Problem

Please Subscribe to read further chapters

Description

About a girl's orphanage was lucky got scholarships in Seoul. But an incident makes her got many problems.

Foreword

Papan pengumuman nampak penuh dihuni beberapa siswa yang penasaran. Aksi saling dorong serta terobos diiringi umpatan pelan seolah tak dapat dihindari. Nampaknya apa pun yang terpasang di sana merupakan salah satu peristiwa paling fenomenal di Sekolah Atas Seryun.

 

Setelah menilik dengan seksama, beberapa siswa yang nampak kecewa meluapkan kekesalannya dengan cacian. Saling dorong serta injak kaki yang menyebabkan beberapa gadis menjerit tak terima. Namun tetap saja tak ada yang berniat menyahuti. Untuk Kamis pagi yang bisa dibilang tak cukup berarti itu, suasana di sepanjang koridor lantai satu Sekolah Atas Seryun bisa dibilang ricuh.

 

Entah apa yang terpasang di sana, yang jelas hal itu membuat suasana hati beberapa siswi berubah drastis. Mereka yang tadinya berangkat dengan polesan bedak ternama serta rambut tergerai indah terpaksa keluar kerumunan dengan pakaian acak-acakan. Tidak hanya itu, umpatan sumpah serapah terlontar dari beberapa siswi yang nampak tak terima.

 

“Sialan! Kepala sekolah seperti mengamitkan jimat keberuntungan padanya,” tutur salah seorang siswi berambut coklat ikal. Manik hazelnya pun memutar bosan.

 

“Peringkat paralel, gadis paling bergengsi, panitia segala macam acara. Dia seperti seorang Nona Besar di sini.” Temannya berambut hitam juga ikut menimpali. “Tapi, tidak ada lagi si jalang yang tukang rebut perhatian, ‘kan?”

 

Pemilik surai coklat tertawa puas, “Ya, tentu saja si jalang itu tak akan menganggu. Tapi asal kau tahu saja, dia pindah ke Seoul.”

 

“HA?”

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

Ayam Rusa present

Senorita

All Cast belong to theirself

Hope you like it

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

Sekolah Atas Seryun merupakan salah satu sekolah paling bergengsi di kawasan Busan. Dia yang populer—terlebih dia yang pintar akan mengambil alih. Tak heran jika beberapa gadis pesolek seolah berlomba untuk menjadi yang paling populer—mereka tahu jika kepintaran bukan jalan utama.

 

Namun tak jarang mereka yang memegang kendali justru semakin dibenci.

 

Misalnya saja, siswi yang memenangi kontes gadis paling bergengsi tahunan—nyaris sepanjang tahun pandangan santet mereka terima. Lain halnya jika kapten tim olahraga yang mayoritas laki-laki memenangkan kejuaraan kemudian berpidato rutin. Maka sepanjang mereka bersekolah di sana, maka sepanjang itulah surat beramplop merah muda selalu terpampang di loker mereka.

 

Intinya, mereka perempuan yang fenomenal di sini akan dihujat, sementara para siswa laki-laki sensasional akan dipuja.

 

Maka dari itu, ketika papan pengumuman penuh dengan orang-orang—seperti saat ini, maka seluruh siswa perempuan akan memanjatkan doa penuh supaya para siswi bergengsi segera enyah. Yah, setidaknya apa yang mereka doakan tercapai. Salah satu siswi paling fenomenal mendapat urutan pertama dalam daftar.

 

Daftar Siswa Pertukaran Pelajar :

  1. Lee Yoonhee (Seoul)

 

Sudah jelas, bukan?

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

Bukan hal yang aneh jika setiap pagi di pinggiran kawasan Daegu akan terjadi aksi saling berebut antrian sarapan pada pagi hari. Tak jarang pula beberapa anak yang tak puas dengan jatah sarapan paginya akan mengomel atau mengadu pada gadis bersurai kecoklatan yang hanya bisa menyunggingkan senyuman maklum. Beberapa di antara mereka bahkan tak sungkan untuk berteriak satu sama lain saat salah satu sayuran yang paling mereka benci berada dalam piring mereka. Namun sekali lagi, hal itu hanya ditanggapi oleh senyuman maklum sosok manis itu.

 

“Nuna! Berhentilah tersenyum seperti orang bodoh!” kesal salah satu seorang anak kecil berpipi gembul. Bukannya merasa tergelitik atau apa, seorang lain yang dipanggil Nuna itu hanya tersenyum simpul. Hal ini tentu membuat sosok kecil berpipi gembul semakin jengkel. “Kenapa setiap hari makanan kita hanya ini? Aku bahkan sampai bosan.”

 

“Aih ...” Figur berwajah manis itu mengacak rambut sosok kecil yang kini tengah menatapnya kesal. Pipi gembulnya semakin menekuk kesal. “Karena Nuna hanya bisa memasak ini. Besok Nuna akan memasakkan lebih banyak.” Ia mensejajarkan tingginya dengan tinggi adik kecilnya—mengabaikan sejenak tugasnya untuk membagi jatah lauk pada yang lain.

 

“Nuna tidak bohong, ‘kan?” tanya anak itu polos.

 

“Untuk apa Nuna bohong?”

 

“Janji?”

 

Gadis itu mengangguk pelan, “Hm. Janji.” Ia tertawa pelan seraya membentuk huruf v menggunakan jemari tangan kanannya.

 

“Taejoo! Cepat!” teriak beberapa anak di belakang bocah berpipi gembul—yang ternyata bernama Taejoo. Sepertinya mereka semua sudah tak sabar untuk menunggu giliran sarapan pagi mereka.

 

“Baiklah, Taejoo harus cepat.” Gadis ittu kembali berdiri, mengambil sendok sayurnya yang sempat terabai sebelumnya. Bibirnya melengkungkan senyuman sebelum kembali bertugas sebagai koki pagi untuk adik-adik terkasihnya.

 

Ialah Lee Yoonhee.

 

Seorang sosok yang tumbuh menjadi kakak tertua di panti asuhan tempatnya tinggal kini. Merupakan figur cantik dengan paras yang menyejukkan untuk dipandang. Salah satu dari sekian banyak deretan siswa beruntung yang bisa menempuh pendidikan hingga tingkat Sekolah Atas di Daegu. Pun keberuntungan juga masih tetap berpihak padanya—yang menjadikannya salah satu sebagai siswi teladan yang disegani di Sekolah Atas Seryun—sekolah paling bergengsi yang ada di Daegu.

 

Aktivitas pagi rutinnya tak lain memasak untuk sarapan adik-adik pantinya yang masih berusia belia. Kebanyakan mereka masih bersekolah di tingkat dasar—sebagian kecil lainnya merupakan balita atau bayi. Gadis manis ini bersyukur ia memiliki semakin banyak saudara—tentu saja ia sangat bahagia panti asuhan tempatnya tinggal akan semakin ramai. Tetapi ada hal lain yang membuat pikirannya berkecamuk.

 

...


“Nuna, Nuna tidak berangkat?”

 

Lamunan Yoonhee buyar tatkala Taejoo—adik asuhnya yang paling dekat dengannya ini menggoyangkan lengannya. Manik jernihnya mengerjap bingung sebelum mengangguk singkat. Kegiatan paginya sudah selesai—namun Yoonhee masih mematung dengan apron yang melekat di tubuhnya seperti orang bodoh. Jika saja Taejoo tak menyerukan pertanyaan padanya, mungkin Yoonhee akan tetap berdiri seperti orang hilang.

 

“Ngomong-ngomong, Nuna hari ini ada inspeksi, ‘kan?”

 

Sial!

 

Lee Yoonhee lupa jika Kamis pagi adalah hari paling menjengkelkan dalam semingu.

 

Secepat kilat Yoonhee segera mengenakan sepatunya. Tanpa peduli apa pun lagi, ia segera berlari. Meski itu berarti harus beberapa kali kakinya tergelincir, sama sekali tak mengurangi niatnya untuk segera melangkahkan kaki ke sekolah.

 

Adik-adik Yoonhee yang melihat kakak tertua mereka melintas dengan beringas itu pun hanya bisa mengerjap bingung. Beberapa bahkan menghela napas maklum menghadapi polah Yoonhee yang acap kali seperti itu setiap hari Kamis.

 

“Unnie, hati-hati!”

 

Dengan kecepatan (entah Yoonhee berjalan atau berlari) yang seperti itu, peringatan adik-adiknya pasti tak akan terdengar oleh Yoonhee.

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

Sudah menjadi tradisi rutin seluruh siswi di Sekolah Atas Seryun untuk iri pada dia yang paling beruntung mendapatkan penghargaan gadis paling bergengsi. Seolah kembar siam pula jika siswi pemenang kontes kecantikan itu merupakan siswi peringkat paralel. Otomatis mereka akan dilayangi pandangan membunuh oleh seluruh lapisan siswa. Ya, mereka yang memenangkan dua hal paling diidamkan itu pasti menjadi Sang Ace bagi guru-guru di sana.

 

“Kau kenapa? Pasti ayanmu kumat.” Nyaris saja sebuah fantovel legam melayang menimpa surai blonde Yero. Memilih untuk mengabaikan sejenak pandangan bingung yang dilayangkan Yeri padanya, Yoonhee mengatur napasnya yang tersenggal. Dadanya naik turun tak tentu—merasa jika sebentar lagi jantungnya akan luruh entah ke mana.

 

Yah, satu-satunya yang mau menjadi karibnya hanyalah gadis bertubuh semampai bermarga Kim ini. Sudah menjadi takdir jika Sekolah Atas Seryun memiliki jumlah siswa perempuan dua pertiga dari seluruh siswa. Sisanya baru laki-laki. Sudah bisa dipastikan bagaimana jika perempuan-perempuan bergelar populer yang mendapat anugrah keelokan tingkat atas.

 

Yoonhee mengambil napas dalam sebelum mengajak Yeri melangkah masuk ke dalam bangunan megah sekolah mereka. Keduanya nampak menikmati aksi saling lempar candaan seraya tersenyum satu sama lain—mengabaikan pandangan siswa lain yang menatap tak suka saat keduanya melintas.

 

“Oh ya ...” Sepertinya Kim Yeri teringat sesuatu.

 

Yoonhee menyingkap anak rambutnya ke belakang telinga, “Apa?”

 

“Kau sudah tahu mengenai pengumuman siswa pertukaran pelajar?” Yeri mengeluarkan ponsel pintarnya, menggeser layarnya beberapa kali sembari mengamati dengan seksama.

 

“Memangnya kenapa? Aku tidak berniat tahu,” sahut Yoonhee acuh tak acuh.

 

Sepasang karib itu saling terdiam, hanya sesekali terdengar bisik-bisik yang singgah. Tapi itu bukan masalah berarti bagi keduanya. Toh, Yoonhee pernah mendapatkan yang lebih buruk dari sekadar bahan gosip saat berada di Sekolah Menengah dulu. Terima kasih pada kemampuan bar-barnya yang berhasil membuat para gadis itu menjauh dari jarak aman mereka.

 

Manik Yeri membulat saat merasa mendapati hal yang aneh dengan daftar pertukaran pelajarnya. Ia bahkan memastikan dengan beberapa kali mengerjap guna memastikan dengan pasti apa yang ia lihat. Kepalanya kemudian menoleh, menatap Yoonhee dengan pandangan yang sulit diartikan. Yoonhee sendiri nampak tak peka tengah dipandangi Yeri dengan pandangan tak tentu seperti itu.

 

“Yoonhee-ya ...”

 

“Apa?” sahut Yoonhee dingin.

 

Sayangnya, belum sempat Yeri bertanya kembali, kerumunan gadis telah lebih dahulu mendatanginya.

 

“Yoonhee-ssi?” Yoonhee menolehkan kepalanya, menatap dengan bingung beberapa buket bunga mawar oranye yang tersodor untuknya. “Ini ... maafkan kami selama ini, ya?” Yoonhee memiringkan kepalanya bingung. Ia tak menemukan opsi apa pun mengapa mereka mengiriminya mawar seperti ini.

 

Seketika saja Yoonhee menolehkan kepalanya pada Yeri. Matanya memincing curiga. Yeri pasti mengetahui sesuatu tentang dirinya. Dan hal itu pulalah yang membuatnya mendapat kiriman bunga di pagi hari yang keramat seperti hari Kamis pagi ini.

 

“Apa?”

 

“Kau tak merasa aneh dengan sikap mereka?” Gadis bermarga Lee itu mengernyit curiga.

 

Belum sempat Yeri menjawab, panggilan lain sudah terdengar. Bola mata Yoonhee memutar bosan. Lain halnya dengan tatapan Yeri yang menyendu. Yeri yakin jika Yoonhee belum mengetahui apa pun mengenai ini. Tentu saja, ponsel pun Yoonhee tak punya.

 

Sejujurnya gadis manis bermarga Lee ini tak paham mengenai masa indah saat remaja ataupun sekolah. Yang Yoonhee tahu hanya bagaimana supaya ia bisa cepat lulus dengan gelar siswa terbaik agar kemudian pabrik teksil besar yang ada di pusat Daegu mau menerimanya menjadi buruh tetap tanpa kontrak. Hanya itu.

 

“Yoonhee-ya, kau sungguh hebat.” Lagi-lagi Yoonhee mengernyit bingung saat siswi yang diketahuinya bernama Lee Chaeyeon ini menatapnya dengan pandangan berbinar. “Kau benar-benar sempurna.” Lanjut Chaeyeon yang membuat sosok berpipi gembul itu mengernyit bingung. Kembali, Lee Yoonhee menatap Kim Yeri dengan pandangan ada-apa yang hanya dibalas dengan helaan nafas berat.

 

“Sebentar ...” Merasa jika bertanya pada Yeri tak akan mendapatkan hasil apa pun, Yoonhee lantas memutuskan memandang Chaeyeon meminta penjelasan. “Kau bisa menjelaskan padaku apa yang terjadi, Chaeyeon-ssi?”

 

Siswi bermata sipit itu nampak terkejut, namun buru-buru mengubah ekspresinya, “Kau tak tahu apa pun, Yoonhee-ya?” Ia memasang pose berpikir. “Padahal beritanya cukup sensasional.”

 

Sosok bersurai coklat itu semakin mengernyit bingung, “Tidak satu hal pun.”

 

Chaeyeon menghela nafas pasrah, “Kau adalah satu-satunya murid pertukaran pelajar yang akan di kirim ke Seoul,” tuturnya riang.

 

“APA?”

 

Seketika saja seluruh siswa yang ada di sepanjang koridor lantai satu itu menoleh—menatap seorang gadis yang masih berdiri di tengah koridor yang memasang wajah menakutkan. Terlalu menakutkan hingga beberapa murid kelas satu menghentikan langkah kaki mereka untuk melintasi koridor.

 

Lain halnya dengan murid kelas dua yang nampak takut dengan aura yang ditebar oleh kakak kelas mereka, rekan-rekan seangkatan Yoonhee nampak semakin gencar mendekati figur yang hanya bisa berdiri mematung itu. Yeri memijit pelipisnya yang serasa berdenyut. Padahal ia dan Yoonhee tengah berjanji untuk pergi liburan bersama saat liburan musim panas ini. Tetapi karibnya itu justru harus berangkat ke Seoul.

 

 

“Lee Yoonhee, hati-hati, ya! Kami pasti akan merindukanmu!”

 

“Yoonhee-ssi, sampai jumpa! Maafkan semua salahku, ya!”

 

“Kami pasti akan merindukanmu, Yoonhee-ya.”

 

Dan entah apalagi yang dikatakan para gadis itu pada Yoonhee. Ia tak mendengarkan dengan baik—sibuk kembali berkelana dengan pikirannya sendiri.

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

Suasana hening mengapit dua orang wanita yang tengah kalut dalam pikiran masing-masing. Salah seorang di antaranya menatap figur lain dengan genangan airmata yang telah menumpuk. Menyebabkan tetes demi tetes membasahi pipinya yang cukup gembul.

 

Sementara itu, sosok lain yang ada di sana memejamkan matanya sejenak. Masih dengan tenang duduk di kursi goyangnya yang mulai melapuk. Nenek Yoo—begitulah anak panti memanggilnya—nampak membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot.

 

“Aku bahkan tidak bisa berbicara dengan aksen Seoul, Halmeoni.” Yoonhee menatap sosok di hadapannya tanpa kedip. “Kenapa Halmeoni dengan tega mengirimkanku ke sana?” Kembali, setitik airmata turun melewati pipinya.

 

“Kau tidak mengerti, Yoonhee—”

 

“Namaku Emma, Halmeoni.” Potong Yoonhee cepat. “Aku tahu aku cukup merepotkan selama beberapa tahun kedatanganku ke sini. Tapi apakah mengusirku dengan cara seperti ini pantas? Tanpa disuruh pun—”

 

“Aku tidak mengusirmu.” Ketenangan Nenek Yoo mulai meluntur. Guratan lelah terlihat jelas di wajahnya yang mulai berkeriput. “Aku hanya ingin kau mendapat lebih baik, Yoonhee-ya.” Ia berdiri, memegang bahu salah satu anak asuhnya yang paling tua dengan raut putus asa.

 

“Dengan mengirimku sebagai siswa pertukaran pelajar?” ujar Yoonhee sakarsme.

 

“Kau gadis yang pintar. Daegu bukanlah tempat yang tepat untukmu.” Nenek Yoo meremas bahu Yoonhee pelan. Tangannya terulur menyeka airmata gadis itu yang masih mengalir deras.

 

“Hiks ...” Tangisan yang sedari tadi Yoonhee pendam akhirnya pecah juga. “Korea bahkan bukan tempatku yang seharusnya.” Ia menarik Nenek Yoo ke dalam pelukan. Meluapkan segala kekecewaan yang terpendam sedari tadi.

 

Figur enam puluh tahun itu menepuk pelan punggung Yoonhee. “Aku tidak butuh tempat yang tepat—hiks ... a-aku hanya membutuhkan kalian.” Tangisannya terdengar semakin kencang. “Aku hanya ingin bekerja untuk kalian. Pulang pada kalian. Menghabiskan waktu seharian dengan kalian.”

 

Nenek Yoo hanya diam mendengarkan penuturan di tengah tangisan pilu Yoonhee. Ia hanya menepuk-nepuk punggung anak asuhnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Membiarkan tangisan belia kecil yang kini tumbuh menjadi gadis cantik tumpah di bahunya.

 

“Maaf,” tutur Nenek Yoo pelan. “Maafkan Halmeoni.”

 

Dan dalam keheningan ruang baca panti asuhan yang ada di pinggiran Daegu itu, kedua wanita beda generasi saling menumpahkan rasa kasih sayang satu sama lain yang dianggap berbeda.

 

Bahkan tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang tengah menguping pembicaraan mereka. Mencerna dengan seksama apa saja yang dikatakan Yoonhee juga Nenek Yoo. Sosok kecil berusia sekitar tujuh tahun itu mengerjap tak mengerti sebelum berlalu menahan tangis.

 

...

 

“Taejoo-ya, kenapa menangis?”

 

Seorang bocah mungil yang dipanggil Taejoo itu menggeleng pelan. Membuat beberapa saudara asuhnya mengerutkan keningnya bingung. Taejoo menggigit bibir bawahnya. Matanya yang memerah kemudian menatap saudaranya satu per satu. Mereka semua pun memberikan pandangan yang sama pada bocah laki-laki berpipi gembul itu.

 

“Ada apa denganmu, Taejoo-ya?”

 

Taejoo hanya menggeleng. Wajahnya memerah menahan tangis.

 

“Apa ada yang nakal menganggumu?”

 

Lagi-lagi Taejoo hanya menggeleng.

 

“Lalu kenapa? Katakan pada kami!” desak salah satu di antara mereka.

 

Kembali, Taejoo menatap satu per satu saudara mereka yang tengah memandangnya khawatir—juga bingung. Bibirnya bergetar. Airmata yang sedari tadi ia bendung mulai menetes deras.

 

“Taejoo-ya, kau kenapa?”

 

Tangisan Taejoo semakin menjadi. Beberapa saudaranya menggoyangkan lengan Taejoo—yang hanya mendapat balasan berupa isakan keras. Ada yang berusaha menenangkan Taejoo, mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja karena Nenek Yoo dan Yoonhee berada bersama Taejoo. Namun hal itu justru membuat isakan Taejoo semakin kencang.

 

Karena tak tega melihat saudara mereka yang menangis, beberapa anak pun nampak berkaca-kaca. Masih dengan upaya untuk menenangkan Taejoo, mereka terisak. Membuat ruang tengah yang tak terlalu luas untuk ukuran panti asuhan itu berisi isakan antar anak kecil yang jumlahnya tak sedikit.

 

“Taejoo?”

 

Anak laki-laki yang dipanggil itu menoleh. Menatap Yoonhee—yang lihai menyembunyikan raut kecewanya dengan mimik khawatir. Tangisan Taejoo sedikit mereda. Mata bulatnya tak luput sedetik pun dari kakak perempuan yang selama ini merawatnya.

 

“Taejoo kenapa?” tanya Yoonhee seraya berjongkok—menyamakan tingginya dengan tinggi Taejoo. Beberapa anak yang juga berkaca-kaca menggeleng pelan.

 

“Dongsaeng Nuna tidak boleh cengeng.” Jemari halus Yoonhee terulur menyeka airmata Taejoo. Mengacak rambutnya sayang sebelum menarik kedua sudut bibir Taejoo untuk membentuk senyuman.

 

Yoonhee tertawa kecil. Ia mengecup singkat pipi Taejoo sebelum berdiri. Mengacak rambut adik asuh lainnya yang juga nampak berkaca-kaca. “Dongsaeng Yoonhee Nuna tidak boleh cengeng. Ne?”

 

“Kalau begitu Nuna tidak boleh pergi!” ujar Taejoo dengan wajah yang masih belepotan airmata.

 

Yoonhee membulatkan matanya. Anak-anak lain yang berkerumun di sana pun menatap Taejoo dengan pandangan tak mengerti. Pun Nenek Yoo tak sempat menyembunyikan ekspresi kagetnya mendengar teriakan Taejoo.

 

“Apa yang kau bicarakan? Kenapa Nuna harus pergi?” Taejoo terdorong ke belakang saat salah seorang anak mendorongnya.

 

“Nuna tidak akan pergi. Kenapa Hyung berkata seperti itu?” Kali ini Jiho—adik mereka lain yang menggoyang-goyangkan lengan Taejoo.

 

Yoonhee hanya diam saat adik-adiknya sibuk meminta penjelasan mengenai perkataan Taejoo barusan. Iris coklat miliknya kembali terasa buram. Ia menggigit bibir bawahnya keras-keras. Atensinya menatap lantai coklat panti asuhan yang mulai pudar.

 

Tangan Yoonhee yang menggantung di kedua sisi tubuhnya terulur menutup mulutnya. Meredam isakan yang mungkin akan lebih kencang dibanding saat di dalam bersama Nenek Yoo tadi. Yoonhee sudah dewasa. Ia harus bisa memikirkan masa depannya juga adik-adiknya.

 

Ya, untuk itulah ia tetap harus pergi ke Seoul. Memperbaiki garis hidupnya. Agar kelak adik-adiknya juga sanggup hidup lebih baik. Apa yang ia lakukan selama ini tidaklah cukup untuk itu.

 

“Unnie?”

 

“Maaf ...” Isakan itu semakin terdengar.

 

“Nuna ...”

 

“Maafkan aku ...” Yoonhee mengambil napas dalam sebelum menyeka airmatanya. Dengan pasti, ia mengangkat wajahnya yang setengah sembab. Mencoba memberikan senyuman meski pandangannya semakin buram. “Yang dikatakan Taejoo memang benar.” Senyuman mirisnya semakin terkembang. “Nuna akan pergi.”

 

“Unnie ...” Yoonhee menundukkan kepalanya saat beberapa kepala menubruknya. Diikuti pelukan hangat di sekitar perut Yoonhee. Tangisan adik-adiknya semakin menjadi—membuat Yoonhee tak kuasa untuk menahan tangis lebih lama.

 

“Nuna jangan pergi!”

 

“Siapa yang akan mengajari kami jika Nuna pergi?”

 

Titik demi titik airmata itu semakin deras membasahi kedua pipi Yoonhee. Remaja tujuh belas tahun itu menundukkan wajahnya lama. Mengabaikan pinta juga permohonan adik-adiknya yang terus merajuk.

 

Jika ia boleh memilih, tentu saja terus hidup di Daegu yang akan ia ucapkan. Namun siapa Yoonhee? Dirinya hanyalah gadis—entah anak siapa yang beruntung karena bisa hidup dengan baik selama tujuh belas tahun terakhir hidupnya.

 

Bukankah terlalu beruntung bagi anak dari asal-usul tak jelas mendapat penghidupan yang layak selama ini?

 

Dan Tuhan juga terlampau berbaik hati dengan memberi pilihan bagi gadis itu untuk pergi ke sekolah yang lebih layak untuk hidupnya. Sekolah yang Yoonhee tuju di Seoul bukanlah sembarangan sekolah. Mendapatkan beasiswa dari sana merupakan suatu keberuntungan tak terkira bagi para siswa daerah pinggiran.

 

Tapi itu bukan yang diinginkan Yoonhee.

 

Ia tak berhak meminta lebih. Adalah doktrin yang selalu ia tanamkan pada dirinya sendiri.

 

Ya, ia memang tak berhak meminta lebih. Tetapi Yoonhee juga tak bisa menolak apa pun yang akan terjadi padanya.

 

“Yoonhee Nuna ...”

 

“Unnie ...”

 

Gadis bersurai coklat itu mengambil napas dalam—sedalam yang ia bisa sebelum menegakkan kembali wajahnya yang belepotan airmata. Dengan senyuman tulus, Yoonhee berkata, “Aku akan kembali secepatnya.”

 

Bahkan hingga beberapa tubuh itu semakin menabrakkan diri ke tubuh gadis Yoo ini, ia tetap diam seraya tersenyum manis.

 

Ia tak berhak meminta. Ia juga tak bisa menolak.

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

To be Continue

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

Please subscribe to read next chapter. Its my first fanfiction from SMRookies member.

I wrote same tittle and theme with my other fiction with anime’s character. But that’s tottally different. Hope you like it. Thanks for reading. And Im be thanksfully too if you wanna leave a coment /deep bow.

Comments

You must be logged in to comment
AngelababyLiew #1
I want to read so badly,but I can't understand?Can you transfer it to English
?
hoonah #2
Hello author!^^ kebetulan lagi nyari ff Bahasa Indonesia, terus nemu ini~~^^ dan castnya itu loh… menarik perhatianku banget wkwkwk aku suka gaya bahasa sih thor, dan aku berharap alurnya dibikin selow hihi, tapi itu semua sih terserah ide author^^ ini school life kan? waa aku suka school life!! Oh iya thor, kira-kira selain TY ada member sr15b yang lain nggak thor? Semoga ada yah.. Author fighting!!!^^


thor maaf ya comment lagi, browser ngerror jadi entah deh commentnya cuma itu yang masuk.-.
hoonah #3
Hello author!^^ kebetulan lagi nyari ff Bahasa Indonesia, terus nemu ini~~^^ dan castnya itu loh… menarik perhatianku banget wkwkwk