Angin malam di musim semi

Wind night

Sana terduduk di pelataran depan sebuah Mini Market dengan sekaleng soda tergenggam di tangan kanannya. Tidak perduli dengan angin musim semi yang membuat sekujur tubuhnya menggigil. Ia hanya butuh waktu.

Waktu untuk meresapi segala kepelikan yang menghantam kehidupan, pahitnya lika-liku jalur yang harus ia tempuh hanya untuk berakhir di sini. 

Di sini...

Sana mendengus, ia bahkan tidak yakin kata ‘di sini’ merujuk tempat apa, karena seingatnya ia tidak memiliki tempat lagi, tempat yang bisa ia sebut rumah, tempat untuk pulang.

Mungkin karma memang benar adanya, dan saat ini adalah balasan dari sikap Sana yang selama ini meremehkan kebenaran di hadapannya. Siapa sangka jika patah hati memang semenyakitkan ini, siapa sangka jika patah hati benar-benar sanggup membunuhmu, siapa yang sangka jika patah hati akhirnya menghampiri Sana. Si hati dingin yang selalu mematahkan hati orang-orang dalam genggamannya, kini justru merasakan hancurnya patah hati itu sendiri.

rasakan! Menyenangkan,bukan?’ 

Sana bisa membayangkan suara sarkastik Nayeon—salah satu korbannya—seandainya perempuan itu tau apa yang terjadi padanya sekarang.

Sana tidak menangis, tidak lagi. Setelah 3 hari penuh menumpahkan segala perasaannya, ia merasa kelenjar matanya sudah mengering. Yang saat ini ia butuhkan hanyalah waktu, waktu untuk segera berlalu dan berharap perasaannya pun ikut berlalu. 

Sana menatap lalu lalang di depannya dengan diam. Jalanan ramai oleh kendaraan yang lewat berbanding terbalik dengan hatinya yang terasa kosong. Sana berpikir; haruskah ia menyesali sikap buruknya di masa lalu yang membuatnya mendapat karma hebat di masa ini, atau menyesali pilihan yang ia ambil untuk berubah dan membiarkan hatinya terjerumus pada sebuah cinta hanya untuk dihancurkan seperti sekarang. 

Sana tertawa hambar. Membuka kaleng soda dan meminumnya.

Bukan main, patah hati membuat otaknya berpikir lebih rajin dari biasanya. 

Patah hati ya patah hati saja, untuk apa disesali.’

Sana masih asik dengan kemelut di kepalanya ketika sepasang kaki berdiri tepat di sampingnya.

Sana menoleh, memperhatikan sepasang sepatu converse yang terlihat lebih kelam dari warna malam ini. Perlahan, ia menaikkan arah pandangan matanya. Menatap dengan kurang ketertarikan pada si pemilik.

Seorang gadis, pikir sana. Rambutnya pirang diatas bahu. Memakai flanel dan jins belel. Tengah khusyu meminum teh kemasan botol dan menenteng plastik putih dengan logo Minimarket di tengahnya.

Sana tidak sadar atau mungkin tidak perduli sama sekali jika saat ini ia menatap si pirang sedikit terlalu lama untuk ukuran normal. Atau tidak menyadari tatapan heran yang ditujukan si pirang padanya dan gelagat tidak nyaman karena Sana menatap gadis itu seperti orang aneh.

Si pirang mengerutkan sebelah alis, mengekspresikan ketidaksukaannya dengan tindakan Sana yang telah menyeretnya pada situasi canggung nan aneh ini. Tidak sabar, ia memilih mengkonfrontasi Sana.

“Apa?”

Suaranya pelan namun tidak ramah.

Sana masih bergeming. Menelisik sesaat ekpresi si pirang sebelum menjawab.

“Aku tidak butuh dihibur,”

Si pirang mengerjap,bingung. Lalu kembali membalas.

“Kita tidak saling kenal,”

Hembusan angin mengibas pelan rambut keduanya. Sana masih menatap, sedangkan si pirang semakin heran. 

Oh,”

Sana lalu terburu-buru berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan si pirang yang masih mencerna situasi yang barusan ia hadapi.

“Apa-apaan...” gumam Jeongyeon.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
juny98 #1
Chapter 1: Seriously this really needs a continuation..
TAENGORJESS #2
Chapter 1: Ngegantung euy, lanjut lahhh
yoohirai #3
Chapter 1: Lanjut lanjut lanjut x