Beautiful Pink

Description

'Kim Seokjin', kubaca dalam hati nama yang tertera di kartu berobatku. Aku mendengus. Lelah, setelah dua jam mengemudikan mobilku sendiri, aku tiba di rumah sakit ini. Pemeriksaan paru-paru rutin, itulah tujuannya. Aku meringis, tujuan yang buruk. 

 

Kota besar ini tentu saja memiliki fasilitas berobat yang lebih baik daripada di kampungku. Biasanya aku ke sini setiap bulan bersama orang tuaku, tapi kali ini mereka menyuruhku pergi sendiri karena ada kesibukan di pekerjaannya masing-masing. Lagipula, dokter Namjoon, teman ibuku yang biasanya memeriksaku, sedang mengikuti seminar di kota lain, jadi kali ini dokter penggantilah yang akan memeriksaku.

 

Seorang perawat mendorong kursi rodaku menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Aku suka lorong ini, lorong terbuka berbentuk segi lima yang memutari setiap paviliun, di tengahnya ada kolam berisi ikan koi, teratai, dan melati air. Biasanya aku akan berjalan mengitari lorong ini sambil sesekali mengagetkan ikan-ikan bermulut lucu itu. Tapi kali ini kaki kiriku sedang terluka, sayang sekali aku harus jadi pesakitan lemah yang didorong di kursi roda.

 

Perawat itu meninggalkanku bersama dokter Seokjin. Dokter Seokjin tampak masih muda, bahunya lebar, dan tubuhnya tegap. Aku sedikit cemas dia tidak selihai dokter Namjoon dalam mengecek tubuhku.

 

"Nona Mao Tian Wen, kau dijemput ambulance kemarin saat ditemukan tergelincir di bukit dekat sekolahmu, jadi orang tuamu menyuruhmu ke sini seminggu lebih awal dari jadwal seharusnya", dia membuka percakapan dengan nada memojokkan.

 

"Iya", jawabku singkat, menatap lurus pada matanya yang dibingkai kacamata yang membuat wajahnya tampak manis. Dia mau memeriksaku atau menantangku berdebat ya? Dia membuka sesi ini dengan sangat tidak nyaman.

 

"Jadi, kau seorang rebel. Kau tau batas kemampuan parumu adalah 16 derajat Celcius, sedangkan di bukit itu temperaturnya 12 derajat Celcius", tidak perlu dipungkuri bahwa nampaknya dia mengajakku berdebat.

 

"Ini musim semi yang panas", jawabku ketus.

 

"Nona Mao, apakah keluargamu yang terpandang mengajarimu berbicara seperti itu pada petugas medismu?", tanyanya kembali memojokkan.

 

"Dokter.. Uhm.. Kim Seokjin.. yang tampan, terima kasih telah mengingatkan. Maafkan aku, aku tidak akan mengulanginya lagi. Tolong periksa aku sekarang", ucapku dengan nada yang dibuat-buat sopan.

 

Tanpa menjawab, dokter Seokjin segera membuka beberapa kancing baju pasienku. Ditempelkannya stetoskopnya di sekitar dadaku, lalu dia lakukan pemeriksaan rutin seperti yang biasa dilakukan dokter Namjoon padaku. Semuanya dalam diam, dia tampak serius. Setelah selesai, di menuliskan resep obat-obat baru yang harus kubeli.

 

"Terakhir mereka menaruhnya dalam kapsul hijau, bisakah kau minta mereka menaruhnya di kapsul warna merah saja?", aku mengamatinya menulis, sambil berceloteh. Dia menghentikan tulisannya dan melirik padaku. Aku tertegun, lalu mundur kembali bersandar pada kursiku dan membuang muka darinya.

 

"Kau suka warna merah?", tanya dokter Seokjin.

 

Aku kembali menatapnya, lalu sedikit mengangguk. Tidak kusangka sedetik kemudian dia merespon dengan antusias.

 

"Wah! Aku suka warna pink! Merah muda!", dia membuka kacamatanya dan meletakkannya di meja. Dituntunnya bangkit tubuhku dan dibopongnya ke kursi roda.

 

"Kau mau jalan jalan melihat teratai yang mekar? Mereka pink!", ucapnya riang.

 

Aku tidak menjawab, terlalu terkejut dengan tingkahnya yang berubah 180 derajat hanya karena warna pink. Dia menghentikan kursi rodaku di sudut lorong dengan spot view terbaik pada kolam. Beberapa teratai pink dan putih memang tampak mekar penuh, beberapa pula masih tampak kuncup. Angin berhembus semilir. Beberapa koi menghirup udara dari permukaan kolam dengan mulutnya dan membentuk lingkaran riak air.

 

"Dokter Namjoon bilang penyakitmu memburuk sejak usiamu 19 tahun, dan kau diperkirakan hanya dapat bertahan sampai umur 24 jika tidak ada hasil yang signifikan dari pengobatan ini. Kau umur berapa sekarang?", tanyanya sambil mengelus pundakku dari belakang.

 

"23", jawabku singkat.

 

"Ah... Apa rasanya sakit?", tanyanya lagi.

 

"Kau kan seorang dokter, mestinya kau tau bagaimana rasanya. Dokter, umurmu berapa?", aku mendapatkan kesempatan untuk memojokkannya.

 

"Aku? Aku 29 tahun. Kau mau kupetikkan satu teratai?", dokter Seokjin bergegas menuju kolam, namun aku meraih tangannya untuk mencegahnya.

 

"Jangan Seokjin!", seruku.

 

Kami berpandangan, lalu dipandanginya tanganku yang mencengkram pergelangan tangannya. Melihat sikapnya, segera kulepaskan cengkeramanku.

 

"Eh, maaf, maksudku, jangan dokter. Jangan dipetik, biarkan di sana saja. Mereka tampak cantik di kolam", kilahku.

 

Kami terdiam beberapa lama setelah insiden itu, sebelum akhirnya aku mengajaknya kembali ke ruangannya.

 

Dokter Seokjin memeriksa luka di kaki kiriku sebentar. Hanya luka lecet akibat tergelincir saat hendak mengambil pinecone.

 

"Kau boleh memanggilku Seokjin. Usia kita tidak beda jauh kan", ucapnya sambil tersenyum setelah memeriksa lukaku.

 

"Seokjin, sejak kapan kau bekerja di sini? Bulan lalu aku belum melihatmu".

 

"Baru dua minggu", jawabnya.

 

"Apa kau sudah punya anak?", tanyaku lagi.

 

"Hahaha, aku bahkan belum menikah. Aku tinggal bersama anjingku. Dia berwarna putih, lebih tampak seperti seekor domba daripada anjing. Hahaha", Seokjin terlihat makin tampan saat tertawa.

 

"Kenapa kau tanyakan hal seperti itu?", dia balik bertanya.

 

"Ah, tidak, kupikir karena kau menyukai warna pink dan hal-hal yang cantik, mungkin kau memiliki seorang putri kecil", jawabku.

 

Aku bangkit dari tidurku, duduk di tepian ranjang periksa, merilekskan kakiku kembali. Tubuh Seokjin kini memblokade diriku untuk pergi dari sana. Aku menatapnya, dia juga menatapku.

 

"Kurasa, aku juga menyukai hal cantik sepertimu", ucapannya terdengar samar di telingaku.

 

Kira-kira seperti itu, aku tidak bisa fokus pada apa yang aku dengar karena saat ini aku terpejam. Mataku terpejam saat kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Tangannya meraba tengkukku. Seokjin menciumku dengan lembut dan hangat. Aku tak kuasa untuk tidak membalasnya. Tidak ada desah nafas yang penuh nafsu, juga rabaan nakal tangannya di bagian tubuhku lainnya. Hanya kecupan kecil dan pagutan lidah yang lembut. Kurasa aku juga menyukai hal yang indah ini, Seokjin.

Foreword

"Kurasa, aku juga menyukai hal cantik sepertimu", ucapan Seokjin terdengar samar di telingaku.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet