cause of silence

Silent Problem

Masalahnya adalah kau telah setuju.

 

.

 

 

 

.

 

 

 

 

.

 

 

 

.

 

 

 

Kau tidak suka ini. Tidak suka hari ini. Tidak suka semuanya.

Kau tidak suka rumor yang beredar pagi ini tentangmu. Kenyataan adalah kau ingin cepat pulang dan membenamkan wajahmu ke perut empuk Todd, boneka beruangmu yang super besar. Kau ingin melupakan rumor konyol yang disampaikan Sulli padamu. Katanya rumor tentangmu ini sudah menjadi berita panas seisi sekolah.

Seorang anak kelas tiga akan segera menikah setelah pengumuman sooneungdua bulan lagi. Rumor itu terdengar aneh dan gila di telingamu. Kau tidak percaya anak-anak membicarakannya seakan itu adalah hal yang pantas. Kau tidak percaya anak-anak mengabaikan wajah tidak sukamu saat kau melewati gerombolan murid yang menggosipkan rumor itu. Kau tidak percaya. Kau benarbenar tidak percaya kalau anak keelas tiga yang mereka bicarakan ini dimaksudkan sebagai dirimu.

Lalu kau mengerang pelan. Kau tidak percaya setelah semua hal yang kau alami seharian ini belum berakhir. Ini karena ibumu dan ide konyolnya.

Ide ibumu yang mengusulkan anak laki-laki itu menjemputmu sepulang sekolah. Bahkan saat menyebutnya anak laki-laki kau sudah merasa semuanya salah. Begitu kau keluar gerbang dan menyampaikan alasanmu pada Sulli–bahwa kau tidak akan langsung pulang bersamanya hari ini–kau merasa semuanya sudah salah.

Kau tidak pernah dijemput pulang oleh siapapun sebelumnya. Semenjak ayahmu meninggal, Ibumu terlalu sibuk. Dan tidak perlu alasan lain bagimu untuk memaklumi waktu luangnya yang hampir tidak ada. Jadi inilah kau, terbiasa menunggu di halte sambil bercanda dengan Sulli, sahabatmu. Berdesak menaiki bus kota dan sesekali tidak berniat pulang. Alih-alih pulang kau lebih baik menginap di rumah Sulli. Toh tidak akan ada yang mencarimu di rumah karena satu-satunya orang rumah sedang sangat sibuk.

Tapi, setelah banyak mendapatkan ejekan Sulli tentang betapa menyedihkan kehidupanmu (walau kau tahu Sulli tidak benar-benar bermaksud begitu) kau tetap merasa tidak nyaman dengan usul Ibumu. Terlebih saat kau mendapat tatapan aneh teman-teman sekolah yang melewatimu di depan gerbang. Menanyakan kenapa kau berdiri disana. Bukannya di halte menunggu bus bersama Sulli.

Kau enggan menjawab jujur bahwa seseorang akan menjemputmu, karena akan benar-benar menggangu jika mereka semakin penasaran siapa penjemputmu. Kau tahu setelah rumor hari ini, anak-anak di sekolah akan lebih ingin tahu tentangmu. Kau tidak terbiasa saat tak sedikit pasang mata yang mengawasimu keluar gedung sekolah. Kau tidak ingin satupun dari mereka yang berani mendekat dan menanyakan sesuatu. =

“Menunggu pacar, ya?” tanya Baekhyun tiba-tiba saat kau sedang menatap jalanan di depanmu. Kau mengeluh.

Anak laki-laki itu adalah teman sekelasmu. Dan tidak ada jawaban yang bisa kau berikan selain dengusan kesal.

Baekhyun adalah Baekhyun. Si pembuat onar, badut kelas.

Disamping Baekhyun adalah Kim Jongin –juga teman sekelasmu– yang menatapmu penuh tanda tanya, membuatmu merasa sepenuhnya tidak nyaman.

“Pergi sana.” usirmu. Kau tidak ingin diganggu. Oleh siapapun. Tapi, seakan Dewi Fortuna sudah menjadikanmu musuhnya, karena kau justru mendapatkan tawaran Jongin yang membuatmu terkejut sekaigus sebal.

“Mau kuantar pulang?” kata anak laki-laki berkulit gelap itu. Kau merasakan sesuatu bergerak menggelikan di dalam perutmu saat Jongin tiba-tiba menawarimu seperti itu. “Wah,” decak Baekhyun. Anak itu menepuk pundak Jongin. Merasa sangat terhibur. Jelas sekali bagimu melihat mulut Baekhyun menggerakan kalimat ‘Kau cepat bertindak’ pada Jongin yang jelas mengabaikannya.

“Tidak, terima kasih. Antar saja kekasihmu yang cerewet ini pulang.” usulmu santai setelah berhasil menguasai dirimu kembali. Menunjuk Baekhyun yang rahangnya jatuh seketika mendengar perkataanmu.

“Sudah kubilang gadis ini gila,” bisik Baekhyun. Kau tidak perlu waktu yang lama untuk membunuh mental anak laki-laki pendek itu dengan tatapan tajam matamu. Baekhyun berakhir mengerut di tempatnya berdiri, tidak berani bicara lagi.

“Kau menunggu seseorang, kan? Siapa?” kali ini Jongin yang mendapat tatapan tajammu, bagimanapun kau mulai merasa terganggu dengan sikap ingin tahu Jongin yang berlebihan, terlebih dari caranya bicara, Jongin seakan menunjukan bahwa dia memang perlu tahu. Tapi, anak itu tidak seperti Baekhyun. Dia justru balik menatapmu dengan alis bertaut. Kau sama sekali tidak suka. Dan kau berusaha menunjukan hal ini padanya.

“Apa urusanmu Kim Jongin?” ujarmu sinis.

Today’s . Pikirmu saat berbicara pada anak laki-laki itu.

Dalam hati kau berharap si penjemput datang dan mereka bisa melakukan pertemuan konyol yang direncanakan ibumu segera. Lalu setelah semua selesai kau bisa kabur ke rumah Sulli untuk menghabiskan es krim yang selalu ada di lemari es di rumah gadis itu. Nah, itu bagus.

Ah atau sekalian saja kalau bisa kau ingin tidak ada pertemuan konyol ibumu. Kalau bisa kau tidak ingin ada masalah pernikahan untk dibahas. Ya ampun, ya pernikahan. Akhirnya kau mengingatnya juga.

“Tunanganmu menjemput, kan?” tanya Jongin. Kau mengangkat kepalamu terkejut. Anak ini mengatakannya di saat kau mengingat tentang pernikahan konyol ini. Kau tahu rumornya sudah menyebar di sekolah. Kau mendengarnya bahwa kau akan bertunangan, dan akan segera menikah setelah sooneung nanti. Kau mendengarnya berulang kali sampai detik ini. Tapi, ini pertama kaliny bagimu ada seseorang yang emnyinggungnya di depan matamu secara langsung. Kecuali pemberitahuan Sulli di kelas tadi.

Sebenarnya, kau bahkan tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat mendengar rumor ini beredar di sekolah. Di kelas kau melepas kecanggungan akibat rumor itu dengan memukul kepala Sulli yang terus mengatakan ‘Hei, pengantin wanita. Rahasiamu terbongkar~’ atau kalimat-kalimat sindiran lainnya. Karena, kau benar-benar tidak suka hal-hal ini dibahas.

Kau menatap Jongin tidak suka. Anak ini benar-benar sudah mengganggumu dengan menyinggungnya engan terang-terangan. Apa dia pikir itu adalah semacam penghargaan baginya untuk berhasil membuatmu mencapai titik kulminasi kekesalanmu hari ini?

Kau baru akan menyemburkan kalimat sinis terbaikmu saat tiba-tiba saja suara klakson mobil terdengar sangat keras menginterupsi. Baekhyun bahkan hampir melompat ke depan karena terlalu kaget. Dan kau ingin menertawakan anak pendek itu kalau saja kau tidak melihat siapa yang datang. Kau tidak dapat menguasai ekspresi terkejutmu saat sesosok wajah tampan yang kau kenal menyembul keluar menyapamu.

Hey, dear! Ayo naik.”

Dan kau bisa merasakan wajahmu memanas. Beberapa anak perempuan di depan gerbang mulai mengomentari betapa tidak bisa dilewatkan wajah laki-laki yang menyapamu dengan senyuman tak tertahankan.

Tapi, lebih dari semua itu kau mulai menilai mesin besar yang dipakai penjemputmu. Sebuah Pocari tua. Dan butut. Juga berisik.

Kau hanya bisa berharap wajah tampan si pengemudi mengalihkan perhatian siapa saja dari rongsokan yang dibawanya. Dan saat itulah kau mendengar Baekhyun membisikan komentarnya.

“Hei, Jongin. Tunangannya tampan sekali. Kurasa kau sudah kalah saat ini.”

Yah, Byun Baekhyun jelas tidak memperhatikan mobilnya

 

 

 

 

.

 

 

.

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

“Pasang sabuk pengamanmu.”

“Apa? Oh. Oke.”

Dengan rasa aneh yang menggerogoti pikiranmu, kau mencoba tenang dan menarik sabuk pengaman di sisi. Mencoba memasangnya tanpa getar tangan yang terlihat jelas. Kau tak ingin terlihat kacau benar di dalam mobilnya. Sebuah Pocari tua yang menyembur, seperti nenek-nenek cerewet yang diperlakukan kurang ajar, ketika mesin mobil butut itu dinyalakan. Itu mobilnya, sih. Jadi kau tidak bisa–atau tidak boleh–merasa keberatan.

“Mau jus jeruk?” Dagunya mengedik ke dashboard mobil. Dan kau mengusahakan dirimu tidak mengernyit atau berkomentar pedas saat melihat sebotol cairan bervitamin C itu diletakan tepat di hadapanmu.

Kau biasanya suka jeruk. Tapi, tidak yang sepertinya sudah berumur 2 hari di atas dashboard mobil tua.

“Tidak, eh. Terima kasih.” tolakmu sopan. Yah, setidaknya kau masih berusaha bersikap sopan hingga saat ini. Bagaimanapun hari ini sudah sangat berat bagimu.

“Oke.”

Lalu dia membawa mobilnya menuruni jalanan. Kau bernapas lega mobilnya tidak ‘meledak’ saat diinjak gasnya. Kau penasaran bagaimana mobil butut ini bisa lulus uji emisi.

Atau memang tidak pernah lulus.

Saat mobilnya mulai menjauhi sekolah, kau tidak merasa perlu repot-repot menoleh kearah dua anak laki-laki yang terlihat masih mengawasi mobil tua yang membawamu pergi. Kau lebih memfokuskan diri ke pengemudi di sampingmu.

Dia tersenyum. Kau mencoba membalasnya, walau dengan sedikit sesak napas. Maksudnya, ironis karena senyumnya itu terlalu… bisa membuat gadis-gadis muda gila.

“Sudah makan, kan?” ujar si subyek pemikiranmu.

Kau tersenyum kepadanya. Sudah sangat merasa simpatik dan hendak menjawab saat mobil Pocarinya mengeluarkan suara aneh. Kau menahan nafas.

“Su..dah?” jawabmu. Sedikit tidak yakin. Soalnya perutmu sendiri sudah memberontak minta diisi saat kata makan disebutkan. Kau belum sarapan. Bahkan kau melewatkan makan malammu sebelumnya. Lagi-lagi kau membayangkan es krim di rumah Sulli.

“Oke. Kau sudah siap? Kita langsung saja, ya?”

“Oke.

Mimikmu dalam hati.

Karena kau ingin semuanya cepat berakhir. Ini adalah kebiasaanmu mengulang apa yang kaukatakan dalam hati. Ini membantumu mengkaji ulang apakah kau benar-benar yakin dengan jawaban yang kau ucapkan. Dan kau jelas tahu bahwa jawabanmu barusan sama sekali bukan dari keyakinanmu.

“Bagaimana sekolah?” tanyanya tiba-tiba. Kau menoleh kearahnya.

Sekolahmu? Selalu biasa, kan? Oh ya. Kan dia tidak tahu. Hari ini kalian baru saja bertemu dengan benar. Kalau dipikir lagi tentang pertemuan ini jantungmu berdegup lebih, lebih sangat kencang.

“Sekolah baik.”

“Bagus.”

Lalu hening lagi. Kau membiarkannya bertanya lagi. Kau tidak mau repot-repot berpikir untuk menjadi orang yang memecahkan keheningan danta kalian. Karena aku tahu kau sendiri tidak bisa. Jadi kau segera mendengarkan saat sebuah pertanyaan terlontarkan lagi kearahmu.

“Eung… bagaimana Milo?”

Kau mengernyit. Si kucing kurus itu? Dia sudah kabur sejak dua bulan lalu. Kausih sebenarnya tidak ingin membahasnya.

“Dia sehat,” ujarmu asal. Lalu diam sesaat. Sebelum akhirnya dia bertanya lagi.

“Eum.. Dua anak laki-laki tadi.. mereka temanmu?”

Oke kau lebih tidak ingin membahas ini. Milo jauh lebih baik untuk dibahas. Kau hanya menggumamkan iya sembari mengangguk, lalu dia tidak bertanya lagi. Mungkin dia tahu kau tidak suka membahas teman-temanmu. Ini membuatmu berpikir dalam hati. Apa dia juga berpikir tentang reaksi teman-temanmu soal rumor yang beredar? Atau sebelumnya, apa dia memikirkan bagaimana menyebalkannya kehidupan sekolahmu karena pernikahan ini? Apa dia memikirkan imbasnya padamu? Kau menggigit bibir bawahmu karena terlalu penasaran. Dan kau tidak bisa berbuat apapun agar rasa penasaranmu terpecahkan.

Ya ampun… Kapan sih sampai? Kau tidak kuat jika harus lebih lama lagi dengan makhluk Tuhan satu ini. Diam-diam kau mengawasi profil anak laki-laki itu dari samping.

Rambutnya diangkat keatas dan bergerak-gerak sedikit. Terlihat lembut dan ringan seperti permen kapas. Hanya saja warnanya bukan pink.

Wajahnya? Kulitnya selalu terlihat pias dan gurat disana tidak bisa dibilang cukup ramah. Terlebih rahangnya yang berkesan tajam dan dingin. Tapi, saat dia bicara dengan suara lucunya–yang harus kausebutkan, cedal–, kau mulai berpikir inilah gunanya punya jantung yang berdegup kencang hingga dua kali lipat. Jadi, kau bisa tahu kalau memang sedang gugup di sampingnya.

“Kau cantik ya dengan seragammu.” celetuknya tiba-tiba di tengah pujian-pujian yang tak sadar sedang kaumauksudkan untuknya dalam hati.

. Pikirmu.

“Kau benar-benar cantik jika terlihat malu begitu.”

Kau tertawa lirih. Tidak berani menoleh.

Lalu saat mobilnya berhenti di lampu merah, kau berinisiatif mengajukan pertanyaan.

“Bagaimana dengan.. er kuliahmu?” Kau lalu menahan napasmu. Ini pertanyaan salah. Menanyakan kuliahnya mengingatkan perihal jarak umurmu dengannya. Dan itu adalah hal yang seharusnya kau hindari. Dan kau makin merasa bersalah ketika mendengar jawabannya.

“Yah.. Kukira aku lupa memberitahumu. Tapi, aku memutuskan untuk berhenti. Eum.. untuk pernikahan ini.” jelasnya santai. Kau tidak tahu kenapa dia bisa sesantai itu. Maksudmu, kau disini sedang setengah mati menahan kecanggungan yang kau ciptakan dengan bodohnya.

“Aku senang kau tidak setengah-setengah soal pernikahan.” Kau berkata setelah beberapa menit lamanya. Walaupun kau tidak benar-benar menoleh, kau menangkap ekspresi bahagianya saat mendengar pujianmu.

“Tapi,” katamu, “pendidikan juga sangat penting.”

Lalu entah kenapa, dia tertawa kecil.

“Semua orang mengagungkan pendidikan. Lalu sebenarnya untuk apa sekolah itu di masa sekarang ini?” Kau menoleh kearahnya untuk memastikan wajahnya yang memberimu alis yang terangkat. Artinya pertanyaannya barusan memang ditujukan padamu.

“Eung.. Sekolah? Untuk mendapat pekerjaan yang layak? Gain some money, i think.” Kau sebenarnya tidak ingin menjawab seperti itu. Karena kau tahu itu yang laki-laki di sampingmu ini harapkan sebagai jawaban. Tapi, seperti tidak ada jawaban lain. Kau berusaha jujur sesuai dengan pemikiranmu, pada dasarnya sekolah memang hanya sebatas itu. Untuk bekal agar bisa mempertahankan hidupmu kelak, adalah versi omong kosongnya.

“Yeah.. pendidikan dan menuntut ilmu memang bisa diartikan lebih luas. Jadi jika ada yang bilang tidak meneruskan kuliah berarti tidak berpendidikan. Kurasa kita berdua sepakat untuk tidak setuju, kan?”

Kau diam. Menyadari bahwa kau baru saja digiring ke pemikiran laki-laki ini. Kau lalu mengangguk malu. Tiba-tiba saja kau merasa sangat bodoh telah menyinggung keputusan anak laki-laki, entah kenapa. Dan menyebutnya anak laki-laki lagi sekarang, membuatmu berpikir untuk memanggilnya pria mulai saat ini. Maksudmu, apa yang dikatakannya barusan soal pemikiran membuatmu sadar dia bukan teman sebayamu, bukan anak kecil. Kau harus berhenti membandingkan. Dia masih lebih tua dari dirimu.

“Untuk membuatmu merasa nyaman,” ujar pria itu. Kau menoleh dan mengawasinya berbicara.

“Aku mungkin tidak menjanjikan hidup mewah. Tapi, aku berjanji akan berusaha sangat keras untuk bertanggung jawab akan pernikahan ini.” Dia menoleh sebentar kearahmu untuk memberikan senyum menawannya.

“Oke?” tambahnya. Pipimu memanas seketika. Kau pikir kau bisa saja mati karena malu.

“Oke.” Jawabmu.

Dia tertawa renyah. Mengusap puncak kepalamu sayang dan buru-buru menariknya untuk membelokan kemudi ke sebuah pekarangan rumah yang sangat kau kenal.

Nah, kita sampai. Aku tidak sabar untuk melihat ibumu di dalam.”

Kau menghela nafasmu keras saat dia lebih dulu keluar dari mobil. Kau sudah sangat malu dan kaku disampingnya.

Kau hanya bisa berharap hari ini lekas berakhir saja.

.

.

.

“Namanya Oh Sehun dan dia tampan,” katamu gontai.

Perutmu berbunyi dan rasanya nyeri sekali. Kau tahu maag-mu kambuh. Kau masih belum membayar terlewatnya sarapanmu hari ini dan makan malammu di hari sebelumnya. Tapi, kau berdalih karena terlalu lemas dengan kenyataan yang terjadi pagi ini.

“Lalu apa lagi? Ceritakan.”

Adalah Choi Sulli yang sedang kau ajak berbagi cerita pilu hari ini. Kau menghela nafasmu. Menepuk dan memeluk bantal. Kau mencoba mengalihkan kegetiranmu pada plushie James Sullivan dari film Disney Monster Inc. Kalian berdua sedang di kamar Sulli. Dan kau memang selalu merasa tenang di kamarnya. Jadi kau bersedia bercerita lebih lanjut.

“Dia punya mobil sendiri.”

“Wow. Anak kuliahan memang beda,” komentar Sulli langsung. Gadis itu duduk di sisimu. Memainkan plushie Mike. Tapi, kau tahu sahabatmu itu mengawasimu bercerita.

“Mobilnya Pocari keluaran 19–“

“Ya ampun! Keluaran 98?” sahut Sulli. Lagi-lagi responnya sangat cepat. Kadang kau berpikir gadis itu sudah membaca pikiranmu sebelum kau benar-benar mengatakannya. Kau mengangguk lemas. Itu bukan inti masalah ceritamu sih. Tapi, Sulli sudah memasang wajah simpatik lebih awal karena Pocari.

Samar-samar kau mendengar gemuruh dari luar. Kau menoleh ke jendela dan mendapati awan kelabu menyapamu dari tempatnya. Bagus, pikirmu. Kau berniat tidak pulang dan menjadikan hujan sebagai alasan adalah idemu saat ini.

“Tapi, dia benar-benar tampan, kan? Dan pintar?”

“Sangat.” Jawabmu sambil mengalihkan tatapanmu dari jendela. Kembali ke Sullivan ditanganmu.

“Dia ramah. Kami berbicara banyak di dalam mobilnya. Dia menanyakan sekolahku, tentang Milo, apakah aku sudah makan..” Kau putuskan tidak menceritakan soal jus jeruk di atas dashboard. “Dia terlihat sangat baik.” Kau menutup mulutmu rapat langsung diakhir kata.

“Kalau begitu bagus, kan? Kau bisa cocok dengannya. Dialah yang akan menjagamu untuk seterusnya kan saat kalian tinggal satu atap nanti?” komentar Sulli. Kau menilai temanmu satu ini sedang mengejekmu. Kau mendengus tidak percaya.

“Kalau Oh Sehun sangat baik. Dan tampan. Dan cocok denganku. Kenapa aku dan dia tidak pacaran sekalian saja?” celetukmu dongkol. Tapi, salah jika aku mengharapkan Sulli bersimpatik. Dia bukan tipe sahabat yang menghiburmu dengan pengertian dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Dia tipe yang membicarakan masalahmu sebagai lelucon dan secara tidak langsung membuatmu beranggapan hal yang sama dengannya. Bahwa masalahmu adalah masalah kecil yang lucu sekali kalau kau hanya terlarut dalam kemelankolisannya.

Jadi, inilah yang dikatakan seorang Choi Sulli.

“Ide bagus. Menikah langsung saja bagaimana?” Kau mendelik dan memukul wajah Sulli dengan bantal keras-keras detik itu juga. Bukannya mengerang kesakitan, gadis itu malah tertawa-tawa geli sambil memegangi perutnya.

Oh Sehun dan menikah bukanlah kata-kata yang ingin kau dengar dalam satu kalimat.

“Lalu ceritakan soal pertemuannya? Bagaimana ibumu?”

Ibu.

Kau mengeluh dalam hati. Kau memejamkan matamu. Kau sangat kesal. Masih sangat kesal. Tapi, tidak mungkin kan kau mengumpat pada ibumu sendiri?

“Ibu mengurus undangan pernikahan lebih cepat dari perkiraanku.” Kau menarik tas serut kecilmu dari balik punggung. Merogoh ke dalamnya dan mengeluarkan secarik undangan yang langsung membuatmu merasa getir.

Ini bukan karena Oh Sehun yang tampan dan kau diam-diam tertarik dengan pesona tak terelakan milik pria tinggi itu. Sama sekali bukan.

Sulli menerima undangan yang disodorkanmu kearahnya. Gadis cantik itu tertawa, kau menunduk saat sadar tawa kaku Sulli terdengar seperti mengejekmu. Kau tahu Sulli tidak bermaksud membuatmu merasa semakin kesal. Kau hanya terlalu sensitif akhir-akhir ini.

“Aku tidak tahu kalau aku juga diundang ke pernikahan Oh Sehun ini. Dia membuatku takut bahkan di saat pertama kali kau menceritakannya padaku. Apa aku harus datang?” ujar Sulli. Mulai terdengar seperti bisikan.

“Kau harus datang, Sulli. Kau harus menemaniku. Aku bagai Mike dan kau Sulli. Kita harus saling menemani, kau ingat?” Kau menggoyangkan plushie James Sullivan dengan tawa sekaku tawa Sulli.

Atau mungkin tawamu lebih buruk.

“Lagipula ibuku juga sangat ingin kau datang.”

Sebenarnya masalahmu bukan karena Oh Sehun yang tampan dan kau diam-diam tertarik dengan pesona tak terelakan milik pria tinggi itu. Tidak. Bukan itu. Kau menatap Sulli dan menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan gadis itu tentang keluargamu saat ini. Tentang Oh Sehun? Tentang kau?

“Mungkin..” kau terdiam sejenak, menggantungkan kalimatmu. Kau mulai mendengar hujan dari luar. Kau mendengus karena semua seakan tidak mendukung perasaanmu menjadi sedikit lebih baik saja.

“Mungkin bagi Ibuku.. semua orang harus ada di pernikahannya dengan Oh Sehun nanti.”

Kau diam. Sulli juga. Rintik hujan yang menghantam permukaan luar jendela mendominasi ruang hening diantara kau dan sahabatmu itu.

Kau mendadak benci merasa melankolis. Kau berhasil bersikap biasa saja sebelum-sebelumnya. Tidak lucu kalau batinmu baru memberontak saat ini.

Masalahnya bukan kau adalah anak ibumu. Atau siapa itu Oh Sehun sebenarnya.

“Oh Sehun dan Park Jin Hee,” Sulli membaca undangannya. Kau menatap plushieSullivan dalam diam. Kau bahkan tidak tahu bagaimana tepat perasaanmu saat ini.

“Park Jin Hee.” Bisik Sulli.

Masalahnya adalah kau sedang menyesuaikan. Menerima keputusan Ibumu. Mendukung kebahagiaannya sekalipun itu sebenarnya mengganggumu.

Masalahnya adalah kau sudah berjanji akan membiarkan ibumu melakukan hal yang akan mengembalikan kebahagiaannya sendiri, setelah sekian lama kepergian ayah kandungmu. Kau sudah setuju.

“Ya.. Sohee-ya.” Kau menoleh kearah Sulli saat gadis itu memanggil namamu. “Aku.. baru tahu kalau ibumu bernama Park Jinhee.”

Kau menghela nafamu keras-keras. Masalahnya kau sudah setuju. Menyetujui pernikahan ibumu ini. Semuanya.

Termasuk menerima sepenuhnya Oh Sehun menjadi ayah tirimu, segera.

 

 

.

 

 

 

.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet