Commensalism

- Symbiosis -

 

Commensalism

==o==

Commensalism 

“a relationship between two living organisms where one benefits and the other is not significantly harmed or helped”


==o==

 

Yongguk membuka pintu dan melengos. “Kau lagi?”

 

 

Annyeonghasimika!!!” balas Junhong lantang, sambil mengejar Yongguk masuk ke dalam flat. Yongguk menjatuhkan diri di sofa ruang tengah sementara ia berbelok ke dapur untuk meletakkan bawaannya di atas meja, kantung plastik berisi barang belanjaan dari supermarket. Semua barang kebutuhan rumah tangga yang diperlukan Yongguk.  Sekotak detergen, sebotol cairan pencuci piring, segulung tisu, berikut sekotak telur, beberapa makanan kaleng, sarden, ramyun instan, dan saus tomat. Junhong menatap bangga semua barang-barang itu. Ia sudah mencatatnya dengan seksama sehingga yakin ia sudah membeli semuanya kecuali... “Sial, aku lupa beli susu!” 

 

 

Junhong mengumpat beberapa kali. Tadi ia mondar-mandir melewati rak display susu saat mengambil makanan kaleng dan ramyun instan. Matanya juga tertumbuk pada kemasan baru susu yang biasa Yongguk minum tapi yang ia ingat hanya rasa ramyun apa yang mungkin Yongguk suka. Bodoh sekali!

 

 

Sambil terus merutuki kecerobohannya, Junhong mendengar nada itu. Dentingan tuts piano. Piano tua yang terletak di ruang tengah dan sedang dimainkan jemari panjang Yongguk.  Junhong mengintip dari ambang pintu. Dari posisi duduk yang menyamping, ia bisa melihat Yongguk menutup matanya menikmati dalam-dalam setiap denting nada yang diciptakan. Tanpa chord panduan karena musik itu tercipta begitu saja di pikiran, sama seperti menciptakan suara dengan mulut.

 

 

“Apa aku terlihat seperti sebuah tontonan bagimu?,” kata Yongguk sedikit ketus, menyadarkan Junhong dari lamunannya, terhanyut dalam melodi yang menyamankan telinga. Ternyata meski matanya tertutup, Yongguk sempat melirik sekilas ke arah tubuh menjulang berbalut seragam sekolah di ambang pintu yang menatap kegiatannya hampir tak berkedip.

 

 

Ah, apa Yongguk juga menangkap basah senyum yang sempat terkembang lebar di bibirnya?

 

 

Yongguk mengakhiri permainannya dengan melodi penutup yang manis. Selanjutnya ia meraih kertas chord dan pensil. Membuat bulatan-bulatan nada di lima garis yang tersedia. Harus dilakukan sesegera mungkin sebelum melodi lain datang dan merusak ritme teratur yang barusan.

 

 

“Lagu baru?” tanya Junhong di sampingnya, memperhatikan dengan seksama kelincahan jari Yongguk menggerakkan ketajaman mata pensil. Yongguk menciptakan melodi mengagumkan sekaligus menjadikannya sebuah karya yang apik. Junhong percaya betul bahwa Yongguk akan menjadi pianis terkenal bila ia menekuni semua ini dengan serius.

 

 

Di usia 20 tahun, Yongguk pergi meninggalkan rumah dan mengembara di Seoul untuk meresapi proses kedewasaan. Meninggalkan bangku kuliah, karena Yongguk menganggap ia sudah tak tahan lagi menjadi alat pemuas ego orang tuanya, ia memilih bekerja di sebuah restoran cepat saji. Menyusul kemudian pekerjaan-pekerjaan yang lain. Di malam hari, Yongguk bermain piano di sebuah restoran barat. Keahilan yang sudah ia dalami, terima kasih pada sang ayah atas paksaan menekuni piano sejak ia berumur 5 tahun. Bayarannya cukup lumayan sehingga ia bisa membeli sebuah piano tua di bazaar pelelangan.

 

 

Piano tua yang menemani kehidupan Yongguk sehari-hari setelah ia dikeluarkan dari semua pekerjaannya karena kecelakaan mobil. Tabrakan keras mematahkan beberapa tulang belakang dan rusuk, membuatnya koma selama 3 hari karena pembekuan darah di otak. Nyawanya selamat meski fisiknya tak berfungsi dengan baik lagi. Alasan yang memaksa Yongguk merelakan diri menandatangani surat pengunduran diri. Semua murni hasil keputusan Yongguk yang sudah patah semangat atas kondisinya.

 

 

Cahaya yang redup kembali bersinar dengan kehadiran Choi Bora. Seorang teman membawa gadis itu berkunjung sekali saat Yongguk dirawat. Membawakannya seloyang tart apel buatannya sendiri dan menyuapkannya pada Yongguk.  Yongguk langsung terhipnotis akan perhatian tulus yang spontan. Masih terlalu absurd bila dikatakan ‘jatuh cinta’. Saat ulang tahunnya, Bora datang ke flat Yongguk dalam rangka pesta kecil dan saat itulah Yongguk mengakui perasaannya.

 

 

“Apa judulnya?”

 

 

Pertanyaan Junhong mengembalikan Yongguk ke dunia sekarang, mengakhiri flashback memori yang sangat nyata. “Um...” ia berpikir sebentar sambil bergumam. Langkah akhir itu selalu luput dari pikiran. Banyak kertas chord nada tak berjudul di meja kerjanya seakan kewajibannya gugur setelah menamatkan bulatan terakhir. Termasuk yang satu ini. “Akan kupikirkan nanti. Junhong-ah, kurasa sudah saatnya kau pulang. Kau pasti punya tugas yang...”

 

 

Ani, Hyung” Junhong menjatuhkan diri di sofa bersama tasnya. “Aku akan mengerjakan tugasku di sini” katanya tersenyum jahil, mulai membongkar tas mengeluarkan buku pelajaran dan buku-buku lainnya. “Hyung bisa membantu tugas matematikaku.”

 

 

Yongguk melengos. “Mianhae. Aku bodoh soal hitung-hitungan,” jawabnya asal, menyusun lembaran-lembaran chord yang sudah jadi. Siap digabung dengan tumpukan lainnya.

 

 

Junhong serius dengan ucapannya soal menginap. Pemuda langsing itu sudah melepas baju sekolah, berganti dengan baju rumah yang ia bawa di tas. Bukan hanya sekali ini ia melakukan itu. Hampir setiap hari malah. Sepulang sekolah, Junhong akan mampir ke tempatnya, membawa sesuatu seperti yang tadi ia lakukan, menghabiskan waktu sejenak lalu menolak pulang. Flat Yongguk adalah rumah kedua bagi Junhong atau mungkin rumah utama karena ia lebih sering menghabiskan waktunya di sini dari pada rumah orang tuanya.

 

 

Kebiasaan ini dipupuk sejak 7 tahun yang lalu. Bora memohon agar Yongguk menjaga adiknya yang masih kelas 2 SD sementara gadis itu menunaikan les biolanya. Kedua orang tua Bora sama-sama bekerja sampai larut dan terlalu riskan meninggalkan anak berusia 7 tahun tinggal sendiri di rumah. Pengurus yang terakhir menguras barang berharga dari rumah keluarga Choi dan membiarkan Junhong kecil terkunci di kamar mandi. Meninggalkan Junhong bersama Yongguk adalah pilihan teraman. Bagi Yongguk, itu adalah timbal balik dari perhatian Bora padanya.

 

 

Selanjutnya, tanpa diantar Bora lagi, Junhong muncul di ambang pintu flatnya setelah jam 2 siang. Tugas Yongguk adalah memastikan anak itu makan dengan benar, mengerjakan PR, dan terkadang meninabobokkannya bila Bora terlambat menjemput di malam hari. Berulang terus sebagai sebuah rutinitas sampai akhirnya Junhong memasuki tahun pertama di SMU. Cukup dewasa sehingga kewajiban Yongguk sebagai ‘manny’ (istilah untuk pengasuh laki-laki) lepas. Junhong sudah kehilangan alasan tepat untuk datang ke flatnya lagi.

 

 

Terutama, saat Yongguk sudah tak lagi berhubungan dengan Bora.

 

 

* *

 

 

Ne, eomma. Aku menginap di tempat Yongguk hyung. Um, kami sedang makan malam. Aku akan makan dengan benar. Nee, annyeong,” Junhong melipat ponsel dan melihat Yongguk sedang menatap ke arahnya dengan cibiran mengejek dari seberang meja makan. “Waeyo, Hyung?” tanya Junhong lugu, mengaduk kembali ramyun di mangkuknya yang sudah menggumpal, ditinggal sejenak karena panggilan dari ibunya.

 

 

“Kau sebut ini makan malam?” kata Yongguk, menyeruput habis kuah ramyun dari mangkuknya. Ramyun instan yang dibeli Junhong tadi siang. “Di rumah, ibumu pasti masak daging atau ayam. Kau itu membutuhkan makanan yang bergizi dalam masa pertumbuhan. Tubuhmu masuk hitungan kurus jika makan seperti ini terus.”

 

 

Junhong menjentikkan jari ke udara. “Kalau begitu aku akan membelinya besok...” 

 

 

Yongguk mengernyit frustasi. Junhong tak menangkap maksud kata-katanya barusan. Sebesar itukah keinginannya tinggal di sini? Baik, ia akan merubah sikap, berhenti bersikap lunak dan kalau perlu, menyeret Junhong pulang ke rumah. “Ini bukan rumahmu, ingat?”

 

 

Ara...” kata Junhong, mengunyah isi mulutnya. Tak peduli kenaikan suara Yongguk.

 

 

“Junhong-ah, kuberi tahu sesuatu. Kau tak bisa begini terus. Orang tuamu pasti merindukan dirimu duduk semeja di makan malam. Mereka pasti ingin mendengar cerita mengenai sekolahmu, kegiatan yang kau lakukan...”

 

 

Hyung tahu benar mereka tak peduli mengenai itu. Mereka makan malam dengan terburu-buru lalu pergi tidur. Sama sekali tak ada waktu untuk memikirkan bagaimana sekolahku hari ini, berapa nilai ujianku, siapa temanku... yang ada hanya kerja, kerja, kerja. Mencari uang, uang, dan uang.”

 

 

“Jangan bicara seperti itu di belakang orang tuamu!” tegur Yongguk.  Ia tahu benar bagaimana kelangsungan hubungan orang tua-anak di keluarga Choi selama ini. Ayah Junhong adalah direktur perusahaan ekspor-impor yang dalam seminggu jarang ada di rumah. Sama halnya dengan ibu Junhong, wanita karier yang sedang menikmati puncak kesuksesan sebagai event organizer acara berkelas. Ketiadaan waktu luang, berbanding lurus dengan intensitas perhatian yang didapat Junhong. Bukan kebohongan bila Junhong mengatakan ia tak pernah merasakan belaian tangan ibunya lagi sejak usia 5 tahun. Ironis karena peran itu diambil alih nanny. Ia lebih mengenal anatomi tangan sang nanny dibanding ibunya sendiri. “Mereka mengusahakan yang terbaik untukmu, ara?” tegasnya.

 

 

Junhong tersudut oleh teguran Yongguk.  Protesnya tak laik dengar. Junhong beruntung selama ini tak pernah hidup kekurangan. Semua seperti magis. Diucapkan dan dalam waktu singkat, keinginannya tersebut terpenuhi. “A...ra,” jawabnya. Ramyunnya ditinggalkan begitu saja, mendadak kehilangan selera makan.

 

 

Yongguk dibuat merasa bersalah atas perubahan sikap Junhong. Wajah kekanakan itu menyebarkan suatu feromon yang merangsang simpatinya berkembang.  Menggagalkan rencana ‘menjadi Hyung galak nan berwibawa’. Kadang Junhong menampilkan senyum kesedihan, menggambarkan kesepian seorang anak yang haus perhatian. Memaksa Yongguk, lagi-lagi, menghapus sarkasme ketegasan dan berbalik ingin menawarkan bantuan. Ia selalu ‘lemah’ menghadapi sikap Junhong.

 

 

Aish, kalau begitu kau mau makan apa? Biar kupesankan...” kata Yongguk meraih catatan kecil di pintu kulkas. Kompilasi nomor panggilan restoran cepat saji di sekitar Seoul dari robekan buku telepon. Dari makanan pengganjal perut sampai makanan berat. Dari ramyun sampai galbi.

 

 

Junhong menggeleng. “Aku tak begitu lapar, Hyung.”

 

 

Yah, kau akan benar-benar kurus nanti sampai orang tuamu tak mengenalimu lagi!” teriak Yongguk. Jarinya berhenti di nomor restoran ayam. Ada diskon khusus untuk pemesanan malam hari. “Kupesankan kau a—“

 

 

Ucapan Yongguk disela sanggahan Junhong. Meyakinkan Yongguk bahwa ia benar-benar tak lapar. Tadi siang ia menghabiskan setumpuk roti daging kafetaria dan isi lambungnya masih belum tercerna semua. Jadi Yongguk tak perlu repot-repot mengeluarkan uang membelikannya makanan.

 

 

Yongguk menyerah atas kekeraskepalaan Junhong tapi ia tak bisa membiarkan anak itu tak makan sesuatu malam ini. Sudah jadi kewajiban tersendiri memastikan Junhong menghabiskan isi mangkuknya dan tidur tenang tanpa perut bergemuruh. “Baiklah. Aku bisa memasakkanmu sesuatu,” ia membuka kulkas dan melihat telur yang dibeli Junhong dan sisa bacon yang setengah membeku. “Omelette?”

 

 

Junhong tak lekas menjawab. Terpukau beberapa detik oleh tawaran Yongguk.  Belum pernah sekali pun Yongguk memasakkan sesuatu untuknya jadi ia membayangkan seenak apa hasil kreasi tangan yang bergerak lincah di atas kompor itu. Yongguk mengulangi pertanyaannya lagi dan Junhong baru mengangguk setuju. Omelette terdengar lezat dan sederhana.

 

 

Sementara Yongguk memunggunginya, memotong-motong bacon dan mencampur rata ke dalam kocokan telur, Junhong menatap lurus ke sosok belakangnya. Kecelakaan itu meninggalkan bekas kentara yaitu ketidaknormalan bentuk tulang belakang. Tak begitu terlihat tertutup pakaiannya. Tubuh tegap Yongguk kini tak sempurna lagi.

 

 

Dulu, Junhong dengan lancang bertanya padanya, mengapa cara jalan Yongguk agak aneh. Terseret-seret dan kesusahan berdiri tegak setelah bangun dari duduk atau menyandar di dinding agar tak oleng. Yongguk, sambil tertawa, mengatakan telinganya terbiasa dengan komentar atas kecacatannya itu dan Junhong tak perlu merasa bersalah sudah menanyakan itu barusan. Masih ada sebagian orang di dunia ini yang lebih tak beruntung darinya yang kebebasannya terenggut karena harus terikat di kursi roda atau tempat tidur. Bagaimana pun, Junhong akhirnya meminta maaf berulang kali, mengetahui kecelakaan itu terjadi akibat keteledoran pengemudi mabuk.

 

 

Sepotong omelette berasap tersaji di depan Junhong namun belum disentuh sama sekali. Garpu di tangannya dimainkan di atas permukaan kuning bercorak merah pucat tanpa berniat membuat belahan atau potongan.

 

 

Yongguk setia menunggu Junhong memakan suapan pertama. Ia sedikit takut, Junhong kehilangan selera makan karena masakannya. Bulatan omelette-nya pecah, gagal dibalik sekali sontakan. Yongguk sadar diri ia bukan koki yang ahli tapi Junhong tak boleh menyia-nyiakan usahanya. “Makan sekarang atau perlu kujejalkan ke—“

 

 

Mianhae, Hyung...” bisik Junhong.

 

 

“Karena tak menghabiskan makanan buatanku?”

 

 

Junhong menggeleng. Ia berjanji akan menghabiskan isi piringnya secepat kilat setelah mengatakan hal ini. “Aku... merepotkanmu.”

 

 

Yongguk berdecak. “Setelah selama ini... kau baru menyadarinya? Aku selalu bilang berulang kali, kan? Kau-tak-seharusnya-berada-di-kubangan-ini!” Telunjuk kanan Yongguk menunjuk-nunjuk meja setiap spasi yang ia buat, menegaskan perkataannya. Intonasi yang ia pakai persis seorang ayah menjelaskan makna kehidupan pada sang putera. “Apalagi kau masih punya rumah sendiri. Kau tahu... kau tak bisa seenaknya datang ke rumah orang lain dan menetap begitu saja.”

 

 

Jadi Yongguk menagih sebuah alasan kuat agar kehadirannya di tempat ini logis?

 

 

“Aku mau belajar piano,” sebut Junhong cepat.

 

 

Yongguk dibuat tertawa. “Kau tak pernah tertarik pada piano, Junhong!”

 

 

Junhong menghantamkan kepalan tangan di meja. “Aku serius, Hyung. Aku mau belajar piano darimu. Ajarkan aku cara menekan tuts, membaca not, menciptakan lagu, apapun yang perlu kuketahui!”

 

 

Keinginan itu terdengar ganjil. Setahu Yongguk, minat Junhong pada piano terlalu kecil seperti anak laki-laki pada balet. Junhong tertangkap menguap beberapa kali saat menonton konser piano dan tertidur di akhir acara. Ketertarikannya yang tiba-tiba, apa menyimpan suatu maksud tersembunyi?

 

 

Aniya!” bantah Junhong atas tuduhan itu.

 

 

Alis Yongguk naik. “Lalu kenapa baru sekarang, uh?”

 

 

Karena itu satu-satunya alasan agar aku bisa datang ke mari, teriak Junhong dalam hati. Alasan paling masuk akal dan dapat dimaklumi Yongguk tanpa alis berkerut. Baru ia pikirkan sekarang setelah kehilangan alasan yang membuatnya secara alami berada di tempat ini.

 

 

Benar. Keberadaan Bora noona memberi Junhong passport khusus untuk datang ke tempat ini setiap saat. Sebenarnya ia tak protes bila noona terlambat menjemputnya di malam hari, karena itu akan memperlama kebersamaannya dengan Yongguk yang sudah ia anggap Hyung kandung. Lebih menyenangkan daripada di rumah bersama tumpukan mainan dan sederet hal lain yang diimpikan anak-anak. Junhong tak butuh itu. Ia hanya ingin seseorang ada di sampingnya, menemaninya, berbicara dengannya, dan menyamankan dirinya. Semua hal yang hanya ia dapatkan dari Yongguk. 

 

 

Sayang, passport itu kadaluarsa dengan berakhirnya hubungan mereka. Andai waktu berbalik, Junhong akan mengusahakan perpisahan itu tak terjadi.

 

 

“Choi Junhong, kau benar-benar serius?” tanya Yongguk, mengindahkan pertanyaan sebelumnya yang belum dijawab. Junhong mengangguk penuh. “Arasseo, mulai besok datang kemari pukul 3 sore dan jangan bawa apapun. Makanan atau sejenisnya. Aku bukan tunawisma.”

 

 

N-ne...”

 

 

“Sekarang habiskan omelette-nya.”

 

 

Neee!!!”

 

 

 

 

---

note me for any possible mistake. thanks for reading..

feedback? i'll love that..

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
lovedio #1
Chapter 1: aaaaaaaaaaa sukaaaaaaa
yongguk the oldest jagain zelo nan unyu geilakh :33
sansando #2
Chapter 1: Jujur, baru pertama kalinya baca fict yg castnya member bap ><
Agak sulit ngebayanginnya, soalnya ga pernah tau juga aslinya mereka gimana hehe
Tapi YA TUHAAAAAN INI DAEBAK BANGET!
Gak diragukan lagi deh karya author-nim ini emang JJANG! Selalu kehabisan kata buat komen, alhasil cuma kata-kata Seru! Keren! Daebak! dan sebagainya yg terlontar hehe terlalu sempurna untuk dikomentari karyanya ><