selesai aku berjalan ke ruang makan untuk sarapan.Ku ambil dua lembar roti gandum dan mengolesinya dengan selai stroberi.Rasa asam langsung menghampiri lidahku ketika aku menggigit ujung roti ini.Sambil tetap memakan roti, aku menuangkan air putih ke dalam gelas.Mungkin sedikit aneh karena pada zaman modern ini seorang pegawai seusiaku selalu memulai hari dengan kopi.Tapi aku tidak.Aku pikir kopi lebih nikmat diminum saat cuaca sedang dingin atau mungkin disaat aku harus mengerjakan tugas tambahan alias lembur.

Aku laki-laki berusia dua puluh delapan tahun.Mempunyai pekerjaan tetap di sebuah perusahaan swasta besar di kota ini.Bukan seorang CEO seperti di cerita-cerita di internet.Pegawai biasa.Atau mungkin aku sedikit beruntung karena bisa mendapat jabatan agak tinggi sebagai kepala bagian.Yah...sebagian hasil kerja kerasku setelah berhasil lulus dari salah satu universitas terbaik di negara ini.

Setelah menghabiskan sarapanku, kubuka tirai jendela yang selalu tertutup.Bukan tanpa alasan aku tidak pernah membukanya.Aku tinggal sendiri sejak masuk perguruan tinggi.Setelah mendapat pekerjaan, aku membeli sebuah apartemen ukuran standar untuk kutinggali.Pekerjaan menyita waktu pagi hingga malamku.Berangkat di pagi hari dan baru pulang disaat  matahari sudah habis waktu untuk menyinari hari.Sebelumnya hanya mama yang akan membuka tirai jendela apartemenku.Atau dilepas karena mama membawa tirai jendelanya ke tempat penyucian di lantai dasar apartemen.

Aku mengamati keadaan jalan diluar dari lantai empat apartemenku.Jalanan belum terlalu padat karena masih terlalu pagi untuk memulai kegiatan.Pikiranku kembali melayang pada saat pertama kali aku bertemu dengannya.Tanpa sadar bibirku mengembangkan senyum.

 

13 tahun lalu

-Tahun ajaran baru SMA-

 

          Kringgggg Kringgggg

         

          Hari pertama di jenjang sekolah yang baru.Aku duduk di antara murid-murid baru lainnya.Mendengarkan sambutan dari kepala sekolah serta perwakilan guru.Ada juga sambutan dari murid senior dan perwakilan dari murid baru.

          Untuk yang satu ini aku menegenalnya dengan baik.Sahabatku di sekolah sebelumnya.Kami satu sekolah lagi.Atau mungkin dia yang mengikutiku.Kami memang tidak pernah terpisahkan.Efek karena kami bertetangga.Sehingga aku sering kabur ke kamarnya dengan melompati pagar jika sedang merajuk dengan mama dan sebaliknya.

          Pemuda yang memberi sambutan di depan kembali duduk di tempatnya.Disebelahku.Senyum lebarnya yang tidak pernah luntur selama ini langsung menyapaku.

“Sambutan yang membosankan.” Ucapku datar.Laki-laki disebelahku ini langsung mendorong bagian belakang leherku sehingga mau tidak mau aku harus berbenturan dengan kepala seorang gdis di depanku.

          Gadis yang terbentur kepalaku reflek menoleh kebelakang sambil mengusap kepalanya.Seketika aku terdiam ketika berhadapan dengannya.Waktu terasa dihentikan.Aku rasa aku kehilangan kendali pikiranku.

“Sehun” seseorang memanggil namaku.Aku langsung tersadar dan melihat sahabatku menatapku aneh.

“Maaf.” Ucapku kepada gadis didepanku ini.Ia langsung tersenyum.Oh Tuhan, semoga aku masih menapak di bumi.

“Tidak masalah.Aku hanya sedikit terkejut.” Balas gadis tersebut lalu kembali menempatkan badannya seperti semula.Menghadap kedepan.

“Hun, kau kenapa?” tanya Chanyeol-nama sahabatku ini.

“Aku tak apa.” Jawabku pendek.Lalu kembali menghadap ke panggung melihat giliran siapa yang berbicara di depan sana.Chanyeol hanya diam tidak berminat untuk bertanya lebih lanjut.Padahal biasanya sedikit-sedikit bertanya.Atau mungkin karena sekarang kita lebih besar.Sudah saatnya berpikir dewasa.Ah, apa yang kupikirkan saat ini.

          Aku mencoba untuk fokus melihat ke panggung tanpa terganggu oleh gadis didepanku ini.Tapi sepertinya otakku lebih memilih untuk penasaran dengan gadis ini.Aku memperhatikan dari belakangnya.Rambutnya ikal berwarna pirang keemasan.Untung saja sekolah ini tidak melarang muridmya mewarnai rambut.Tapi kita kan masih junior dan baru lulus sekolah menengah pertama dimana dilarang mewarnai rambut.Kenapa rambutnya sudah berwarna pirang? Apa mungkin dia seorang penyanyi yang akan debut? Itu mungkin terjadi di zaman ini.Tapi kan penyanyi yang akan debut biasanya bersekolah di Hanlim atau SOPA.Itu sekolah seni jadi wajar.Sekolah ini hanya sekolah negeri biasa.

          Aku mengusap wajahku pelan.Mencoba untuk berhenti memikirkan gadis didepanku.

“Hun.Ayo kembali kekelas.” Aku merasakan tangan Chanyeol dipundakku.Aku menoleh kearahnya.Lalu menoleh ke gadis tadi.Dia sudah pergi.Aku menolehkan kepalaku kesegala arah.

“Mencari si pirang? Itu disana.” Chanyeol menunjuk seorang gadis yang– satu-satunya –berambut pirang didalam aula sekolah ini.Oh aku benar-benar penasaran dengannya.

 

13 tahun lalu

-Pertemuan kedua seminggu setelah acara sambutan-

 

          Aku baru menyelesaikan tugasku di perpustakaan sekolah.Chanyeol dengan kejamnya sudah meninggalkanku di antara buku-buku itu seharian dengan alasan membantu Bibi Park-ibunya Chanyeol- menyiram tanaman hias dirumahnya.Bahkan aku yakin sekali Bibi Park tidak pernah menanam tanaman hias di rumahya.Hanya ada sayur di sekeliling rumah Chanyeol.

          Sambil keluar perpustakaan aku bersenandung kecil dan menggerakkan pundakku yang sangat pegal.langit sudah berubah warna menjadi oranye.Aku yakin sekali kalau sebentar lagi suhu akan semakin turun mengingat ini masih musim dingin.Aku merapatkan mantelku untuk menambah kehangatan.

          Kusempatkan untuk membeli satu cup kopi hangat di kafe seberang sekolah.Yah...untuk menghangatkan diri sambil menunggu bus berikutnya datang.Saat akan meninggalkan kafe, aku melihat seorang yang sudah sangat familiar denganku.Gadis rambut pirang.Ia sedang duduk di kursi luar kafe.Bisa dibilang seminggu ini aku hanya memperhatikannya dari jauh.Tidak berani mendekat.Mungkin sekarang saatnya.

“Hai” sapaku.Gadis itu mengangkat kepalanya.

“Hai juga”

“Belum pulang?” sekadar basa-basi mungkin tidak masalah.

“Aku baru saja mengerjakan tugas dari guru dan mendapatkan yang baru.” Ia melengkungkan bibirnya ke atas.

“Kenapa?”

“Aku hanya diberi selembar kertas oleh guru dan...dan ini menggunakan hangul-aksara korea.” Gadis ini menunduk.

“Lalu?” tanyaku penasaran.

“Aku tidak dapat membacanya.” Ia mendongakan kepalanya kembali menatapku.Hampir saja aku menyemburkan kopi yang baru saja masuk ke mulutku.Aku menatapnya tidak percaya.

“Aku mengikuti kelas internasional saat ini karena aku baru saja pindah ke Korea Selatan bulan lalu.” Aku mengangguk paham lalu duduk disebelahnya.

“Tapi kau bisa bahasa kita.”

“Yah, lumayan.”

“Lalu kau tinggal dimana sebelum ini? Ngomong-ngomong aku Sehun.Oh Sehun.” Aku mengulurkan tangan kananku.

“Leanne Wu.” Ia membalas uluran tanganku.”Panggil saja Lean.Aku baru saja pindah dari Kanada.”

“Itukah alasan dari warna rambutmu?”

“Mungkin.” Aku hanya memandangnya geli.Segera ku ambil kertas yang ia pegang dari tadi dan membacanya.

“Margamu seperti bukan marga disini.Kau orang China?” tanyaku lagi.

Daddy orang China.”

“Oh.” Aku menyerahkan kertasnya.”Disitu tertulis kau harus membuat essay sebanyak dua lembar kertas A4.”

“Kau tidak menipuku kan?” ia menatapku curiga.

“Apa aku terlihat seperti seorang penipu?”

“Bahkan teman-temanku yang berwajah ramah sering menipuku karena tidak dapat membaca hangul.” Aku tertawa kecil dan berdiri.”Kau mau kemana?”

“Pulang.Itu bis nya.Kau pulang kemana?”

Daddy akan menjemputku.Kalau begitu hati-hati” aku mengangguk dan berlari kecil menuju bis yang membawaku pulang.Hatiku bersorak karena dapat berkenalan dengan gadis pirang itu- atau sekarang aku tahu namanya.Leanne.Kalau tidak salah artinya tempat yang teduh.Aku pernah membacanya di internet.Seperti wajahnya yang selalu terlihat teduh.Tidak salah Tuan Wu memberi nama anaknya itu.

 

 

          Aku memarkirkan mobilku di basement kantor tempatku bekerja.Setelah itu segera naik ke lantai 5.Tempat kantorku berada.Di dalam ruanganku aku masih sibuk mengenang masa lalu.Sudah lama sekali semenjak pertemuan pertama mereka.Sepuluh tahun lalu saat seperti biasa aku pergi ke rumah Lean untuk mengajaknya pergi.Sekalian merayakan kelulusan kami.

          Tapi yang aku lihat bukan sambutan hangat seperti biasanya.Rumahnya tertutup rapat.Pintu, jendela, dan apapun lainnya yang dapat dibuka.Aku terkejut sampai ada seorang nenek memberitahuku bahwa kepala keluarga rumah ini memboyong anak dan istrinya ke China.Kenapa Lean tidak memberitahuku? Bahkan kemarin kami masih menghabiskan waktu bersama di upacara kelulusan.Hatiku langsung terasa hampa mendengar nenek itu memberitahuku.

          Mungkin sekarang aku bisa saja mencarinya di China.Bisa dibilang uang tak masalah bagiku untuk mencarinya.Akan tetapi- ayolah...kalian pikir China itu sebesar apa? Aku juga tidak boleh terlalu jauh dengan papa dan mama.Walaupun aku sudah tidak tinggal dengan mereka aku tetap harus menjaga orang tuaku yang sudah berusia lanjut.

          Aku mengeluarkan smarphone ku dari dalam kantong jas.Membuka-buka galeri dimana ada banyak fotoku dan gadis impianku.Bibirku mneyunggingkan senyum tipis.Aku benar-benar merindukannya.

 

12 tahun lalu

-Kerja Kelompok-

 

          Di tahun kedua, Lean memutuskan untuk masuk ke kelas reguler.Aku benar-benar sangat senang pada saat itu.Meski Lean masih terlihat agak kesulitan dengan bahasa dan aksara Korea ia tetap menikmatinya.Jangan lupa keberuntunganku lagi yang dapat sekelas dengannya.

          Suatu ketika kami mendapat tugas berkelompok bersama.Ditambah Chanyeol- sahabatku –dan Baekhee- teman sebangku Lean.Kami berempat memutuskan untuk mengerjakan tugas di rumah Lean.Aku tentu saja sangat senang dapat pergi kerumahnya.

          Lean mengajak kami semua duduk di ruang tengah.Di salah satu sisi ada televisi besar dan di sisi lainnya ada sofa.Di tengah ruangan di letakkan sebuah meja buntar.Tempat belajar kelompok mereka.Rumah Lean cukup besar.Bukanlah gosip jika Lean memang berasal dari keluarga yang cukup kaya.

          Di rumah itulah – tentu saja – aku bertemu dengan Tuan Wu.Sejak saat itu aku tahu dari mana Lean mendapat wajah bak putri kerajaan itu.Wajahnya pasti di wariskan dari sang ayah yang benar-benar seperti pangeran.Aku mendengar Baekhee sempat memekik kecil karena melihat Tuan Wu.Beliau cukup terlihat muda dengan umurnya saat itu.Tuan Wu juga sangat ramah pada kami- teman-teman Lean.

 

12 tahun lalu

-Es Krim-

 

          Aku terus berlari mengelilingi taman kota.Kegiatanku setiap hari libur.Lari pagi agar tetap sehat setelah seminggu berkutat dengan sekolah.Setelah merasa cukup lelah, aku berjalan ke salah satu kedai di taman tersebut dan membeli sebotol air.

          Sambil bersenandung kecil aku memerhatikan suasana taman.Banyak anak-anak yang bermain sepeda.Aku hampir tertabrak oleh salah-satu dari mereka.Beruntunglah aku selamat.Kalau tidak papa harus menjemputku kesini agar aku bisa pulang.

“Hunna.” Suara yang sangat familiar mengalun di telingaku.

“Kau?”

“Aku mencoba untuk tidak diam dirumah setiap akhir pekan.Daddy selalu marah karena aku tidak punya kerjaan dirumah.” Gadis ini mengerucutkan bibirnya sebal.

Ice cream ?”

“Kau yang bayar?”

“Tentu.Ayo!” aku membelikannya semangkuk kecil es krim coklat.Terlihat tatapan protes dari matanya.”Ini masih terlalu pagi untuk makan banyak es krim.” Nasehatku.

“Okay.” Senyumnya terpatri sempurna di wajahnya.

 

 

          “Sehun.”

“Iya.Ada apa pagi-pagi sudah berkunjung kemari Park?” tanyaku sambil menatap seorang berjas hitam dengan kancing terbuka yang seenaknya masuk dan duduk diruangannya.

“Kau berani dengan bos mu?”

“Maafkan saya Tuan Park,” aku berdiri dan menundukkan kepalaku memberikan hormat.Lalu berjalan dan duduk di depannya.Inilah Tuan Park yang adalah CEO perusahaan ini dan sahabat ku yang paling menempel denganku.Park Chanyeol.

“Aku masih heran mengapa kau tidak mau menerima jabatan sebagai wakil direktur.Aku masih mengosongkan satu untukmu.” Senyumannya masih selebar telinganya walaupun ia memikul tanggung jawab berat sebagai CEO.

“Aku akan berusaha sendiri untuk mendapatkannya tuan Park,” jawabku.

“Ngomong-ngomong aku ingin memberimu sesuatu.” Chanyeol merogoh saku dalam jasnya.Ia mengeluarkan sebuah bungkusan tipis berwarna cerah.Aku menaikkan sebelah alisku.Menatapnya tidak percaya.Tanpa perlu dilihat lebih dekat aku sudah melihatnya dengan jelas bahwa itu undangan pernikahan.”Aku memberimu undangan secara langsung karena kau sahabatku.”

“Aku tidak percaya kau benar-benar akan menikah dengan Baekhee.” Aku mengambil cemilan di atas meja lalu memakannya.”Aku pikir kau membencinya.” Aku merasakan lumeran coklat di mulutku.

“Tentu saja aku sangat mencintainya.” Ia tersenyum lebih lebar lagi.Aku berpikir seberapa lebar senyum Chanyeol saat pesta pernikahannya nanti.”Lalu kau?”

“Aku?” aku menatapnya dengan tatapan bingung.

“Kau masih akan tetap menantikan Lean?” aku memakan cemilan itu lagi.

“Aku tidak tahu.”

“Kau tidak berpikir mungkin saja Lean sudah menikah?” dan pertanyaan Chanyeol sukses membuatku menjadi pendiam hari ini.

 

10 tahun lalu

-Hari kelulusan-

 

          “Sehun.”

“Iya?” aku langsung menoleh ketika suara halus yang sangat kukenal memanggil namaku.

“Selamat atas kelulusanmu,” ia mengatankannya sambil tersenyum lebar.Aku mencabut setangkai bunga dari karangan bunga yang kudapat lalu menyematkan bunga itu ke telinga gadis di depanku.

“Kelulusan ‘kita’ maksudmu?” aku menekankan kata ‘kita’ pada kalimatku.

“Itu maksudku.” Dapat kulihat pipinya sedikit merona.

“Kau akan kemana setelah ini?”

“Aku? Aku akan mengikuti Daddy.”

 

         

          Aku rasa aku tidak memahami kata-katanya dengan benar.Aku kira gadis ini ingin menjadi seperti ayahnya.Pengusaha.Ternyata ia benar-benar pergi mengikuti Daddy-nya dan berakhir dengan aku yang kebingungan di depan rumahnya pagi-pagi setelah hari kelulusan.Aku measa menyesal karena kurang peka.

          Kata-kata Chanyeol tadi benar-benar menyita otakku.Perkataan Chanyeol bisa jadi benar.Aku sungguh lelah tiba-tiba memikirkan ini.Akhirnya aku memutuskan untuk pulang lebih awal.Namun aku tidak langsung pulang ke rumah.Aku mendudukkan diriku di atas sebuah bangku taman sambil menyesap Americano-ku.

“Aduh,” seorang anak kecil berumur sekitar tiga tahunan jatuh tepat di depanku.Aku reflek menolongnya.Lalu menepuk-nepuk pelan bajunya untuk menghilangkan debu.Untung saja anak ini tidak menangis.

“Hun.” Aku menolehkan kepalaku dan langsung melebarkan mataku.Berharap penglihatanku nyata.Tapi rasa bahagiaku langsung pudar melihat anak yang tadi aku tolong berlari menuju gadis yang mengisi pikiran dan hatiku sejak SMA.Mungkin perkataan Chanyeol benar.

“Lean.Kau sudah menikah?” tanyaku langsung.Gadis itu terdiam sambil mengusap kepala anak kecil dalam gendongannya,

“Kau pikir begitu?”

“Tentu dengan anak itu.” Aku menunjuk anak kecil dalam gendongannya.

“Dia anak kakak ku.” Ujarnya datar.

“Apa?” aku berjalan mendekati gadis pujaan hatiku ini.”Benarkah?”

“Tentu.” Gadis ini tersenyum dengan pipi merona.

“Jadi aku masih memiliki kesempatan?”

“Sebesar apapun kesempatannya.Semua milikmu.” Aku tersenyum lebar disambut tawa kecil gadis yang aku pikir dia adalah gadis paling cantik di dunia ini.

 

 

 

-The End-

 

 

 
 
 
 
 
 
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet