Ending

The Door (Riddle)

Minhyun terbangun dari mimpi buruknya. Ia merasakan keringat menuruni keningnya. Jantungnya berdebar sedikit lebih keras dari biasanya. Ia benar-benar terganggu oleh mimpinya itu. Sesuatu yang menjadi phobianya selama ini tiba-tiba muncul dan meneror di alam bawah sadarnya. Minhyun sungguh tak suka ketika kobaran merah nan panas itu terbayang lagi di pelupuk matanya. Membuatnya kesulitan bernafas.

Ia memutar tubuhnya, menghadap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ia mendesah sebelum akhirnya menjatuhkan telapak kaki yang berselimutkan kaus ke lantai, bersamaan dengan terbukanya pintu kamar.

“Pagi, Minhyun Sayang. Kau sudah bangun? Ibu baru akan membangunkanmu. Kau tidak lupa kan, kalau hari ini kau ada karyawisata?” Kepala sang ibu menyembul di antara celah pintu dengan senyuman hangat yang tersemai sempurna. Minhyun tersentak samar, namun ia berusaha terlihat seperti seseorang yang memiliki ingatan teramat baik.

“Tidak, aku ingat. Ini aku mau mandi,” ujarnya seraya bangkit dari pembaringan.

“Baik kalau begitu. Setelah siap, segera turun untuk sarapan bersama, okay?”

Okay, Ma’am.”

Setelah itu pintu kamar kembali menutup.

Beberapa saat kemudian, Minhyun sudah duduk manis di meja makan bersama tiga orang anggota keluarganya yang lain. Ada Ayah, Ibu dan adik perempuannya yang baru berumur enam tahun.

“Kak Minhyun mau ke mana pagi-pagi? Bukankah Kakak sudah janji mau mengantarku membeli krayon hari ini?” tanya Chaehyun sambil memegang sendok supnya yang berisi potongan brokoli.

“Waktu itu aku bilang apa? Minggu depan, kan?”

“Kau mengatakannya minggu lalu, jadi itu artinya hari ini!”

Minhyun menoleh sambil menyeringai. “Maaf, tapi aku lupa kalau hari minggu ini aku ada karyawisata. Lain kali saja. Atau pergilah dengan Ayah.”

Chaehyun segera merengut. Merasa dikhianati. Ia mendelik sebal pada sang kakak yang menurutnya hanya mencari-cari alasan agar tak harus menghabiskan waktu seharian bersamanya.

“Ayah ‘kan sibuk. Harus menyeret-nyeret selang air raksasa itu.”

“Tetap tidak bisa, Chaehyun. Mengertilah!”

“Kak Minhyun jahat. Dasar jelek!” omelnya dengan mulut yang sengaja dimanyun-manyunkan. Ayahnya tergelak melihat rupa putri bungsunya yang menggemaskan itu, sementara Ibu berusaha membujuk Chaehyun sekaligus memperingati Minhyun agar tak memberi janji-janji palsu lagi pada adiknya.

Sejemang Minhyun terdiam. Ia memikirkan ucapan polos Chaehyun barusan.

Kau keliru. Aku tidak jelek, Chaehyun! Aku hanya tidak mirip denganmu. Bahkan aku tidak mirip siapa-siapa di rumah ini. Baik Ayah maupun Ibu. Tidak habis pikir. Oh, barangkali aku mirip Kakek sewaktu masih muda.

“Kalian akan karyawisata ke mana, Minhyun?” Ibu mengalihkan perhatian Minhyun yang sempat terpaku dalam lamunan.

“Oh? Eum.. Jinan.”

*

Bus karyawisata yang membawa murid-murid sekolah Minhyun telah tiba di lokasi. Seluruh siswa berhamburan keluar dari dalam badan bus dan segera berkumpul untuk pengarahan singkat dari guru pengawas. Minhyun berdiri paling belakang, jika mengambil tempat di depan maka posturnya yang tinggi seringkali menghalangi teman yang lain.

Sama seperti yang lain, ia tekun mendengarkan sebelum teman sebangkunya, Kim Jonghyun membisikkan sesuatu.

“Psst! Membosankan sekali jika hanya mengikuti rute Pak Guru. Bagaimana kalau kita ambil alternatif lain?”

“Apa maksudmu?” Minhyun menoleh kebingungan. Ia menatap Jonghyun yang sudah merapalkan ide-ide gilanya tanpa keraguan.

“Aku tahu sebuah tempat yang lebih menyenangkan ketimbang karyawisata ini. Kau mau ikut, tidak?”

Belum sempat Minhyun menjawab, Kang Seulgi yang berada persis di depannya lekas berbalik, nimbrung. Seolah telah melakukan sebuah konspirasi bersama Jonghyun—partner in crime-nya selama ini.

“Ikut saja! Jonghyun benar-benar tahu caranya bersenang-senang!”

Minhyun melongo beberapa detik hingga tangannya digamit paksa oleh dua orang tersebut dan keluar barisan secara diam-diam seusai Pak Guru selesai mengabsen mereka satu persatu.

Di sinilah mereka berada kini. Di depan sebuah bangunan terbengkalai di pinggiran Jinan. Sekilas Minhyun sudah bisa menebak bahwa bangunan tersebut telah lama ditinggal penghuninya dalam kondisi yang buruk. Ketiganya mengamat-amati dari luar jeruji pagar.

“Kudengar, di rumah tua ini pernah terjadi tragedi yang mengenaskan,” gumam Jonghyun tanpa menoleh. Ayahnya yang merupakan anggota kepolisian dari Jinan sempat menjadi saksi peristiwa mengerikan tersebut.

Seulgi bertanya, “tragedi apa?”

“Duabelas tahun silam, terjadi kebakaran yang menelan dua orang korban. Kalian lihat bagian lotengnya? Itu bekas kebakaran yang dimaksud,” jelasnya sambil menunjuk ke arah loteng rumah tua tersebut. Sebagian besar lotengnya hangus. Beruntung lantai satu rumah itu masih utuh. Namun menurut Jonghyun tidak ada orang yang berminat merenovasi atau membelinya lagi pasca kejadian si jago merah itu.

“Lalu, apa tujuan kita ke mari?” Minhyun menimpali.

Jonghyun mendekat kemudian merangkul pundaknya dari kiri. “Kita akan masuk dan melihat-lihat. Ini akan seperti petualangan seru di rumah hantu.”

Seulgi bergidik mendengar kalimat terakhir Jonghyun. Namun ia bukan gadis penakut. Seulgi justru mendesak keduanya agar lekas masuk ke sana.

“Kalian sudah gila? Bagaimana kalau seseorang memergoki kita?” Minhyun menampakkan kekhawatirannya yang segera didengusi oleh Jonghyun.

“Tidak mungkin. Siapa yang mau datang ke sini, selain kita? Ayo, tidak usah buang waktu!” Jonghyun mendahului mereka menerobos pagar yang tak terkunci, disusul Seulgi yang sama bersemangatnya seperti Jonghyun. Gemboknya sudah karatan dan begitu kendor, garis polisi berwarna kuning pudar itu pun telah terkulai di tanah termakan masa.

Melihat kedua temannya itu melangkah masuk, mau tak mau Minhyun mengikuti juga meski separuh hatinya enggan. Ia pikir ini tidak sopan, namun mau bagaimana lagi. Yang penting mereka tidak mengambil atau merusak sesuatu dari sana. Kalau sekadar melihat-lihat rasanya itu bisa dimaafkan.

Jonghyun sempat terbatuk begitu membuka pintu kayu yang sedikit macet. Debu menghinggapi silia penciuman ketiganya. Seulgi menutup mulutnya yang berdecak kagum, dan Minhyun sibuk menghalau sarang laba-laba yang bergelantungan agar tak menempel di atas kepalanya. Di dalam sana banyak perabotan tak terpakai yang sudah usang. Rupanya ditinggalkan begitu saja oleh si pemilik, bergelimpangan tak karuan di beberapa sudut rumah.

“Hati-hati, Kang Seulgi,” Jonghyun memperingati Seulgi yang hampir terjatuh setelah menendang sebuah patung pahatan di samping tangga naik. Gadis itu mengangguk lalu kembali mengekori Jonghyun menyusuri dinding.

“Tadi kau bilang pernah terjadi kebakaran. Kenapa di sini tidak hangus?” tanya Minhyun sambil memperhatikan lantai sekitarnya. Ada banyak potongan lego yang hancur berserakan di ujung tangga. Jonghyun menyahut dengan sedikit berteriak.

“Hanya di lantai dua. Lantai satu masih sempat diselamatkan!” Rupanya ia dan Seulgi sedang menuju dapur. Hanya Minhyun yang merasa tertarik untuk menjajaki tangga menuju lantai dua. Ia penasaran ingin melihat keadaan loteng.

Perlahan Minhyun menaiki anak tangga satu persatu hingga tibalah ia di depan sebuah pintu kayu yang tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda bekas kebakaran di sana, semuanya utuh seperti rumah pada umumnya. Hanya sedikit berdebu dan tak terawat.

Minhyun bergerak maju, tangannya terjulur meraih kenop pintu dan memutarnya hingga terbuka. Seketika berkas cahaya putih yang amat menyilaukan menyeruak dari dalam, membuatnya harus menyipitkan mata karena silau. Setelah berkas cahaya itu memudar, ia menemukan sebuah pemandangan yang ganjil.

Di sana ada seorang anak laki-laki berusia kira-kira enam tahun sedang asyik merakit lego. Tak jauh darinya, sebatang lilin menyala beralaskan tatakan kecil serta kepingan puzzle juga berserakan. Seorang perempuan tampak terkantuk-kantuk menungguinya di sudut kamar.

“Kau tidak ingin tidur, Nak? Sudah malam, kau harus berangkat sekolah besok.” Wanita yang ternyata ibu dari anak lelaki itu menaruh punggung tangannya di depan mulut demi menahan kantuk. Si anak menggeleng tegas, fokus pada permainannya walau listrik di rumahnya sedang mati.

“Sebentar lagi, eomma,” sahutnya kembali memasang lego berwarna merah pada sambungan. Minhyun terpaku di tempatnya menyaksikan wanita tadi mengangguk lalu secara perlahan merebahkan diri di atas gulungan selimut yang terhampar begitu saja.

Di saat si anak sibuk mencari potongan lego terakhirnya, dari lantai satu terdengar bunyi pintu dibuka. Sontak si anak berhenti dari permainannya kemudian bersorak kegirangan.

“Oh? Appa wasseo!” Ia melompat dan berlari melewati Minhyun yang refleks menyingkir ke tepi. Tanpa anak itu ketahui, kakinya telah menendang tatakan lilin hingga terjatuh dan mulai membakar ujung selimut. Sementara si ibu masih terpejam tanpa menyadari bahaya mengintainya.

Minhyun melupakan anak lelaki tadi, ia melotot melihat kobaran api semakin membesar. Dengan cepatnya merembet ke lantai dan juga dinding. Minhyun spontan berteriak, bermaksud membangunkan si ibu malang yang terlelap itu.

Ahjumma! Bangunlah! Cepat bangun, ada api! Kebakaran!”

Hanya memperingati, Minhyun tak bisa bertindak lebih dari itu. Ia selalu ketakutan melihat api, bahkan yang di tayangan tv. Kakinya beringsut mundur sampai punggungnya menabrak pagar. Lututnya melemas, tubuhnya mengigil. Phobia itu datang lagi, menyerangnya tanpa ampun.

“Ya Tuhan! Jun Jiyoo! Apa yang terjadi?!” seorang pria berjaket cokelat telah berdiri di samping Minhyun sambil menjerit menyaksikan istrinya terjebak di kamar yang telah dipenuhi oleh api. Tanpa pikir panjang pria itu menerobos kobaran api, hendak menyelamatkan istrinya yang terbangun dan langsung histeris ketakutan.

“Suamiku, bagaimana ini?! Mana anak kita—KYAA!!” kalimatnya belum rampung ketika balok kayu dari langit-langit yang terbakar terjatuh dan nyaris menimpa tubuh suaminya. Semakin menyulitkan mereka untuk lolos dari sana.

“Dia masih di lantai satu! Lekas, tutupi dirimu dengan jaket ini!”

Minhyun tak bisa menggerakkan rahangnya untuk bicara. Ia terlalu kaget menyaksikan semua ini. Rekaman kejadian yang Jonghyun bicarakan tadi terputar di depan matanya. Seperti menonton film dokumenter.

Eomma! Appa!”

Minhyun menoleh ke kiri, di mana anak lelaki yang tadi pergi, kini menyusul naik dan berdiri di sampingnya lagi sambil menatap kedua orangtuanya yang terjebak di dalam lautan api. Minhyun bisa melihat anak itu menangis karena sangat ketakutan dan panik, hingga kemudian ia limbung dan ambruk ke lantai. Pingsan.

Selanjutnya Minhyun mendengar teriakan beberapa orang yang menyerukan kata ‘kebakaran’ berulang kali disusul raungan sirene mobil petugas pemadam kebakaran. Ia juga mendengar derap langkah kaki menaiki tangga, semakin dekat, dekat, dekat...

“Minhyun? Sedang apa kau di sini?”

Jonghyun menepuk pundaknya dan ia tersadar. Pemuda itu menatapnya heran, sekaligus bertanya apakah Minhyun sakit karena ia berkeringat banyak sekali seperti orang demam. Seketika kejadian yang tadi ia lihat telah lenyap. Tak ada api, tak ada asap. Tak ada kebakaran di sana. Yang tersisa hanyalah puing-piung bingkai persegi tanpa daun pintu yang telah rusak dan menghitam akibat dilahap api.

“Naik ke loteng tidak bilang-bilang. Tadi katanya tidak tertarik, huu..” Seulgi mencibir dari belakang. Minhyun mengabaikannya. Ia hanya mengatakan pada Jonghyun jika kondisinya baik-baik saja.

“Aku hanya merasa kepanasan. Jadi keringatku membanjir begini.”

“Ooh.. Kupikir kau melihat hantu atau semacamnya. Oke, kurasa kita harus kembali ke rombongan sebelum Pak Guru menyadari kalau tiga orang muridnya sempat menghilang.”

Minhyun mengangguk kaku, tidak tertarik memperhatikan ekspresi Seulgi yang terus mengejeknya. Sebelum menuruni tangga, ia menoleh sekali lagi pada pintu misterius yang memberinya pengalaman aneh sekaligus mencengangkan tersebut.

Kini Minhyun tahu alasannya phobia terhadap api.


 

FIN


 

Hai hai, lagi-lagi aku ngebawa riddle gaje xD *efek skripsi* belum bosen-bosen makanya kepengen nyoba bikin lagi huahahaha... Yang ini tebakannya juga mudah aja kok, ga perlu jeli-jeli amat udah bisa ketebak. Okelah, silakan berimajinasi ria dan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah bekas kebakaran itu. Selamat menebak!


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet