That Badass - Named Do Kyungsoo

That Badass

Tidak pernah ada yang menyangka bahwa Do Kyungsoo menaruh perhatian padaku, tidak ada, bahkan akupun tidak mempercayainya saat ia datang dan hampir menaikkan kakinya ke atas meja perpustakaan tepat di haapanku (kalau saja aku tidak menahannya, dia pasti sudah diusir dari situ), mengabaikan semua pandangan aneh orang-orang sekeliling kami, dan mengabaikan buku yang sedang kubaca.

“Do you remember me?” Kalimat pertama yang kudengar darinya setelah beberapa detik ia hanya menatapku dengan matanya yang tajam, tepat saat aku mulai membayangkan bahwa tatapannya cukup tajam untuk membunuh.

Apa katanya barusan? Apa aku ingat padanya? Bahkan ini pertama kalinya ia bicara padaku, ia bertanya apa aku ingat padanya? Apakah ini jebakan? Ia bermaksud mengerjaiku kemudian mempermalukanku seperti tipikal siswa lainnya yang menganggap lelucon siswa-siswi seperti aku ini, yang lebih suka bersembunyi di belakang rak buku dan terus menunduk ketika melintas di koridor?

Aku tahu siapa dia, Do Kyungsoo, siswa pindahan yang baru bersekolah disini sekitar tiga pekan yang lalu, ia satu-satunya siswa di sekolah kami yang datang mengendari Porsche, ia hampir selalu sendirian tapi ia ditakuti bahkan oleh senior kami, mungkin karena dia pandai berkelahi? Ada juga rumor yang menyebar bahwa di balik segala aura dinginnya itu, psikisnya agak terganggu. Aku tidak serta merta percaya desas-desus itu, aku hanya mendengarnya, mereka bilang Do Kyungsoo suka melukai dirinya sendiri, pernah ada yang melihatnya menyayat tangannya dengan cutter di ruang UKS, siswa itu panik dan berusaha menghentikan Do Kyungsoo yang ia kira akan bunuh diri, tapi Do Kyungsoo hanya berkata dingin: “Pergi”. Lucu dimana UKS seharusnya menjadi tempat menyembuhkan lukanya malah menjadi tempat untuk melukai dirinya sendiri.

Dari peristiwa itu semua berasumsi bahwa Do Kyungsoo mempunyai sedikit kelainan jiwa, ditambah seseorang pernah berkata latar belakang keluarganya sangat menyedihkan, orangtuanya bercerai saat ia masih kecil, ia dirawat oleh neneknya namun tidak lama kemudian neneknya meninggal dunia, kini ia tinggal sendiri, ditopang oleh uang dari ayahnya yang sekarang sudah mempunyai istri baru. Mungkin itu juga yang membuat sikapnya menjadi seperti sekarang.

Aku memang merasa simpatik padanya setelah mendengar semua itu, apalagi saat kami sekelas di kelas biologi, aku sering tak sengaja melihat luka-luka mengerikan di pergelangan tangan kanan dan kirinya, belum lagi lebam di wajahnya. Ia pasti sering berkelahi.

Kini aku bertatapan langsung dengan matanya yang memancarkan es, ia bertanya padaku apakah aku mengingatnya seolah-olah kami telah mengenal sejak dulu. Ia masih menatapku, menunggu.

Aku menelan ludah hingga akhirnya berkata lirih, “Kita sekelas di kelas biologi hari Rabu kan?”

Sorot matanya sekilas meredup. Ia kecewa? Kenapa? Apakah seharusnya bukan itu jawaban yang kuberikan? Memangnya dimana lagi aku pernah bertemu dengannya selain di kelas biologi itu? Di kantin? Di tempat parkir? Aku merasa otakku macet.

Saat aku masih sibuk berpikir, ia bangkit dari duduknya,

“Go out with me” Dia berkata dingin, sama dinginnya dengan kesan yang ditinggalkannya ketika punggungnya menjauh dan hilang di balik pintu perpustakaan.

APA DIA BILANG TADI?

*

Do Kyungsoo tidak bercanda dengan apa yang dikatakannya, keesokan harinya ia menahanku saat aku melewatinya dengan sepeda di tempat parkir.

“Pulang denganku” Ujarnya tanpa basa-basi, ia membuka pintu mobilnya, memberi isyarat dengan matanya agar aku masuk.

Apa dia sudah gila?

“Kenapa aku harus menuruti perkataanmu?” Aku memberanikan diri melawan, tindakannya tidak seharusnya dibiarkan.

“I’m asking you to go out me yesterday” Ia menjawab datar.

“And am I saying yes?”

Keningnya berkerut, “Kau tidak mau?”

“Kenapa aku harus mau?” Aku bertanya balik, “Aku bahkan tidak mengenalmu”

Kerutan di keningnya semakin dalam, “Kau akan mengenalku begitu masuk ke mobilku”
Aku menatapnya lalu mobilnya berganti-ganti dengan sanksi.

“Aku tidak mau.” Jawabku singkat, dan sebelum ia berkata apapun lagi, aku mengayuh sepedaku meninggalkannya secepat yang aku bisa. Apa kata orangtuaku nanti kalau aku diantar pulang olehnya? Hanya dengan sekali lirik, kau akan langsung tahu bahwa Do Kyungsoo adalah seorang bad- yang dari segi manapun tidak akan cocok mengantarku pulang, mengantar aku yang pemalu dan bahkan tidak pernah pulang dengan lawan jenis sebelumnya. I’m sure he just want to make fun of me, menjadikanku sebagai mainan untuk hidupnya yang membosankan.

*

Di luar dugaan, Do Kyungsoo tidak menyerah begitu saja.

Ia menahanku lagi keesokan harinya, membuatku menyesal tidak memilih jalan pulang yang lain yang tidak harus melewati tempat mobilnya diparkir.

“Pulang denganku.” Ia berkata dengan nada yang sama persis seperti kemarin.

Aku membalas tatapannya lelah, aku sedang tidak punya energi untuk melawannya kali ini. Tadi pagi aku tidak sempat sarapan dan juga meninggalkan bekal makan siangku di rumah, seolah masih belum cukup buruk, saat kelas PE aku harus lari berkeliling lapangan tujuh kali.

“Jawabanku sama seperti kemarin” Jawabku.

“Wajahmu pucat” Aku mendengar Do Kyungsoo berkata hampir tak kedengaran, tapi aku memilih tidak menoleh dan mengayuh sepedaku menjauh.

Di perjalanan pulang, aku mulai merasa mataku berkunang-kunang, ini pasti pengaruh perut kosong dan kelelahan. Tidak apa-apa, sebentar lagi aku sampai ke rumah. Aku menggigit bibir menahan sakit tapi kemudian kakiku terjatuh dengan sendirinya dari pedal sepeda, tanganku merosot dari stang dan semuanya menjadi gelap.

Aku merasa kepalaku menyentuh kasarnya aspal dan dari telingaku menangkap suara mobil tua melaju dari kejauhan dengan kecepatan tinggi... ke arahku.

*

Mataku mengerjap-ngerjap, kepalaku terasa berat tapi aku dalam keadaan.... duduk? Aku membuka mataku lebih lebar mendapati sinar matahari senja yang masuk melalui kaca mobil. Aku di dalam mobil? Mobilnya dalam keadaan berhenti dan aku bisa merasakan angin sore bertiup dari celah jendela di sebelahku

Aku menoleh ke kursi pengemudi dan mendapati Do Kyungsoo disana, menunduk mengaduk-aduk isi kantong plastik putih berlabel apotek. Ia tersadar sedang diperhatikan, “Kau sudah sadar” Ujarnya.

“Apa yang terjadi padaku?”

“Pingsan,” Ia mengeluarkan salah satu obat dari kantong plastik di tangannya, membaca huruf-huruf kecil yang tercetak dalam kemasannya. “Untung aku mengikutimu dari jauh, aku langsung ngebut begitu melihatmu jatuh. Bisa-bisanya kau pingsan saat mengendarai sepeda di jalan! Kalau tidak ada aku kau bisa terlindas truk tadi”

Aku terkesiap, kalimat terpanjang yang kudengar dari Do Kyungsoo.

“Kenapa?” Tanyanya begitu melihatku masih menatapnya dengan heran. Melihatku tetap diam akhirnya ia menyodorkan plastik obat itu  “Ini, kau tentukan saja obat mana yang harus kau minum. Aku bingung harus membelikanmu obat apa, jadi aku beli semua obat untuk orang pingsan yang disarankan oleh si apoteker”

Kalimat panjang kedua yang ia ucapkan.

“Seharusnya aku membawamu ke dokter tapi aku rasa kau cuma pingsan karena kelelahan jadi...”

“Do Kyungsoo,” Aku memotong.

Ia menoleh, “Apa?”

“Kenapa kau terus memaksaku untuk pulang bersamaku? Kenapa kau mengikutiku? Kenapa kau menolongku?” Rentetan pertanyaan yang cukup banyak untuk ukuran orang yang baru saja pingsan, aku tahu.

Do Kyungsoo menghembuskan napas, sepertinya bingung harus mulai dari mana. Selama beberapa detik hanya ada keheningan di antara kami, hingga akhirnya ia berkata, “Karena dulu kau menyelamatkanku”

Melihat kebingungan yang sangat jelas tergambar di wajahku ia melanjutkan, “Aku tahu kau memang tidak ingat tapi dulu saat kita masih kecil, usia kita masih sembilan tahun, kau pernah menyelamatkanku dari diriku sendiri”

Menyelamatkannya dari dirinya sendiri.

Mendengar itu ingatan membawaku pergi dari dalam mobil itu, menarikku masuk ke dalam pusaran waktu yang berputar menuju beberapa tahun lalu, saat aku belum pindah ke kota ini. Aku memandang anak lelaki yang duduk di atas ayunan itu dari kejauhan, ia tampak kesepian, wajahnya muram seolah ada awan mendung tak kasat mata yang menggelayut di atas kepalanya. Apa ia salah satu dari tetanggaku? Keesokan harinya aku melihatnya lagi di atas ayunan, saat itu kuputuskan menghampirinya, ingin mengusir awan mendung di atas kepalanya. Namun betapa kagetnya aku begitu melihat apa yang sedang ia lakukan, ia sedang menulis huruf-huruf di pergelangan tangannya..... menggunakan cutter. Aku lupa untuk menjerit, karena aku langsung mendorong anak itu dari ayunan, membuatnya melepaskan cutter itu. Baik aku maupun dia tidak menangis, dan aku heran akan hal itu, hal berikutnya yang kulakukan adalah mengobati lukanya, menahan ngeri melihat setiap huruf tak beraturan berwarna merah darah di pergelangan tangan anak itu. Beberapa hari setelahnya ayahku ditugaskan pindah ke luar kota sehingga sekeluarga harus ikut pindah. Aku tidak bertemu lagi dengan anak laki-laki itu dan melupakan pengalaman buruk itu dengan sendirinya.

Dan kini anak itu ada di sebelahku. Tanganku terasa lemas dan aku tahu itu bukan karena pengaruh belum makan.

“Aku mencarimu beberapa tahun terakhir,” Ujarnya sambil menatap ke luar jendela, ke arah langit yang mulai bersemburat oranye, “Aku pindah sekolah juga karena kau”

Aku memijat pelipisku, kepalaku mulai terasa pening. Aku lebih kaget pada fakta bahwa  anak lelaki kecil yang dulu kutemui di ayunan itu hingga kini masih suka melukai dirinya sendiri.

*

Hari-hari berikutnya aku tidak pernah menolaknya untuk pulang bersama, aku hanya khawatir.

Khawatir karena kini aku melihatnya sama rapuhnya dengan dia tujuh tahun lalu, yang melukai dirinya sendiri. Seangkuh, sedingin dan sekuat apapun dia terlihat di luar aku tahu dia menyimpan sesuatu yang mengerikan dalam dirinya, yang memerintahkan tangannya untuk menggoreskan luka-luka mengerikan itu di pergelangan tangannya.

Aku telah mencari banyak informasi tentang gejala psikologis yang membuat seseorang terdorong untuk menyakiti dirinya sendiri, Self Injuries, itu namanya dan membaca informasi tentang itu sudah cukup membuatku takut dan menyadari bahwa aku tidak boleh dan tidak bisa mengabaikan Do Kyungsoo:

Self injury atau self harm (menyakiti/melukai diri sendiri) merupakan tindakan menimbulkan luka-luka pada tubuh diri sendiri secara sengaja. Tindakan ini dilakukan tidak dengan tujuan bunuh diri tetapi sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi yang terlalu menyakitkan untuk diekspresikan dengan kata-kata. Self injury dapat berupa mengiris, menggores kulit atau membakarnya, melukai atau mememarkan tubuh lewat kecelakaan yang sudah direncanakan sebelumnya. Dalam kasus-kasus yang lebih ekstrim mereka bahkan mematahkan tulang-tulang mereka sendiri, memakan barang-barang yang berbahaya, mengamputasi tubuh mereka sendiri, atau menyuntikkan racun ke dalam tubuh.

Mungkin dia butuh teman yang bisa membuatnya lupa atas segala kekecewaan dan sakit hati yang sudah dirasakan dan dipendamnya sejak ia masih kecil.

Aku tidak tahu pasti apa alasannya dan aku juga tidak berusaha mengoreknya, aku hanya memposisikan diri sebagai temannya dan semoga itu cukup.

Hari itu aku pulang dari sekolah saat matahari sudah terbenam, ada project yang harus kukerjakan di perpustakaan bersama dengan partner projectku, teman satu klubku, Park Jinyoung. Aku lupa tidak mengabari Do Kyungsoo karena kesibukan project itu.

Saat aku hendak menuju tempat parkir, Park Jinyoung menarik lenganku, membuatku terperanjat. Sebelumnya tidak pernah ada yang.... “Rumah kita searah, pulang bersama saja. Kau tidak bawa sepeda lagi kan?” Ia berkata santai, memutus kata-kata yang bergema dalam kepalaku.

Dalam hati aku berkata ‘Aku tidak bawa sepeda lagi karena hampir setiap hari aku pulang dengan Do Kyungsoo tapi sepertinya Jinyoung tidak tahu akan hal itu’

Aku melirik ke arah tempat parkir yang sudah gelap, mungkin Do Kyungsoo sudah pulang sejak tadi. Maka akhirnya aku mengikuti Jinyoung menuju motornya diparkir.

*

Keesokan harinya, sepulang sekolah Do Kyungsoo sudah menungguku seperti biasa, bersandar pada Porsche merahnya yang terparkir. Ada yang beda dengannya hari itu, air mukanya terlihat lebih gelap. Ingatkan aku bahwa Do Kyungsoo yang biasanya memang seperti itu, tatapannya dingin menusuk dan tidak pernah tersenyum. Tapi anehnya ada yang lain dengan ekspresi gelapnya dan aku tidak tahu kenapa.

Saat aku sudah duduk di dalam mobil, ia tidak berkata apapun dan kemudian mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia menginjak gas seperti orang gila dan aku mencengkram sabuk pengaman dengan sekuat tenaga, aku bisa melihat dari kaca spion matanya memancarkan amarah. Ada apa dengannya? Ia memang suka kebut-kebutan tapi selama ada aku di dalam mobilnya ia tidak pernah seperti itu.

“Do Kyungsoo” Aku bisa merasakan bibirku bergetar  karena takut saat mengucapkannya. “Kecepatannya...” Napasku tertahan ketika ia membanting setir ke kanan melewati tikungan. Ya Tuhan, ada apa sebenarnya? Kenapa dia seperti kesetanan begini.

Saat aku memejamkan mata karena ngeri, aku merasa kecepatan mulai berkurang. Aku mengerjapkan mata dan melirik ke arahnya. Dia berkata dengan suara yang seolah datang dari jurang yang gelap, “Siapa dia?”

“Siapa maksudnya?”

“Yang mengantarmu pulang kemarin malam”

Aku tercekat, ternyata dia kemarin masih menungguku dan ia pasti melihat aku pulang dengan Jinyoung.

“Siapa dia?” Nada suaranya meninggi.

“Park Jinyoung, temanku” Jawabku hampir berbisik.

Ia mengebut mobilnya lagi, aku rasa sekarang aku sudah tidak bisa membedakan apakah aku ada di jalan raya atau di sirkuit F1.

“Siapa yang mengizinkanmu pulang dengannya?!” Ia bertanya, lebih tepatnya membentakku dan demi mendengarnya aku bisa merasakan darah naik ke kepalaku, kini yang siap meledak.

“Dan kau pikir kau siapa sampai kau bisa mengizinkan dia mengantarku pulang atau tidak?”

Kecepatan mobil kembali menurun, tapi emosiku tidak.

“Do Kyungsoo, kau tidak berhak mengatur hidupku. Aku cuma temanmu, begitu juga kau cuma temanku”

“I’M ALREADY ASKING YOU TO GO OUT!” Do Kyungsoo berteriak frustasi.

“BUT I’VE NEVER SAY YES” Aku balas berteriak. “You only asking me to go out but you never tell me anything, you never tell me about your feeling, you never say anything!”

“I THINK ITS OBVIOUS THAT I HAVE SOMETHING TOWARDS YOU, AND LOOK WHAT YOU’VE DONE, YOU CHOOSE THAT BOY? IF THAT BOY TOLD YOU THAT HE LIKES YOU I’M SURE AS HELL HE JUST NEED YOU TO FINISH ALL OF HIS HOMEWORKS”

Begitu ia menyelesaikan kalimatnya, aku merasakan wajahku memanas dan airmata meluncur bebas dari mataku. Ini sudah keterlaluan. Yang terbersit di benakku selanjutnya adalah aku harus keluar dari mobil ini dan menghilangkan segala risiko nyawaku hilang karena cara menyetir orang di sebelahku yang gila-gilaan.

“Berhenti” Aku berkata tajam.

Ia bergeming tapi aku tahu ia dengar.

“HENTKAN MOBILNYA SEKARANG, DO KYUNGSOO!” Mungkin karena aku jarang berteriak kencang dalam tujuh belas tahun terakhir hidupku, teriakan amarah tadi terdengar seperti mencapai satu desibel.

Do Kyungsoo membanting setirnya sekali lagi dan menginjak pedal rem, mobil menepi dengan kasar dan jika aku tidak mengenakan sabuk pengaman mungkin dahiku sudah terantuk dashboard.

Aku melepas sabuk pengamanku tepat ketika mobil berhenti, tidak mau berlama-lama disini.

Dari sudut mataku aku bisa melihat Do Kyungsoo menatapku dengan segala perasaan bersalah yang bisa ia punya, mungkin karena ia melihat airmataku. Entahlah, aku tidak peduli. Tanpa mengatakan apapun aku keluar dari mobil dan saat aku membanting pintu mobil aku bisa mendengarnya memaki sambil memukul setir. Yang selanjutnya kuketahui adalah, ia tidak berusaha menghentikanku dengan keluar dari mobil dan mengejarku, sebaliknya ia menancap gas dan mobilnya melaju lebih kencang daripada sebelumnya.

*

Tiga hari berturut-turut aku tidak melihat Porsche Do Kyungsoo di tempat parkir, dia juga absen di kelas biologi hari Rabu. Hari keempat aku belum juga melihatnya, aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya sepulang sekolah. Bukan berarti aku sudah memaafkannya, aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Kau tidak tahu apa yang bisa Do Kyungsoo lakukan ketika ia frustasi, dan begitu warna merah darah di lengannya yang kuobati saat kami masih kecil itu berkelebat di pikiranku aku tidak ingin menunda untuk pergi ke rumahnya dan menghilangkan kecemasanku.

Setelah berbagai cara akhirnya aku bisa mendapatkan alamat rumahnya dari petugas administrasi sekolah. Aku baru akan berjalan menuju halte bus melintasi tempat parkir ketika mataku menangkap warna marun dari mobil Do Kyungsoo, terparkir di tempatnya yang biasa, mobil itu berjalan perlahan meninggalkan tempat parkir, membuatku langsung berlari mengejarnya. Sepertinya Do Kyungsoo melihatku dari kaca spionnya karena mobil itu berhenti.

Aku melangkah ke samping kaca pengemudi, kacanya terbuka, Do Kyungsoo ada disana, satu tangan memegang setir dan sikunya ia letakkan di pintu mobil, ia melihat ke arah spion dan bukan ke arahku.

“Kau baik-baik saja?” Aku membuka suara.

“Masuklah.” Ia berkata pendek, gestur samarnya mengisyaratkanku supaya masuk ke mobilnya.

Aku memutuskan untuk menurunkan egoku dengan menurut dan masuk ke mobilnya.

Lengan Do Kyungsoo terarah ke kopling, bermaksud menjalankan mobil dan seketika mataku tertumbuk ke satu titik, aku dengan refleks menarik lengannya.

Dia terkesiap tapi aku jauh lebih shock melihat ada bekas luka baru disana, di lengannya yang sebelumnya sudah banyak dihiasi bekas luka sayatan. Itu luka baru, aku yakin dia baru membuat luka itu kurang dari dua belas jam yang lalu.

Melihat ekspresi ngeriku ia menarik lengannya.

“Kenapa?” Dari semua pertanyaan, aku memilih ‘Kenapa’ untuk kulontarkan duluan.

“Cuma kebiasaan lama yang baru kulakukan lagi” Jawabnya dan sesuatu dalam suaranya membuatku merasa tidak nyaman, aku menyalahkan diriku sndiri karena telah membiarkannya melakukan hal itu, menyesal karena tidak bisa menghentikannya seperti tujuh tahun yang lalu.

“Kenapa?” Aku mengulang kembali pertanyaanku karena merasa belum mendapat jawaban.

“Do you really want to know?” Do Kyungsoo menatapku dan melihat kesungguhan dalam sorot mataku ia menyandarkan kepalanya ke bantalan jok, mengusap wajahnya lelah. “Its because of you, all of this... because of you”

“Apa?” Apakah aku salah dengar, tidak mungkin hanya karena aku pulang dengan Jinyoung kemarin dia...

“Setiap kau menangis, aku membuat satu luka baru di lenganku.”

Jantungku mencelos. What the heck is he saying. Seseorang, tolong pastikan kalau apa yang aku dengar itu salah.

“Di masa kecil aku melukai diriku sendiri setiap ibuku menangis, dan ibuku sering menangis karena ayah. Saat kau menghentikanku dan mengobati lukaku aku tidak pernah melakukannya lagi sekalipun setelah itu kau pergi,” Do Kyungsoo mengatakannya tanpa emosi pada nada suaranya, tetap datar dan dingin tapi aku bisa melihat matanya sedikit berkedut, “Setelah aku cukup dewasa untuk mencarimu, aku menemukanmu disini.. dan kebiasaan itu muncul” Ia memandang luka-luka di pergelangan tangannya dan disana, right in his eyes, aku bisa melihat luka yang jauh lebih dalam daripada semua sayatan itu.

Aku mengeluarkan suara hampir tak kedengaran, “Insiden di UKS itu juga?”

Do Kyungsoo kini menatapku lurus-lurus “That day, you cried right? When some of your classmate talked bad about you but accidently you heard it”

Aku merasa seperti puluhan belati menusukku secara bersamaan.

“Everytime you cried,” Do Kyungsoo melanjutkan, menambah satu belati lagi, “I gave myself a punishment because I’m not be able to stop your tears. Same like I did for my mother”

God, he do that because of me, he suffered because of me, HE DID THAT SELF INJURIES BECAUSE OF ME. WHY.  J U S T W H Y.

Setelah keheningan yang rasanya cukup panjang, aku menarik napas, sebisa mungkin menahan airmataku yang siap jatuh kapan saja.

“Why you do that ? Please dont hurt yourself because of me. Please”

Ia masih menatapku, aku bisa melihat mata sedihnya dengan jelas, “You means a lot for me”

“But I dont want you to hurt yourself” Pertahananku bobol, airmataku jatuh, aku rasanya ingin memeluk laki-laki itu, laki-laki yang tujuh tahun lalu juga ingin kuhapus muram di wajahnya, ingin kuhalau awan mendung di atas kepalanya.

“Promise me to not getting hurt again, can you?”

He sighed and he put his thumb in my cheeks, he wipes my tears as he says: “As long as you didnt cry”

Aku buru-buru mengusap sisa airmataku, berharap sel saraf cukup mampu mengomando kelenjar airmataku. “I promise I will not crying again.. because now  I know, everytime I get hurt and cried, you feel the same with different way and different kind of hurt. I really dont want that to happen.”

And that day, for the first time I saw he smiled.

*

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hryoung96 #1
Chapter 1: YA TUHAN DIONYA YA TUHAN AAAAAAAA GOOD STORY