Ch.1

this kind of happiness [Bahasa]

 

 

1

============

 

“Boxian? Siapa Boxian?” Baekhyun mengernyit heran membaca coretan di halaman muka essainya. Ditulis di bawah poin B+ bahwa si Boxian ini diminta merevisi beberapa poin latar belakang, termasuk beberapa kesalahan ketik. Daehyun yang membagikan terlanjur berlalu, tak sempat dimintai penjelasan.

 

Baekhyun, seumur hidup namanya adalah Baekhyun.

 

“Kyungsoo, mana milikmu?” tanyanya.

 

Tanpa banyak tanya, Kyungsoo menunjukkan miliknya yang diberi nilai B-, tanpa coretan apa pun. Nilai itu, sebuah kesalahan besar, kata Kyungsoo. Isi essainya tak jauh berbeda dengan milik Baekhyun jadi apa yang membuat Baekhyun lebih istimewa darinya? “Aku akan menuntut.” Ia memasukkan buku-buku ke dalam tasnya dan bangkit, melupakan makan siang yang masih tersisa. “Kau mau ikut?”

 

“Ke mana?” Baekhyun tergopoh-gopoh mengikuti Kyungsoo.

 

“Ke asisten Prof.Jung yang baru. Dasar orang Cina! Apa yang dipikirkannya, uh?”

 

“Ada apa dengan orang Cina? Tapi... hei, bukankah asisten Prof.Jung itu orang Busan?”

 

“Aish, kau mau bantu aku tidak?” Kyungsoo menggamit lengan Baekhyun. “Sekalian saja tanyakan, kenapa ia memanggilmu Boxian.”

 

Mereka tak harus mencapai ruang dosen untuk menemukan orang yang dimaksud. Yang dicari sedang duduk di salah satu bangku taman. Earphone menyumbat telinga sementara pandangan terserap penuh pada halaman buku tebal di pangkuan. Sebotol air putih dan bulatan apel terbengkalai di sampingnya, gagal menarik perhatian.

 

Baekhyun meringis melihat Kyungsoo menjatuhkan essainya di atas buku sang asisten, mengagetkannya. Kaget, bukan marah. Dengan wajah datar, orang itu mempertanyakan aksi Kyungsoo yang tanpa aba-aba.

 

“Kurasa kau membuat kesalahan di sini. Kenapa memberiku B-? Aku tak terima!” kata Kyungsoo tanpa repot-repot merendahkan suara, karena normalnya, asisten dosen berada setingkat di bawah dosen.

 

“Do... Kyungsoo.” Orang itu—Baekhyun belum mengingat namanya karena saat perkenalan Rabu lalu, ia absen jam pertama kelas praktikum—mengeja nama di sampul essai. “Maaf, apa katamu barusan?” ia melepas earphone dan memberi perhatian berlebih pada lawan bicara.

 

Oh, mata itu...

 

“Yifan-sshi, aku tahu kau masih berada dalam tahap penyesuaian tapi justru saat seperti ini kau harusnya bisa mendulang simpati dari orang-orang. Tak banyak orang baru di tempat ini yang diterima begitu cepat. Kau... baru saja kehilangan salah satu dari mereka,” kata Kyungsoo dengan gaya menceramahi. “Dengar, aku mau nilaiku diganti. Entah bagaimana caranya. Titik. Bye...”

 

Kepergian Kyungsoo yang begitu saja, dipandangi dua orang yang ditinggalkan tanpa kata-kata. Baekhyun buru-buru minta maaf atas perlakuan lancang rekannya. Kegagalan meraih prestasi terbaik di beberapa mata kuliah membuat Kyungsoo sedikit frustasi. Sudah tak ada lagi toleransi apabila di kelas yang diasisteni Yifan, mata kuliah yang dengan percaya diri dianggapnya semudah pelajaran anak SD, kembali terulang kegagalan yang sama.

 

Yifan menerima bungkukan dalam Baekhyun dengan berdiri dari tempatnya sebelum terdiam dan mempelajari sosoknya dengan seksama. “Oh, kau... Boxian? Ada yang ingin kau sampaikan padaku? Kau juga akan mengomplain nilaimu seperti Kyungsoo barusan?”

 

Ne...” Boxian? “Ne? Tu-tunggu dulu. Um, Yifan-sshi, namaku... bukan Boxian.”

 

Bibir Yifan membentuk senyuman. Jauh dari kata formalitas atas dasar kesopanan. Lebih layak disebut sebagai senyuman yang dipersembahkan pada seorang ‘teman’. “Dalam bahasa Mandarin, ya. Namamu Boxian. Sejujurnya, aku agak payah soal mengingat nama orang. Kau keberatan?”

 

“Ti-tidak juga...”

 

Tapi, kenapa Yifan memanggil Kyungsoo sesuai ejaan Korea?

 

Hanya dirinya, hanya Boxian seorang.

 

 

*

 

 

Bila dipikir lagi, harusnya sejak awal Baekhyun menangkap inisiatif Yifan. Keistimewaan dirinya, bukan tanpa sebab. Di mata Yifan, Baekhyun tidaklah sama seperti yang lain, yang mana harusnya dianggap sepantar mengingat posisi Yifan sebagai asisten dosen yang profesional. Namun kejadian berturut-turut setelahnya mengindikasikan hal sebaliknya. Tawaran makan siang semeja hanya dengan Baekhyun, catatan-catatan kecil yang hanya dituliskan di sampul essai milik Baekhyun, dan senyum ‘pertemanan-bukan-formalitas’ yang hanya diperlihatkan untuk Baekhyun.

 

Jelas sekali, Yifan menyimpan maksud tertentu.

 

Hari itu, hari di mana semua jawaban dari pertanyaan Baekhyun terkuak, merupakan hari perayaan ulang tahun kampus. Semua orang diundang, dari staf bersih-bersih sampai guru besar yang sudah pensiun bertahun-tahun lalu. Usai pidato panjang nan membosankan, acara berlangsung meriah diisi pagelaran musik band kampus. Baekhyun ambil tempat di sisi panggung, menghindari silaunya sorot lampu panggung. Vokalis utama band, seseorang yang satu kelas sejarah dengan Kyungsoo, menghipnotis telinga pendengar dengan suara lembut menghanyutkan. Kontras dengan permainan menggebu-gebu anggota band.

 

Baekhyun memimpikan salah satu tempat di atas panggung itu. Di posisi Luhan tepatnya. Menyeleraskan harmoni alat musik dengan kemampuan pita suara menghasilkan melodi indah. Menjadi penyanyi sudah jadi impiannya sejak lama, tinggal menunggu perwujudan yang entah kapan. Mimpi itu tak direstui Baek senior yang lebih suka melihat putra tunggalnya menjadi pengacara dan Baekhyun terlalu takut merubah takdir.

 

Terserap dalam lamunan, Baekhyun tak menyadari Kyungsoo yang sedari tadi ada di sampingnya kini telah berganti jadi Yifan. Sang asisten dosen menawarkan salah satu gelas sterofoam di tangannya yang berisi jus jeruk.

 

“Terima kasih...,” kata Baekhyun, kikuk. Serius, berada di sekitar Yifan, hanya kata itu yang bisa menjelaskan keanehan reaksi tubuh Baekhyun. Mendadak berbicara jadi sulit dan fokus terbelah dua, antara apa - bagaimana menyambung topik dan siapa yang bisa membawanya pergi dari sana, jauh dari Yifan. Sial, mana Kyungsoo, uh?

 

“Kau menikmati acaranya?” tanya Yifan.

 

Ne?” Baekhyun mengangguk sebagai jawaban, sambil menggigit bibir bawahnya.

 

“Luhan memang bukan penyanyi terbaik tapi... bukankah ini terdengar begitu indah?”

 

Luhan, terdengar Mandarin. Baekhyun berpikir, apakah si Luhan ini termasuk orang yang diistimewakan Yifan. Suatu perasaan tak suka menyeruak. Luhan ini, masuk hitungan orang-orang yang ingin selalu diingat Yifan. Siapa Luhan bagi Yifan?

 

Hei, sebentar. Siapa Boxian bagi Yifan?

 

Tepuk tangan membahana menandai akhir penampilan Luhan dan teman-teman.

 

“Yifan gege!” Luhan mengarah lurus kepada Yifan dan memeluknya. Baekhyun merasakan urgensi amat sangat untuk berpaling atau mungkin pergi dari sana. Berdiri di samping Yifan hampir setengah acara (Kyungsoo rasanya hilang ditelan bumi) membuatnya berkeringat lebih dari cukup, meski pendingin udara menunjukkan kerjanya dengan giat. Tak ada yang bisa diharapkan menjadi ‘penolong’.

 

Tanpa disadari, Yifan dan Luhan tengah terlibat obrolan seru. Baekhyun kurang awas karena mereka berdua bercakap-cakap menggunakan bahasa... mandarin? Persis bagaimana Zhoumi dan Zitao, dua orang di kelas komunikasi, kala beradu argumen yang tak ingin dibagi bersama orang lain.

 

Bertambah lagi alasan merasa tak nyaman bertahan di sana.

 

Yifan akhirnya memutuskan saatnya memberi perhatian pada orang ketiga di sana. Dengan sopan ia menyingkir, membiarkan Baekhyun muncul seutuhnya di hadapan Luhan. “Oh, kenalkan... ini Boxian, salah satu mahasiswa di kelasku. Boxian, kenalkan, dia Luhan. Junior SMU di Cina dulu.”

 

Luhan orang Cina? Jadi nama Luhan itu sama sekali bukanlah perlakuan istimewa seperti ‘Boxian’ pada Baekhyun?

 

“Boxian...,” gumam Luhan sebelum menyeringai lebar. “Hei, gege, jadi kebiasaan lamamu itu masih berlanjut, uh?” Sebuah desakan dibuatnya untuk menusuk rusuk kiri Baekhyun, membuat pemuda itu mundur dua langkah dari tempatnya. “Selamat Boxian. Kau harus tahu, kau... sangat-sangat-sangat beruntung,” kata sang vokalis di antar kata ‘sangat’ yang disertai tepukan di bahu Baekhyun. “Kita lihat sejauh mana-“

 

Yifan menyela dengan mengatakan sesuatu yang hanya dimengerti sesama teman Cinanya tersebut. Dari ekspresi kesalnya, Baekhyun menangkap kata-kata barusan merupakan sebuah teguran agar Luhan menutup mulut rapat-rapat.

 

Luhan tak menyerah, melingkarkan salah satu lengannya di bahu Baekhyun. Praktis berdiri dengan bersandar di sana dan berbisik, “Hanya sebuah saran untukmu. Jika ia mengajakmu keluar, jangan berpikir dua kali atau kau akan menyesal. Mungkin. Tapi percayalah, terlalu banyak kasus yang harusnya jadi pembelajaran.”

 

Kata-kata itu bernada lirih seakan Luhan telah mencantumkan namanya di salah satu dari 'banyak' yang ia sebut. Salah seorang yang menolak datangnya kesempatan emas dan menuai penyesalan di akhir.

 

Hei, kesempatan emas apa yang kau maksud barusan, Byun Baekhyun?

 

Meski begitu, kata-kata itu dicamkan dalam benak.

 

Yifan mengantar Baekhyun pulang sesudahnya. Bisa dibilang demikian karena walaupun tempat tinggal mereka searah, Baekhyun turun dari bus terlebih dulu. Mereka ambil duduk di kursi tengah, pinggir jendela bersisian dengan bahu Baekhyun sementara Yifan di sisi lorong. Tak ada yang berbicara selama setengah perjalanan. Yifan yang bertanya duluan, bukan ajakan keluar sebenarnya, tapi undangan untuk hadir di kolokium seorang senior.

 

Berdasarkan apa yang disampaikan Luhan, Baekhyun mengangguk bersedia.

 

Yifan mendesah. “Kata-kata Luhan tadi... kuharap tak disalahartikan. Ia jelas-jelas mengalamatkanku sebagai si brengsek yang membalas dendam demi memastikan siapa pun yang menolak ajakannya merasakan penyesalan. Aku bukan orang itu. Luhan mengatakan... situasinya benar-benar salah. Saat itu, ia merasa ketakutan dan menolak keras pengakuanku.”

 

Baekhyun tak bertanya dan sebetulnya tak merasa begitu penasaran perihal hubungan antara Yifan dan Luhan. Semua kenyataan ini dilemparkan padanya begitu saja, tanpa ragu-ragu atau sungkan. Seakan ini pembicaraan biasa. Yifan yang mengutarakan perasaan pada Luhan. Seorang teman, seorang laki-laki.

 

Bagaimana harus merespon pernyataan ini?

 

Menatap keluar jendela, Yifan melanjutkan, “Aku seorang gay, Boxian. Jika itu menjadi masalah untukmu... aku akan mundur. Sudah cukup orang yang tersakiti karena keterusteranganku ini.”

 

Lucu. Baekhyun perlu setengah hidupnya untuk menipu diri sendiri soal perasaannya sementara Yifan, di sini, mengatakan semuanya tanpa beban meski jelas sekali, 1) mereka sedang berada di tempat umum dan 2) orang yang diajaknya bicara, bisa saja merespon kejam, misalnya bersikap jijik dan keesokan harinya, menyebarkan hal ini untuk menjatuhkan nama Yifan (Kyungsoo pasti ada di garis depan sejak keinginannya mendapat penggantian nilai essay tak dikabulkan).

 

Dan di sini, Yifan, masih dengan setia menunggu reaksi Baekhyun sambil menatap lurus-lurus padanya—mata yang menelanjangi isi tubuh Baekhyun sampai ke dasarnya. Sama sekali tak ada bantahan atau koreksi untuk menarik balik hal barusan.

 

Kenapa Baekhyun merasa dirinya begitu kecil?

 

“Tenang saja...,” kata Yifan, membunuh kesunyian di antara mereka. Tawa kecilnya mengiringi namun hanya dibuat sebagai tambahan agar suasana tak begitu kaku. “Aku sudah terbiasa akan hal ini. Satu lagi penolakan tak akan berimbas banyak-“

 

“Begitu pikirmu?” bantah Baekhyun dengan suara melengking. “Jika pendapatku sama sekali tak penting bagimu, lalu, untuk tujuan apa kau mengungkapkan semua ini padaku?”

 

“Aku hanya mencoba hidup penuh keoptimisan. Masa-masa hidup dalam kebohongan itu sudah lama kulupakan.”

 

Tamparan mampir ke pipi Baekhyun. Jika itu pilihan Yifan, maka hidup yang selama ini Baekhyun lalui disebut apa? Kepengecutan? Berada di balik kepura-puraan, tameng hidup penuh kesempurnaan yang ditunjukkan di depan semua orang, orang tuanya, seolah-olah kesakitan yang dirasakan saat menatap cermin dan bertanya pada wajah kelelahan itu—apa yang sedang dicari orang itu—bukan apa-apa. Hampir setengah hidupnya, sialan!

 

Baekhyun menggenggam besi sandaran kursi di depannya terlalu erat. “Sialan. Kau itu benar-benar brengsek....”

 

Sebuah helaan napas Yifan buat sebelum mengamini pernyataan Baekhyun. “Aku tahu. Maaf....”

 

“Ajari aku bagaimana kau melakukannya.”

 

“Maaf?”

 

“Hidup penuh keoptimisan itu, ajarkan aku cara melakukannya. Bukankah itu sudah jadi kewajibanmu, asisten Prof.Jung?”

 

Kris memutar tubuhnya pada Baekhyun. Tanpa senyum, tanpa kedipan, berkata, “Aku menyukaimu, Boxian. Apa kau ingin mempelajari bagian itu juga?”

 

Hanya sebentar bibir Baekhyun membentuk ‘o’, sebelum berganti jadi senyuman. Entah kenapa ia tak begitu terkejut mengenai yang satu ini. Interaksi mereka selama ini telah mengajarinya bagaimana merespon kejutan-kejutan yang dibuat Yifan. “Tentu. Kurasa itu yang akan membuat ini jauh lebih mudah.”

 

 

=========

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
seideer #1
Chapter 2: iniiiii terasa miris banget bacanyaaa
seideer #2
Chapter 1: wowww krisbaek...heheee
exofriend_INA #3
Chapter 2: aku baru baca ini, author-nim rekom dari amusuk, salam kenal^^
suka banget sama ini ya ampun entah ini tuh bacanya bikin hati senyum tp meringis bersamaan, keren, fighting^^9
sansando #4
Chapter 2: Huaaa lebih suka yang ChanBaek ini X.X
Hihi keyeeeeen ^^
sansando #5
Chapter 1: Huahaa baru nemu /eh apa gue yang kudet(?)/ cerita KriBaek ini XD
Overall seru ceritanya :D
cintianoviyanti #6
Chapter 1: nice haha waiting for next chaptee
blingblingstan #7
This seems nice, I'll be waiting for you to update it ^^