The Library

Description

Sore ini hujan turun sangat deras. Aku mendengus, terjebak di perpustakaan kampus bukanlah hal yang menyenangkan di saat seperti ini. Listrik kota padam, pihak kampus memilih menggunakan suplai sumber listrik cadangan untuk menerangi gedung ini, efeknya, hanya sedikit lampu yang tetap dinyalakan, komputer-komputer admin, dan tentu saja wi-fi dimatikan. Perpustakaan hanya benar-benar gedung tua berisi buku-buku usang jika sudah begini. Tadinya aku hanya berniat mengembalikan beberapa buku yang kujadikan referensi untuk mempersiapkan tugas akhir, bukan mendekamkan diriku di kala bumi diguyur hujan seperti ini.

 

 

Setelah selesai mengantri dan mengembalikan buku-buku itu, aku duduk di sofa yang disusun melingkar di tengah-tengah ruang yang sangat luas ini. Ini lantai lima, bagian buku teknik, tidak banyak yang ke sini, apalagi di sore hari seperti ini. Hanya tersisa beberapa orang admin di ruang registrasi peminjaman, aku, dan seorang mahasiswa yang sepertinya tertidur duduk di sofa depanku.

 

 

Aku mengetikkan sebaris pesan di ponselku, 'pulanglah duluan', dan mengklik icon send dengan nomer tujuan ber-ID 'Taehyunghyunghyunghyung sayang'. Aku berusaha memejamkan mata, berandai andai bahwa aku sedang berada di atas ranjangku sekarang. Ah, persiapan tugas akhir ini membuatku sangat lelah. Suasana hening, sangat sening, nyaris mencekam, jadi aku putuskan untuk melakukan hal tidak membosankan sembari menunggu hujan reda. Tapi apa?? Aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Tiba-tiba mahasiswa itu menaikkan kedua kakinya ke meja di depan kami, menyebabkan beberapa buku terjatuh. Aku segera mendekatinya dan memunguti buku-buku itu. Semua buku itu tentang robotika. Eh, apa dia kuliah di departemen yang sama denganku? Kualihkan pandanganku pada wajahnya. Wajah yang asing, aku tidak pernah melihatnya di sekitar departemenku. Kuletakkan kembali buku itu di meja, kali ini sedikit agak jauh dari kakinya. Saat aku hendak kembali, dia menarik lenganku dan membuatku terduduk di sampingnya.

 

 

"Apa kau juga sedang mengerjakan tugas akhir tentang robotika?", tanyanya.

 

 

"Ha? Kupikir kau tidur.. Bagaimana kau bisa tau", balasku.

 

 

"Iya, aku memang hampir tertidur tadi. Aku bertanya, bukan tahu.. Aku sedang mengerjakan tugas tentang robotika dan mencari referensi di sini, kata adminnya, banyak buku robotika sedang dipinjam oleh mahasiswi bernama.. Siapa ya.. Ah, aku lupa. Katanya batas pengembaliannya hari ini, jadi kupikir itu kamu", jelasnya.

 

 

"Oh.. Iya, benar. Jadi, kau juga..", aku menggeser dudukku sedikit lebih jauh dari dia dan lebih nyaman.

 

 

"Aku Jimin. Magister Departemen Kontrol Komputasi", dia mengenalkan dirinya.

 

 

"Hah?! Jadi kau..", aku menyambut uluran tangannya dan mempekerjakan tanganku yang lainnya untuk menutupi mulutku yang terperangah.

 

 

Park Jimin, dia seniorku yang mengambil studi di departemen yang sama denganku, tapi tentu saja aku tidak pernah bertemu dia. Dia populer karena kepintarannya. Mahasiswa cumlaude yang mengambil sebagian program magisternya di Amerika.

 

 

"Jadi, mulai semester ini kau kembali ke sini.. Bagaimana Amerika? Ceritakan", aku bukan tipe orang yang pandai mengakrabkan diri, tapi aura Jimin membuatku nyaman untuk mengakrabinya.

 

 

"Hahaha, Amerika? Aku meniduri berapa gadis Latin dan Rusia di sana", jawabnya diikuti tawa renyah.

 

 

Aku terkejut, benar-benar bukan ekspektasiku untuk mendengar jawaban seperti itu dari seorang mahasiswa cumlaude. Ah, tapi ayolah, kita sudah dewasa, terlepas dari itu jawaban jujur atau sekedar lelucon, aku memilih untuk larut dalam obrolan nyaman yang diciptakan Jimin. Jimin memakai celana pendek, sepatu kets, dan kaos kaki, polo shirt putih, dipadu blazer berwarna khaki sebagai atasannya. Rambutnya yang coklat gelap seringkali disibak membuat dahinya yang lebar terpamerkan. Jimin memiliki mata yang pipih dan nyaris hilang jika dia tertawa. Bibirnya tebal penuh seperti manisan jelly rasa stroberi. Jimin jauh dari kesan mahasiswa cumlaude yang culun dan kaku. Jimin membuatku banyak tertawa di pertemuan pertama kami.

 

 

Saat kusadari hujan sudah reda melalui dinyalakannya kembali sumber listrik kota, aku memandangi jam meja digital berbentuk jam pasir di depan kami. Ya Tuhan, sudah pukul lima sore, bukankah seharusnya perpustakaan sudah tutup. Aku menjelajahkan pandanganku ke seluruh ruangan, benar saja, hanya tinggal kami berdua di sini.

 

 

"Jimin, apa mereka sudah menutup perpustakaan ini? Apa kita terkurung di sini?", tanyaku mulai panik.

 

 

"Hahaha, apa kamu baru ke sini kali ini?! Apa kamu tidak tahu.. Penjaga perpustakaan akan berkeliling setelah perpustakaan ditutup jam lima sore untuk memastikan tidak ada orang yang tinggal di gedung ini pada malam hari. Dia akan sampai di lantai lima sekitar pukul enam lebih", dia menjelaskan.

 

 

"Oh ya?? Aku baru tahu mereka melakukan hal itu", jawabku heran. Aku memang sering ke sini, tapi tidak sampai senja hari. Jadi aku tidak tahu rutinitas pengelola perpustakaan setelah itu.

 

 

"Kita masih punya satu jam sebelum mereka tiba di sini", ucapnya lagi.

 

 

"Apa?", aku tidak mengerti maksud perkataannya.

 

 

Jimin mengambil alih tubuhku, membuatku kini berhadapan di pangkuannya. Oh oh, aku mulai mengerti maksudnya.

 

 

"Jimin, aku sudah punya pacar, Kim Taehyung, Departemen Pengolahan Nuklir", kusingkirkan tangan jimin dari pinggangku dan berusaha beranjak dari pangkuannya. Tapi tangan Jimin yang kekar berotot kembali mempertahankan aku.

 

 

"Hei.. Siapa yang mengajakmu pacaran.. Aku cuma bilang kita masih punya waktu satu jam di sini", ucapnya sambil mengerling dan menggigit bibir bawahnya.

 

 

Iyuh.. Apa dia sedang menggodaku? Apa dia baru saja mengerlingkan matanya dan menggigit bibir bawahnya untuk menggodaku?? Aku tidak tergoda padanya. Taehyungku jauh lebih tampan daripada dia. Aku mengklaim diriku tidak tergoda padanya meskipun kini tanganku sedang menyibak rambut coklatnya. Aku tidak tergoda, namun kenyataanya kurapatkan dudukku di pangkuannya membuat mata jalangnya kini sejajar dengan gundukan indah dadaku yang semakin menegang.

 

 

Jimin melucuti cardigansku, menyisakan tank top putih tipis yang kini hanya itu membatasi wajahnya dengan dadaku. Aku memang sering tidak pakai bra jika menggunakan pakaian berlapis. Matanya memandangi dua tonjolan kecil yang timbul dari balik kain tank topku. Kuraih tengkuknya dan kudongakkan kepalanya, menyingkirkan intimidasi matanya dari ujung-ujung dadaku. Kami berpandangan sesaat, dia tersenyum, wajahnya tampak setengah tersipu setengah brengsek. Kucomot bibirnya dengan bibirku. Basah dan manis, kenyal dan menggemaskan. Dia melumatku, sesekali menjulurkan lidahnya menjelajah rongga mulutku. Kami berciuman dengan panas hingga menimbulkan suara berdecit dan desah dari mulut kami. Kusingkap kaos putih polosnya setelah lebih dulu melepaskan blazer khakinya sambil tetap mempertahankan aduan lidah kami. Kupandangi dan kuraba abs y nya yang kini tidak berbalut apapun. Ini yang Taehyung tidak punya.

 

 

Jimin menarik lepas tank top ku dengan kasar. Dipandanginya lekat kedua buah dadaku lalu dicomotnya salah satunya. Aku mendesis saat dia melakukannya, menyelipkan jemariku ke tengkuknya dan meremas-remas rambutnya di sana. Jimin menjilati dan menggigiti ujungnya sesekali dan melakukan pijatan lembut dengan tangannya pada buah dadaku yang lain. Sampai di sini, aku tidak lagi mengklaim bahwa diriku tidak tergoda. Aku sudah tergoda untuk memiliki Jimin seluruhnya. Tidak peduli dia orang asing yang brengsek ataupun mahasiswa cumlaude yang stylish, aku ingin memiliki Jimin di dalam diriku.

 

 

"Jimin.. Sekarang ya..", aku merajuk pelan di telinganya sedangkan tanganku kini meremas poros kejantanannya yang mulai mengeras.

 

 

Jimin mengelak menyingkirkan kepalaku dari pundaknya. Kini dia menatapku lalu menyeringai, "Ngga. 69 dulu".

 

Oh, dia baru saja mengajakku melakukan gaya itu di sini?? Aku menurut saja saat dia melucuti pakaian kami lalu membuat formasi 69. Sekarang aku berhadapan dengan miliknya yang telah mencapai bentuk penuhnya. Tanganku terasa sangat kecil saat menggenggamnya. Kuelus ke atas-bawah dengan irama yang semakin cepat dengan sesekali kulumat dan kuhisap dalam mulutku. Sementara di bawah sana, Jimin merajai milikku dengan lidahnya, mengecup-ngecup bagian kecilnya. Kami melenguh, merilis high tone dengan volume kecil, atau mendesis bersahutan. Ritual 69 yang saling menguntungkan itu membuatku dan dirinya memproduksi cairan bening dari masing masing milik kami.

 

Jimin memasukkan dua jarinya padaku lalu menghisapku keras.

 

"Ah.. Jimin..", aku menjerit lebih keras.

 

Jimin merebut miliknya dan mengakhiri formasi 69 kami.

 

"Sekarang sayang", dia menyiapkan miliknya dan memintaku mengendarai tubuh duduknya.

 

Tanpa pembungkus apapun kumasukkan dia padaku perlahan. Karena Jimin sangat besar, beberapa saat aku merasa sangat sakit. Setelah beberapa kali kukeluar-masukkan, akhirnya kami bisa merasa nyaman. Aku mulai mengendarainya dengan tempo cepat. Jimin yang gemas akan gerak naik turun tubuhku meremas remas kedua buah dadaku. Kali ini dia banyak mendesah, sedangkan aku membiarkan tubuhku basah oleh keringat.

 

"Sayang", Jimin memintaku mencium bibirnya lagi.

 

"Lebih cepat sayang", Jimin meminta lagi di sela ciumannya.

 

Kupercepat tempoku. Bisa kurasakan gesekan bagian tubuhnya itu di dalamku. Sangat penuh dan perkasa.

 

"Enak sayang?", Jimin bertanya sambil menatapku dan membelai rambutku.

 

Tanpa memperlambat tempoku aku menjawab, mengangguk, dan mengigit bibir bawahku, "hu'um".

 

Tak berapa lama berselang, kurasakan sentakan yang semakin kuat.

 

"Sayang, aku.. lebih cepat sayang.. Ah.. Aku, ah! Ah!", jimin terpejam menengadah. Wajahnya sangat menggemaskan jika seperti itu.

 

Kurasakaan tubuhku juga mencapai sentakan yang sama beberapa kali dan hangat cairan Jimin di dalamku.

 

Kulimbungkan tubuh dalam dekapannya. Nafas kami masih memburu. Kudengar bisikan Jimin di sela selanya, "Ayo pakai baju, sebelum penjaga ke sini".

Foreword

"Hei.. Siapa yang mengajakmu pacaran.. Aku cuma bilang kita masih punya waktu satu jam di sini", ucap Jimin sambil mengerling dan menggigit bibir bawahnya.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet