Breath

Description

Kuketuk pintu apartemen Jimin 3 kali. Pemiliknya melongok dari dalam sana. Dia menyuruhku masuk setelah lebih dulu menyingkirkan pengait rantai dari pintunya.

 

"Tumben sore-sore ke sini", pemuda manis itu baru selesai mandi, tampaknya.

 

Dia hanya memakai boxer dan handuk di kepalanya yang digunakan untuk mengeringkan rambut setengah basahnya. Tanpa disuruh, aku menghempaskan diri di sofanya. Jimin berbalik meninggalkanku menuju dapurnya untuk mengambil 2 kaleng coke untuk kami. 

 

"Jimin, tidak usah, aku tidak lama, aku cuma mau minta tolong antarkan aku ke tatois", kujelaskan maksudku padanya. 

 

Jimin sudah kembali ke ruang tamunya dengan 2 kaleng susu stroberi di tangannya, kupikir tadinya dia mau memberiku coke, tapi ini lebih baik. Lagi-lagi tanpa disuruh, aku menyambar salah satu kaleng itu dan membiarkan isinya membasahi kerongkonganku.

 

"Apa Suga sudah tau?", dia bertanya sebelum meneguk susu kalengnya.

 

"Sudah. Tadi malam aku sudah bilang padanya bahwa aku sudah mantap untuk membuat tato pertama di punggungku", kujawab pertanyaannya sembari menggosok-gosokkan genggamanku pada kaleng susu yang masih berembun.

 

"Kau kemari untuk memintaku menemanimu, pasti Suga tidak setuju kan. Hahaha", Jimin merespon tepat sesuai kenyataannya.

 

"Sialan. Jangan menertawakan aku. Suga menasehatiku semalaman, seperti yang dia lakukan pada Jungkook. Tadi pagi, aku sudah mencoba meminta Jungkook untuk menemaniku, tapi katanya dia takut Suga marah padanya", aku berdiri dan meraih tangan Jimin untuk mengajaknya berangkat, "Ayo".

 

"Hei, sebentar dulu..!", dia menarik balik tanganku. Aku terduduk di dekatnya sampai bisa mencium aroma sabun di tubuhnya. Pupil Jimin membesar memandangiku, sepertinya dia sangat antusias.

 

"Memangnya, kamu mau membuat tato di bagian mana?", tepat sekali, dia antusias.

 

Aku membenarkan dudukku, namun berusaha mengalihkan keantusiasannya. Aku tidak begitu suka pada Jimin yang menanggapi segala hal dengan sedikit berlebihan. Aku berbalik membelakanginya, membuka kemejaku setengah dan berusaha menunjuk dengan jariku , "Di sini, punggung kiri".

 

"Di sini?", Jimin menyentuhkan tangannya dia area dekat jariku menunjuk.

 

"Memangnya tato apa? Kenapa di sini?", dia melanjutkan interogasinya.

 

"Soom, tempatnya lurus dengan paru, karena Tuhan selalu memberiku nafas sampai kini", jelasku.

 

Jemari Jimin perlahan bergeser, menyibakkan seluruh rambutku ke pundak kanan. Oh, sial, aku kecolongan, dia bukan tertarik pada rencana tatoku. Dan kenyataan bahwa aku sedang memamerkan setengah tubuh bagian belakangku pada sahabat kekasihku yang masih topless karena baru selesai mandi membuatku sadar akan kebodohanku.

 

Jimin mengecup leher bagian kiriku, menggerayangi telingaku dengan lidahnya. Aku mengerang tipis. Bukan ini maksudku ke sini, tapi siapa yang rela menolak Jimin. Dia bahkan menggoda ribuan wanita di atas panggung dengan meremas juniornya saat melakukan tarian solo. Brengsek. Jimin melepaskan pengait braku dan meremas kedua isinya dari belakang.

 

"Kau bilang mau tato di mana tadi? Di sini?", dia menggodaku sambil memilin ujung buah dadaku. 

 

Aku mendesis. Aku bisa merasakan darahku berdesir lebih kencang. Hanya itu. Selama beberapa menit aku menikmati bagaimana Jimin menggerayangiku dari belakang. Remasan demi remasan, pilinan demi pilinan, kecupan demi kecupan, aku melenguh, mendesis, dan mengerang sesekali. 

 

"Jimin..", aku menyebut namanya lirih saat jemarinya mulai menyentuh milikku yang sudah basah.

 

Jimin menolehkan wajahku, melumat bibirku dan semakin merangsangku dengan nafas hangat yang sesekali dia hembuskan di sela-sela lumatannya.

 

"Jimin aku mau..", Aku berusaha meraih miliknya yang masih ditutupi boxer. Sudah terasa penuh dan keras, tapi dengan cepat Jimin menepis tanganku. Didorongnya tubuhku untuk memposisikan kami dengan gaya doggy style. Favoritku.

 

Jimin menurunkan hotpantsku hanya sebatas lutut tanpa melepaskannya. Aku bisa merasakan kini miliknya menempel pada milikku.

 

"Jimin, tunggu, kondomnya", aku berusaha menoleh padanya. Dia hiraukan, dengan beberapa sentakan dia memasukkan miliknya.

 

'Cres, cres'.

 

"Ah", Aku menunduk, kini miliknya penuh ada di dalamku. Hangat. Besar. Sedikit sakit, tapi.. Jimin mendorongnya keluar masuk menyebabkan diriku secara otomatis memproduksi cairan sebagai respon atas tindakannya. Jimin menunduk menempelkan badannya ke punggungku dan meremas kedua oppaiku, sambil terus memompakan miliknya.

 

"Jimin. Ah.. Honey.. Mmph.. Oh f~“, aku meremas-remas tepian sofanya sambil meracau pelan.

 

Beberapa menit dengan posisi yang tetap sama dia terus melakukannya. Milik Jimin yang hebat kurasakan sangat aktif menjelajahi dindingku berkali-kali. Tanpa pemisah, ini terasa jauh lebih nikmat. 

 

Jimin memperkencang irama keluar-masuknya, "Sayang.. Aku..".

 

Jimin hampir tiba pada puncaknya, ah, aku harus mengingatkannya, "Jimin.. Ah.. Jim..in.. keluarkan di luar sayang.. Ah..", ayunannya semakin kencang.

 

"Ah, sayang aku..", Jimin terbata.

 

'Tes, tes', aku merasakan percikan percikan cairan hangatnya di punggungku. Kenyamanan yang luar biasa baru saja menguras energiku. Jimin menindih tubuhku tengkurap.

 

"Jimin..! punggungku masih kotor..!", aku berusaha bangkit & menyingkirkan tubuhnya dariku, tapi gagal.

 

"Ah, biarkan saja, nanti kita bisa mandi bersama untuk membersihkannya, ayo tidur dulu, aku capek", katanya.

 

Tidur dengan posisi ini tentu tidak nyaman, tapi tubuh Jimin yang hangat mendekapku ke alam bawah sadar yang menenangkan.

 

"Jangan tato tubuhmu, biarkan mulus, kalau kau ingin sedikit hiasan, aku bisa memberikan kissmark di mana pun dan kapan pun kau mau", sayup sayup kudengar bisiknya di telingaku.

 

Tidak hanya sensual, Jimin juga manis. Jimin selalu bisa jadi selingan yang menyenangkan jika Suga sedang menjauh. Aku suka Jimin. 

Foreword

Bukan ini maksudku ke sini, tapi siapa yang rela menolak Jimin.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet