Last chapter

Tell Me (What is Love)

Lembaran kertas berwarna cokelat keemasan. Tebal dan terikat satu sama lain. Mereka semua kosong. Setengah kosong. Kosong.

Jempolnya bergerak. Lembaran kertas berwarna cokelat keemasan yang kosong – setengah kosong – kosong itu terbuka satu per satu. Perlahan.Hidung besarnya mampu mencium bau khas dari lembaran kertas berwarna cokelat keemasan yang kosong – setengah kosong – kosong itu. Dan berusia tidak muda. Tua.

Sudah sejak kapan dia mencium bau menyenangkan ini?

“Aku cemburu.”

“Aku tahu.”

Dia menggerakkan jempolnya lagi. Lembaran kertas berwarna… itu kembali terbuka perlahan. Bau khas yang menyenangkan menusuk hidung besarnya.

“Apa?”

Dia mendongak. Dia melihat seorang laki-laki sedang duduk di depannya. Wajahnya tidak buruk. Ada banyak buku dan kertas berserakan di depan mereka.

Ah! Dia ingat sedang ada di perpustakaan. Dia sedang menemani kekasihnya mengerjakan tugas kuliahnya. Apa laki-laki di depannya ini adalah kekasihnya?

“Ada apa?” laki-laki itu bertanya sekali lagi.

“Hm?”

Laki-laki itu meraih tangan mungilnya. Menggenggamnya dengan hangat.

“Mau cerita? Apa ada yang mengganggumu?”

Dia berpikir. Berpikir. Dan berpikir.

“Kamu harus berhenti.”

17 November 2015

***

April 2011

Levelnya setara dengan penguntit. Dia terus mengikutiku. Rumah kami berhadapan sejak jaman kakek-nenek kami. Sekolah kami sama sejak Taman Kanak-kanak. Kelas kami juga selalu sama. Ibu bilang kami berjodoh. Setelah itu, aku tidak meminum susu hangat yang selalu dibuatkan oleh ibuku selama tiga hari berturut-turut. Hei. Kita tidak boleh marah lebih dari tiga hari.

"Kamu menyukaiku?”

Kami sudah memasuki tingkat SMA tahun ke-dua. Sepulang sekolah aku sengaja mengunjungi kamarnya untuk mengorek semua tindakannya.

"Sepertinya kamu lebih suka buku.”

Apa tadi aku melihat mulutnya terbuka setengah?

“Paman dimana?”

Aku menyamankan diri dengan duduk di atas kasurnya. Kedua mataku jelalatan menikmati pemandangan di kamarnya. Sial. Isinya buku. Dan buku. Siswi SMA macam apa yang kamarnya tidak ada kosmetik sama sekali.

“Ayah. Mungkin sedang di kantor.”

"Oh. Kalau tante?”

“Sebentar lagi makan malam. Jadi ibu sedang…”

“Kamu tidak membantu?"

Dia terdiam. Aku bisa melihat otaknya bergerak seperti roda sepeda yang berputar. Dia sedang berpikir. Hidup belasan tahun dengan gadis ini membuatku tahu semua kebiasaan uniknya. Tidak heran jika suatu hari nanti aku bisa membaca pikirannya.

“Tenang saja. Kamarmu aman. Aku tidak akan berbuat macam-macam.”

Kedua matanya masih ada keraguan.

Aku membaringkan diri.

“Aku tidur sore dulu. Aku makan malam di sini, Ya? Tante pasti senang.”

Aku menutup mata. Lama. Kakinya mulai bergerak. Telingaku mendengar suara pintu ditutup. Sukses! Aku segera bangkit untuk memulai penyelidikan.

“Bahkan di lantai mereka semua berserakan.” Gerutuku mencoba mencari lahan kosong untuk berjalan.

Bukti. Aku butuh bukti. Kenapa dia menguntitku.

Dia tidak menguntitmu.

Tau dari mana?

Apa ada penguntit yang terang-terangan?

Bertengkar dengan diri sendiri itu melelahkan. Percayalah.

Aku kelelahan. Sudah 20 menit aku mengacak kamarnya. Tidak ada bukti kalau dia terobsesi denganku. Yang kutemukan malah koleksi rok mininya.

          “Makan malam sudah siap.”

          “Huh?”

          Aku tersentak bangkit dari posisi tidurku. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di samping tempat tidur.

          Dia berjalan melewati tempat tidurnya. Membuka jendela kamarnya.

          “Aku tidak suka dingin. Jadi di kamarku tidak ada AC.”

          “Huh?”

          Dia berjalan keluar setelah mengingatkan kembali kalau makan malam sudah siap.

          Setelah beberapa saat, aku baru sadar kalau aku berkeringat.

***

5 Desember 2015. 08:28 PM

          Dia sendirian membiarkan televisi di hadapannya menyala.

          Ceklek. Akhirnya ada cahaya di ruangan itu. Dia menoleh ke arah pintu masuk untuk melihat siapa yang mengganggunya.

          Orang yang paling tidak ingin dilihatnya. Orang yang paling dirindukannya.

          “Kamu sendirian? Dimana Chanyeol, Suho, Baekhyun dan yang lain? Apa mereka semua sedang keluar?”

Perempuan itu berjalan mendekat. Dia berjongkok. Dia menaruh barang bawaannya di atas lantai. Dia membereskan meja. Dia menaruh barang bawaannya di atas meja. Makanan. Apa perempuan ini memasaknya sendiri?

          “Kemarin ibumu menelponku. Beliau khawatir karena akhir bulan lalu kamu tidak pulang.”

          Laki-laki itu akhirnya menggerakkan tangannya. Ia mencari remote TV yang terselip didudukinya. Dia membesarkan volume TV.

          Gelap. Bagus. Kenapa listriknya harus mati?

          Cahaya dari layar ponsel menyinari wajah si perempuan. Cantik. Dia masih cantik. Betapa laki-laki itu sangat mencintainya.

          Si perempuan menaruh ponselnya di atas meja. Dia mulai membuka mulut. Sangat banyak yang ingin diceritakannya. Tapi dia tidak pandai bercerita.

          “Aku ingin meminta ma…”

          “Hei…”

          “…”

          “Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu?”

***

Januari 2014

Aku tidak bodoh. Aku sadar kalau dia sangat mencintaiku. Meski kami tidak diterima di fakultas yang sama, tapi dia berhasil mengikutiku di universitas yang sama.

          Tapi sungguh. Aku tidak menguntitnya. Semuanya kebetulan. Kami satu sekolahan. Kami satu kelas. Kami papasan di setiap sudut sekolah dan kota.

          Mungkin dia mengidap sindrom pangeran.

Aku lupa sejak kapan dia menjadi subyek yang mengekor padaku. Dimanapun, dia akan melompat tersenyum saat melihatku. Aku pun semakin terbiasa mendengar kalimat ‘aku menyukaimu’ keluar dari mulutnya.

          “Kemarin ibumu menelponku…”

          Aku mengoceh sambil membuka kotak bekal makan siang kami. Aku perempuan yang bisa memasak.

Dia duduk mengangguk sesekali tidak sabar untuk makan. Tempat kosnya selalu kosong tiap akhir pekan. Teman-temannya selalu keluar dan dia terlalu malas untuk berpapasan dengan matahari.

          “Masakanmu selalu enak. Sepertinya ibuku harus menelponmu setiap hari.”

          Aku punya kebiasaan memasakkan sesuatu untuknya tiap kali ibunya menelponku. Bukan kebiasaan buruk.

          “Cepatlah cari pacar.”

          Hanya itu tanggapanku. Dia tetap diam meneruskan makan siangnya.

          “Aku menyukaimu.”

***

September 2011

Sudah kubilang kalau dia tidak menyukaimu.

          Kapan kamu bilang seperti itu?

Bukan sengaja dia melihat gadis penyuka buku itu sedang bersama dengan Sehun. Dia sedang bersemangat menuju ke lapangan bola dengan Xiumin dan Chen saat ujung matanya menangkap pemandangan itu.

          “Bukankah dia si penguntitmu? Sedang apa dia jalan dengan Sehun?”

          “Mungkin teman kita yang satu ini sudah tidak menarik baginya.”

          Terus. Terus saja kalian meledek.

          “Ah! Aku jadi ingat. Beberapa hari yang lalu aku melihatnya bersama dengan Kai.”

          “Kai si anak pindahan? Bukankah dia di kelas sebelah? Dan dia juga baru pindah minggu lalu.”

          Xiumin mengangkat bahunya.

          “Dia lebih menyukai buku.”

Mungkin sejak saat itu aku mulai penasaran dengannya. Atau sebenarnya sudah sejak lama kedua mataku tertuju pada sosoknya. Hingga aku hanya melihatnya.

***

5 Desember 2015. 08:48 P

Tidak cukup cahaya kalau hanya berasal dari ponselnya. Dia meraih botol air minum. Meneguknya. Menyodorkannya pada laki-laki di depannya.

          Laki-laki itu memandang ujung botol yang tadi menyentuh bibir si perempuan.

          “Tidak. Aku tidak haus.”

          …………

          “Dengar. Aku tulus ingin minta maaf. Aku sangat ingin bercerita. Tapi tidak sekarang.”

Kali ini laki-laki itu melihat langsung wajah cantik dari orang yang dicintainya. Mulutnya terbuka tapi suaranya tidak keluar. Ingin sekali dia membelai pipi pucatnya.

          “Aku cemburu.”

          “Aku tahu.”

          “Aku cemburu.”

          “Iya. Aku minta maaf.”

          Perempuan ini merengkuhku. Aku membalas rengkuhannya. Berkali-kali dia mengucapkan kata maaf.

Akulah orang pertama yang melepas rengkuhan kami. Malam ini dia begitu cantik. Rambut hitam panjangnya terurai. Hanya sedikit polesan bedak dan sentuhan lipstick yang tipis. Aku bisa merasakan napas beratnya disela bibirku.

          Aku melepas kacamata yang mengganggu. Konyol rasanya dia yang suka membaca tapi malah pandanganku yang buruk.

          Kali ini maafkan aku. Kumohon jangan menolak.

          “Aku mencintaimu.”

***

28 September 2015

“Iya. Nanti dia kukabari.”

          “…”

          “Minggu depan di rumah kita.”

          “…”

          “Iya, Bu. Percayalah dengan anakmu ini.”

          “…”

          “Kututup ya, Bu.”

          Tadi buku apa yang kucari?

Dia. Laki-laki itu memutuskan untuk kembali ke bangku dimana dia meninggalkan catatannya. Dia memutuskan untuk membawanya sekalian daripada nanti lupa lagi. Ingatannya memang tidak bagus.

Dia mencari rak yang berisi buku-buku incarannya. Tentang cerita rakyat. Berapa kalipun dia masuk ke dalam perpustakaan ini, tetap saja dia merasa tersesat.

Seharusnya dia membawa perempuan itu bersamanya. Tapi ponselnya tidak aktif dan sangat merepotkan kalau harus berkeliling mencarinya. Lebih baik digunakan untuk mengelilingi perpustakaan.

Dia merasa sudah mengelilingi di setiap sudut rak. Apa tanya saja pada penjaga?

Saat itulah dia baru ingat kalau perpustakaan ini ada dua lantai. Dia lalu bergegas ke lantai satu.

Dia berpapasan dengan dua orang yang membawa tumpukan buku. Untuk menghindari kecelakaan, dia membalikkan badannya sehingga memposisikan badannya menghadap ke arah tembok kaca.

Sedetik setelah pasangan pembawa tumpukan buku itu lewat, dia mempercepat langkah kakinya menuruni tangga. Setengah berjalan dan setengah berlari. Secepat mungkin dia ingin keluar dari gedung itu.

Langkah cepatnya segera berubah menjadi larian setelah dia melewati pintu keluar.

Dia tahu tentang sikapnya. Bukan sebuah rahasia kalau dia suka bermain. Tapi baru pertama kalinya dia menyaksikan secara langsung.

Dia tidak sedih. Dia tidak marah.

Dia cemburu.

Dia bisa menerima tatapan penuh amarah dari perempuan ini. Juga tatapan dari laki-laki bernama Lay yang sedetik lalu masih menyerang bibir perempuan ini.

“Kamu sudah berjanji tidak akan mengganggu urusanku.”

Benar. Dia pernah berjanji seperti itu.

Adegan menyedihkan itu kembali terlintas.

“Tapi itu sebelum aku melihatnya langsung.”

Semakin erat dia menggenggam pergelangan tangan perempuan ini.

“Kita pergi.”

***

5 Desember 2015. 09:23 PM

Ciuman pertama kami.

Aku bisa merasakan ketulusannya ingin melindungiku. Dengan lembut dia menempelkan bibirnya. Untuk beberapa detik aku ingin membalas ciumannya. Tapi dia terlalu berharga untuk kucium.

Yang bisa kulakukan hanya menutup kedua mataku. Mengisyaratkan kalau aku memberinya ijin. Aku menerima ciumannya yang menurutku bukan ciuman.

Hanya kecupan. Kecupan yang cukup lama.

Laki-laki itu yang pertama memutus kecupannya.

Mereka terdiam.

Laki-laki itu kembali memakai kacamatanya.

Masih gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanya dari ponsel si perempuan.

“Ciuman pertamamu?”

Laki-laki itu mengangguk.

“Aku mencintaimu.”

Seandainya perempuan itu bisa melihat rona merah di wajah si Laki-laki.

“Kamu tahu kalau aku mencintai buku. Kamu tahu berapa jumlah buku yang sudah kubaca?”

“Banyak.”

Perempuan itu tersenyum. Dia benar. Banyak.

“Aku juga mencintai banyak laki-laki.”

***

Saat mereka masih berusia 5 tahun

Seorang bocah laki-laki berlari gembira sambil merangkul tas ransel di punggungnya. Dia berlari ingin segera bertemu seseorang yang sedang menunggunya di tepi sungai.

          Senyumnya semakin lebar saat melihat seorang bocah perempuan sedang duduk rajin membaca buku cerita bergambar.

Bocah laki-laki itu mempercepat larinya. Dia segera mengambil posisi duduk di samping si bocah perempuan. Dia melepas tas ranselnya. Dia mengeluarkan isi tas ransel yang dibawanya secara khusus. Kertas gambar dan pensil warna.

          Bocah laki-laki itu menepuk bahu si bocah perempuan. Dia menoleh. Dia menutup bukunya. Dia melihat kertas gambar dan pensil warna berserakan di kerikil.

          “Bantu aku menggambar ibumu.”

          “Untuk apa?”

          “Aku juga akan menggambar ibuku. Kado untuk hari Ibu.”

          Si bocah perempuan kembali membuka buku cerita bergambarnya.

          “Kamu tidak mencintai ibumu?”

          Si bocah perempuan menutup bukunya lagi.

          “Kamu mencintai ibuku?”

          “Iya.”

          Cepat sekali menjawabnya.

          “Lalu ibumu?”

          “Aku juga mencintai ibuku. Aku mencintai semua ibi di dunia ini.”

          Senyumnya waktu itu sangat lebar. Dia dengan mudahnya mengatakan itu di depanku.

Aku tidak tahu apa yang kulakukan selanjutnya saat itu. Tanganku meraih selembar kertas untuk menutup wajahnya. Aku masih bisa merasakan bibir mungilnya waktu itu. Aku masih ingat ekspresi lucu yang terbentuk jelas di wajahnya.

          Kalau suatu hari nanti  aku hanya mencintai seorang laki-laki, maka laki-laki itu adalah kamu.

          “Aku akan menunggumu.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet