The Happy Ending

Bittersweet (Happy Ending Vers.)

Seoul.

Jumat, 3 April 2015.

07.00 AM

            “Bodoh. Kau benar-benar bodoh, Wendy. Bagaimana bisa kau meninggalkan lembar ujian dari Dokter Kang di laboratorium? Coba kulihat... Pembagian kuisioner, selesai. Pengumpulan dokumentasi, selesai. Hasil wawancara, uh... Belum selesai. Rincian kegiatan, belum selesai. Laporan kegiatan, belum selesai juga. Ya Tuhan, kenapa banyak sekali yang belum selesai?”

            Aku masih sibuk memandangi ponsel sembari berjalan seorang diri menelusuri pedestrian untuk pergi ke terminal terdekat menuju kampus. Aku kembali memeriksa proses pengerjaan tugas-tugas kuliahku sebelum aku bisa mengikuti kegiatan magang di sebuah rumah sakit. Tugas-tugas yang menumpuk ini benar-benar membuatku gila, sampai-sampai aku seringkali tidak sadar berbicara sendirian, seperti saat ini. Cukup menyebalkan rasanya untukku.

            ‘TRRRRTT...’

            Ponselku berbunyi. Panggilan masuk.

            “Halo?”

            “Halo? Apakah saya berbicara dengan Nona Son?

            “Ya, benar. Ini aku, Wendy Son.”

            “Ah, baiklah. Perkenalkan, saya Irene Bae, dari Rumah Sakit Yonsei. Mengenai formulir aplikasi kegiatan magang yang telah kau ajukan, kami telah menerimanya dan kau bisa mulai bekerja pada Hari Senin jam delapan pagi.

            “Benarkah? Wah, terima kasih banyak. Senang sekali mendengarnya. Baiklah, aku akan mulai bekerja Hari Senin tepat pada waktunya.” Jawabku senang dan mengakhiri pembicaraan.

            Aku adalah mahasiswi keperawatan yang sedang menginjak tahun ketiga. Tiga hari lagi, aku akan memulai kegiatan magang di Rumah Sakit Yonsei. Tiga hari lagi, aku akan mulai menerapkan ilmu-ilmu yang telah kudapatkan selama masa kuliah. Tiga hari lagi, aku akan bertemu banyak orang yang membutuhkan orang-orang sepertiku. Rasanya benar-benar menegangkan.

            ‘TIIIIITT!’

            ‘BRUKK!’

            Bunyi tabrakan yang sangat keras mengalihkan perhatianku. Seseorang baru saja tertabrak oleh sebuah mobil van di dekatku. Melihat kejadian itu, mendadak tubuhku kaku. Aku melihat ke sekelilingku, namun area yang kulewati ini sepi karena masih pagi sekali.

            Aku berusaha sebisa mungkin mendekati orang yang tertabrak itu. Namun, belum sempat aku berhasil menghampiri orang yang tertabrak itu, sang pengendara mobil van melaju pergi dengan cepat.

            “Hei! Hei, kau! Hei! Bisa-bisanya kau pergi! Hei, kembali!” Teriakku.

            Mobil van itu telah pergi jauh dari pandanganku. Aku pun berusaha mengejarnya. Namun, sayangnya, usahaku sia-sia. Pengemudi mobil van itu berhasil kabur dari kejadian ini.  Alhasil, aku kembali berlari ke arah orang yang tertabrak itu.

            Orang yang tertabrak itu tergeletak tak berdaya di jalan. Dia tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya penuh dengan luka. Matanya terpejam. Barang-barang yang dibawanya juga berserakan.

            “Hei, kau tidak apa-apa?” Aku memegang tubuhnya. “Apa kau masih sadar?”

            Tidak ada reaksi apa pun dari orang yang tertabrak ini.

            Aku mencoba memeriksa keadaannya. Darah mengalir deras di wajah dan sela-sela rambutnya. Kepalanya mengalami luka yang cukup hebat. Detak jantungnya masih ada. Bola matanya masih dapat bereaksi dengan cahaya. Dia masih hidup. Dia hanya pingsan.

            Setelah itu, aku menghubungi panggilan darurat dengan ponselku.

            “Satu, satu, sembilan. Ayolah, cepat kau angkat!” gumamku.

            “Halo? Anda telah melakukan panggilan darurat. Ada yang bisa saya bantu?

            “A- Aku menemukan kecelakaan.” Jawabku dengan suara gemetar.

            “Berapa korban yang ada di sana?

            “Sa-  Satu orang.”

            “Apakah korban masih sadarkan diri?

            “Tidak. Dia mengalami luka parah di kepalanya. Kumohon cepatlah.”

            “Baiklah. Ambulans akan segera datang ke sana.

            Setelah menghubungi panggilan darurat, aku membereskan barang-barang bawaannya yang berserakan. Buku-buku, kertas-kertas, pensil, bolpoin, penggaris, ponsel, kalkulator, dan beberapa barang lainnya.

            Tidak lama kemudian, ambulans dan petugas kepolisian lalu lintas datang menghampiri kami. Dengan cepat petugas medis langsung membawa orang yang tertabrak itu masuk ke dalam mobil ambulans. Petugas medis juga membawa barang bawaan orang yang tertabrak itu masuk ke dalam mobil ambulans. Setelah itu, mobil ambulans beserta lantang sirinenya melaju kencang menuju rumah sakit.

            Beberapa petugas kepolisian lalu lintas juga menanyakan beberapa hal kepadaku terkait kronologi kejadian kecelakaan itu. Aku menjelaskan selengkap mungkin kepada para petugas itu. Kemudian para petugas itu kembali memeriksa lokasi kejadian dengan seksama.

            Beberapa saat kemudian setelah mobil ambulans itu pergi, aku menyadari ada hal yang sepertinya salah. Salah satu  barang milik orang yang tertabrak tadi masih ada yang tertinggal. Sebuah catatan kecil dengan sedikit bercak darah tergeletak di dekat kakiku. Aku memungut buku catatan kecil ini. Karena mobil ambulans sudah pergi jauh dan aku tidak mungkin mengejarnya, maka aku memutuskan untuk menyimpan buku ini untuk sementara waktu sampai aku mempunyai kesempatan untuk mengembalikannya. Aku menyempatkan diri untuk menatap lekat buku ini. Di buku ini, tertulis identitas pemiliknya.

            Mark Tuan, mahasiswa arsitektur, kampus yang sama denganku.

---

 

Seoul.

Sabtu, 4 April 2015.

04.00 PM.

            ‘ZZZZRRSSS...’

            Mendadak hujan deras membasahi kampus.

            Urusanku di kampus untuk hari ini sudah selesai, namun kuurungkan niatku untuk kembali ke rumah. Aku memutuskan untuk duduk dan berdiam diri sementara waktu di teras kampus sampai hujan reda karena aku tidak membawa payung. Kupandangi langit yang hitam legam itu. Aku berpikir mungkin hari ini aku akan pulang sedikit malam.

            Ah, aku lapar. Hujan, kumohon berhentilah.

            “Wendy, kau masih di sini?”

            Seseorang memanggilku.

            Aku menoleh ke arah datangnya suara panggilan itu. Suara itu berasal dari beberapa langkah di belakangku. Seorang laki-laki yang sedikit tidak asing bagiku tampak tersenyum padaku. Dia melangkah ke arahku. Sejenak, aku sedikit terkejut dengan kehadirannya.

            “Ya, a- aku menunggu sampai hujan reda.”

            “Sepertinya, hujannya akan memakan waktu yang lama. Kau yakin akan menunggu sampai hujan reda?” orang itu tersenyum lebih lebar dan duduk di sampingku.

            Aku hanya tersenyum kaku dan mengangguk kecil. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku memandangi wajah orang itu dengan lekat. Semakin lama aku memandangnya, aku semakin yakin, orang itu memang benar-benar tidak asing untukku.

            “Kau- hmm, kau sudah merasa baikan? Bagaimana luka di kepalamu? Apakah baik-baik saja?” tanyaku.

            Dia tersenyum lagi. Kali ini senyumnya berbeda. Senyumnya kali ini membuat wajah tampannya menjadi semakin tampan. Bola matanya membentuk garis yang menggemaskan. Aku bisa melihat ketulusan luar biasa dari semyumannya ini.

            “Ah, ya, terima kasih banyak sudah menolongku kemarin. Tanpamu, mungkin aku sudah mati sekarang,” dia tertawa kecil. “Namaku Mark. Mark Tuan. Aku sudah merasa baikan sekarang. Kepalaku juga tidak apa-apa.”

            Ternyata memang benar-benar dia. Orang yang kemarin tertabrak mobil van itu.

            “Syukurlah kalau begitu. Senang mendengarnya. Namaku Wendy. Wendy Son.”

            “Aku sudah tahu.”

            “Bagaimana kau bisa tahu?”

            “Siapa yang tidak mengenal pahlawan sepertimu?” dia tertawa.

            Sial. Aku tidak suka dengan pujian seperti itu.

            “Tidak lucu.” Jawabku sinis dan aku menyeringai. Dilanjutkan dengan tawanya.

            “Eyy, jangan marah begitu. Kau pasti lapar. Ayo kita makan!”

            “Tidak. Aku tidak lapar.”

            Mark menghela napas dan tersenyum memandang wajahku.

            Kemudian, Mark mengeluarkan sebuah payung berwarna biru muda dari tas ranselnya. Dia membuka payung itu dan menarik lenganku. Sontak, aku berdiri.

            “Ayo pergi!” kata Mark.

            “Oh?”

            “Kita makan jjampong[1] di kedai kesukaanku. Setelah itu, aku akan mengantarmu pulang,” Jawab Mark. “Kau tidak ingin terjebak hujan dan kelaparan di sini, kan?”

            Setelah itu, Mark dan aku keluar dari kampus menuju sebuah kedai untuk makan jjampong, seperti yang dikatakan Mark padaku. Hanya mengandalkan satu payung milik Mark, kami berdua menelusuri jalan sembari menahan dinginnya cuaca. Tempias air hujan membasahi pakaian dan wajah kami berdua.

            Wajah Mark yang terkena air hujan itu nampak begitu mengagumkan untukku. Garis wajahnya sangat tegas dan tajam. Bentuk wajahnya yang kecil membuatnya sangat manis. Bulu matanya begitu lentik. Hidungnya mancung. Bibirnya berwarna merah muda. Rambut pirangnya menjuntai tepat di dahinya. Dia menakjubkan.

            Renunganku terpecah olehnya.

            “Nah, kita sudah sampai!” kata Mark.

            Kami berdua masuk ke dalam sebuah kedai kecil.

            Sesuai dengan apa yang kudapatkan dari Mark, inilah kedai jjampong yang menjadi tempat kesukaan Mark. Kedai itu mempunyai gaya perpaduan khas Tiongkok dan Korea. Perabotnya sangat unik. Kedai ini mempunyai kursi-kursi dan meja berukuran kecil namun membuat kita cukup nyaman untuk menikmati makanan. Temboknya dihiasi dengan ornamen-ornamen bergaya Tiongkok. Namun, peralatan makan yang disediakan bergaya Korea. Aku berpikir bahwa sepertinya aku juga mulai menyukai tempat ini.

            Seorang pelayan menghampiri dan menanyakan pesanan kami. Aku memersilakan Mark untuk memesan makanan untuk kami berdua, dan Mark pun melakukannya. Mark memesan dua mangkuk jjampong dan dua gelas nokcha[2].

            “Jadi, ini yang kau maksud tempat kesukaanmu?” tanyaku mengawali pembicaraan.

            “Ya. Aku sangat suka dengan tempat ini. Coba kau lihat, rancangan bangunan yang begitu minimalis, dan juga ornamen-ornamen itu, dan... Suasananya! Ya, suasananya. Menyenangkan, bukan?”

            “Ya, kau benar. Tempat ini punya suasana yang tenang. Aku juga menyukainya.” Jawabku.

            “Syukurlah. Kalau begitu kau juga akan bisa menikmati makanannya.”

            “Hmm, ya. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mengajakku makan.”

            Mark tersenyum.

            Tidak lama kemudian, makanan yang dipesan telah datang. Mark dan aku segera menyantap makanan ini. Di saat-saat kami berdua menyantap makanan, lagi-lagi aku menatap lekat wajah Mark. Bahkan, saat sedang makan pun, wajah Mark masih terlihat mengagumkan untukku.

            Namun lagi-lagi Mark memecahkan renunganku.

            “Kenapa?” tanyanya.

            “Hmm?”

            “Kenapa memandangi aku seperti itu?”

            “Ti- tidak. Tidak apa-apa.”

            “Kau baik-baik saja?”

            “Tentu saja!”

            “Kenapa wajahmu menjadi merah begitu? Kau sakit?”

            “Ti- ti- tdak! Aku tidak sakit!”

            Ini semua karena kau, bodoh. Kutukku dalam hati.

            “Kalau kau sakit, lebih baik aku mengantarmu pulang sekarang saja.” Kata Mark.

            “Tidak, aku benar-benar sehat. Percayalah! Sudah, cukup, hentikan!” kataku sembari tertawa.

            Dilanjutkan dengan tawa Mark.

            “Entahlah, aku bukan tipikal orang yang banyak bicara,” Mark mengalihkan pembicaraan. “Namun ketika bersamamu, aku menjadi banyak bicara seperti ini. Jujur saja, aku merasa nyaman bicara denganmu, Wendy.”

            Sontak, jantungku berdebar kencang. Lagi-lagi aku bingung harus menjawab apa. Aku berusaha tenang agar wajahku tidak menjadi merah lagi.

           “Hmm,” kuberanikan diri untuk menjawab. “Mungkin itu disebabkan karena kemarin kau tertabrak mobil van. Kau jadi banyak bicara sekarang.”

            “Hei, aku tidak suka dengan gaya melucu seperti itu ya.” Mark menyeringai.

            “Aku juga tidak suka dengan gaya melucumu, Mark.” Balasku.

            Kemudian kami berdua tertawa lepas. Benar-benar seperti orang gila.

            Hujan mulai reda. Hanya titik-titik kecil air yang turun dari langit Seoul saat ini. Setelah menikmati makanan di kedai kecil itu, Mark mengantarku pulang. Dari kedai itu, kami beralih ke terminal. Dari terminal, kami naik bus menuju rumahku. Di dalam bus, kami berdua kembali mengobrol banyak.

            “Oh, ya, aku hampir lupa. Buku catatanmu tertinggal ketika kau ditabrak mobil van itu. Ini, aku kembalikan.” Aku menyerahkan buku catatan kecil milik Mark yang sejak kemarin kusimpan.

            “Terima kasih. Ini adalah catatan yang cukup penting untukku. Aku tidak dapat mengingat jadwal kegiatanku jika tidak ada buku ini,” jelasnya sembari tersenyum lega. “Tunggu, apa ini? Kenapa ada bercak darah di buku ini? Menyeramkan sekali!”

            “Kemarin kau mengalami luka yang parah di kepalamu, Mark. Bercak darah di buku itu adalah darahmu sendiri.”

            “Benarkah? Hmm, baiklah.” Mark memasukkan buku catatan kecil itu ke dalam tas ranselnya.

            Sesampainya di rumah, aku dan Mark berpisah tepat di depan pagar rumahku.

            “Cepat masuk! Ini sudah malam, nanti kau bisa terkena flu.” Kata Mark.

            “Baiklah,” jawabku sembari mengacungkan ibu jari. “Kau juga harus cepat kembali ke rumah. Terima kasih banyak sudah mengantarku pulang. Maaf, aku baru saja mengenalmu tapi sepertinya aku sudah sangat merepotkan. Sekali lagi, terima kasih.” Aku membungkukkan badan.

            “Tidak usah dipikirkan, aku hanya ingin membalas kebaikanmu untukku kemarin.”

            Mark tersenyum dan membungkukkan badan padaku. Aku membalas membungkuk lagi padanya. Kemudian ia berjalan meninggalkan aku. Ketika ia berjalan, kutatap dengan lekat punggung yang sedikit terhalang oleh payung berwarna biru muda itu. Lama-kelamaan, Mark beserta bayangannya luput dari pandanganku.

---

 

Seoul.

Minggu, 5 April 2015.

01.00 PM.

            “Aku melihatmu memecahkan gelas itu!”

            “Tidak, aku tidak memecahkan gelas ini, Bibi. Percayalah!” kataku.

            “Tapi gelas ini jelas-jelas pecah saat kau pegang!”

            “Aku memang memegang gelas ini, tapi bukan aku yang memecahkannya.”

            “Jadi, kau pikir siapa yang memecahkan gelas itu? Hantu?” Bibi itu membentak.

            “Aku tidak tahu...”

            Minggu siang, aku menyempatkan diri untuk berjalan-jalan sendirian ke toko peralatan dapur. Namun, bukannya rasa bahagia yang kudapat, malah nasib sial menimpaku. Ketika aku melihat sebuah gelas kaca berukuran kecil yang sangat cantik, aku mencoba menyentuhnya. Kurasa gelas kaca itu telah pecah sebelumnya, namun tidak nampak dengan jelas. Setelah aku menyentuh gelas itu, barulah nampak jelas gelas kaca itu pecah. Lalu Bibi pemilik toko melihatku memegang gelas kaca ini.

            “Aku tidak mau tahu. Kau harus mengganti rugi untuk gelas yang pecah ini!” Bentak Bibi itu lagi.

            “A- aku tidak...”

            Aku masih bergelut agar aku tidak disalahkan untuk gelas pecah ini. Bibi pemilik toko nampak semakin marah padaku. Dia masih mengomel dengan keras. Aku yang semakin terpojok, berusaha memikirkan cara bagaimana caranya lolos dari masalah ini.

 

            “Biar aku saja yang menggantinya.”

 

            Mark.

           

            “Kau jangan ikut campur, anak muda. Aku hanya berurusan dengan gadis ini!” Kata Bibi pemilik toko.

            “Dia adalah temanku. Aku akan bertanggung jawab untuk gelas itu.” Kata Mark.

            Bibi pemilik toko langsung menyebut berapa nominal yang harus dibayar untuk gelas ini. Mark mengeluarkan sejumlah uang dan memberikan uang itu pada Bibi pemilik toko. Setelah itu, Mark ikut meminta maaf pada Bibi itu.

            “Kau tidak perlu meminta maaf padaku, pemuda tampan. Yang salah adalah temanmu itu. Dia cantik, tetapi ceroboh. Sebaiknya kau jangan pernah jatuh cinta padanya! Dia tidak baik untuk dijadikan seorang istri.” ucap Bibi pemilik toko.

            Mark langsung menahan tawa dan melihat ke arahku. Sedangkan aku langsung memalingkan wajah dari Mark dan mengutuk Bibi itu dalam hati. Aku bisa merasakan betapa merahnya wajahku sekarang.

            Setelah urusan dengan Bibi pemilik toko itu selesai, kami berdua keluar dari toko peralatan dapur itu.

            “Besok aku akan mengganti uangmu, Mark. Maafkan aku.” Kataku.

            “Tidak perlu. Aku hanya berniat menolongmu.” Jawab Mark.

            “Tidak, tidak, aku akan menggantinya. Itu salahku.”

            “Itu bukan salahmu. Kau tidak memecahkan gelas kaca itu.”

            “Ya, itu benar. Bukan aku yang memecahkan gelas itu, Mark. Gelas itu sudah pecah sejak awal dan,” aku berhenti bicara sejenak dan melihat wajah Mark. “Tunggu, bagaimana kau bisa tahu kalau bukan aku yang memecahkannya?”

            “Kau tidak perlu tahu.”

            “Dan bagaimana kau bisa menemukanku di toko itu?” Aku menatapnya. “Jangan-jangan, kau mengikutiku sejak pagi? Benar, kan?”

            “Untuk apa aku mengikutimu?”

            “Lalu? Jangan-jangan kau adalah penjahat! Kau akan menculikku!”

            “Sudahlah, kau tidak usah mengomel begitu. Kau akan terlihat seperti Bibi pemilik toko itu,” Kata Mark sembari menjitak kecil kepalaku. “Ayo!” Mark menarik lenganku dan mempercepat langkahnya.

            “Hei, hei, kita mau kemana?”

            “Kita ke Yeouido[3].” Jawabnya.

            “Untuk apa?”

            “Untuk melihat bunga sakura, tentu saja! Kau akan menyesal jika melewati musim semi tanpa menikmati bunga sakura.”

            Mark meraih tanganku lagi. Kali ini dia  menggandeng tanganku selama perjalanan menuju Yeouido. Lagi-lagi aku berusaha agar wajahku tidak memerah lagi.

            Sampai di Yeouido, kami berdua berjalan menelusuri taman. Selama menelusuri taman ini, aku menyempatkan diri untuk melihat wajah Mark lebih dekat dan lebih lama. Wajah yang tampan itu beberapa kali terkena serpihan bunga sakura yang jatuh. Rambutnya yang menjuntai di depan dahinya itu juga beberapa kali terhempas oleh angin. Bibir itu juga beberapa kali tersenyum ketika pandangannya beralih ke pohon sakura. Aku menyadari kalau saat ini wajahnya lebih mengagumkan jika dibandingkan dengan hari kemarin. Apa lagi jika dibandingkan dengan saat dirinya tertabrak oleh mobil van yang tidak bertanggung jawab itu. Kali ini, aku mulai berpikir apakah mungkin aku mulai menyukainya.

            Mark memberiku minuman kaleng yang hangat. Aku menerimanya dan segera membuka tutup kaleng itu lalu meminumnya. Kami berdua duduk di tepi kolam kecil yang ada di taman ini.

            “Apa tahun ini kau juga mengajukan permohonan kegiatan magang, Mark?” aku memulai pembicaraan kembali.

            “Aku sempat berniat untuk melakukan itu, bahkan dalam waktu dekat ini. Tapi sayangnya tidak bisa kulakukan tahun ini.”

            “Mengapa bisa begitu?”

            “Aku tidak punya waktu.” Jawabnya.

            “Kau benar-benar orang yang sibuk, ya? Sampai-sampai mengajukan kegiatan magang saja tidak punya waktu.”

            Mark tidak menjawab pertanyaanku. Dirinya malah memalingkan pandangan dariku. Mark memandang lekat sesuatu di kejauhan. Kemudian dia tersenyum. Bahkan hampir tertawa lepas. Mark diam sejenak. Kemudian dia benar-benar tertawa lepas.

             “Hei, hei, Wendy, coba kau lihat dua orang itu!” Kata Mark sembari menunjuk dua orang yang sedang duduk di bangku taman tidak begitu jauh dari tempat kami berada.

            Dua orang yang ditunjuk Mark itu nampak sedang menikmati pembicaraannya. Mereka berdua tertawa lepas.

            “Mereka itu Jackson dan Youngji,” kata Mark sembari tertawa. “ Kau tahu? Jackson dan Youngji saling menyukai, tetapi mereka tidak pernah saling mengungkapkan. Dan sekarang tidak kusangka mereka sudah sejauh ini. Oh ya, Wendy, mereka berdua adalah teman baikku. Jika kau ingin tahu mengapa aku tidak punya waktu untuk mengajukan kegiatan magang, tanyakan saja pada mereka!”

            “Ajak mereka untuk bergabung bersama kita saja disini!” usulku.

            “Tidak. Jangan. Aku sedang tidak ingin menemui mereka hari ini.”

            “Baiklah.” Jawabku.

            “Oh ya, bicara soal kegiatan magang,” sambung Mark. “Kau akan mulai magang besok, kan?”

            “Ya, besok aku akan mulai magang di Rumah Sakit Yonsei. Doakan aku, ya! Aku benar-benar merasa gugup untuk besok.”

            Setelah mendengarku bicara, Mark tiba-tiba memasang mimik wajah sedih. Dia kembali memalingkan wajahnya dariku. Dia juga tidak menatap ke arah dua orang bernama Jackson dan Youngji itu. Tatapannya kosong.

            “Mark?”

            “Hmm.”

            “Kau baik-baik saja?”

            “Ah, ya, aku baik-baik saja. Semangat untuk besok!” kata Mark disertai dengan senyum yang lebar.

            Beberapa lama aku dan Mark menikmati bunga sakura di Yeouido, sore harinya, Mark kembali mengantarkan aku pulang ke rumah. Seperti hari kemarin pula, Mark dan aku berpisah di depan pagar rumahku.

---

 

Seoul.

Senin, 6 April 2015.

08.00 AM.

            “Kau datang tepat waktu, Nona Son.”

            “Ya. Selamat pagi.” Jawabku sembari membungkukkan badan.

            “Selamat pagi. Aku Irene Bae, yang beberapa hari lalu menghubungimu. Aku adalah kepala perawat di rumah sakit ini. Mulai hari ini sampai kegiatan magangmu selesai, aku akan jadi pembimbing kegiatanmu di rumah sakit ini.” Jelas gadis berambut hitam yang sedang berdiri di hadapanku ini.

            “Baiklah, terima kasih Ketua Bae. Kau bisa memanggilku Wendy,” aku tersenyum. “Cukup Wendy saja.”

            Ketua Bae memersilakan aku untuk masuk ke ruangan kerjanya. Di dalam ruangan kerjanya, dia mengarahkan dan menjelaskan beberapa hal yang dapat aku kerjakan hari ini. Dia juga menjelaskan dengan lengkap tata tertib yang ada di rumah sakit ini. Aku juga diberitahu mengenai jam berapa aku bisa beristirahat, dan jam berapa aku bisa kembali ke rumah.

            “Mengenai hal itu, kau juga bisa bertanya pada perawat yang lainnya.”

            “Baik, Ketua.”

            Di saat Ketua Bae menjelaskan padaku mengenai lokasi-lokasi pintu darurat yang ada di rumah sakit ini, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras dan nampak terburu-buru.

            “Ketua Bae! Ketua Bae! Pasien di ruang dua nol tiga itu... Dia...”

            “Oh! Baiklah, aku segera kesana,” jawab Ketua Bae yang beranjak pergi. “Aku akan segera kembali, Wendy. Tunggu aku di sini!”

            Ketua Bae meninggalkan aku sendirian di ruangannya. Dia memberitahuku akan segera kembali menemuiku di ruangan ini. Namun, beberapa belas menit telah berlalu. Aku mulai merasa bosan.

            Untuk menghilangkan rasa bosan, aku mencoba berkeliling tidak jauh dari ruangan kerja Ketua Bae. Aku mencoba menyapa setiap perawat yang lewat. Beberapa dari mereka ada yang membalas senyumanku dengan ramah. Ada juga perawat yang membalasnya dengan sinis.

            Beberapa perawat melewatiku dengan terburu-buru.

            “Dokter Park sudah berada di ruang dua nol tiga. Kita harus bergegas!” Satu perawat lebih dulu berbicara.

            “Pasien... Pasien atas nama Mark Tuan...” Satu perawat lainnya ikut berbicara sembari sibuk menulis di atas sebuah kertas yang dibawanya.

            Mendengar pembicaraan para perawat yang sedang terburu-buru itu, sontak aku terkejut. Aku berpikir kalau saja nama yang disebut oleh perawat itu adalah Mark yang kukenal. Sesaat aku merasa tidak yakin dan ingin mengabaikan hal itu. Namun, tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Apalagi, aku teringat kalau tiga hari yang lalu Mark baru saja mengalami kecelakaan.

            “Pe- permisi, apakah Mark Tuan yang kau maksud itu adalah orang yang berperawakan-“ belum sempat aku menyelesaikan pertanyaanku, perawat itu menatapku sinis dan masih terburu-buru untuk pergi.

            Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti kemana para perawat itu pergi.

            Lalu sampailah di ruangan yang dimaksud. Ruang dua nol tiga.

            Para perawat dan dokter berkumpul mengelilingi satu tempat tidur pasien. Di dalam kerumunan itu, aku juga melihat Ketua Bae. Aku tidak bisa melihat jelas siapa pasien yang terbaring di tempat tidur itu. Ingin rasanya aku menerobos masuk, namun kuurungkan niatku. Aku hanya menunggu di luar ruangan dengan penuh harap.

            Lagi-lagi aku berjalan mengikuti kemana para perawat ini pergi. Belum jauh kami pergi, aku tidak sengaja menabrak seseorang.

            “Ouch...”

            “Ma- maafkan aku...” Kataku sembari membungkukkan badan.

            Aku melihat wajah orang itu. Rambutnya berwarna platinum blonde yang sebagian ditutup oleh snapback, matanya bulat, garis wajah tegas, hidungnya mancung, dan alisnya tebal. Perawakannya sedikit terlihat menakutkan bagiku. Orang yang juga tidak asing bagiku.

            “Ka- kau, kau Jackson, bukan?” tanyaku.

            “Ya, benar. Aku Jackson Wang. Maaf, tadi aku berjalan terburu-buru.” Jawab orang itu dan balas membungkukkan badan. “Aku harus segera pergi. Maaf atas kesalahanku tadi.”

            “Tunggu,” Kataku. “A- apa kau tahu Mark sekarang berada dimana?” Tanyaku lagi, untuk memastikan Mark tidak disini dan itu berarti Mark Tuan yang dimaksud oleh perawat itu bukan Mark yang kukenal.

            “Mark? Mark Tuan?”

            “Ya.”

            “Tentu saja Mark ada di rumah sakit ini! Sejak tiga hari yang lalu, dia dirawat di rumah sakit ini karena kecelakaan. Sejak saat itu sampai sekarang, kudengar dia belum sadarkan diri.”

            Mendengar penjelasan dari Jackson, aku langsung bergegas untuk meninggalkannya. Aku kembali ke ruangan kerja Ketua Bae. Di saat itu, Ketua Bae sudah kembali ke ruangan kerjanya.

            “Wendy? Oh, tadi aku mencarimu, dan...”

            “Ketua Bae, apakah di rumah sakit ini ada seorang pasien yang bernama Mark Tuan?” tanyaku tergesa-gesa.

            “Ya, benar. Dia mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu. Berapa hari tepatnya? Um, tiga? Ya, kurasa tiga hari yang lalu.”

            “Lalu?”

            “Lalu? Um- oh- dia koma sejak kecelakaan itu. Hari ini dia baru saja sadarkan diri.”

            Jantungku sakit. Tangan dan kakiku bergetar. Mataku terasa panas.

            Rasanya tidak mungkin.

            Dua hari kulewati bersamanya. Dia tidak sakit. Dia baik-baik saja. Dia mengantarku pergi ke kedai untuk makan dan mengantarku pulang. Esoknya, dia bersamaku menikmati pemandangan bunga sakura.

            “Dimana aku bisa menemuinya?”

            Bodoh.

            Untuk apa aku bertanya lagi?

            “Oh, kau mengenalnya? Dia salah satu pasien yang menjadi tanggung jawabku,” Ketua Bae tersenyum. “Kau dapat menemuinya di ruang dua nol tiga.” Ketua Bae memberiku arah yang dapat kutuju untuk menemui Mark. Arah yang sebenarnya sudah kuketahui sebelumnya.

            Aku mengikuti arah yang telah diberikan oleh Ketua Bae. Lalu aku sampai pada sebuah ruangan besar yang diisi oleh beberapa perawat dan dokter. Di ruangan ini, aku bisa melihat seorang laki-laki pirang berusia sebaya denganku. Di ruangan ini juga, aku melihat wajah yang sudah tidak asing, terbaring lemas di atas tempat tidur. Itu dia. Mark. Aku berjalan menghampirinya.

 

            “Aku sudah menghubungi Tammy sejak satu jam yang lalu, Mark! Kau ini bisa bersabar sedikit atau tidak, hah?”

            “Katakan padanya untuk datang lebih awal, Jack!”

            “Kau saja yang bilang!”

            “Hah, ini semua karena Joey. Tunggu saja kalau aku pulang!”

 

            “Ehem... Se- selamat pagi.” Aku memotong pembicaraan.

            “Oh, hei, suster, bisakah kau buat pasienmu ini tidak banyak bicara? Dia baru saja sadar tapi cerewet sekali,” Jackson memberi respon untukku. “Ah, kau yang tadi. Kita bertemu lagi.”

            Jackson bangkit dari tempat duduknya dan membungkukkan badannya padaku.

            Aku membalasnya.

            “Uh, bagaimana keadaanmu, Mark?” Tanyaku.

            “Aku baik-baik saja,” Jawab Mark. “Oh, kau Wendy, bukan? Kau yang menolongku saat kecelakaan itu, benar kan?”

            “Ya, itu aku.”

            “Benarkah? Woah, beruntung sekali ada kau yang mau menolongnya saat itu,” Kata Jackson. “Kalian sudah saling mengenal sebelumnya?”

            “Belum.”

            “Belum.”

            “Oh, begitu. Aku pikir kalian sudah mengenal satu sama lain. Cara kalian saling memanggil nama membuatku berpikir demikian.”

            “Dari mana aku tahu namamu, ya? Oh, ya, dari nama yang tertulis di seragam yang kau pakai itu! Ya, tentu saja! Wendy Son.” Mark tertawa canggung.

            “Aku juga melihat namamu di daftar nama pasien rumah sakit. Tentu saja. Mark Tuan.” Jawabku yang juga tertawa canggung.

            “Entahlah, pada saat kecelakaan itu, sebelum aku hilang kesadaran, aku sangat ingin berterima kasih padamu karena telah menolongku,” Kata Mark sembari tersenyum padaku. “Aku sempat berpikir kalau aku akan mati. Tapi walaupun begitu, aku juga sempat berpikir jika rohku bisa menghampirimu dan aku bisa mengucapkan terima kasih padamu. Hahaha, pikiran macam apa itu.”

            “Hei, kau ini bicara apa, hah? Kau jangan bicara yang aneh-aneh!”

            “Itu hanya pikiran yang terlintas , Jack!”

            “Sepertinya kecelakaan itu membuat hal yang tidak beres di kepalamu.”

            “Hei, kau ini! Tapi, tapi rasanya memang seperti itu. Beberapa hari ini aku seperti merasakan mimpi yang aneh.”

            “Sudahlah, sudah cukup! Begitu kau pulang ke rumah dan Joey bisa memukul kepalamu, kau akan kembali normal.”

            “Cepat sembuh, Mark! Setelah sembuh, kau akan kutraktir makan jjampong. Oh, dan nokcha.” Kataku.

            Mark menatapku lekat. Dia tertawa kecil.

           “Oh, benarkah? Baiklah, asal kau berjanji tidak akan memecahkan gelas saat minum nokcha nanti.” Jawabnya.

            “Setuju.” Jawabku sembari tertawa.

            Mark tertawa lebih keras dari sebelumnya.

            Jackson juga ikut tertawa, tanpa tahu apa makna pembicaraan kami.

 

[1] Makanan khas Korea-Tiongkok berupa mie yang disajikan dengan kuah pedas berisi sayuran dan makanan laut.

[2] Teh hijau khas Korea dengan rasa pahit.

[3] Tempat diadakannya Festival Bunga Sakura di Seoul

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet