File 1

Dreaming Dream

 

File 1. Dream ain’t built in an instant.

 

Bangun mimpi setinggi langit lalu lihat berapa jauh yang bisa kau capai.

 

Bang Yongguk, di tahun ke-20 menyaksikan dunia, sudah merencanakan banyak hal. Sejak mengenal rap—terima kasih pada kakak perempuannya yang menyukai musik barat dengan rap di dalamnya—Yongguk ingin menciptakan musik. Composing, musiknya sendiri. Memperdengarkan buah pikirannya pada dunia jadi misi mutlak yang ingin diwujudkan.

 

Bergabung dengan TS Entertainment menjadi dari langkah besar pencapaian ambisi. Berdasarkan rekomendasi dari sunbaenim yang sudah dikenalnya sejak SMU, Yongguk diterima sebagai trainee di sana. Mengepak barang-barang, dengan bulat ia memutuskan menetap di Seoul. Jauh dari rumah, keluarga, dan masa lalunya. Akan dimulai babak kehidupan Bang Yongguk yang baru. Seseorang yang nantinya akan diingat dunia sebagai musisi berkelas.  

 

Berdamai dengan lingkungan baru jelas menjadi tantangan tersendiri, namun tak pernah lebih berat dari mandat yang mengharuskannya mengikuti aturan perusahaan tempatnya di-trainee. Mereka tak butuh rapper belaka, apa yang ditekuni sunbae yang kini telah berkarier di dunia hiburan sebagai duo rapper dalam grup, Untouchable.

 

Sebuah hal baru pun diperkenalkan. Yongguk diminta menari.

 

Seumur hidup, Yongguk tak pernah melakukan hal tersebut. ‘Benci’ bukan satu kata yang menggambarkan keengganannya, bukan juga ‘anti’. Dalam kepalanya, rapper tak menari. Para idolanya, tak satu pun. Sunbaenya, di agensi yang sama, tak satu pun. Kenapa ketika bergabung, ia diminta menari? Karena usianya? Karena potensinya? Karena permintaan pasar? Karena prospek musisi yang menyanyi sambil menari jauh lebih menjanjikan—baca: menjual?

 

Pengorbanan besar pun dilakukan. Yongguk menggerakkan anggota tubuh sesuai intruksi koreografer kolot. Mengingat setiap gerakan dalam sel-sel otaknya. Mengenyampingkan sejenak rutinitas yang disukainya, segala hal terkait composing dan rap. Banjir peluh dan deraan letih yang sulit pulih. Belum lagi cercaan baik dari koreografer mau pun sesama trainee, menganggap kemajuan Yongguk berjalan bagai semut. Sangat lambat dan menguras kesabaran. Kata-kata miring itu coba dianggap lalu sebagai pelecut semangat untuk menunjukkan yang terbaik.

 

Ada saat tertentu Yongguk ingin mundur. Keputusasaan memukul kepercayaan diri kala disinggung kelambanannya mengikuti program latihan. Terlampau tertinggal jauh dibanding trainee yang lain. Juga ketika Tahun Baru bukan alasan kuat untuk pulang ke rumah.

 

Jauh-jauh ditekan kerinduan untuk pulang karena setitik pengorbanan pasti ada harganya. Melakukan panggilan ke rumah dengan uang terbatas sangatlah menguras saku. Bertahan sendiri dengan dirinya jadi satu-satunya pilihan. Hanya pada notes mungilnya Yongguk mencurahkan kepenatan. Pelarian singkat dari kejenuhan hari. Penghujung malam dijadikan sebagai waktu refleksi diri. Dituliskan dalam bait-bat singkat berima, sebuah memoar di masa mendatang, bagaimana puncak yang tinggi itu dicapai.

 

Hidup mandiri, Yongguk melakoni pekerjaan part time. Sebut saja sebagai telecommuter sebuah perusahaan koran, petugas mini market, dan banyak hal yang tak ingin diingatnya kembali. Meski demikian, latihan tetap nomor satu dibanding raupan won yang akan didapat jika mengingat tujuan awalnya pergi ke Seoul. 

 

Panggung pertama Yongguk adalah comeback Untouchable ‘Make a Fuss’, sebagai back dancer. Ia tak memikirkan apa pun. Kepalanya kosong, sehingga saat turun dari panggung, ia tak percaya jika baru saja ia mempertontonkan manuver tubuhnya di depan umum tanpa cela. Bahkan portal video populer masih menyimpan buktinya.

 

Ia bisa bertahan dengan segala keterbatasan untuk maju.

 

*

 

Nyaman dengan dunia barunya, Yongguk dipaksa menerima kenyataan mengejutkan lain. Ia akan debut sebagai anggota boyband. Kumpulan wajah rupawan yang menari dan menyanyi dalam genre populer. Deretan itu dilengkapi dengan : digilai lawan jenis, muncul di layar kaca lebih dari yang diinginkan, dan popularitas tak terbantahkan. Inikah yang ia inginkan?

 

“Sudah diputuskan. Kami ingin melihat sesuatu yang berbeda” jelas kepala pelatih trainee, Taewan-sshi, memanggil Yongguk secara pribadi ke ruangannya. Menyampaikan apa yang dinantikan Yongguk—juga para trainee lain—selama ini. Saatnya mengakhiri penantian panjang tanpa kepastian. “Presiden Jang percaya, kau bisa melakukan apa yang ia minta. Ini.. timmu. Mereka memiliki mimpi yang sama denganmu, Yongguk. Melakukan dengan banyak orang, lebih baik dari pada sendirian, kan?”

 

Yongguk mengerang. Pemikiran usang itu hanya dipakai orang-orang yang rendah diri pada hasil yang dicapai dengan kemampuan sendiri. Yang lebih suka bergantung pada orang lain yang lebih menjanjikan lalu mengakui akhir suksesnya sebagai pencapaian bersama. Bolehkah menamai itu ‘memperalat’? Mimpinya tak boleh dikotori noda dari para pecundang semacam itu.

 

“Hyung..”

 

Bantahan Yongguk ditelan dalam-dalam usai kalimat Taewan-sshi yang dikatakan berikutnya. “Maju atau tidak sama sekali. Hanya itu penawarannya”

 

*

 

Untouchable sunbaenim melakukan goodbye stage hari ini. Yongguk ada di belakang panggung, bersama para back dancer lain, bersiap-siap untuk rehearsal. Saat itu Super Junior tengah melakukan rehearsal mereka untuk promosi Sorry, Sorry. Sudah dua minggu lagu itu berjaya di tangga lagu, menghipnotis para pendengarnya dengan pengulangan reff yang aditif di otak.

 

Teriakan penggemar yang sudah hadir di barisan penonton, turut membirukan keremangan ruang siaran dengan light stick biru safir, tak putus-putusnya mengiring gerakan keduabelas anggota. Inilah mega boyband Korea saat ini. Menguasai porsi peminat K-Pop seantero dunia. Coba tanyakan ‘Super Junior’ maka paling tidak anggukan tahu diberikan meski buta nama per anggotanya.

 

Sekali lagi Yongguk berpikir, inikah yang diinginkannya?

 

Boyband.

 

Istilah itu masih sulit diterima. Menari, selama ini hanyalah ‘kewajiban’ semata sebagai syarat mengisi posisi trainee, apa yang akan memantapkan kuda-kudanya—di sana ia mendapat ilmu penting soal bersosialisasi di depan umum, tata krama yang belum pernah didengarnya, persiapan dasar memasuki dunia hiburan yang keras, dan bahasa asing untuk pengakuan internasional (utamanya Jepang dan Inggris).

 

Melakukan dance untuk membesarkan namanya, inginkah ia menekuni itu? Bagaimana jika nanti orang-orang mencercanya? Menghina dance-nya? Grupnya?

 

Jika sekarang ia menari, apa bedanya dengan Super Junior?

 

Musiknya. Ia ingin menciptakan musiknya sendiri.

 

“Yongguk-ah..” panggil Himchan, salah satu rekan back up dancernya. Sejauh ini Himchan digadang-gadang kuat sebagai calon pengisi grup Yongguk. Dibekali kerupawanan dan entertainment skill mumpuni, ia dinilai punya ‘bekal’ cukup untuk masuk ke panggung sebenarnya dalam waktu dekat. “Kurang tidur lagi, uh?”

 

Yongguk menggeleng, menyeka matanya dari lelah yang menggelayuti. “Aku tak apa-apa..”

 

“Jangan bohong!” sergah Himchan. “Kau pikir aku tak tahu kau berada di studio latihan hingga lewat tengah malam. Juga kerja sampinganmu itu. Harusnya waktu kosong itu kau pergunakan untuk istirahat, bukannya..“ Himchan terdiam memegang bahu Yongguk, mengernyit karena lemak di tempat tangannya landas telah banyak berkurang dari waktu terakhir itu. Kombinasi kelelahan dan kurang istirahat, menguras kalori otot Yongguk, memforsirnya hingga kehabisan cadangan. “Dengar, ini tidak benar, teman. Kau harus menghentikan siklus gila ini sebelum tubuhmu menderita lebih jauh”

 

Perhatian Himchan tak salah. Tubuh memiliki batasan untuk setiap tempaan yang mendera. Tambahan beban berlebih mulanya dapat ditolerir namun jika batas merah itu dilampaui semena-mena, tinggal tunggu waktu tubuhnya unruk merongsok seperti mesin mobil tua. Banyak kasus sesama trainee jadi contoh nyata. Namun berhenti, di titik ini beserta segala pengorbanan yang telah dilakukan, sungguh memalukan.

 

Lalu pikiran picik menggelayuti benak Yongguk. Perhatian tiba-tiba ini—ya, karena Himchan tak pernah mengkhawatirkan trainee yang lain seperti saat ini—apa ia sedang mengamankan posisinya?

 

Yongguk adalah matahari bagi kehidupan bumi. Tanpa Yongguk, ‘tim’ itu tak pernah ada.

 

Kalimat, “Yongguk-ah, kita ini tim..”, dikatakan sebagai penegas maksud. Himchan telah menapakkan satu kaki di panggungnya sendiri, bersama tim Yongguk, enggan menariknya kembali. Benar, kan?

 

‘Memperalat’.

 

Sungguh memuakkan.

 

Inikah yang diinginkannya?

 

 

 

---

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
amusuk
#1
Chapter 1: chapter 1 yg menggugah :')
suka sarkasmenya #maso (haha)
"Karena prospek musisi yang menyanyi sambil menari jauh lebih menjanjikan—baca:
menjual?"
dan masih banyak lagi yg bagus. Biasanya yg aku temui chapter 1 itu isinya agak membosankan, tapi ini nggak. Jadi ikut ketularan semangat Yongguk utk terus maju! >:D
amusuk
#2
wow, fic perjuangan dan slice of life mungkin ya
nonetheless, subscribe Xd