Chocolate Ice Cream

Chocolate Ice Cream (Bahasa)

Aku setengah berlari di airport untuk mengejar waktu keberangkatan pesawat. Manajer unnie juga ikut tergesa-gesa di belakangku. Kami berdua harus berlari-lari seperti ini karena jadwal pemotretan sebelumnya yang mepet. Untungnya, pesawat belum lepas landas dan penumpangnya masih menunggu di lounge. Beberapa orang yang kukenal sebagai kru pemotretan memandangiku dengan tatapan aneh. Aku hanya bisa tersenyum tidak enak kepada mereka. Sementara manajer unnie langsung sibuk mengurus keberangkatanku dan jadwal pemotretan yang akan kujalani di Pulau Jeju.

Ya, hari ini aku, Han Soon Hee, akan berangkat ke Pulau Jeju untuk pemotretan salah satu majalah lifestyle di Korea. Ehm, karirku sebagai model sekarang sedang menanjak, jadi yaa jadwalku sangat padat. Aku akan berada di Pulau Jeju selama 3 hari 3 malam. Cukup panjang, karena pemotretan ini melibatkan banyak model dan banyak fotografer. Bisa dibilang seperti pemotretan besar-besaran dari majalah itu. Setelah pemotretan ini, aku akan langsung terbang ke Busan untuk pemotretan selanjutnya, lalu kembali lagi ke Seoul untuk menghadiri acara charity di kalangan model, lalu... eh, kemana lagi ya? Aish, saking sibuknya aku sampai lupa jadwalku sendiri -_-

“Soonhee~ya, ini jadwalmu selama 3 hari,” Hyora unnie, manajerku, mengangsurkan sebuah berkas kepadaku.

“Gumawo, unnie.”

“Kau sebaiknya berkenalan dengan fotografermu, agar kerjasama kalian berjalan dengan lancar.”

“Yang mana orangnya?”

“Itu, yang duduk di sana, yang sedang memainkan tablet. Rambutnya pirang dan memakai cardigan warna abu-abu,” katanya sambil menunjuk seseorang.

Aku melongokkan kepala, “oh yang itu? Baiklah, aku kesana dulu ya, unnie.”

Ia hanya mengangguk. Aku sendiri beranjak dari dudukku dan berjalan menuju orang itu.

“Annyeong haseyo,” sapaku ramah.

Ia mengangkat kepalanya dan melihatku dengan heran. Wajahnya, harusnya ia juga menjadi model, bukan sekedar fotografer, pikirku dalam hati.

“Ne, annyeong haseyo,” jawabnya dengan bahasa korea yang sedikit unik, karena dialeknya terdengar seperti orang asing.

“Aku Han Soon Hee, eee, kata manajer unnie, kau yang akan menjadi fotograferku, benar kah?”

Ia mengangguk, “Iya, aku Kris, fotografer untuk pemotretanmu besok.”

“Jadi kau model yang bernama Han Soon Hee?” tanyanya, sambil menunjukkan fotoku yang ada di tabletnya. Ternyata dari tadi ia melihat-lihat profilku di internet -_-

“Iya. Oh, kau sedang melihat profilku di internet?”

Ia terlihat tidak suka dengan pertanyaanku. Wajahnya yang terkesan “dingin” menjad terlihat lebih “dingin” -_-

“Wae? Tidak boleh?” tanyanya balik.

“Anni, geunyang...”

“Aku hanya ingin mempelajari modelku.”

“Mempelajari?” aku menggaruk-garuk kepala karena bingung.

“Itu yang selalu kulakukan sebelum mengarahkan modelku saat pemotretan.”

“Oh begitu,” aku membulatkan mulut.

“Kau keberatan?”

“Ne?”

“Kau keberatan kalau aku melihat profilmu di internet?”

“Anni anni, silahkan saja kalau itu memang membuat hasil pemotretan menjadi lebih baik.”

Ia hanya mengangguk-angguk.

“Eem, kalau begitu aku kembali ke tempat dudukku ya. Senang berkenalan denganmu, Kris~ssi.”

“Ne,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi di wajahnya.

“Eee, semoga kita bisa bekerjasama dengan baik,” aku mengulurkan tangan, mengajaknya untuk berjabat tangan.

Ia memandangiku heran. Aku tersenyum canggung sembari menggoyang-goyangkan tanganku yang masih terulur.

“Aaah, ne ne,” akhirnya ia menjabat tanganku dan tersenyum formal.

Aigoo, orang ini dingin sekali, pikirku dalam hati -_-

----*----

“Unnie, kau yakin fotografer itu akan mengarahkanku dengan baik?” tanyaku pada Hyora unnie, ketika kami berdua sudah duduk di dalam pesawat.

“Kenapa memangnya?” tanyanya balik, sembari sibuk mencatat di tabletnya.

“Eish, unnie, dengarkan akuu. Mencatatnya nanti saja,” aku merebut tabletnya.

Hyora unnie memandangku dengan kesal. Ia selalu kesal kalau dipisahkan dari tabletnya. Manajerku ini memang gila kerja -_-

“Oke, katakan apa yang mau kau katakan. Aku akan mendengarkan.”

Aku tersenyum semanis mungkin padanya.

“Ituuu, fotograferku besok.”

“Kris-ssi?”

“Unnie kenal dia?”

“Hanya tahu namanya. Kenapa dengannya?”

“Apa dia fotografer yang baik?”

“Tentu. Kemarin aku melihat daftar pekerjaan yang pernah ia kerjakan. Semuanya bagus.”

Aku mengangguk-angguk.

“Kau sudah berkenalan dengannya kan tadi?”

“Iya dan sedikit mengobrol.”

“Bagaimana orangnya?”

“Dingin sekali. Apalagi wajahnya juga mendukung. Senyumnya itu, aneh sekali, seperti senyum pramugari. Senyum formal. Dan apa ya, seperti errr menyeringai.”

Hyora unnie tertawa kecil.

“Kau perhatian sekali, sampai tahu hal seperti itu.”

“Kan tadi aku memperhatikan wajahnya ketika mengobrol.”

“Hati-hati nanti kau menyukainya,” godanya.

“Eiii~ unnie apa-apaan sih,” kilahku. Kemudian memandangi Kris yang duduk di barisan sebelah depan, tapi masih terlihat sebagian punggungnya.

“Lihat, sekarang kau malah memandanginya kan?” kembali Hyora unnie menggodaku sambil tertawa.

“Aaah, unnie,” aku memukulnya dengan bantal pesawat.

----*----

Rombongan kami sampai di Pulau Jeju pada malam hari. Perjalanan dari Seoul-Jeju hanya memakan waktu 1 jam, tapi karena kami berangkat pada sore hari jadi sampai di lokasi pun menjelang malam.

Selesai check-in di hotel, langsung diadakan dinner bersama. Aku sangat menyukai dinner bersama seperti ini, seperti penguat sebelum kerja keras dimulai. Aku bisa kenal semua kru yang akan bekerjasama denganku, mengetahui cara kerja mereka, dan pada akhirnya menghasilkan pemotretan yang menakjubkan.

“Soonhee~ssi?” panggil seseorang.

“Ne?” aku berbalik dari posisi dudukku, lalu kemudian terkaget begitu melihat siapa yang memanggil.

“Kris~ssi? Waeguraso?”

Ia tampak terkejut dengan pertanyaanku.

“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu bukan?” tanyanya balik.

“Ne?”

“Tadi manajermu bilang kalau kau memanggilku.”

Aku memasang wajah bingung. Dari tadi aku duduk di sini dengan beberapa kru dari bagian make-up dan wardrobe, bahkan aku tidak melihat Hyora unnie disekelilingku.

“Tidak, aku tidak meminta Hyora unnie memanggil siapa pun.”

Kris terlihat bingung dengan jawabanku.

“Ah, tapi karena kau sudah kesini, bagaimana kalau kau bergabung dengan kami?” aku mencoba menyelesaikan salah paham ini.

“Tidak perlu, aku juga sedang mengobrol dengan editor majalah dan fotografer yang lain. Sampai jumpa besok pagi,” ia langsung berbalik dan meninggalkan mejaku.

Aku tertegun. Ini pasti ulah Hyora unnie. Dasar tukang iseng.

----*----

“Unnie, kau ini apa-apan sih? Aku tidak enak sekali dengan Kris, aish jinja!!” aku langsung mengomel begitu Hyora unnie masuk ke kamar seusai dinner. Aku dan Hyora unnie menempati kamar yang sama selama pemotretan ini.

Selesai dinner, aku langsung masuk ke kamar untuk mencari Hyora unnie. Tapi dia malah baru kembali beberapa jam kemudian, entah kemana dulu. Kurasa dia habis minum dengan manajer-manajer yang lain.

Hyora unnie hanya bisa memasang tampang tidak berdosanya lalu terkikik.

“Mianhe, tadi aku hanya iseng saja, hehe. Tapi kau senang kan bisa mengobrol dengannya,” ia menyenggol bahuku, kembali menggoda.

“Maluu! Bukan senang, aish! Besok aku taruh dimana mukakuuu,” aku memukul-mukuli bantal di tempat tidur.

“Yaa, taruh di kepalamu lah, dimana lagi,” jawabnya tanpa dosa.

“Aish! Unnie menyebalkan!” teriakku sambil melangkah keluar kamar.

“Hei, mau kemana? Ini sudah jam 10 malam” Hyora unnie berteriak memanggilku.

“Jalan-jalan. Dan tidak usah menghubungiku. Aku akan pulang sesukaku.”

----*----

Aku menyusuri Pantai Jungmun sambil menenteng sandal flat-ku dan merasakan pasir menggelitik telapak kaki. Deru ombak yang terdengar merdu entah mengapa membuatku malas kembali ke kamar. Kulihat beberapa orang juga sedang melakukan aktivitas yang sama denganku. Beberapa yang lain memilih duduk-duduk sembari menikmati pemandangan gulungan riak ombak dengan bantuan penerangan dari lampu resort.

Aku yang sudah lelah berjalan, lalu ikut duduk di pasir pantai. Menengok ke kanan dan ke kiri, siapa tahu bertemu dengan orang yang kukenal.

“Kris~sii,” aku langsung menyapa ketika kulihat seseorang yang familiar duduk tepat di sebelahku.

Ia menengok ke arahku, lalu tersenyum, sama seperti senyum tadi sore. Kulihat beberapa minuman kaleng ada di dekatnya.

“Belum tidur?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Kris~ssi, aku minta maaf.”

“Untuk?”

“Tadi peristiwa ketika dinner, ternyata itu ulah manajer-ku. Dia memang suka sekali iseng. Maaf ya.”

“Oh. Aku bahkan sudah lupa dengan kejadian tadi,” jawabnya sambil menenggak minumannya.

“Ah ne.”

Aigooo, pria ini benar-benar -_-

“Tidurlah. Besok ada pemotretan pagi, jangan sampai kau telat,” katanya tiba-tiba.

“Kau sendiri juga belum tidur, padahal waktu pemotretan kita sama.”

“Aku biasa tidur malam.”

“Aku masih ingin melihat pantai,” kilahku.

“Kau seperti baru pertama kali ke Pulau Jeju,” tukasnya, sambil kembali minum.

“Pulau ini terlalu indah, sayang untuk melewatkan kesempatan berjalan-jalan meskipun di malam hari,” kataku sambil memandangi ombak.

“Lebih baik kau tidur sekarang. Kalaupun kau tidak telat, aku juga tidak ingin memotret model dengan kantung mata atau lingkaran hitam di matanya.”

Aku memandangnya dengan kesal. Aku berkata apa, dia menanggapinya apa -_-

“Kan ada make up, lalu itu, ada teknologi yang bisa membuat hasil pemotretan lebih bagus,” kilahku lagi.

“Aku tidak pernah mau memakai teknologi seperti itu. Jadi, lebih baik kau tidur sana.”

Aku bersungut-bersungut, “arraso, arraso, kupastikan besok tidak ada kantung mata dan lingkaran hitam di mataku, tuan fotografer.”

Aku kemudian bangkit dan berjalan cepat menuju kamar karena kesal pada Kris. Dasar menyebalkan! gerutuku dalam hati.

----*----

“Yak, satu kali lagi, lalu ganti kostum. Satu, dua, tiga!” teriak Kris di tengah pemotretan.

Aku lalu berpose sesuai dengan arahannya dan berusaha tetap profesional, meski aku sedikit kesal dengannya karena kejadian tadi malam dan peluh sudah sedari tadi mengucur. Musim panas sedang puncak-puncaknya, jadi suasana sangat gerah, apalagi di luar ruangan. Persis seperti saat ini. Ditambah rasa kesal. Rasanya aku ingin mandi air es seharian -_-

“Oke, Soonhee~ssi, kau bisa berganti kostum,” titah Kris. Ya, fotografer layaknya bos ketika pemotretan sedang berlangsung. Semua hal yang ia katakan adalah perintah dan harus dituruti.

Aku segera berjalan menuju ruang kostum. Kru make up dan wardrobe langsung mengerumuniku dan membantu untuk berganti kostum. Hyora unnie juga menghampiriku sembari membawakan minuman dan mengipasiku.

“Ini kostum yang terakhir kan untuk jadwal hari ini?” tanyaku pada salah satu kru, ketika aku sudah berganti kostum .

“Ne.”

“Unnie, setelah ini kita harus berjalan-jalan,” ajakku pada Hyora unnie.

“Anniyo Soonhee~ya, kau harus beristirahat untuk pemotretan besok.”

Aku mengerucutkan bibir. Beberapa kru tertawa begitu melihat adegan tadi.

“Soonhee~ssi, berapa usiamu? Kau masih terlihat seperti anak kecil,” tanya salah seorang kru yang sedang men-touch make up-ku.

“Dia memang masih kecil, tubuhnya saja yang seperti raksasa,” jawab Hyora unnie.

“Unnie!” kembali aku mengerucutkan bibir.

Mereka kembali tertawa.

“Aigoo, kyeopta,” pekik beberapa dari mereka.

“Aku sudah cukup dewasa, unniedul. Aku sudah 22 tahun,”  jawabku.

“Aigoo, itu masih muda. Hidupmu masih panjang, jagii~” salah seorang kru mencubit pipiku, lalu diikuti gelak tawa yang lain.

Aku kembali mengerucutkan bibir karena menjadi bahan candaan mereka.

“Soonhee~ssi,” tiba-tiba seseorang datang dan membuat gelak tawa terhenti seketika.

“Ne?”

Kris berjalan mendekatiku dan memperhatikan tubuhku dari atas sampai bawah.

“Kalau sudah siap, segera keluar. Jadwal pemotretan masih panjang dan kru masih harus terus bekerja walaupun pekejaanmu sudah selesai.”

“Arraso. Ini juga mau keluar,” jawabku sambil merapikan kostum.

“Pastikan nanti malam kau tidak berjalan-jalan lagi dan tidur lebih cepat. Tadi aku melihat hasil foto dan ada sedikit lingkaran hitam di matamu,” katanya sambil berjalan keluar ruangan.

“Arraso,” teriakku dengan nada kesal.

Unniedul memandangi dengan tatapan penuh arti.

“Ooh, jadi tadi malam kau berjalan-jalan dengan Kris sampai malam dan tidur larut malam?” tanya Hyora unnie sambil menggerak-gerakkan alisnya, kembali menggodaku.

“Anni, tadi malam aku hanya tidak sengaja bertemu dengannya,” belaku.

“Soonhee~ssi, ini pertama kalinya aku melihat Kris~ssi memperhatikan modelnya,” timpal salah satu kru. Kru yang lain mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

“Maksudnya?”

“Selama ini dia bahkan tidak peduli modelnya tidur malam, pagi, atau malah tidak tidur sama sekali. Dia juga sepertinya tidak pernah peduli dengan kantung mata atau lingkaran hitam di mata. Hal yang terpenting model itu profesional ketika sesi pemotretan dimulai,” jelasnya.

“Sepertinya dia menyukaimu,” Hyora unnie kembali menggodaku.

“Iya iya. Kris itu tampan kok, hanya jarang tersenyum saja,” kru unnie yang lain ikut menimpali.

“Tapi dia menyebalkan, unniedul.”

“Kau belum pernah mendengar ungkapan benci jadi cinta?” goda Hyora unnie dan kru unnie lain kembali menertawakanku.

“Kalian semua menyebalkan,” gerutuku lalu segera keluar dari ruangan itu.

----*----

“Unnie, aku mau jalan-jalan lagi,” pamitku. Ini sudah jam 10 malam, tapi aku masih belum mengantuk. Pasti ini karena seharian tadi, setelah sesi pemotretan selesai, aku tidur sepuasnya.

“Heii, kau tidak dengar pesan fotografer tampan-mu tadi siang? Kau tidak boleh berjalan-jalan dan harus tidur cepat,” goda Hyora unnie.

“Unnie apa-apaan sih,” aku melemparnya dengan bantal lalu terkikik.

“Aaah, atau kau malah ingin bertemu dan berjalan-jalan dengannya?”

“Eii~ jinja!” aku melangkahkan kaki keluar kamar, tidak memperdulikan omongannya.

Kembali aku menyusuri daerah pantai sembari bersenandung kecil. Karena ini sudah malam, aku tidak berani berjalan-jalan ke daerah lain. Aku hanya mengulangi perjalananku kemarin malam.

“Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tidur cepat malam ini,” tiba-tiba seseorang berkata di belakangku.

Aku membalikkan badan dan ternyata orang itu Kris. Lagi-lagi dia, aigooo. Kenapa sih aku selalu bertemu orang ini, gerutuku dalam hati.

“Hanya sebentar saja, kok. Kau sendiri, kenapa kau selalu ada di sekitarku?” tunjukku ke arahnya. Kris memakai kaos lengan pendek dan celana selutut, sambil menenteng satu krat minuman kaleng. Aku agak ragu, itu minuman beralkohol atau minuman soda.

“Tentu saja karena kita tinggal dan berada di kawasan yang sama, Soonhee~ssi,” jawabnya.

Aku menggaruk-garuk kepala. Benar juga jawabannya -_-

Ia kemudian duduk, membuka salah satu kaleng minumannya dan menenggaknya. Aku sendiri malah ikut duduk di sebelahnya.

“Aku boleh minta minum? Hauuus,” pintaku.

Ia memberikan satu kaleng kepadaku.

“Khamsahamnida,” aku segera membuka kaleng itu dan meminumnya. Ternyata itu minuman bersoda.

“Kupikir kau membawa minuman beralkohol,” kataku kemudian.

“Aku tidak suka minum minuman seperti itu.”

“Berarti kau tidak suka soju? Aigoo, itu kan minuman kebanggaan orang Korea.”

“Aku kan bukan orang Korea.”

Aku memandangnya dengan terkejut.

“Mwo?”

Ia balas memandangku dengan tatapan malas.

“Aku orang Cina.”

“Aah, jadi kau orang Cina? Pantas saja bahasa korea-mu agak aneh,” komentarku.

“Apa tidak terlihat dari wajahku?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng.

“Orang bilang wajahku tidak seperti orang Korea.”

“Aku tidak bisa membedakan wajah orang Korea dan Cina. Maksudku, mereka sama-sama berkulit kuning dan bermata sipit kan? Yang membedakan yaa hanya faktor bahasa. Jadi kalau ada orang dengan ciri-ciri seperti itu lalu fasih berbahasa Korea, berarti dia orang Korea. Dan juga sebaliknya,” kataku sambil tertawa.

“Babo,” ucapnya sambil tersenyum menyeringai.

“Yak! Kita belum terlalu kenal, tapi kau berani mengataiku ‘babo’!” protesku sambil memukul lengannya.

“Memang begitu kan kenyataannya?” jawabnya santai sambil kembali menenggak minumannya.

Aku mengerucutkan bibir.

“Kau semakin terlihat kekanakan jika bertingkah seperti itu.” komentarnya.

“Kau! Aish!” aku kembali ingin memukulnya, tapi tidak jadi.

Ia malah memandangiku dengan tatapan tajamnya.

“Berapa usiamu?”

“Dua puluh dua tahun, wae?” tantangku.

“Bertingkahlah sesuai dengan umurmu, Soonhee~ssi, jangan seperti anak kecil. Dan sebaiknya, kau tidur sekarang,” katanya, kemudian beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkanku.

“Aish, jinja!” gerutuku.

----*----

Ini hari kedua pemotretan. Lokasinya berpindah dari lokasi pemotretan kemarin, tapi tetap berlangsung di suasana yang sangat panaaaas. Ditambah rasa kesalku yang bertambah pada Kris. Hal yang membuatku heran, dia terlihat biasa saja ketika bertemu denganku tadi pagi. Dia seperti lupa kalau kemarin malam sudah mengatakan hal-hal yang membuatku kesal.

“Hei, Soonhee~ssi, kau melamun?” teriak Kris, sambil berkacak pinggang.

Aku tergagap, seluruh kru memandangiku.

“A..a..anni.”

“Jangan sebut dirimu model kalau tidak bisa berkonsentrasi ketika pemotretan. Kau bertanggung jawab pada semua manusia yang ada di lokasi ini,” teriaknya lagi.

“Ne, ne, ne. Maafkan aku,” aku membungkuk pada semua kru.

“Oke, kita lanjutkan.”

Aku melihat ke arah Hyora unnie, rasanya ingin menangis karena diteriaki di depan umum seperti ini. Hyora unnie hanya bisa menyemangatiku dari jauh.

“Soonhee~ssi, kau tidak mendengar perkataanku tadi?” kembali Kris berteriak memanggilku.

“Ne, ne,” aku segera berkonsentrasi dan berpose sesuai arahannya tadi.

----*----

“Gwenchana, Soon Hee~ya?” tanya Hyora unnie setelah sesi pemotretan selesai. Aku sedang berada di ruang kostum, menghapus make up-ku dan berganti baju.

“Unnie,” aku memeluknya.

“Aigoo, uri Soonhee~ya kasihan sekali,” Hyora unnie membelai pelan punggungku.

“Aku kesal padanya, unnie. Kemarin malam dia sudah mengataiku babo dan kekanakan, lalu tadi dia meneriaki aku di depan banyak orang. Aku kesal padanyaaa,” aku melepaskan pelukan kami dan mengadu pada Hyora unnie.

“Tadi malam kau bertemu lagi dengannya?”

Aku mengangguk pelan.

“Whaaa, tapi dia agak benar sih. Kau memang kekanakan dan tadi saat pemotretam terlihat tidak konsentrasi.”

“Aaaaa, unniee,” aku memukul pelan lengannya.

Hyora unnie tertawa kecil, “mian, mian.”

“Kau juga tadi kenapa tidak konsentrasi sih? Unnie sudah berkali-kali mengingatkanmu kan?”

Aku mengerucutkan bibir.

“Tadi gara-gara aku memikirkan ucapannya kemarin malam, unnie.”

“Omoo, kau memikirkan Kriss?”

“Bukan diaaa, tapi omongannyaaa. Dia menyebalkan, unnieee,” kembali aku bersungut-sungut.

“Ne ne ne, unnie tahu apa yang kau rasakan. Sabar ya, besok sudah hari terakhir kok, kau bisa lepas darinya,” kata Hyora unnie sambil mengedipkan mata.

Aku mengangguk patuh.

“Sudah, sekarang kau istirahat saja ya.”

“Unnie, aku ingin makan es krim cokelat. Boleh?”

“Yasudah sana, beli sendiri. Aku menunggu di kamar ya.”

Aku kemudian tersenyum lebar, meraih tasku dan berpamitan pada kru yang lain lalu berjalan riang untuk membeli es krim cokelat. Es krim kesukaanku.

----*----

Aku menyendok es krim cokelatku sambil melihat pemandangan di luar tempat penjual es krim ini. Pemandangan yang sama dengan tadi malam, pantai berpasir indah dengan gulungan ombak yang tidak terlalu besar.

Aku tersenyum kecil. Es krim cokelat selalu membuat hatiku tenang setelah melalui beragam peristiwa yang tidak menyenangkan dalam hidupku. Dan pemandangan yang sedang kusaksikan saat ini makin membuat hatiku tentram.

Aku kembali tersenyum saat melihat dua anak kecil sedang bermain pasir. Mereka sangat imut dan menggemaskan. Kemudian datang satu anak lagi sambil menggandeng seorang laki-laki bertubuh tinggi. Ketika kuperhatikan secara seksama, ternyata laki-laki itu Kris! Astagaaa, bisakah sehari saja aku tidak melihatnya? Aku mengerang dalam hati.

Eranganku makin keras ketika Kris berjalan memasuki tempat penjual es krim sambil menggandeng anak kecil tadi. Sepertinya ia ingin membelikan es krim untuk mereka.

“Hei Soonhee~ssi,” sapanya setelah melihatku.

Aku hanya tersenyum singkat padanya. Tumben dia menyapaku, pikirku dalam hati.

“Kau menculik anak siapa?” tanyaku asal.

Diluar dugaanku, Kris malah tertawa kecil setelah mendengar pertanyaanku.

“Apa tampangku seperti penculik?”

Iya! Mirip sekali! jawabku dalam hati.

“Aku sedang berjalan-jalan, lalu mereka tiba-tiba mengajakku bermain dan minta dibelikan es krim.”

Aku hanya mengangguk-angguk.

“Minwo~ya, beri salam pada immo. Dia temannya samchon,” Kris berkata pada anak kecil yang ia gandeng.

“Annyeong haseyo, immo,” ia membungkuk kepadaku.

“Annyeong, Minwo~ya,” aku mendekatinya lalu mengusap-usap rambutnya. Imut sekali anak ini.

“Kau membeli es krim apa?” tanyaku padanya.

“Strawberry, tapi Jihye dan Jihyo ingin es krim cokelat.”

“Jihye dan Jihyo itu temannya. Itu mereka,” tambah Kris lalu menunjuk dua anak kecil yang tadi kuperhatikan.

“Aigoo, kau imut sekali,” aku mencubit pipi Minwoo.

“Khamsahamnida, immo.”

“Aku ke depan dulu ya, memberikan es krim ke dua gadis kecil itu,” Kris tiba-tiba pamit sambil memegang tiga cup es krim. Minwoo sendiri sudah memegang cup es krimnya sendiri.

“Hmm,” aku hanya menjawab dengan deheman.

“Ayo, pamit dulu pada immo,” Kris kembali berkata pada Minwoo.

“Annyeongigaseyo, immo,” Minwoo pamit sambil melambaikan tangan.

“Annyeong,” aku balas melambaikan tangan, sampai mereka berdua keluar dari tempat penjual es krim. 

Aku kembali duduk dan memakan es krimku. Aku memperhatikan Kris dan ketiga anak kecil itu. Mereka bermain pasir sambil makan es krim dengan akrab. Sesekali Kris akan menyeka es krim yang berceceran di mulut ketiga anak itu, membelai rambut mereka dan tertawa dengan tulus. Maksudku, bukan tersenyum formal yang selama ini selalu ia tunjukkan padaku. Aku jadi ikut tersenyum begitu melihat pemandangan itu, entah mengapa.

Sekitar 10 menit kemudian, ketiga anak kecil tadi pergi dan melambaikan tangan pada Kris. Kris membalas melambaikan tangan, lalu berjalan masuk ke dalam tempat penjual es krim dan mendekatiku.

“Aku boleh duduk disini?” pintanya sambil menunjuk kursi yang ada di hadapanku.

“Silahkan,” jawabku.

“Mereka kemana? Anak-anak itu?” tanyaku, lalu kembali menyendok es krim. Es krim ini entah kenapa tidak habis-habis -__- Ah iya, ini karena aku lebih banyak memperhatikan Kris dan ketiga anak kecil tadi daripada memakannya.

“Mereka dipanggil orangtuanya, waktunya kembali ke kamar sepertinya.”

“Oh. Kau sepertinya menyukai anak-anak.”

Mata Kris tiba-tiba berbinar.

“Iya, kurasa sangat aneh kalau ada yang tidak menyukai anak kecil. Mereka seperti malaikat. Putih, suci, dan tanpa dosa. Membuatmu selalu merasa, emmm, menyukai dan mencintai mereka.”

Entah kenapa aku ingin tertawa begitu mendengar jawabannya. Tidak seperti Kris yang selama ini aku kenal.

“Wae?” tanyanya, begitu melihat raut mukaku yang menahan tawa.

“Anni, aku hanya terkejut mendengar jawabanmu. Ternyata kau punya sisi “lembut” seperti itu. Selama dua hari ini, kau terlihat sangat dingin dan errr menyebalkan,” kataku terus terang.

Ia tersenyum.

“Mungkin aku punya dua sisi yang berbeda dalam diriku. Ah iya, maaf tadi aku meneriakimu di depan kru-kru. Aku hanya ingin sesi pemotretan berjalan dengan lancar dan cepat. Maaf ya.”

Aku hanya mengangguk-angguk.

“Aku juga minta maaf, kemarin malam sudah mengatai kau babo dan kekanakan.”

Kembali aku mengangguk-angguk.

“Jangan hanya mengangguk-angguk saja.”

“Iya iyaaa, kumaafkan,” jawabku.

“Tapi kurasa kau memang babo dan kekanakana.”

“Yak!” aku berteriak tidak terima dengan perkataannya barusan.

Ia malah tertawa.

“Hanya bercanda. Kau makan es krim cokelat?” tanyanya.

“Iya, kenapa?”

“Aku baru pertama kali melihat model yang makan es krim cokelat dengan santai sepertimu. Mereka biasanya hanya makan daun-daunan.”

Aku tertawa kecil mendengar perkataannya.

“Daun-daunan? Kau pikir mereka binatang, aigooo.”

“Kalaupun tidak makan daun, mereka hanya minum berbotol-botol besar air putih. Aku tidak tahu darimana mereka bisa mendapat energi untuk melakukan pemotretan selama berjam-jam,” katanya sambil berdecak.

Aku kembali tertawa.

“Kau lucu sekali, Kris~ssi.”

----*----

Aku baru kembali ke kamar ketika matahari sudah mulai terbenam.

“Kau membeli es krim di Seoul?” tanya Hyora unnie begitu melihatku masuk kamar.

Aku hanya tersenyum sambil membuat tanda peace dengan kedua jariku.

“Aku bertemu Kris dan mengbrol banyak dengannya,” jelasku, masih dengan senyuman di wajah.

“Whoaaa, lalu sekarang kau mulai menyukainya, begitu?”

“Unnie, kau ini ada-ada saja,” aku melangkah masuk ke kamar mandi dan mencuci mukaku.

“Kris itu sepertinya menyukaimu, Soonhee~ya. Kau selalu bertemu dengannya kan setiap kali pergi berjalan-jalan di malam hari? Siapa tahu dia mengikutimu. Kamarnya kan berdekatan dengan kamar kita, jadi dia bisa tahu kapan kau pergi.”

“Maksudmu, dia stalker begitu?” tanyaku sambil melap muka dengan handuk, lalu membaringkan tubuhku di tempat tidur.

“Mungkin saja. Lalu itu, mengingatkanmu untuk tidur lebih cepat. Buat apa coba? Kalian bahkan baru kenal.”

“Yaa, hanya sekedar melakukan tugasnya sebagai fotografer. Tidak ingin modelnya telat dan tampilannya tidak maksimal saat pemotretan.”

Hyora unnie terlihat tidak puas.

“Tapi tetap saja, kurasa dia menyukaimu. Oh iya, ini hal yang sudah pasti. Kau menyukainya kan, Soonhee~ya? Mengaku saja padakuuu,” Hyora unnie menggodaku sambil menjulurkan lidah.

“Tidak, biasa saja,” jawabku cuek.

“Aaah, jangan bohong padaku. Aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun.”

“Unnie tidak usah sok tahu seperti itu.”

“Ayolah Soonhee~ya, hal itu sudah terlihat jelas di wajahmu.”

Aku menatap Hyora unnie dengan bingung.

“Heh? Bagaimana bisa?”

“Tuuuh kan, kau menyukai diaaa,” Hyora unnie lalu tertawa sambil berguling-guling di tempat tidur. Dia terlihat sangat gembira karena bisa menggodaku.

“Unnieee!”

----*----

“Unnie, aku ingin makan es krim cokelat lagi,” kataku tiba-tiba. Ini sudah jam 8 malam. aku dan Hyora unnie sudah selesai makan malam dan sedang bersantai di dalam kamar.

“Hah? Tadi siang kan kau sudah makan.”

“Tapi aku ingin lagiii,” aku memohon dengan memasang muka memelas.

“Yasudah sana. Selesai membeli langsung kembali ke kamar. Pemotretan besok lebih pagi daripada kemarin-kemarin. Kau juga belum mengemasi barang bawaanmu kan? Kita langsung ke Busan begitu pemotretan selesai,” Hyora unnie langsung memberikan wejangan.

“Arraso, arraso. Unnie mau titip?”

“Tidak. aku sudah kenyang.”

“Oke. Aku pergi dulu ya, annyeooong,” aku berlari menuju pintu kamar.

Begitu keluar kamar, aku hampir saja kehilangan nafas. Kris sedang berdiri di depan kamar seberang dan tampaknya sedang mengunci pintu. Aku tidak sempat bereaksi apapun ketika ia membalikkan badan dan melihatku yang terpaku di depan kamar.

“Hei,” sapanya, lalu berjalan mendekatiku.

“Kau kenapa ada disini?” pertanyaan bodoh, kau memang bodoh Soonhee! rutukku dalam hati.

“Tampaknya kamar kita berada di lorong yang sama.”

Aku hanya mengangguk-angguk untuk menyembunyikan kebodohanku.

“Mau berjalan-jalan lagi?” tanyanya.

“A..a..aku hanya ingin keluar membeli es krim coklat,” jawabku.

Ia mengerutkan kening.

“Jam segini makan es krim coklat? Kau tidak takut gendut? Biasanya model sepertimu sangat menghindari makan di malam hari. Apalagi es krim.”

“Tidak, aku mau makan sebanyak apapun toh tubuhku akan tetap seperti ini.”

“Kau tidak menderita gangguan makan kan?” tanyanya dengan nada menyelidik.

“Tidak, aku sehat, memang tubuhku seperti ini.”

Ia hanya mengangguk-angguk.

“Aku juga sepertinya ingin makan es krim coklat. Ayo,” ajaknya.

----*----

Kami berdua kembali duduk di tepi pantai sambil makan es krim, di tempat yang sama seperti kemarin malam. Hanya bedanya, kali ini Kris tidak menyuruhku segera tidur.

“Kau tidak menyuruhku untuk tidur cepat malam hari ini?” tanyaku.

“Aku suruh berapa kalipun, kau akan tetap tidur malam kan?”

“Habisnya kau menyuruhku dengan nada menyebalkan sih,” jawabku jujur.

Kris hanya tersenyum.

“Kau ini selalu terus terang ya,” komentarnya.

Aku hanya mengangkat bahu.

“Selesai pemotretan ini, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya tiba-tiba.

“Aku? Emm, ada pemotretan lagi di Busan. Tapi hanya sehari.”

“Patuhi perintah fotografernya. Jangan membantah, seperti yang sering kau lakukan padaku.”

Aku mengerucutkan bibir.

“Aku tidak pernah membantahmu.”

“Itu barusan apa?” katanya lalu tertawa kecil.

“Itu mendebat,” kilahku.

“Menurutku sama saja.”

“Terserah kau,” aku kembali melanjutkan memakan es krimku.

Kris memandangiku lalu tersenyum.

“Dasar bocah.”

“Yak! Kau hanya lebih tua setahun dariku!”

Ya, Kris berusia 23 tahun. Hal ini kuketahui dari percakapanku dengannya tadi siang. Percakapan tadi siang juga membuatku menyadari bahwa ia tidak se-menyebalkan seperti apa yang selama ini kusangka. Mungkin sifat dingin dan menyebalkannya itu hanya persona.

“Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan setelah pemotretan ini?” tanyaku padanya.

“Sepertinya aku masih akan tinggal disini untuk melihat hasil foto, memilih yang terbaik dan berdebat dengan editor majalah.”

“Berdebat?”

“He em. Kadang fotografer dan editor memiliki pandangan berbeda mengenai foto yang akhirnya masuk ke majalah.”

“Dan kau akan mati-matian mempertahankan pendapatmu kan?”

Ia memandangiku lalu tersenyum, lagi.

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Yeah, tertulis jelas di dahimu,” jawabku asal.

Ia tertawa kecil begitu mendengar jawabanku.

“Besok pemotretan terakhir,” gumamnya kemudian.

“Lalu kenapa?” tanyaku.

“Tidak apa-apa,” ia kembali tersenyum.

Aku kembali sadar, bahwa senyumnya sangat indah. Kontras dengan wajahnya yang terkesan kaku dan ‘dingin’

“Kris~ssi,” panggilku kemudian.

“Hmm?”

“Apa aku boleh memanggilmu ‘oppa’? Memanggil Kris~ssi entah kenapa terasa aneh.”

“Apa namaku terdengar sangat aneh?”

“Tidak, hanya saja memanggil Kris~ssi itu apa yaa emm...”

“Iya iya, kau boleh memanggilku oppa.”

Aku tersenyum semanis mungkin kepadanya. Ia kembali tertawa kecil.

“Dasar bocah!” kembali ia memanggilku dengan sebutan bocah.

Aku berdecak kesal, lalu kembali menekuni es krimku.

Mendadak suasana hening tercipta. Kami berdua sama-sama sibuk makan es krim sambil melihat ombak yang bergulung-gulung. Entah kenapa pemandangan malam ini lebih indah dari dua malam sebelumnya.

“Oppa,” panggilku kemudian.

“Ne?” ia memandangku.

“Kau mirip dengan es krim cokelat ini” kataku sambil mengaduk-aduk es krim.

“Maksudmu?”

“Es krim cokelat terlihat sangat dingin, akan membuat gigimu sakit, dan terlihat tidak menarik ketika kau melihatnya untuk pertama kali. Tapi begitu dimakan, rasanya sangat enak dan kau selalu ingin memakannya.”

“Oh jadi maksudmu, aku sangat enak dan kau ingin selalu memakanku?” katanya dengan nada jahil, lalu tertawa kecil.

Aku ikut tertawa, ternyata dia punya sense humor juga.

“Bukaan. Maksudku, kau terlihat dingin, tidak menyenangkan, dan menyebalkan pada awalnya. Tapi setelah bertemu dan mengobrol beberapa kali denganmu, kau cukup menyenangkan. Yaa, walaupun terkadang caramu berbicara atau menyampaikan sesuatu terlihat menyebalkan, tapi sebenarnya kau bermaksud baik. Dan sepertinya, aku ingin terus berjumpa dan mengobrol denganmu, hehe.”

Ia hanya tersenyum mendengar penjelasanku.

“Ya, mungkin aku seperti es krim cokelat ini, Soonhee~ya,” ujarnya sambil mengusap noda es krim yang ada di sudut bibirku.

Tindakannya itu membuat jantungku berdetak lebih kencang.

Mulai detik itu, aku menyadari kalau aku menyukainya.

----*----

Hari ini pemotretan terakhir. Di jadwalnya tertulis bahwa pemotretan ini hanya akan berlangsung selama sekitar dua jam. Kru-kru sudah terlihat sangat lelah. Padahal sehabis pemotretanku, mereka harus tetap bekerja untuk sesi pemotretan selanjutnya dengan model lain.

Aku sendiri sudah selesai di make up serta memakai kostum, tinggal menunggu perintah dari Kris.

“Soonhee~ya,” mendadak Hyora unnie memanggilku.

“Ne, unnie. Wae?”

“Kau dan Kris sedang menjadi gosip diantara kru,” bisiknya.

“Eh? Bagaimana bisa?” aku terkejut dengan hal ini.

“Katanya ada kru yang melihat kalian berdua jalan bersama tadi malam. Ooh, jadi begitu ya. Kau bilang tidak menyukainya, tapi ternyata malah jalan bersama.”

“Anniyo unnie, aku hanya kebetulan saja bertemu dengannya.”

“Makan es krim bersama juga kebetulan?” tanyanya lagi dengan nada menggoda.

“Oh, bagaimana kau bisa tahu? Tapi itu juga kebetulan. Jinjayo, unnie.”

“Eiii~ kau berbohong kan?” todongnya sambil menunjukku dengan jari telunjuknya.

“Anniyoo, uniie. Aku...”

“Soonhee~ya,” tiba-tiba Kris memanggilku dari belakang. Aku segera berbalik untuk menghadapnya.

“Ne?”

“Kita mulai sekarang ya,” katanya sambil tersenyum. Senyum tulus. Bukan senyum formal.

“Ah ne, ne oppa,” jawabku patuh.

Ia menepuk pelan kepalaku lalu berjalan kembali menuju kamera yang sudah ter-setting.

“Aigooo, kalian mesra sekali.” Hyora unnie kembali heboh.

“Unnie, kau ini heboh sekali. Sudah ah, aku mau bersiap-siap.”

Aku meninggalkan Hyora unnie dan berjalan menuju set lokasi untuk menunggu arahan dari Kris.

“Hei, masih bersemangat untuk hari terakhir?” sapanya setelah melihatku.

Aku hanya tersenyum menanggapi.

“Baiklah, untuk hari ini, kau bebas mau berpose seperti apa. Sesuaikan saja dengan kostum yang kau pakai dan suasana saat ini. Oh iya, pastikan kau mengeluarkan, ehm apa ya, ekspresi keceriaan di musim panas. Kau harus terlihat ceria, itu saja sih. Aku percaya hasilnya pasti akan bagus. Mengerti?”

“Iya. Aku akan berusaha.”

“Bagus,” pujinya sambil kembali menepuk kepalaku. Dan entah mengapa, mendadak aku ingin pemotretan ini berlangsung lebih lama lagi....

                                                                                                  ----*----

Aku sudah berada di airport, menunggu pesawat menuju Busan bersama Hyora unnie. Kami berdua langsung berangkat ke airport begitu urusan pemotretan tadi selesai. Untungnya aku masih sempat berpamitan dan berterima kasih atas kerjasama yang baik pada semua kru pemotretan. Aku juga sudah berpamitan pada Kris. Walaupun begitu, aku masih merasakan sesuatu yang mengganjal. Tapi aku sendiri tidak tahu apa.

“Hei, kau sudah merindukan fotografer tampan-mu itu?” kembali Hyora unnie menggodaku.

“Unnie, berhentilah menggodaku,” aku menggerutu, lalu memainkan handphoneku.

“Nanti kucarikan nomor handphone-nya. Kau tenang saja, aku kan manajer hebat,” kembali ia menggodaku. Lalu tiba-tiba terdengar pengumuman untuk masuk ke dalam pesawat.

Aku dan Hyora unnie lalu masuk dan duduk sesuai dengan nomor kursi yang ada di tiket. Aku duduk di dekat jendela, supaya bisa melihat pemandangan di luar sana.

“Hanya satu setengah jam kan perjalanan kita?” tanyaku memastikan.

Hyora unnie mengangguk lalu kembali sibuk dengan tabletnya. Pertanda ia tidak bisa diganggu gugat.

Aku menghela nafas panjang, lalu memandangi awan dari balik jendela. Hatiku sedih sekali rasanya, tapi aku tak tahu apa penyebabnya.

Lebih baik aku tidur saja, pikirku dalam hati. Aku kemudian menutup mata dan mencoba untuk tidur.

“Hei bocah.”

Aku sepertinya baru saja memejamkan mata, tapi ternyata sudah mimpi. Dan parahnya, aku memimpikan Kris. Bahkan suaranya terdengar sangat nyata.

“Hei bocaaah.”

Suara itu kembali terdengar, tapi entah kenapa terasa sangat nyata. Perlahan-lahan akupun membuka mata.

“Hei.”

Aku langsung terlonjak kaget begitu melihat siapa yang sedang duduk di sampingku. Kris oppa.

“Ka..kau, bagaimana bisa?”

Ia hanya tersenyum, lalu kembali menepuk kepalaku.

“Aku hanya ingin mengantarmu sampai Busan.”

Mulutku menganga karena bingung, lalu kemudian melongokkan kepala untuk mencari keberadaan Hyora unnie. Ternyata ia sudah duduk di kursi lain yang ada di barisan seberang. Dia hanya tersenyum kecil sambil mengacungkan dua jemarinya membentuk tanda ‘peace’.

Aku kemudian memandangi Kris dengan tatapan bingung, sementara ia balik memandangiku dengan penuh senyuman.

“Wae?” tanyaku kemudian padanya.

Kris terlihat bingung dengan pertanyaanku.

“Mengapa apanya?” tanyanya balik, masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

“Mengapa kau mengantarku sampai Busan? Bukankah kau masih ada pekerjaan di Jeju?”

“Aku akan melihat dan memilih foto di Busan. Aku juga bisa berdebat dengan editor melalui telepon,” jawabnya, kembali menepuk-nepuk kepalaku.

“Wae?” tanyaku lagi, tidak puas dengan jawabannya.

“Karena aku menyukaimu dan terus ingin bersamamu.”

 

-FIN-

00:49 am

9 Januari 2013

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
orionbaozi
#1
Chapter 1: Waaaaaaaaaaaaaaaaa lucu bgt ;u;