She is Grace, my girl

Grace, Gadisku!

Warning: cerita sedikit banyak adegan berdarah dan kekerasan. ada yang merasa keberatan atau ada komentar untuk perbaikan ditunggu riviewnya.

****

Awan-awan hitam membentang luas. Angin bergemerisik bertiupan tanpa aturan terdengar berirama, ombak pun ikut menabuh dawainya. Alam bergermuruh manyambut jiwaku yang telah lemah dan siap untuk hancur. Tapi sambutan itu kunikmati saja... aku yakin mereka tahu seberapa pedih hatiku.

Gadis yang aku cintai, memilih untuk pergi mendahuluiku ke Nirwana, dan itu juga karena aku, karena aku yang lemah, dan aku yang tidak mampu menjaganya.

Kami berdua adalah anggota sebuah organisasi yang dibangun secara rahasia oleh petinggi PBB, kami melindungi dunia tanpa imbalan jabatan sebagai pahlawan ataupun penghargaan. Kami lakukan hanya untuk bakti terhadap negara.

Anggota kami kebanyakan adalah hasil dari percobaan pengembangan genetika, karena itu kami memiliki kelebihan masing-masing, seperti kekasihku, Grace, spesialisasinya adalah pertarungan jarak dekat, selama ini belum ada yang bisa mengalahkan tinju dan tendangannya, pertahanannya juga rapat, dia memiliki insting untuk menyerang yang sangat tinggi. Sedangkan aku, spesialisasiku adalah medis dan pertarungan jarak jauh. Yah, alat gerak dan panca inderaku ini memiliki kelebihan kecepatan, kepekaan dan ketepatan yang tinggi dalam penanganan medis dan memegang senjata, seperti lempar pisau dan senjata Api. Aku bisa mendengar dan merasa sesuatu yang mungkin orang lain tidak tahu. Masih banyak kelebihan dan talenta super yang dimiliki teman-temanku, ada yang bisa bergerak cepat layaknya bayangan, ada yang kelebihannya adalah memiliki semacam pengelihatan masa depan, ada juga yang memiliki kemampuan memproyeksikan lawan dan kelemahannya dalam sekali lihat dan masih banyak lagi.

Hari itu, aku, Grace dan Brian dikirim kesebuah misi penangkapan otak dari penyelundup pemerintahan negara sebelah untuk menghancurkan negara kami, tugas kami membawanya hidup-hidup atau membunuhnya tanpa jejak. Grace dan Brian setuju untuk membunuhnya saja tanpa bekas dan jejak, aku pun hanya menurut dan memilih untuk diam dan menyiapkan amunisi Pisau dan shoot gun ku.

“pokoknya kita bertiga pasti bisa, aku jamin” kata Grace yakin.

Yah, memang, kami bertiga sebelumnya pernah mengalahkan hampir 300 kepala dalam sebuah pertempuran besar memberantas tikus-tikus got pembuat devisit keuangan negara.

“siapkan peralatan medis daruratmu, sepertinya akan ada suatu masalah nanti” kata Brian pelan, kemampuan Brian adalah pembaca serangan, pembuat pola serangan dan juga petarung jarak dekat dengan kemampuan otak diatas rata-rata, Indra yang bisa menjadi sangat peka dan tangannya yang mampu menajam setajam pisau.

“beres” kataku padanya.

“Grace, Kyu, jangan remehkan misi kali ini” kata Brian sebagai pemimpin kami kali ini.

“hah, asal kamu ga ngrepotin aku didepan” kata Grace sedikit panas.

“well, aku ambil medan kiri, kau ambil medan kanan gimana?” tanya Brian.

“hem, ok” kata Grace.

“Kyu, tugasmu seperti biasa, tolong lindungi kami” kata Brian.

Entah mengapa aku merasa ada yang lain dari Brian hari ini, tidak biasanya dia memilih memanggil nama Koreaku dan lagi dia memilih medan dan mengalah dengan Grace yang memang biasanya memilih medan Kanan.

Tak disangka musuh datang dengan cepat, perkiraan dan perhitungan cepatku ada 200 orang mendekat dari derap langkahnya, aku siapkan senjataku, lalu ku tembakan sebagai awal pertempuaran ini, aku membagi 2 fokusku, ke medan kanan dan kiri, intinya melindungi mereka berdua. Pisaukupun meluncur dengan cepat, kedua tangan dan kedua kakiku sama berfungsinya. Ketika musuh hampir terkalahkan semua aku mendengar sebuah sosok mendekat, derap langkahnya lain dari pada orang-orang ini, dia mendekat kearah Brian, mereka akhirnya bertarung 1 lawan satu, dia sungguh kuat, tapi Brian mampu mengelak dan meliuk kekanan kekiri dengan badannya yang memang lentur.

“dia lain” kataku pada Brian lirih dari jauh, tapi aku yakin dia mendengar atau melihatnya. Emh, dia memiliki kemampuan yang hampir sama denganku tentang hal ini, jelas, karena dia adalah Kakakku.

Sementara disisi Grace dia hampir menghabiskan lawannya.

Lalu ku dengar derap yang sangat lirih, ini adalah langkah yang sangat lirih yang pernah kudengar selain Joshua, dia memang dijuluki si Silent Murder, pembunuh berdarah dingin yang konon mampu berjalan diatas angin. Dan anehnya langkah-langkah ini mendekat kearahku.

Kuputar sedikit dan cepat tubuhku, kulempar pisau-pisau itu kearahnya. Saat aku sudah tidak mendengar derapnya aku berbalik lagi dan melindungi 2 orang terdekatku saat ini. Saat itu aku melihat Brian sudah terbaring dengan darah yang mengucur dari abdomennya. Sedang Grace sudah menyelesaikan pertempuarannya dan sisa pertempuran Brian. Banyak sekali orang-orang yang mati dengan kepala tertancap pisau dan peluruku, banyak juga yang sudah tersayat tangan pisau mikael, dan banyak juga yang mati dengan memar dan patah.

Aku melompat turun dari persinggahanku, kuhampiri Brian setengah berlari. Langsung ku periksa abdomennya, dan segera kulakukan insisi, pengobatan dan kemudian penjahitan, dan tentu juga kupasang bantuan cairan dan darah yang selalu sedia di tasku.

Tanpa kami sadari dan perhatianku yang penuh pada luka Brian, orang yang tadi kulempar pisau sudah mendekat dan menghajar Grace. Sekali pukul Grace lagsung limbung. Aku yang melihatnya langsung menghadapinya, walau aku lemah dipertarungan dekat, tapi kali ini aku sudah tidak ada pilihan, aku mengambil pisauku dan bertarung dengan dasar yang kumiliki, beruntung ketika ia lengah lemparan pisauku telak membelah lehernya.

Aku langsung melompat kembali kearah Grace dengan nafas masih tersengal-sengal. Aku membuka perban ditelapak tanganku dan memberi Energi pada Grace yang sudah tidak bernafas, dan detak jantungnya juga sudah tidak kudengar, apa yang harus aku lakukan?

“Grace! Kumohon! Bangunlah!” teriakku.

Tapi tidak ada jawaban. Aku terus mengalirkannya, sembari memberi pijat jantung dan nafas buatan.

“Grace! Cepat bangun!” teriakku lagi.

Aku terus melakukannya, aku takut kehilangan Grace, pernikahan kami kurang 1 bulan lagi, bukankah ini masa-masa yang indah untuk kami?

“Grace!” panggilku, tidak ada jawaban dari bibir tipisnya. Tubuhkupun melemas karena energi yang kubagi dengannya melebihi batas yang bisa kubagi dalam takaran yang benar, sebenarnya ilmu ini adalah ilmu terlarang, dan ada kemungkinan Grace selamat, tapi nyawakulah yang menjadi gantinya jika aku kehabisan energi.

‘biarlah, kalau kamu mau mati, biar aku juga mati denganmu, atau aku mati untukmu’ batinku yang kutujukan untuk Grace.

“Grace! Sedikit lagi! Ayo cepat bangun!” teriakku lagi.

Aku terbatuk, darah keluar dari sela-sela bibirku.

PLLLAAAAKKKK!!!!

Tanganku dan tubuhku terhempas jauh.

Aku melihat Joshua dan Casey didekat Grace.

Casey menatapku beringas, dan Joshua menutup mata Grace yang masih terbuka.

Aku terbatuk lebih keras, darah juga lebih deras keluar dari bibirku. Setelah itu akupun melayang.

***

Saat aku terbangun, sudah bermacam-macam alat menyelubungi diriku, ruangan dengan warna dominan putih. Aku bukan lagi ada dimedan perang. Brian duduk disamping kiriku, Casey dan Vincent ada di samping kananku. Dan Joshua berdiri diambang pintu.

Casey sudah merubah dirinya menjadi perempuan kembali.

“mana Grace?” tanyaku.

Semua hening.

Aku terbatuk lagi, darah masih keluar dari sana. Vincent menekan beberapa titik ditubuhku dan aku merasa lebih baik, dia juga memiliki kelebihan medis, dia setim denganku.

“jangan cari Grace lagi... dia sudah tenang...” kata Casey lemah.

Tubuhku terasa terpukul berton-ton palu godam. Aku menunduk.

“hari itu seharusnya biarkan aku memberinya energi, aku hampir menyelamatkannya, dia senang dengan pernikahan kami yang kurang satu bulan, Grace... kenapa aku tidak sekuat dia? Andai dia yang tetap hidup...” kataku lirih.

PPPLLAAAKKK!!!

Casey menamparku. “bodoh! Kamu tahu Grace lebih senang melihatmu hidup! Daripada dia hidup dan membunuhmu dengan mengambil energi dan nyawamu! Hampir mati bodoh dengan ilmu terlarang, apa kamu pikir dia akan bangga? Bodoh! Sekarang saja untuk berdiri apa kamu mampu? Heargh!” teriaknya sambil tubuhnya ditarik paksa Joshua yang membawanya keluar ruangan ini.

Brian menyodorkan sesuatu padaku. “Ini abu Grace... maaf... aku sudah melakukan perkiraan yang terbaik, aku merasa aku akan mati, tapi aku malah yang lebih baik dari kalian saat ini, maaf aku bukan ketua yang bisa menjaga kalian” kata Brian sembari menunduk menyesal kemudian keluar ruangan.

Sekarang tinggal aku dan Vincent. Dia mengambil benda berbalut kain hitam ditanganku.

“Marc, sembuh dulu baru tebar abunya dilaut, sekarang istirahatlah” perintah Vincent kemudian ia keluar ruangan.

Aku tak mau mendengar apapun. Kubanting dan kulempar semua yang bisa kulempar.

AAAAAARRRRRRGGGGGHHHHH!!!!!!

aku berteriak sekuat aku bisa. Semua karena aku lemah. Aku gagal menjaga kekasih dan Kakakku! Tugasku adalah pertahanan! Tapi apa yang kuperbuat? Brian hampir mati dan Grace bahkan sudah mati.

Kubuka balutan ditanganku lagi dan kulempar energiku kesegala arah, dan membiarkan Energiku habis. Hingga aku ada diambang pintu kematian, yang aku rasakan ringan dan damai. Aku seperti terpelanting jauh kedunia yang entah apa namanya.

Aku bermain bersama Grace kecil seperti dulu. Aku mengajaknya pacaran dan akhirnya aku melamarnya didepan orang tuanya.

Lalu terakhir kami kembali ke situasi dimana Aiden, teman setim kami mati karena aku lemah dan telat menanginya, aku depresi.

“Marc! Itu bukan salahmu, memang sudah waktunya Aiden pergi, jangan salahkan dirimu lagi, jika nanti aku juga pergi, jangan pernah kamu salahkan dirimu, karena aku lebih baik mati daripada melihatmu mati dan tidak bisa melindungi orang selain aku. Ingat itu Marc...” kata Grace sembari membelai kedua pipiku, lalu mendaratkan bibirnya dibibirku pelan, dalam dan lama.

Dan akhirnya aku kembali lagi, melihat dunia ini. Sial! Dan sekarang disampingku Nathan dan Vincent mengalirkan energi ke tubuhku.

“Hentikan” kataku pelan.

Nathan menghentikannya dan tersenyum lega. Peluhnya sudah bercucuran.

Vincent masih terus melakukannya. Aku meraih tangannya dan memaksanya berhenti.

“syukurlah kami tepat waktu” ungkap Nathan sembari menyeka peluhnya.

“aku ga habis pikir ternyata, seorang Marcus memang benar-benar bodoh. Energimu hampir habis malah dibuang-buang untuk menghancurkan ruangan” kata Vincent dengan nada datar.

“apa semuanya sudah kembali?” tanya Nathan padaku.

Entah apa yang ditanyakannya, aku hanya mengangguk.

“kami butuh tanganmu untuk pembedahan Joshua. Dia terluka 4 hari yang lalu, dan kami belum tahu dasar lukanya dimana. Dan entah kemana saja kau seminggu ini berkelana” kata Nathan menggebu tentang komaku selama seminggu ini.

“bawa aku kesana” titahku sembari menurunkan kakiku kelantai.

Badan gempal Vincent dengan mudah menahanku.

Aku memandangnya dan turun dari ranjang, Nathan menarik tanganku kedepan sebuah ruangan, disana sudah ada Casey, Brian, Mathew, Spencer, Micky dan juga Andrew (adik Joshua).

“untung kau sudah sadar” kata Spence sembari menatapku dengan tatapan penuh harapan.

Aku masuk ruangan, aku masih mendengar nafas dan detak jantung Joshua, matanya terpejam, dan sepertinya dia sudah tidak punya daya untuk membuka mata.

“lukanya ada di hati bagian belakang, dekat dengan tulang belakang, bedah dari belakang, hati-hati sarafnya” kataku setelah melihat, mendengar dan merasakan kejanggalan disana.

“he, anak kecil, kau bisa apa?” kata Anthony yang menjadi kepala operasi hari ini. Dia itu situa kolot yang tidak pernah melihat potensi muda para anggota muda seperti kami.

Semua anggota tidak ada yang mengurus kata-katanya, Hero, Max, Vincent dan Jeremy langsung menuruti perintahku.

“apa yang kalian lakukan!” bentak Anthony, ia menyahut Mess yang dipegang Jeremy.

“Mathew! Brian! Micky! Bawa Anthony keluar!” perintah Hero pada ketiganya yang diluar dengan suara lirih, dalam kilat mata Mathew dan Brian sudah menarik tangan Anthony keluar.

“awas kalian nanti!” teriak Anthony.

Aku hanya mengawasi dan melakukan yang mampu kulakukan. Aku terbatuk lagi, kali ini darah yang keluar lebih sedikit, tapi cukup membuat lututku lemas dan nyaris terjatuh kalau Max tidak sigap menarikku dan mendudukanku dikursi.

“energimu masih lemah, duduk saja!” perintah Max.

“pasang suplay darah kedua!” perintahku pada Max.

“Marc...” serunya.

“cepat, denyut Joshua melemah. Cepat!” perintahku.

Vincent dan Nathan segera melaksanakannya, Jeremy masih sibuk melakukan pencarian sumber luka.

“aku tidak menemukan sumbernya” keluh Jeremy.

Aku mendekat, mengambil sarung tangan dan mengambil pinset dan menunjukan sumber luka dengan cepat. “Max, urus Joshua, aku masih bisa bertahan” kataku.

Max menurutiku. Ia memberikan energi pada Joshua.

“berikan tekanan dipembuluh kearah perut” perintahku lagi pada Hero.

Hero segera mengambil klemp dan melaksanakannya.

Jeremy kesulitan menangani lukanya.

Aku mengambil alih dan segera menutup luka itu, kujahit dengan cepat sebelum darahnya mengucur lagi. Tapi belum sampai selesai energiku serasa habis, lemas sekali, dan batuk darah lagi. Aku berusaha meneruskannya.

“Josh! Bertahan! Harus bertahan!” perintahku.

Tanganku gemetar, tapi terus tidak kuhiraukan, setidaknya aku harus berguna untuk Joshua yang memberiku dan Brian kehidupan, membuatku bertemu Grace dan membuatku mampu bertahan hingga saat ini, Joshua, ketua kami.

Dan akhirnya semua berhasil, denyut Joshua kembali normal, darahnya sudah tidak mengalir seperti keran, darahnya berhenti mengucur, nafasnya sudah mulai normal, tubuhnya mulai bersuhu normal, aku menyerahkan penyelesaiannya ke tangan Jeremy. Tangan terampilnya dengan cepat menyelesaikannya.

“bagus Josh...”kataku untuk terakhir, aku sudah tdak mampu berpijak, aku kembali terpuruk, Max dan Hero menyanggaku, Vincent mengalirkan energinya lagi.

“Jangan mati!” teriak Max, ia turut menyalurkan energinya padaku.

Aku tersenyum pahit.

“jangan mati Kyu!” teriak Max lagi.

Itu hal terakhir yang bisa ku lihat, setelah itu buram, tapi perasaanku masih tersadar.

Energi merah Nathan menyusup didalam tubuhku, energi Biru Max menyusulnya, energi hijau Vincent menekan setiap titik yang membuat jantungku tetap berdetak dan nafas buatan Hero mempertahankanku.

“Josh sudah kembali hidup... Marc! Ini waktumu” teriak Jeremy yang turut menyanggaku, dia tidak memiliki penyaluran energi, ia juga tidak memiliki kemampuan pengaturan titik akupuntur seperti Vincent, tapi kata-katanya selalu terdengar menguatkan.

Aku kembali membuka mataku, kulihat wajah-wajah panik mereka.

Aku terbatuk lagi dan darah keluar lagi. Dan ternyata itu karena energi mereka benar-benar mengisi tubuhku, energiku yang hilang bersama Grace yang merusak organku.

“Marc! Pertahankan kesadaranmu!” perintah Hero.

“jangan alirkan energi lagi... uhuk...” aku terbatuk lagi, ah... ajal sepertinya sudah dekat denganku.

Brian menerobos masuk ke ruangan itu, kemudian mengangkatku. Dia berlari sambil membawaku keruanganku lagi. Lalu memasang bantuan oksigen dan menekan beberapa titik dengan cepat darah keluar banyak tapi tubuhku terasa ringan setelahnya.

“uhuk.. uhuk... Hah... Hah...” batukku dengan nafasku terengah-engah. Apa yang dia lakukan? Brian bukan orang dengan keahlian medis.

“aku membalik titik Hah... hah... yang biasa ku jadikan tempat penyerangan, hah... hah... sepertinya efektive, denyutmu kembali normal. Hah... Hah...” katanya ditengah nafasnya yang tersengal. “energimu sudah kembali? Hah... hah... Saluran energimu tersumbat, hah... energimu semakin menggerogoti hah... organmu sendiri” ceritanya tentang analisanya, otaknya memang memiliki kecerdasan yang lebih.

“uhuk.. uhuk...” batuku, tapi sudah tidak ada darah lagi. Kakakku memang jenius.

Dia menurunkan tangan pisaunya dan menetralkn energinya. “cepatlah sembuh dan cepat tebar abu Grace” kata Brian sembari mengacak-acak rambutku.

“hah... hah... hah.. hah...” aku masih terengah-engah.

“Silent murder mati dibawah amarahmu, aku bangga padamu” katanya lagi lalu melangkahkan kakinya keluar.

Aku ingat, terakhir aku melempar pisau lemparku ke arah seorang yang bahkan hentak kakinya nyaris seperti Aldes. Pembunuh Grace. Aku berhasil membunuhnya juga? Baguslah kalau begitu.

Tak lama Mikael kembali dengan waslap, baskom dan masker oksigen baru. Ia melepas masker oksigen dan menggantinya dengan yang baru, membersihkan bekas darah diwajahku dan memasang masker itu kembali. Kemudian mengganti bajuku yang kotor terkena darah Joshua tadi. Sedikit kasar memang, tapi aku menghargai usahanya untuk menjadi sedikit lembut kepadaku.

“lukamu?” tanyaku.

Dia membuka sedikit abdomen dibalik kemeja hitamnya. Aku tersenyum melihat bekas luka yang bahkan sudah tidak tampak.

“kemana saja selama sebulan yang lalu tidur?”

“keliling dunia mungkin” jawabku asal.

“yang seminggu kemaren?”

“kembali ke masa aku masih bermain petak umpet dengan Grace, memintanya menjadi kekasihku dan akhirnya menghadap Jeremy untuk memintanya menjadi istriku, dan terakhir kematian Aiden....” ceritaku.

“hum... Jeremy terpukul mendengar kematian putrinya, tapi ia lebih terkejut saat menanganimu yang hampir mati setelah mengalirkan hampir semua energimu untuk Grace. Kalau kau mati saat itu, mungkin Joshua juga akan mati hari ini” kata Brian sambil mengganti bantalku yang terkena darah.

“tapi aku gagal melindungi Grace... juga melindungimu... aku bertugas menyerang jauh dan memastikan kalian selamat, tapi aku malah... membuatmu hampir mati dan Grace, dia lebih buruk”.

“hei, sudahlah! Aku juga salah, aku pemimpin yang buruk” sambung Brian, wajahnya sarat rasa bersalah dan kecewa.

“Joshua pengganti Ayah kitakan? Setidaknya dia selamat sekarang... dan Casey tidak perlu membunuhku karena aku gagal” kataku menghibur Brian. Casey adalah istri Joshua, Joshua adalah Ayah angkat kami berdua setelah Jordan dan Denisha, ayah dan ibu kandung kami berdua, meninggalkan kami terlebih dahulu ke nirwana.

Tanpa kami duga Casey masuk keruangan, langsung memeluku dan menangis dipelukanku.

“jangan memaksakan diri, sudah berapa kali aku dan Joshua hampir kehilangan si bodoh sepertimu, mana baktimu!” katanya masih terisak melihatku. “cukup aku kehilangan Denisha, aku takut kehilangan kalian!” kata Casey.

Casey memang seperti Ibu kami yang sudah lama pergi. Ibuku meninggal saat misi pertamanya setelah melahirkanku dan membuatku hanya mengenal Casey sebagai Ibuku.

***

Seminggu setelah kejadian terakhir disinilah aku, di bibir lautan, mengantar Grace untuk ke tempat abadi. Mengantarnya menyebrangi lautan. Grace, gadisku.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet