o n e

Miracle Exist to be Believed [Indonesian]

Park Jiyeon’s POV

            Pria paruh baya berjas putih itu melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ruangan dimana aku berbaring ini. Semuanya terasa lenyap, jiwaku, semangatku, semuanya terasa tersedot habis seketika saat aku mendengarkan penjelasan dari dr. Lee. Semua kalimat yang dia katakan bahkan hingga ke jeda-jedanya masih melekat di ingatanku.

            “Terlalu berat bagi saya untuk mengatakannya akan tetapi hidup Anda tidak akan lama lagi. Sekitar satu bulan. Untuk itu, bulan depan akan diadakan operasi akan tetapi persentase keberhasilannya hanya sekitar 20%.”

            Begitulah seorang dokter. Mereka selalu menyatakan kebenaran kepada pasiennya dan membuat sang pasien memilih sebuah pilihan dan memutuskan. Akan tetapi, apakah aku mempunyai pilihan? Tentu saja aku belum ingin mati sehingga aku memilih untuk menjalani operasi. Walaupun keberhasilannya hanya 20%, setidaknya aku sudah berusaha,bukan?

            Penyakit ganas ini telah mendiami tubuhku selama bertahun-tahun. Berbagai macam terapi dan pengobatan telah dilaksanakan, terlalu banyak uang telah kuhabiskan untuk ini.Akan tetapi, nihil. Semua itu hanya menambah umurku sepersekian detik saja. Dan ada saat dimana dokter yang ahli di bidangnya memperingatiku mengenai batas waktu kehidupanku. Aku belum siap tentu saja. siapa yang tidak takut kematian. Umurku baru 19 tahun saat itu. Saat mengingat itulah mataku yang sudah sejak tadi hangat, mengeluarkan cairan bening itu. Berliter-liter. Dan aku tidak tahu pasti kapan berhentinya tangisku yang sudah terlanjur pecah ini.Aku hanya ingin menangis dan terus menangis.

_______

            Mataku berkedip-kedip saat semburat cahaya pagi mengenai wajahku. Sudah pagi? Seingatku saat itu baru malam ternyata waktu berlalu begitu cepat. Kubuka jendela Rumah Sakit yang berada di dekat tempat tidurku saat itu. Pemandangan Rumah Sakit begitu membosankan.Dan dua hari sudah kuhabiskan untuk menangis di kamar dan meratapi nasibku. Yang membuatku terhibur dari sebuah Rumah Sakit hanyalah taman penuh bunga-bunga yang berada di sekitarnya, selain itu sungguh sangat membosankan. Raut wajah putus asa karena sakit yang mereka derita, raut wajah perih karena sakit yang diderita dan juga raut wajah sedih ketika mereka kehilangan seseorang. Bagian terakhir yang paling tidak aku suka.

            Menjauh dari jendela, aku mengambil kuas dan kanvasku yang berada di samping tempat tidur. Melukis. Itulah hobiku. Hobi yang bahkan cukup menghasilkan uang. Studiku seperti yang sudah dapat kalian tebak adalah Seni Kriya Seoul University, jurusan yang cukup bergengsi karena memasukinya saja harus jungkir balik mati-matian dengan berbagai seleksinya yang percayalah, sangat rumit. Jika bukan karena minatku di bidang seni, aku sudah menyerah sedari dulu.

            Mulai kugesekkan kuas yang sudah kububuhi cat warna ke kanvas, akan tetapi tak lama kemudian gerak tanganku terhenti. Hasil karya seseorang mewakili keadaan hatinya. Hasil lukisanku tak beda dengan hasil hasil lukisan anak tk bahkan hasil lukisan anak tk lebih bagus. Lukisanku yang saat ini tidak bernyawa. Hampa. Kosong. Kuhempaskan kuasku kembali ke tempatnya. Keputus asaan mulai menjalari jiwaku mengingat satu bulan lagi aku tidak lagi bisa melakukan ini.

            Cklek. Di saat pintu terbuka, eomma datang membawaku bubur beras merah kesayanganku. Dia selalu tahu apa yang kumau.

            “Eomma..” panggilku pelan. Sudah dapat kulihat eomma menahan tangisnya untuk tidak keluar. Lingkar hitam di matanya tampak jelas tergaris. Wajahnya tampak lelah. Bibirnya tampak kering.

            “Sayangku..Sarapanlah.” ujar beliau, menyendok bubur beras merah lalu menyuapkannya kepadaku.

            “Letakkan saja eomma, aku belum lapar.” Jawabku lirih sambil memandang pemandangan di balik jendela ruang rawat inapku setelah menyerah dengan kegiatan melukisku. Eomma menurut.

            Eomma kemudian duduk di sampingku, membelai rambutku dengan hangat.

            “Segeralah makan. Kamu harus tetap makan untuk bertahan hidup.” ujarnya pelan. Kentara sekali eomma menahan suaranya agar tidak terdengar parau dikarenakan menahan tangis yang siap meledak kapan saja.

            Harus tetap makan untuk bertahan hidup? Hidup? Aku agak sensitif dengan kata hidup saat ini. mendengarnya saja membuat perutku mual dan rasanya darahku mengalir ke kepala semua. Ya, tentu saja karena hidupku tinggal 1 bulan lagi.

            “Apalah artinya eomma, mati sekarang atau besok. Takdirku adalah mati. Satu bulan bukanlah waktu yang lama.” Ujarku sambil menangis tanpa suara. Iya, mati sekarang atau satu bulan ke depan akan sama saja. Aku akan mati dengan tanpa seorang pun mengenangku. Yah mungkin hanya keluargaku. Selebihnya, hanya akan berduka dan mengingat sosokku selama satu minggu lalu lupa.

            Setelah beberapa detik aku mengucapkannya, kudengar isakan tangis wanita paruh baya yang sedang berada di belakangku. Kemudian,tangan hangatnya memelukku dari belakang.

            “Keajaiban pasti ada, anakku. Bagi mereka yang mempercayainya. Kamu harus tetap hidup untuk orang di sekitarmu yang menyayangimu.” Eomma mengeratkan pelukannya, masih terisak. Tak lama, ia kembali menyendokkan bubur beras merahnya ke mulutku yang siap untuk menerimanya. Cairan bening yang keluar dan membentuk sungai di pipiku lantas membuat bubur terasa lebih asin.

            Kemudian kurengkuh dan kupeluk tubuh wanita paruh baya di hadapanku erat sebelum aku tidak bisa melakukannya lagi.

_______

            Setelah check-up dan beberapa proses pengambilan darah untuk sampel, aku memutuskan untuk mengambil beberapa udara segar di sekitar rumah sakit ini. Mendiam terlalu lama di ruangan itu terlalu membosankan. Di saat aku hendak membuka pintu, ada orang yang membukakannya terlebih dahulu daripada aku. Saat pintunya terbuka, terekspos lah seorang perawat sedang menarik kasur ke arah dalam ruangan inapku dan di belakang kasur tampak seorang perawat mendorong kasurnya. Setelah itu tampak juga keluarga yang mengantarnya.

            Oh iya, Aku hampir saja lupa mengatakan bahwa sesungguhnya ruangan ini memiliki 2 bilik pasien. Satu yang kutempati sekarang dan satu yang tadi kosong dan sekarang ditempati oleh pasien baru tersebut. Aku tak ingin memberatkan beban kedua orang tuaku dengan menginap di paviliun atau di VIP Class karena sudah cukup lama aku menginap di sini dan keluargaku bukanlah golongan yang begitu mampu. Aku bahkan harus menjual beberapa lukisanku untuk menambah penghasilan.

            Kuintip dari balik sekat dan tampak lah sosok namja berbaring di atas kasurnya dengan tangan kanan diikat dan diperban serta lehernya disangga. Kepalanya juga diperban. Kuamati wajahnya yang begitu tenang. Dan ketenangan yang ia pasang di wajahnya entah mengapa mengalir mempengaruhiku yang sedang memandangnya, membuatku merasakan ketenangan saat memandangnya.

            Keadaan pun menjadi canggung ketika akhirnya kedua orang tua sang pasien memergokiku mengamati sosok namja tersebut yang sontak membuatku membungkukkan badanku dan memperkenalkan diri.

            “Annyeonghaseyo, Park Jiyeon imnida.”

            “Oh kamu juga penghuni bangsal ini? Ya Sehun-ah, kamu tidak sendiri. Kamu memiliki teman.”  wanita paruh baya yang kuyakin adalah eomma dari pemuda bernama Sehun itu kemudian membungkuk balik dan tersenyum.Tapi jelas sudah dari matanya wanita tersebut telah menghabiskan berliter-liter air mata. Namja yang dia ajak bicara pun menyunggingkan seutas senyum tipisnya.    

            “Oh Sehun imnida.” ucapnya, yang aku segera tau itu adalah balasan dari perkenalanku tadi. Kulihat wajahnya yang tenang dan segera kusadari bahwa namja bermarga Oh tersebut tidak bisa melihat atau buta. Sayang sekali padahal dia cukup tampan dan prediksiku ia masih menginjak di usia yang tergolong cukup muda.

            Eomma Sehun kemudian menanyaiku akan berbagai hal; mengenai sekolahku, tempat tinggal dan riwayat kesehatanku serta alasan mengapa aku berada di rumah sakit ini. beliau orang yang cukup asyik, walaupun kulihat emosinya masih belum cukup stabil karena beberapa kali saat menceritakan anaknya, tampak sekali ia menahan air matanya. Sampai pada akhirnya wanita paruh baya itu bercerita akan mengapa Sehun dirawat inap di rumah sakit tersebut,wanita tersebut menangis, meluncurkan sisa-sisa cairan bening dari sepasang kelopak matanya.Namun begitu, mulutnya yang bergetar tetap bercerita tentang kecelakaan Sehun, tentang kecelakaan yang merenggut penglihatannya karena saraf penglihatannya yang mati akibat dari kecelakaan tersebut. Sedangkan pemuda bernama Sehun itu sendiri beberapa kali berusaha menenangkan eommanya, begitu juga denganku. Pemuda yang baik.batinku. Di jaman seperti ini, jarang sekali menemukan pemuda sepertinya. yang seharusnya ikut menangis karena takdir yang terlalu buruk melandanya. Yang seharusnya ngambek, merengek ingin kembali diberikan penglihatan seperti semula. Ia berbeda. Dengan penuh kasih sayang, ia menenangkan ibunya yang terisak.

            “Sudahlah, eomma. Semuanya telah terjadi. Akulah yang terlalu ceroboh mengendarai mobil,eomma.” Ucapnya pelan.

            Setelah beberapa basa-basi, aku pun kembali ke tempat tidurku. Pemandangan yang layaknya sebuah adegan film melodrama membuatku merasa ikut merasakan kepedihan sang ibu dan bagaimanapun juga membuatku merasa harus mengevakuasi diriku kembali ke tempat tidur sebelum emosiku meledak dan aku pun ikut menangis. Ya, mungkin karena aku mengalami takdir yang sama namun berbeda. Bagiku, tanpa sepasang mata, hidup tidak akan berarti. Karena tentunya aku seorang artis,seorang pelukis. Tanpa spasang mata, seorang pelukis akan mati.

             Kuraih smart phone putihku dan kumainkan sebuah game favoriteku, Flappy Bird yang stuck di best score 89 untuk membunuh kebosanan. Walaupun mataku berada di game yang kini sedang kumainkan akan tetapi di pikiranku masih terbayang-bayang wajah pemuda bernama Sehun tersebut. Entah mengapa ada sesuatu di dalam diri pemuda Oh Sehun tersebut yang menarik perhatianku. Bayang-bayangnya selalu terlintas di pikiranku. Nasibnya yang naas tak ayal membuat mataku berair. Jangan tanya kenapa karena aku sendiri tidak tahu. Kadang emosi itu mengalir di luar dugaan yang bahkan pemiliknya sendiri tidak tahu.

______

            Malam itu udara terasa sangat dingin lantas membuatku menggeliat ke sisi kanan dan kiri tempat tidur. Ya, ini adalah awal musim gugur dan aku belum siap untuk melepas musim panas. Selimut rumah sakit yang sedang menyelimuti tubuhku hanya membantu sedikit karena tebalnya yang sangat tipis. Di saat itulah kudengar sebuah erangan entah darimana. Terlalu sering menonton film horror yang berlokasi di rumah sakit tak ayal membuat bulu romaku berdiri. Bayangan hantu-hantu ala film horor berkelebat di kepalaku. Akan tetapi, semakin kudengarkan suara tersebut, semakin jelas darimana sumber suara tersebut berada. Di bilik sebelah.

            “Eungh..eunghh..” erangan terdengar lebih kuat ketika kubuka kain tirai pembatas bilik milik namja bernama Sehun tersebut.

            “Sehun-ssi, gwaenchana?” tanyaku sambil menggoyang-goyang pelan tubuhnya. Ia kemudian membuka matanya lebar-lebar dan bernapas terengah-engah. Keringat mengalir perlahan dari pelipisnya.

            “Nugu?” tanyanya tanpa sedikit pun menengok ke arahku.

            “Ah. Nan Park Jiyeon imnida.Aku pasien yang dirawat di bilik sebelah.” Jawabku sambil membungkuk. Aku tahu dia tidak akan melihatnya. Entah mengapa berkenalan dengan cara seperti itu sudah menjadi kebiasaan bagiku.

            “Ah.Arachi.” Sehun masih berpacu dengan napasnya. “Jiyeon-ssi, bisakah kau meninggalkanku sendiri?” tanyanya dengan suaranya yang berat dan dari raut wajahnya ia tampak marah aku memasuki biliknya. Ah pabo-ya, Jiyeon-ah.

            “ah, Nae...” Akupun mengangguk dan bersiap-siap untuk meninggalkannya. Ketika membuka tirai, kulihat kembali Sehun dan kulihat air mata mengalir dari sepasang matanya. Aku tahu pada saat itu Sehun membutuhkan waktu untuk sendiri sehingga aku pun pergi dari sana.

            Rasa penasaranku terjawab. Pemuda bernama Sehun itu tidak ingin siapapun melihatnya terlihat rapuh. Pemuda bernama Sehun itu, pintar untuk menyembunyikan kesedihannya. Pun, saat eommanya menangis karenanya, ia mati-matian memperlihatkan senyum menenangkannya agar eommanya tidak turut dalam kesedihan. Kuakui aku sedikit-mungkin banyak- merasa kagum kepada pemuda tersebut karena ketegarannya.

            Kutatap bayangan diriku melalui cermin kecil yang berada di samping tempat tidurku. Kutatap dalam-dalam bayangan yang terbentuk di sana. Bayangan seorang perempuan kecil berusia 19 tahun dengan wajah rapuh dan pucatnya. Kutatap dalam-dalam bayangan tersebut.

            “Aku pun juga harus tabah, tidak akan kusia-siakan sisa umurku dengan meratapi nasibku. Akan kuisi sisa waktuku dengan kebahagiaan.” Aku menarik kedua sudut bibirku yang membentuk sebuah senyuman.

            End of Jiyeon’s POV

  •  

            Sehun’s POV

            Kubuka perlahan sepasang mataku ketika syaraf sensorikku melaporkan bahwa cahaya matahari pagi telah mengenai permukaan kulitku. Walaupun sepasang mataku ini tidak bisa merasakan bagaimana silaunya ketika aku membuka sepasang manik mata tersebut, aku dapat merasakan kehangatannya. Dan kehangatan matahari pagi sangat sayang untuk disiakan dengan tiduran di sebuah kamar sumpek yang dibatasi oleh sekat tirai di sekelilingku. Ya, saat kecelakaan itu terjadi, semua kamar VIP telah penuh dan aku mendapatkan kamar yang berisi dua bilik sekat ini. satu bilik milikku dan satunya adalah milik seorang yeoja bernama Park Jiyeon menurut pendengaranku setelah ia memperkenalkan diri kemarin siang. Dia juga yang memergokiku menangis tadi malam. Satu-satunya yeoja yang pernah mendengarku menangis karena memang aku tidak suka terlihat lemah di mata orang lain. Aku ingin selalu terlihat sebagai Oh Sehun yang kuat.

            Ketika aku berusaha bangun dari tempat tidur dan mencoba berdiri untuk membuka jendela, sebuah lantunan lagu yang disertai dengan petikan gitar menghentikan langkahku. Suara merdu itu menyesuaikan setiap bunyi petikan gitar, membuatku merasakan ada sesuatu yang menyengat diriku.

            “sigani jeom jeom jinalsurok jeom jeom..” (*song:little by little)

            Aku pun mengganti haluan langkahku dari yang menuju jendela kamar menjadi mengikuti sumber suara tersebut. Saat kubuka tirai sekat, lantunan tersebut pun berhenti. Aku pun merutuki diriku sendiri mengapa aku harus menampakkan sosokku yang mungkin mengejutkannya.

            “Sehun-ah..” ucap sang pelantun yang kemudian ku sadari itu adalah suara yang sama yang kudengarkan tadi malam dan kemarin sore. Suara itu tak lain dan tak bukan milik pasien tetanggaku, Park Jiyeon.

            “Selamat pagi.” Sapanya ceria. Dari suaranya, aku bisa mengatakan bahwa dia pasti mengatakannya sambil tersenyum.

            Bagian dari diriku terheran karena aku tadi malam telah mengusirnya dengan kasar dan dia tidak marah?

            “Pagi, Park Jiyeon-ssi.” Balasku sambil mengulas senyum tetap di posisi berdiriku sekarang.

            “Ayee formal sekali? Kau bisa memanggilku noona kalau kau mau karena kau setahun lebih muda dariku dan lagipula...” kudengar ia menggantungkan kalimatnya.

            “sampai sekarang belum ada yang memanggilku noona jadi aku ingin mencoba merasakannya.” Ia pun terkekeh setelah mengutarakan alasannya yang cukup konyol tersebut. Aku pun ikut terkekeh.     

            Sedetik kemudian, aku dapat merasakan sebuah tangan meililit lenganku dan memandu jalanku menuju ke sebuah sofa. Saat kulit kita bersentuhan, tanpa sadar wajahku terasa panas. Pasti darahku sudah menuju ke kepala semua. Lalu aku membuang wajahku yang sekarang terlihat konyol ke arah lain.

            “Sehun-ah, ada apa?” setelah mendudukkanku di sebuah sofa, kurasakan beban yang membuat permukaan sofaturun ke bawah menandakan ia duduk di sampingku.

            “Jiyeon noona seorang penyanyi? Suara noona bagus sekali. Aku ingin mendengarkannya sekali lagi.” ucapku lirih, mencoba untuk tidak merasa grogi.tapi aku segera menyesalinya telah memberinya pertanyaan seperti itu karena sesaat setelahnya tidak ada jawaban dan keheningan melanda kami berdua.

            End of Sehun’s POV

_______

            Jiyeon’s POV

            Kurasakan kedua belah pipiku memanas saat pemuda bernama Sehun itu mengatakannya. Dia adalah orang pertama yang memuji kemampuan menyanyiku. Well, aku suka menyanyi hanya saja aku tidak begitu percaya diri untuk melakukannya di depan publik jadi most of the time aku melakukannya diam-diam. Dan motivasiku menyanyi saat itu hanya karena aku menyukai seorang vokalis utama sebuah band bernama INFINITE di SMAku dulu. Kim Myungsoo, namanya. Cinta pertamaku.  Pacar pertamaku. Dan mantan pertamaku. Dia lah yang mengajariku segalanya, menyanyi, bermain gitar dan mengajariku tentang indahnya cinta dan sakitnya cinta. Cinta memang pedang bermata dua, tidak hanya membuat bahagia namun juga membuat duka. Seperti saat ini. Saat dimana ia memutuskan untuk meninggalkanku karena penyakit yang kuidap ini.

            Namun aku menyanyi sekarang bukan karena dia. Itu karena entah mengapa menyanyi dan mengiringinya dengan gitar menjadi salah satu hobiku sekarang. Yeah, hobiku memang terlalu banyak karena aku tidak begitu betah dengan belajar. Jujur saja, aku lebih suka praktek daripada teori.

            Kutengokkan pandanganku ke arah Sehun yang sedang menggosokkan tangannya ke leher karena ia baru saja membuatku terbang melayang karena pujiannya. Duh, lucu sekali wajah malunya itu. Membuatku ingin mencubit kedua belah pipi cukup chubby yang menggantung indah di tulang rahangnya.

            “Kau penggemar pertamaku, Sehun-ah.” Ujarku, membuat Sehun terlonjak tak percaya.

            “Jinjjha?”

            Aku mengangguk. Dia hanya melongo. Aku kemudian meraih kembali gitarku dan kembali duduk di sofa.

            “Baiklah. Untuk penggemar pertamaku, aku akan menyanyikan sebuah lagu lagi.” aku kembali menggerakkan jariku dan menyanyi sebuah lagu andalan mantan kekasihku, Kim Myungsoo. Lagu berjudul Like You,Love You yang dulu mewakili perasaanku kepadanya. Sungguh aku tidak percaya bahwa dulu aku terlampau mencintainya hingga hapal akan semua lagu buatannya yang dia nyanyikan untuk menyanjungku dan bodohnya aku jatuh di perangkapnya. Hey, wajar bukan aku,seorang remaja perempuan dengan hormon estrogen dan progesteron yang tinggi jatuh cinta kepada pemuda berbakat dan tampan seperti Kim Myungsoo? Hingga akhirnya aku sadari, cintanya terbelah. Aku bukan satu-satunya, ia masih memiliki yeoja lain tapi aku terlalu takut kehilangannya dan saat ia sadar bahwa sakitku ini semakin parah, ia memutuu. Memutuskan 2 tahun hubungan kita. Sedih, memang. Tetapi memang begitulah adanya. Aku juga cukup muak dengan permainannya sehingga aku terima saja dengan keputusannya untuk putus saat itu.

            “I love you neorul saranghae..” setengah lagu sudah kunyanyikan dengan cukup lancar akan tetapi beberapa detik kemudian tangisku pecah. Aku berhenti menyanyi. Lagu ini mengingatkanku akan namja yang meninggalkanku dan semua harapanku itu. Dadaku sesak, terlalu sesak sehingga lidahku ini kelu tak mampu melanjutkan separuh lagu yang terjeda.

            “Noona-ya. Gwaenchana?” kulihat dari balik tanganku yang menutupi mataku wajah Sehun yang cemas. Aku pun kemudian berhenti menangis.

            “Gwaenchana Sehun-ah. Bisakah kita jalan-jalan pagi menikmati matahari pagi saja? Aku bosan berada di kamar.” Ucapku mencoba menyembunyikan tangis.

            End of Jiyeon’s POV

_______

            3rd person’s POV

            “T-tapi noona..kau tahu..a-aku..” Sehun terbata-bata. Belum selesai ia bicara, seakan mengerti apa yang Sehun maksud, Jiyeon meletakkan gitarnya dan meraih lengan tangan kanan bagian bawah namja tersebut dan menyelipkan tangannya. Sementara tangan kirinya Sehun menahan beban tubuhnya menggunakan krek. Kemudian Jiyeon menggiring Sehun menuju kursi roda.

            “Kau lupa bahwa Rumah Sakit mempunyai kursi roda?” Jiyeon kembali terkekeh membuat Sehun lantas tersipu malu.

            “Aku akan menjadi matamu.” Ucap Jiyeon mantab sambil dalam hati ia berusaha menyuruh benda kecil di dada bagian kirinya untuk tenang karena ia lagi-lagi kontak fisik dengan kulit Sehun di saat ia mendudukkannya di kursi roda.

            “N-nae.” Jawab Sehun gugup karena rasa malu akan kebodohannya.

             Dan kemudian sepasang insan manusia tersebut menghilang dari kamar menuju ke lorong rumah sakit.

            Saat sampai di bangku sebuah taman, Jiyeon membantu Sehun duduk dan ia pun ikut duduk. Detik-detik mereka lalui dengan menikmati udara pagi yang segar dengan kulit mereka yang menerima hangatnya matahari pagi.

            “Sehun-ah, apakah kau mempunyai sebuah hobi?” tanya Jiyeon dengan kakinya yang bergerak maju mundur.ia hanya tidak suka dengan suasana yang hening seperti itu.

            “Hobi? Umm..Hobiku, Flappy Bird?” jawab Sehun, yang tampak bukan seperti jawaban akan tetapi lebih ke seperti sebuah pertanyaan, sontak membuat Jiyeon tertawa.

            “Ayee..Itu bukan sebuah hobi Sehun-ah.” Mereka berdua pun kemudian tertawa bersama.

            “Kalau begitu aku tidak mempunyai hobi.” Ucap Sehun sambil tertawa kecil yang juga disambut tawaan kecil oleh Jiyeon.

            Ia tidak menyangka Sehun akan begitu menyenangkan diajak ngobrol bersama. Apalagi setelah malam itu Sehun menyuruhnya untuk pergi, ia awalnya Sehun adalah namja yang keras dan dingin tapi ternyata itu adalah topengnya saja. begitu mengenalnya, Jiyeon merasakan sesuatu dimana ia nyaman berada di dekatnya. Terlebih lagi, selera mereka hampir sama. Sehun juga pendengar yang asik untuk Jiyeon yang banyak bicara.

            “Noona sendiri?” Sehun bergantian untuk bertanya.

            Jiyeon kemudian menatap muka menunggu Sehun.

            “Melukis. Aku sangat menyukai melukis.” Ucap Jiyeon sambil mendongakkan wajahnya ke langit yang saat itu biru dan dihiasi oleh beberapa awan putih yang menggantung.

            “Karena dengan melukis, aku bisa mengabadikan setiap perasaan yang kurasakan terhadap setiap objek yang kulukis.” Walaupun Sehun tidak dapat melihatnya, ia merasakan wajah bahagia yang terpancar pada diri Jiyeon saat itu.

            Dan saat itu juga lah Sehun merasakan sesuatu yang berbeda dengan yeoja yang sedang mencurahkan semua pikirannya tentang lukisan kepada Jiyeon. Kehangatan dan rasa nyaman. Itulah yang ia rasakan. Suaranya yang menenangkan dan bagaikan lullaby baginya, membuat ia melupakan bahwa ia sedang berada dalam titik terendah dalam hidupnya, dimana ia cacat mata dan juga cacat fisik parsial dkarenakan beberapa anggota gerak tubuhnya yang diperban. Jiyeon juga tidak segan-segan menceritakan semuanya tentang hidupnya kepadanya, yang notabene masih seorang yang baru saja Jiyeon kenal. Meskipun banyak bicara, menurut Sehun Jiyeon juga pendengar yang baik. Entah mengapa ia bisa mengungkapkan apa saja seakan-akan Jiyeon telah menghipnotisnya untuk bercerita panjang lebar tentang masalah hidupnya. Tetapi terkadang ia juga merasakan bahwa suara Jiyeon terlalu menggelitik di telinganya. Seperti membuatnya untuk memeluk sosok penghasil suara tersebut erat-erat dan mencium keningnya.

 

            Sudah seminggu lebih Sehun dan Jiyeon menjadi teman dekat. Sehun yang selalu mendengarkan lagunya dan Jiyeon yang selalu mengajaknya jalan-jalan di luar kamar. Jiyeon mengakui ia merasa tidak sendiri lagi akan tetapi akhir-akhir ini ada yang lain dari dirinya. Ia merasakan setiap ia dekat dengan Sehun, ia merasakan tubuhnya lemas walaupun jantungnya berpacu begitu cepat. Membuatnya mulai merasa sedikit canggung setiap ia dekat dengan Sehun. Suara Sehun tidak lagi terdengar seperti suara namja biasa di telinganya melainkan terdengar lebih berat dan dalam. Hal itu membuat bulu romanya berdiri apalagi di saat hanya ada mereka berdua di satu ruangan karena kedua orang tua mereka terlalu sibuk bekerja dan terpaksa meninggalkan mereka berdua sendirian. Apalagi setelah kejadian saat itu...

  •  

            “Noona! Aku lapar~~ ” Sehun membuat-buat suaranya sedemikian rupa sementara tangannya memegang smart phone milik Jiyeon yang sedang mengaktifkan aplikasi Talking Tom. Jiyeon lantas tertawa karena mendengarkan suara Sehun yang menjadi cempreng karena kerja aplikasi tersebut.

            Jiyeon yang sedang melukis pun menghentikan aktivitas melukisnya dan melangkah mendekati Sehun yang berada di sofa untuk mencoba mendengarkan hasil suara miliknya.

            “Sehunn—ahh“ ucapan Jiyeon terputus tatkala kakinya tersandung yang menyebabkan ia menindihkan badannya ke badan Sehun. Tangan kanannya menahan ke tembok sedangkan tangan kirinya jatuh di dada bidang Sehun serta wajahnya hanya berada beberapa cm saja dari wajahnya. Saat itu, hanya pantulan suara Jiyeon dari Talking Tom saja yang terdengar. Keduanya benar-benar terdiam. Sehun sendiri tahu apa yang sedang terjadi karena beban yang ia terima dari tubuh Jiyeon dan napas hangat yang tepat berada di depan wajahnya. Jiyeon masih diam, menikmati dan menyadari betpa tampannya wajah yang dimiliki Sehun. Mulai dari jawline yang sangat sempurna, hidung yang cukup mancung, rahang yang sangat kuat, matanya yang indah dan hingga akhirnya ia melihat bibir Sehun yang merekah. Saat melihat bibir Sehun, Jiyeon langsung bangkit dari posisinya dan mulai salah tingkah.

            “Ah-Sehun-ah sepertinya aku harus ke toilet terlebih dahulu.” Dalih Jiyeon.

End of Flashback

1 of 2

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
WhieKYUYEON #1
Chapter 2: daebAAaaaaak!!! next project nya hunyeon happy couple donggggg. phweasee!!!!!!
nanana15
#2
Chapter 2: Daebakkk hahah :D I like this story :D
cericeria #3
angst?? aaaah blom siap mental bacanya. ak lg pengen yg happy2. ntr dlu dh kl uda redeh #plak :D
niiyeon #4
ini sedih ya?? aku pending dulu ya bacanya
hehe harus nunggu ada moodnya ^^