Bagian 1 : Asing

SORE

Sore itu, aku memandang lurus ke arah horizon. Menyaksikan garis batas antara langit sore dengan laut. Matahari mulai bersembunyi, cahaya lampu pun mulai nampak dari setiap pertokoan yang berada di pinggir pantai. Yang basah karena bermain air laut mulai menepi karena sudah mulai gelap.

Kemudian perhatianku tersita, kepada sosok perempuan dengan terusan berwarna putih gading yang sedang berdiri menatap ke arah barat, ke arah matahari tenggelam. Air laut sudah menyentuh dengkulnya, entah sudah mulai pasang atau memang dia berjalan perlahan. Sudah hampir satu jam ia mematung seperti itu.

"Jennie-ssi..."

Perempuan itu mendengar ketika kusebut namanya. Ia menyeka wajahnya terlebih dahulu sebelum memundurkan langkahnya dan menghadap ke arahku.

Ah, apakah dia menangis?

Aku menunggu ia mendekat. Kepalanya menunduk seakan menyembunyikan wajah dengan rambutnya. Kulepaskan sendal jepit yang kukenakan. Ia menunjuk sepatu kanvas miliknya yang kujinjing dengan tangan kanan.

"Pakai ini saja,kakimu basah..." ujarku, namun ia bersikeras merebut sepatunya. Aku pun melangkah menjauh tanpa alas kaki aku berjalan di pasir putih menuju jalanan semi aspal.

"Hey... sepatuku!" ucapnya memekik namun tak sedikitpun ku pedulikan, aku semakin melangkah cepat menuju ke trotoar jalan.

 

SORE

13+ | Fan Fiction | AU | Romance
Jennie | Jisoo | Seo Kang Joon

 

 

Bagian 1 : Asing

Seperti di malam-malam sebelumnya. Aku ditemani oleh bunyi jangkrik taman yang mencoba menyapa malamku, setengah cangkir kopi, dua puluh lima lembar berkas, lima lembar kertas berukuran raksasa yang menampilkan sebuah cetak biru gedung bertingkat.

Lengah sedikit untuk menikmati kopi, ada rasa menyebalkan yang kian menguat dan tak dapat kulawan lagi.

Rasa sepi, disini terlalu sepi.

Ada sebuah ide di kala itu. Membuatku langsung berselancar di dunia maya, membaca beberapa berkas persetujuan di internet. Mungkin dengan begini nanti akan ada sesuatu menarik, tidak hanya bunyi jangkrik saja yang menemani.

Dua kamar utama didaftarkan, hanya butuh beberapa hari ke depan agar benar-benar muncul di dalam website reservasi itu.

Setidaknya kalau ada orang lain tidak akan se- sepi ini.

Hanya butuh beberapa hari sampai iklan itu muncul. Tak banyak berharap, sebab masih kalah dengan raksasa hotel yang menawarkan fasilitas lebih yang tersebar di dekat wilayah sini.

Hingga tujuh kali matahari terbit terbenam, sebuah email reservasi masuk.

'Ah, tamu pertama.'

Yang melakukan reservasi, Kim Jennie. Reservasi untuk dua orang. Dan kurasa dua orang ini adalah pasangan muda yang akan menghabiskan waktu liburan mereka di pulau ini. Dan nampaknya tamu berkewarganegaraan Korea ini nampak fasih berbahasa Inggris, melalui email mereka meminta penjemputan di bandara.

Ya, kusanggupi saja permintaan itu hitung-hitung pelayanan extra untuk tamu pertama pikirku.

Hari kedatangan pasangan itu pun tiba. Terlambat sekitar satu jam dari jadwal yang telah diperkirakan. Layaknya seorang penjemput di siang itu aku membawa sebuah kertas bertuliskan, " Miss Kim Jennie ".

Setiap kaki yang melangkah keluar dari tempat mengambil bagasi selalu kuperhatikan. Satu, dua hingga lima pasangan lewat namun belum ada yang merespons. Hingga ada dua orang perempuan, dua duanya memiliki rambut yang panjang. Salah satu dari mereka menunjuk ke arahku, perempuan yang tidak memakai kacamata hitam.

Salah satu dari mereka menunjuk ke arahku, perempuan yang tidak memakai kacamata hitam

"Hi... that's for us..." si perempuan tanpa kacamata dengan sedikit poni itu sambil menunjuk ke arah kertas yang kupegang.

"Ah... Hello, Welcome to Langkawi Miss Jen-"

"Hello... I'm Jisoo... and she is Jennie..." ujar perempuan yang menyapaku itu.

"Well, my name is Jun nice to meet you two..."

Ah, rupanya dua orang sahabat yang pergi berlibur. Jisoo dan Jennie.

Kuambil alih dua tas koper mereka yang besarnya hampir separuh badan mereka. Aku pun mencoba berjalan lebih cepat daripada mereka, menuntun mereka menuju parkiran kendaraan.

"Unnie, panas..." keluh perempuan berkacamata hitam itu.

"Sabar... sabar...-"

"Sir, could you turn the air-con first?" ujar perempuan berkacamata hitam itu. Iapun merebut dua tuas tas koper miliknya.

"Jennie, tidak sopan ah-- no,no sir it's --"

"Alright, please follow me..."

Semua tas sudah masuk ke dalam mobil dan kedua penumpang telah duduk di barisan kedua mobil SUV ini

Semua tas sudah masuk ke dalam mobil dan kedua penumpang telah duduk di barisan kedua mobil SUV ini.

Perjalanan dari bandara menuju tempatku memakan waktu sekitar 20 menit. Selepas dari bandara, perempuan bernama Jennie kerap mengeluhkan rasa panas sementara Jisoo selalu terdengar menenangkan Jennie, sambil sesekali menunjuk ke arah laut yang berada di pinggir jalan.

So, the baby boss with her babysitter.. ?

Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Korea.

"Sudah-sudah pejamkan mata dahulu saja... kamu pasti lelah..." ucap Jisoo. Saat kuperhatikan kaca spion tengah kulihat Jisoo menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan matanya.

Hmph, sang kakak nampak muak dengan kelakuan adiknya, mungkin.

Mobil berhenti tepat di depan villa. Dan keduanya tak menunjukan tanda-tanda pergerakan, kuintip sedikit ke arah belakang, Jisoo masih memejamkan matanya dan kepalanya bersandar ke jendela.

"Unnie, bangun sudah sampai..." ujar Jennie sambil sedikit mengguncang lengan Jisoo.

Mereka berdua terdiam sesaat, menyaksikan bangunan bernuansa tropis yang berada di hadapan mereka. Sebuah bangunan minimalis dengan dominasi warna natural kayu. Seketika sesi foto-foto pun berlangsung selagi aku mengangkat tas milik mereka berdua.

"Mari masuk, kutunjukan dalamnya... dan anggap saja seperti rumah sendiri..." ucapku sambil tersenyum kepada mereka.

Keduanya terdiam sambil mengarahkan pandangan mereka ke arahku. Wajar saja mereka terkejut sebab aku berbicara dalam bahasa yang sama dengan mereka.

Wajar saja mereka terkejut sebab aku berbicara dalam bahasa yang sama dengan mereka     

~ * ~

Total ada tiga perempuan dan satu pria di villa ini. Dua perempuan adalah tamu, Satu wanita lainnya adalah seorang bibi yang membenahi villa ini. Dan hanya ada satu pria, yakni diriku yang mengangkut dua koper besar nan berat itu ke lantai dua, ke kamar yang disewakan untuk tamu. Mungkin harus lebih banyak lagi berolahraga, otot bahu hingga lengan kini terasa sedikit nyeri.

Setelah berganti pakaian, menjadi kaos hitam serta celana pendek aku menyebrang taman, menuju bangunan utama. Mataku sudah tertuju kepada mesin Espresso yang berada di daerah dapur. Kunyalakan Grinder kopi, kuraih Portafilter yang berada tak jauh dari Grinder kutimbang terlebih dahulu berat Portafilter pada timbangan. Kutekan tombol pada Grinder, biji kopi yang telah tergiling pun keluar. Hingga sekitar sembilan detik kemudian serbuk kopi telah memenuhi Portafilter kuhentikan putaran mesin Grinder. Kutimbang kembali, delapan belas gram pas! Kuratakan serbuk kopi yang berada pada Portafilter dengan jariku. Kemudian dengan Tamper kutekan serbuk kopi itu hingga memadati Portafilter.

Sebuah mesin espresso berukuran kecil, hanya single group head. Kubuang sedikit air panas dari dalam boiler mesin espresso untuk membersihkan head dan memastikan air sudah cukup panas. Kuletakkan Portafilter pada Group Head dan memutarnya sedikit ke arah kanan hingga mengunci. Kuletakkan cangkir tepat di bawah Portafilter yang telah terpasang. Kutekan tombol dengan gambar dua cangkir. Selama beberapa detik mesin espresso menderu dan kemudian mengeluarkan cairan espresso secara perlahan. Sekitar dua puluh detik kemudian mesin berhenti bekerja. Dan Double Shot Espresso telah berada di dalam cangkir. Nice, Crema. Tebal dan wangi--

"Hm...hm... W...wangi... kopi..."

Seseorang tengah berdiri di ujung anak tangga. Mungkin karena aku terlalu asyik dengan proses pembuatan Espresso aku sampai tidak menyadari ada seseorang yang tengah berjalan menuruni anak tangga.

"Ah, Jennie-ssi... anda mau kopi...?" ucapku sambil mengangkat cangkir.

Jennie yang sudah mengganti bajunya menjadi baju terusan berwarna putih gading. Warna baju yang cukup senada dengan interior rumah yang keabuan ini.

"Aku menyukai wanginya, namun aku tidak bisa meminumnya..." jawab Jennie ia berjalan mendekat.

"Kalau butuh sesuatu nantinya, anda bisa mencariku di ruanganku..." ucapku sambil menunjuk bangunan yang berada di seberang bangunan utama villa.

"Atau... kalau saya tidak berada di tempat,anda bisa meminta tolong kepada bibi penjaga villa...namun ia tidak begitu fasih berbahasa Inggris..." tambahku sambil sedikit menuangkan air panas dari ketel listrik.

"Oppa, aku butuh sim card..."

Oppa... dia bilang ? Belum sampai dua jam kami bertemu dia sudah berbicara dengan gaya yang cukup akrab denganku. Belum lagi kesan pertama yang ditimbulkan ketika berada di bandara, ini membuatku sedikit merasa risih.

"Sim card? Anda bisa memakai Wi-fi di villa ini..." ujarku, masih tetap menggunakan gaya bicara yang formal.

"Umh... lalu... apa di dekat sini apakah ada pertokoan?"

Mungkin ia tidak memperhatikan peta lokasi villa ini saat memesan kamar dan sepertinya ia juga benar-benar terlelap sepanjang perjalanan menuju villa ini sehingga dia tidak mengetahui kalau lokasi ini agak jauh ke utara. Ku jelaskan hal itu, namun malah membuatku terjebak dalam kondisi tak bisa mengelak.

Ku jelaskan hal itu, namun malah membuatku terjebak dalam kondisi tak bisa mengelak     

"Oppa, temani aku mencari sim card dong... ya... ya...?"

~*~

Ia mengenakan sepatu kanvas serta membawa tas kecil dengan tali yang sudah menyilang di badannya. Jennie berdiri menunggu di depan mobil SUV sementara itu aku keluar dari dalam parkiran dengan mobil yang berukuran lebih kecil, sebuah hatchback berwarna putih.

"Ayo..." ucapku dari dalam mobil.

"Loh, aku kira naik yang ini..." ujar Jennie sambil sedikit menunjuk ke mobil yang dipakai untuk menjemputnya di bandara.

Jennie pun berjalan memutar, segera memasuki kendaraan.

"Ah, sabuk... sabuk..." gumam nya saat berada di dalam mobil.

"Yang seorang lagi? Apa dia tidak ikut?" tanyaku mempertanyakan Jisoo.

"Ah, Jisoo unnie sedang beristirahat ia lelah nampaknya..."

Aku mengangguk kecil dan mobil mulai berjalan perlahan.

"Memang pusat perniagaan lumayan jauh dari sini ya?"

"Kalau perniagaan terdekat mungkin hanya sekitar 10 menit... namun kalau ingin sekalian melihat pantai ada satu wilayah lagi... mungkin sekitar 30 menit dari sini..."

"Tiga puluh menit ya... tampaknya jauh... juga ya...."

"Kalau anda memang menginginkannya, saya bisa mengantarkan anda, tidak menjadi masalah..."

Jennie menoleh ke arahku dan lagi-lagi ia menerbitkan senyuman itu.

"M... mau..."

Ada rangkaian pertanyaan di dalam otakku, diproses melalui logika kemudian dipertanyakan kepada perasaan. Kenapa perasaan ini kerap mengikuti dia? Padahal secara logika kami barulah saling mengenal, bagaimana kalau ini adalah modus? Ia sengaja mengajakku keluar sementara satu perempuan lagi melakukan tindakan kriminal di Villa?

Selama beberapa menit ketika pikiran buruk itu muncul aku mengemudi dalam diam dan mataku melihat lurus ke jalanan. Tak ada lagu menyala di mobil, yang ada hanya raungan mesin mobil ketika kupercepat lajunya di jalanan sepi.

Sesekali Jennie bertanya mengenai keberadaan tempat wisata dan alam disini. Ia nampak benar-benar seperti anak kecil yang sedang menikmati liburannya. Matanya tidak bisa terlepas memandangi jendela samping, mengamati pemandangan laut yang berada di sisi kirinya. Begitu tiba di pusat perniagaan, dekat pantai Cenang. Jennie nampak sedikit kehilangan fokus kedatangannya yakni untuk membeli sim card. Ia keluar-masuk pusat perbelanjaan oleh-oleh dan memang kalau sudah urusan belanja kaki wanita lebih cepat pergerakannya daripada pria.

"Motif ini menarik ya, apakah ini motif dari Asia Tenggara?" tanya Jennie begitu melihat-lihat baju dengan corak gajah, bunga dan sulur-sulur.

"Iya, nampaknya ini lebih ke Thailand..." ucapku.

"Aku ingin membelinya..."

"Heeh? Anda ingin kenakan ini semua atau untuk buah tangan?" sudah ada tiga kantong plastik dengan berbagai macam pakaian.

"Untuk inspirasi... aku bekerja di konsultan fashion..." jawab Jennie, ia pun membawa baju yang ingin ia beli ke penjualnya.

Keadaan seperti ini terus berlanjut hingga setengah jam ke depan. Beruntung tak jauh dari tempat perbelanjaan terakhir ada sebuah gerai yang menjual sim card. Butuh satu setengah jam lebih hanya untuk membeli dua buah simcard yang mengakhiri acara berbelanja di sore hari ini.

"Terbenam..."

Saat menoleh ke arah Jennie, kulihat perhatiannya tengah tersita ke arah pantai. Di depan nya ada jalanan menuju pasir pantai. Ketika melirik ke arah jam tangan, sudah pukul lima lewat dua puluh, sebentar lagi matahari akan terbenam. Aku berjalan melalui Jennie,

"Jadi, mau melihat matahari terbenam?"

~*~

.

.

.

"Hey... sepatuku!" ucapnya memekik namun tak sedikitpun ku pedulikan, aku semakin melangkah cepat menuju ke trotoar jalan.

Tak menjadi pemandangan asing di sini kalau berjalan tanpa alas kaki walaupun hanya beberapa puluh meter langsung bertemu dengan jalan raya dan pusat perniagaan. Hampir semua pelancong disini untuk menikmati pantai, tak heran keluar dari penginapan hanya dengan baju renang, tanpa alas kaki dan bahkan membawa peralatan berselancar.

Kini, rona langit sudah berubah menjadi biru tua. Matahari sudah bersembunyi ke bagian bumi lainnya. Malam perlahan-lahan tiba. Ada banyak jejak kaki yang basah tertinggal di pasir pantai, ketika sampai ke trotoar jalan, jejak basah itu berubah menjadi jejak pasir. Banyak orang yang mulai meninggalkan pantai, karena bermain-main di laut dengan keadaan gelap bukan ide yang bagus.

Aku terhenti di depan pintu mobil, memandang ke arah Jennie yang berjalan menunduk secara perlahan. Ia memakai sandal milikku. Hingga sampai di depan pintu mobil dan masuk ke dalam kendaraan ia masih saja menunduk.

Kalau sebelumnya aku merasa canggung karena sikap Jennie yang terlalu aktif. Kini aku kembali merasa canggung karena Jennie yang terdiam sambil menunduk. Menutupi wajahnya dengan rambutnya. Kupastikan ia bukan tertidur, sebab sesekali dapat kudengar ia mengambil nafas dalam-dalam. Ia pun menatap ke arah jendela. Setengah jam perjalanan pulang aku terjebak dalam kesunyian.

"Thanks..." ujar Jennie ia melepaskan sandal milik ku tepat di depan pintu rumah. Walau kepalanya sedikit menunduk dapat kulihat tatapannya kosong. Tangan kanannya bergerak, meminta kantong belanjaan miliknya yang kubawa turun dari mobil.

"Saya bawakan saja...?" ujarku. Dijawab olehnya dengan gelengan kepala dan ia pun mengambil kantong belanjaan itu.

Jennie berjalan masuk ke dalam Villa. Sementara aku berdiri sambil menatapi sosoknya dari belakang dengan sebuah pertanyaan ;

'Apakah aku berbuat sesuatu yang salah?'

Hmh... Perempuan,memang sulit, sulit dimengerti.

Perempuan,memang sulit, sulit dimengerti     

Malam.

Meskipun sudah ada tamu yang menginap namun tempat ini masih saja terasa sepi. Wajar saja para tamu masih jetlag akibat perjalanan mereka mungkin. Kini aku berkutat dengan laptop dan beberapa dokumen di ruangan tengah. Walau ada televisi di hadapanku, aku tidak menghidupkannya. Kubiarkan saja orkestra jangkrik serta katak yang bersahut-sahutan menemaniku dalam mengerjakan pekerjaan. Kalau bukan karena Extra Service yang kuberikan kepada tamu, seharusnya aku sudah bisa menyelesaikan ini dari beberapa jam yang lalu.

*Nyeong-an... nyeong-an... nyeong-an...*

Sayup-sayup terdengar suara perempuan dari tangga, kulirik sedikit ke arah tangga memang ada perempuan yang sedang menuruni tangga. Mungkin ini Jisoo sebab suaranya terdengar berbeda dari Jennie.

"Halo..." sapaku ketika Jisoo berada di akhir anak tangga.

"A... a... Annyeong...!" ucap Jisoo ia nampak terkejut ketika kusapa. Ia membawa sesuatu di tangan kirinya, nampaknya sebungkus mie instan.

"S... Saya mau memakai dapur, boleh?" ujar Jisoo sambil menunjuk ke arah dapur.

"Silahkan... silahkan..." aku juga hendak bangkit dari tempat duduk.

"A... ah tak apa, saya hanya ingin merebus mie saja... tak perlu dibantu, nanti merepotkan anda..." ucap Jisoo.

Kubiarkan Jisoo berjalan menuju dapur. Ia nampak terdiam selama beberapa saat, bisa kudengar ia kerap berbicara kepada dirinya sendiri.

'Panci, panci... sendok, lalu garpu, mangkok... duh dimana ya, eh ini ya? pancinya... --'

*PRANG*

Aku tersenyum miris sambil sedikit menggelengkan kepala. Kemudian aku bangkit dari posisi duduk, menghampiri Jisoo. Sebaiknya kubantu saja sebelum ia memporakporandakan dapur menjadi seperti kapal pecah.

"Ma...maaf, duh..." Jisoo menunduk mengambil panci yang jatuh.

"Sudah duduk saja, anda ingin makan? Biar saya yang buatkan..." ucapku sambil memutar kran air, mencuci tangan terlebih dahulu.

"Jangan, aku tak ingin merepotkan..." kuraih panci yang telah ia letakan di atas kompor, kuisi dengan air bersih.

"Sudah tak apa - apa... Room Service..." ujarku sambil tersenyum simpul.

Jisoo kemudian memundurkan langkah kakinya, "Baiklah kalau anda yang memaksa..."

Ia kemudian duduk tidak jauh dari meja dapur. Dapat kurasakan ia memandang ke arahku.

"Hey tuan, dibuatkan mie rebus apakah akan dimasukan ke dalam service charge nanti?" tanya Jisoo. Ucapannya membuatku menahan tawa, pundakku sedikit bergetar.

"Tenang saja... service charge nya rendah... hehe" diakhir ucapanku aku tertawa

"Kukira pengelola tempat ini adalah orang lokal dari wilayah sini... Namun ternyata sama-sama berasal dari negara yang sama denganku..." ucap Jisoo.

Aku hanya tersenyum kecil menanggapi ucapannya. Air mulai mendidih dan aku pun segera memasukan mie. Aku pun mencari-cari sesuatu di dalam kulkas, sebutir telur.

"Hey hey... tidak usah..." Terlambat. Dengan cepat kupecahkan dan kumasukan isinya ke dalam panci.

Jisoo kemudian memasang wajah yang sedikit khawatir.

"Astaga tuan, bisa memakai fasilitas mewah ditempat ini saja sudah sangat cukup... Tak usah anda berlebihan..." ujar Jisoo.

Aku menghelakan nafas sambil tersenyum simpul,

"Kalau pelayananku baik, kalian pasti akan memberikan testimonial bagus kan? Dengan demikian Villa ini bisa semakin terkenal dan banyak pengunjung nantinya..."

"Saya berjanji akan memberikan testimonial terbaik untuk anda!!!" ujar Jisoo.

"Apa ada tamu lainnya ditempat ini?" tanya Jisoo, pandangan matanya menjelajahi seisi rumah entah mengagumi tempat ini atau menduga-duga ada tamu lain selain mereka berdua.

"Hanya kalian dan kalian adalah tamu pertama..." ujarku sambil memindahkan mie ke dalam mangkuk.

"Huh? Anda serius? Kami tamu perdana?"

Aku menjawabnya dengan anggukan kepala, kemudian mie ramen itupun aku sajikan ke hadapannya.

"Silahkan..."
"Ah, Terima Kasih..."

Aku segera merapikan panci dan peralatan masak.

"Ah, biar saya saja yang mencucinya!"

"No, it's ok, besok pagi ada yang membersihkannya..."

Aku pun berjalan kembali menuju meja tengah dimana laptop dan dokumen pekerjaanku masih berserakan. Aku pun menutup laptop dan membenahi dokumen-dokumen itu. Kulihat Jisoo berjalan sambil memegangi mangkuk dengan hati-hati.

"Eh, apa boleh saya makan disini?" tanya Jisoo sambil meletakan mangkuk mie.

"Ah, ya silahkan saja, saya benahi dulu ini, saya lanjutkan saja di ruangan saya..."

"Ah... eh, eh... jangan tuan lanjutkan saja kegiatanmu..."

Inilah yang kuinginkan, hanya ingin ada seseorang yang bisa diajak berbincang-bincang selagi mengerjakan pekerjaanku. Baiklah, apakah ada cerita yang kau bawa kesini?

"Apa anda tidak merasa canggung? Menginap di rumah orang dan berhadapan dengan orang asing..."?" aku mulai membuka percakapan.

"Sebetulnya, ini kali pertamanya kami memakai aplikasi BnB dan kulihat tempat ini sangat menarik... jujur saja, cukup canggung awalnya... kukira hanya akan ada penjaga villa saja layaknya sebuah resort... namun ternyata pemiliknya tinggal disini juga..." ucap Jisoo dan ia mulai meniup-niup makanannya.

"Hm... kalau canggung sebaiknya saya tidak sering berada di bangunan utama ya...? Biar memberikan ruang privasi juga untuk kalian..."

Jisoo mulai menyuap, raut wajahnya memperlihatkan kalau ia kelaparan, namun dari banyaknya makanan yang ia suap kurasa ia menahan dirinya agar kuah dari mie tersebut tidak berceceran dan mengenai dokumen-dokumenku.

"M...mh... ja..jangan... itu akan semakin membuat saya merasa tidak enak... lagipula tempat sebesar ini, dengan banyak ruangan terbuka serta di malam seperti ini... kalau hanya kami berdua saja, mungkin akan... sedikit... ah sudahlah...hehehe" ujar Jisoo yang tidak merampungkan kalimatnya malah mengakhiri dengan tawa kecil.

Sambil tersenyum tipis, aku kembali tertunduk, memperhatikan tiap lembaran dokumen yang berada di pangkuanku.

"Tu... tuan... anda seorang arsitek ya?" tanya Jisoo, ia tampaknya memperhatikan lembaran cetak biru yang berada di hadapannya.

"A... ah... saya seorang developer..." jawabku.

"Ah... usaha sendiri... atau ?"

"Bekerjasama dengan orang..." jawabku cepat. Kujawab itu dengan sedikit kalimat yang implisit.

"Oh, berarti usaha sendiri ya, Tuan..."

Aku tersenyum, rupanya ia mengerti perkataanku sebelumnya.

"Bisa, tidak memakai kata 'Tuan' untuk memanggil saya...? Saya terasa tua... jika disebut seperti itu..." ucapku sambil sedikit melirik ke arah Jisoo dan tatapan kami saling bertemu.

Jisoo kemudian memalingkan pandangannya karena dia sedang mengunyah makanannya, ia pun tak langsung menanggapi ucapanku, menelan terlebih dahulu makanannya.

"S... sejujurnya, maaf saya lupa nama anda..."

"Joon... Seo Kang Joon..."

"Ah, ya maaf, Kang Joon-ssi..."

"Mau memanggilku Oppa seperti temanmu memanggilku pun tak apa... bebas... yang jelas tak perlu memanggilku tuan..."

"Jennie...?"

"Mmh... iya, sepanjang sore tadi ia memanggil Oppa... ah oh ya, apa anda sudah menerima sim card nya? Bisa anda aktifkan? Apa perlu saya bantu?"

Jisoo tak menjawab ucapan ku, entah untuk memilih menikmati makanannya terlebih dahulu atau dia memiliki pemikiran lain.

"Apa Jennie banyak berbicara denganmu?" tanya Jisoo, ia nampak sedikit menghelakan nafasnya dan tersenyum kecil.

Pertanyaan itu membuatku menoleh ke arahnya. Pertanyaan sederhana namun dengan helaan nafasnya nampak mengandung suatu makna.

"A... ah tentu saja..."

.

.

.

-- Bersambung --

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet