Rapunzel the Thief

Batch 2 | Januari 2015 (Part 3)

Rapunzel the Thief

Cast : Kim Joonmyun (EXO) and Park Chorong (Apink)

Genre : Crime

Disclaimer : The plot of story is mine~ and i just use the name here~ and i use some japanese words, but if you find i am wrong, i'm sorry because i just use google translate and my experience by watching anime 8")

Based of Rapunzel Story

=*=*=

Salju masih turun dan menutupi jalan-jalan trotoar di awal tahun di bulan Januari di Jepang. Beberapa orang memayungi dirinya dengan payung agar kepala mereka tidak ditimbuni serpihan-serphian salju kecil yang turun dari langit. Ada juga yang sekedar memakai topi atau beanie.

Seorang wanita tengah berjalan tertunduk di salah satu sisi trotoar sambil memegang kedua sisi jaket jeans berwarna cokelatnya guna merapatkan jaket tersebut agar ia tetap hangat. Meski ia memakai beanie putih di kepalanya, tetap saja rambutnya yang tergerai panjang dan menutupi sebagian mukanya ketika ia tertunduk disangkuti salju-salju.

Buk

Karena terlalu menunduk, ia menabrak pundak seorang pria berjas hitam. Ia tidak tahu seperti apa wajahnya, karena ia lebih memilih menunduk.

Ah, Gomen’nasai (Ah, maafkan aku),” ucap wanita itu dengan sedikit membungkuk.

Daijobu (tidak apa),” jawab pria itu pelan lalu berjalan meninggalkan wanita itu.

Sepeninggal pria ber jas hitam tadi, mata wanita itu masih melihati sepatu pria itu yang berjalan menjauh darinya. Namun itu tidak berlangsung lama saat ia mendengar suara klakson bus yang akan meninggalkan halte tak jauh darinya.

“Oh! Tunggu!” teriaknya sambil berlari menuju bus tersebut. Untung saja ia tiba tepat sebelum pintu sepenuhnya tertutup. “Matte kudasai! (Tunggu dulu!)ucapnya sambil menahan pintu bus.

Supir bus tersebut melihatnya dan segera membukakan pintu. Wanita itu tersenyum maklum dan menaiki bus dengan malu-malu. Diambilnya sebuah kartu di kantung jaketnya dan menempelkan salah satu sisi kartu tersebut pada sebuah pemindai kecil di dekatnya. Setelah ia mendengar sebuah bunyi, ia pun segera mencari tempat duduk kosong di bus tersebut.

Sesaat kemudian, bus pun berjalan. Wanita itu duduk di dekat jendela sambil tersenyum puas. Ia mengambil sesuatu dari kantong jaketnya. Sebuah dompet hitam khas laki-laki. Wanita itu segera membuka dompet hitam tersebut dan senyumnya semakin melebar saat melihat lembaran-lembaran uang kertas dalam mata uang yen.

Ia dengan sigap mengambil uang-uang kertas tersebut dan memasukkannya di dalam saku belakang celana jeansnya. “Kerja bagus, Park Chorong!” ucapnya pada dirinya sendiri sambil membuang dompet tersebut keluar jendela.

=*=*=

Chorong, atau yang dia tau dengan nama Park Chorong, setidaknya itu yang diucapkan oleh bibinya, adalah seorang wanita berusia 25 tahun. Sedari kecil, ia tinggal bersama bibinya dan hidup berpindah-pindah secara ilegal. Mulai dari korea, daerah-daerah kecil di Amerika Selatan, sampai ke Jepang, tempat tinggalnya sekarang.

Bukan berarti ia dan bibinya adalah orang kaya. Bukan. Mereka hidup dalam kemiskinan dan kriminalitas. Hanya saja mereka masih mampu membeli beberapa make-up murah untuk menarik perhatian pria-pria berdompet tebal.

Ia sendiri tidak tahu, sejak kapan hidupnya dimulai seperti ini. Dulu sekali, ia sangat pemalu. Ia ‘minder’ dengan anak-anak sebayanya yang menghabiskan masa kecil dengan orang tua mereka. Chorong kecil tahu ia juga pasti mempunyai orang tua. Tapi saat ia bertanya pada bibinya, Jessica, bibinya akan selalu menjawab bahwa orangtuanya telah menelantarkannya.

Seperti itu lah cerita Jessica. Orang yang merawat dan memenuhi kebutuhan Chorong dari kecil. Ia bekerja sebagai pelayan bar, sampai sekarang. Tak hanya menggunakan suaranya untuk menarik perhatian pria kamu jet set, Jessica juga menggunakan tubunya yang seksi meski sekarang ia berumur hampir 50 tahun, lekukan tubuhnya tidak akan pernah pudar.

Saat pindah ke Jepang sekitar 7 tahun yang lalu, Chorong remaja sudah tahu bagaimana cara untuk bertahan hidup. Ia mempunyai prinsip memakan atau dimakan. Jessica kala itu sering meninggalkannya tanpa makanan untuk bekerja. Chorong memutar otak. Ia tentu tidak akan mendapatkan pekerjaan karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan secara formal. Oleh karena itu, ia memutuskan menjadi penjahat kecil.

Penjahat kecil yang tumbuh menjadi wanita cantik, dengan surai rambut yang panjang dan indah bak Rapunzel. Begitulah orang-orang, atau mungkin kita sebut dengan korbannya, menyebutnya.

Mereka bilang bahwa dompet dan perhiasan mereka hilang setelah menabrak seorang gadis dengan rambut panjang berwarna cokelat.

Sore wa hontodesuka? (Apakah itu benar?)” tanya seorang opsir polisi dengan serius pada seorang pria berjas hitam di depannya.

Hai! (Ya!)” ucap pria itu sambil memijit pelipisnya. Opsir tadi menghela nafas dan mengangguk, lalu menuliskan beberapa kata dalam huruf kanji pada kertas laporannya.

Tak lama kemudian, seorang pria, dengan seragam polisi khas jepang lengkap memasuki ruangan yang penuh dengan para pelapor. Ia melihat seseorang yang tengah menulis sesuatu di meja kerjanya. Sesaat ia tersenyum lalu berjalan ke arah orang tersebut.

“Hei,” ucap pria itu sambil menepuk pelan pundak orang itu.

Orang itu, opsir yang tadi sedang menulis laporan kejahatan terlonjak kaget dan melotot ke arah orang yang menepuknya. Namun, saat ia tahu siapa pelakunya, ia menghela nafas. “Kau, Joonmyun,” ucap orang itu kemudian kembali menulis laporan.

“Aku pikir kau cuti, Chen?” ucap pria yang tadi menepuknya, Joonmyun.

Chen menghela nafas lagi. “Gara-gara Rapunzel itu aku tidak bisa ke Seoul sekarang.”

“Pak kepala memanggilmu?”

Chen mengangguk. “Aku pikir Harada-san dan Tatsuhiko-san ada, ternyata mereka sudah mengambil cuti duluan dariku dan Pak Kepala bilang bahwa aku harus mengalah.” Chen kemudian menandatangani kertas kerjanya. Kemudian ia menoleh kepada pria berjas hitam di depannya.

Arigatō. Wareware wa ato ni oshirase shimasu (Terima kasih, kami akan menghubungimu nanti),” ucap Chen sambil membungkukkan sedikit badanya. Pria berjas itu mendesah perlahan. Namun ia balik membungkuk dan memohon undur diri.

Selepas kepergian pria berjas itu, Joonmyun duduk di sebuah kursi bekas pria tadi dan mengambil kertas yang ditulis oleh Chen. “Rapunzel…” ucapnya sambil menggumam.

“Aku tidak mau selama 7 tahun karirku menjadi polisi menjadi hancur karena tidak bisa menangkap gadis itu,” keluh Chen.

“Wanita,” ucap Joonmyun meralat. “Ini sudah 7 tahun lamanya. Ia juga manusia. Tumbuh dan bertambah umur.”

Chen memutar kedua bola matanya. “Terserah.”

“Tapi aku penasaran dengan wanita ini. Beberapa kali kita hampir mendapatkannya, kita selalu kecolongan. Aku yakin dia tidak memegang senjata apa-apa. Dan dia juga bergerak sendirian.”

“Dia mungkin hanya beruntung,” jawab Chen.

“Beruntung selama 7 tahun?” tanya Joonmyun. Namun Chen hanya mengendikkan bahunya sebagai jawaban.

Joonmyun menghela nafas sambil mengembalikan kertas tersebut pada Chen. “Aku sungguh penasaran. Aku sangat ingin mengangkapnya.”

Chen menatap sahabatnya sejak pertama kali bergabung dengan kepolisian Jepang itu. “Kau suka padanya?”

“Apa?” Joomyun tertawa kecil sambil mengelus-elus rambutnya dengan canggung. “Tidak juga.”

“Apa karena Rapunzel itu kau menolak semua gadis Jepang?” tanya Chen lagi. “Yah… tak semuanya sih. Yang jelas mereka lebih tertarik pada dirimu.”

Joonmyun mengendikkan bahunya. “Entahlah. Aku juga tidak tahu.”

=*=*=

Hari sudah berganti, namun itu berlangsung dua jam yang lalu. Chorong masih berlalu lalang pada jam dini hari. Ia berjalan melewati jalan sempit yang penuh dengan rumah-rumah yang tidak tertata rapi. Ia berniat pulang ke rumahnya karena ia tahu Jessica sebentar lagi akan pulang.

Namun saat ia melihat ke sebuah rumah yang terletak di ujung jalan dengan lampu depan yang menyala, ia melambatkan langkahnya.

“Oh tidak, Jessica sudah pulang,” ucapnya dalam hati. Ia menggigit bibirnya. Memang benar ia termasuk wanita berandalan, namun ia takut terhadap Jessica. Masih segar dalam ingatannya saat ia pulang terlambat, Jessica marah besar dan membakar semua baju-baju yang ia beli dari hasil mencuri. Termasuk beberapa sepatu, tas dan alat-alat make-up lainnya. Tak lupa juga kepalanya yang dipukul dengan piring plastik berkali-kali membuat kepalanya berbuah, muncul benjolan kecil.

Chorong mengambil nafas perlahan-lahan. Kemudian ia meneruskan langkah dengan mantap dan menerima segala resiko yang ada. Lagipula ini memang salah dia sendiri karena mampir ke club malam tanpa tahu waktu.

Kini ia pun tiba di depan rumahnya. Rumah kecil kumuh yang ia tempati bersama bibinya selama 7 tahun. Chorong kembali mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Sesaat setelah ia memegang knop pintu, ia mendengar Jessica berteriak sendirian.

“Apa? Jungsoo berada di Jepang katamu?” ucap Jessica. Setelah itu hening namun masih terdengar grusak-grusuk dari dalam. Chorong pun urung masuk dan memilih untuk menetap di luar selama beberapa saat.

“Tidak mungkin! Tenang… Tenang… ia tidak akan mencari Chorong…”

Chorong mengedipkan matanya beberapa kali saat mendengar namanya disebut. Karena terlalu penasaran, ia menempelkan telinganya pada daun pintu rumahnya.

“Dia masih mencari anaknya?”

“Baguslah kalau begitu. Tapi aku tidak akan menyerahkan Chorong jika dia tidak memberiku uang jaminan!” setelah itu terdengar suara tawa licik dari Jessica.

“Yah…. Bagaimana ya… ia tidak melihat anaknya lagi sejak setahun setelah kelahiran. Chorong sudah bersamaku selama 25 tahun lamanya. Jungsoo tidak mungkin mengenali anaknya. Kalau nanti kami bertemu aku akan menukar anaknya dengan perempuan lain.”

“Kenapa katamu?” Jessica tertawa lagi. “Karena Chorong sangat pintar mencari uang!”

Dari luar Chorong sudah berdiri jauh agak jauh dari pintu rumahnya. Ia tampak shock mengetahui sedikit kenyataan yang diucapkan oleh Jessica.

“Berarti selama ini aku diculik…” gumamnya pada diri sendiri.

‘Bruk’

Ia pun terjatuh karena merasa tenaganya telah menguap dan tak kuat untuk menopangnya berdiri. “Ternyata aku masih punya orang tua yang peduli padaku…” ucapnya sambil meracau. Sesaat kemudian ia menangis.

Tanpa disadari Chorong, akibat jatuhnya ia tadi memicu Jessica yang berada di dalam segera membuka pintu cepat-cepat. Matanya terbuka lebar saat melihat Chorong duduk bersimpuh membelakanginya. Jessica melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan ada seseorang atau tidak, setelah itu ia langsung menuju Chorong.

“Ayo masuk!” desisnya sambil menarik tangan Chorong kasar.

Wanita berambut cokelat itu mengaduh. Ia tertatih-tatih berusaha untuk berdiri karena Jessica terus saja menarik tangannya masuk ke dalam rumah, tidak memberikannya kesempatan untuk berhenti sebentar dan berdiri.

Setelah sampai di dalam, Jessica menghempaskan Chorong ke ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang makan dan dapur. Juga terlihat sebuah kasur yang terletak tak jauh darinya. Jessica langsung menutup pintu dan menatap Chorong dengan garang.

“Apa saja yang sudah kamu dengar?” tanya Jessica.

Chorong menunduk dalam. Tak bertenaga untuk berbicara. “Katakan!” desis Jessica.

“Kau menculikku…” ucap Chorong pelan.

“Apa?”

Perlahan Chorong mengangkat wajahnya dan menatap Jessica dengan matanya yang sembab. “Aku mohon kembalikan aku. Aku ingin melihat wajah orang tuaku. Aku ingin membayar semua masa kecilku yang dilewati tanpa orang tua.”

Jessica tertawa mengejek. “Tiba-tiba kamu jadi seperti Drama Queen ya? Tentu saja aku tidak akan mengembalikanmu sebelum ayahmu memberiku setengah sahamnya.”

“Saham? Saham apa? Apa orang tuaku itu sangat kaya raya?” tanya Chorong.

Jessica menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. “Karena kau sudah besar. Sudah tau rokok dan dunia orang-orang dewasa, maka akan aku ceritakan sedikit padamu. Dulu aku dan ayahmu adalah sepasang kekasih yang bahagia. Kami berhubungan sejak sekolah menengah pertama, sampai kuliah, dan semua kisah-kisah indah itu terlupakan begitu cepat. Saat lulus sekolah, ayahmu bilang padaku untuk melanjutkan kuliah di Inggris. Ayahmu bilang aku harus menunggu. Tapi kau tahu apa setelah itu?”

“A—apa?”

“Ayahmu menghianatiku! Ayahmu pulang dengan ibu brengsekmu yang tengah mengandungmu!” ucap Jessica sambil menunjuk Chorong. “Padahal aku sudah berkorban segalanya. Aku memaksa ayahku untuk menginvestasikan seluruh keuntungan perusahaannya pada perusahaan kakekmu. Namun setelah ayahmu kembali, semua investasi ayahku lenyap! Perusahaan ayahku bangkrut. Orang tuaku bunuh diri! Aku hancur! Aku kemudian hanya minta lima persen dari keuntungan yang pernah ayahku investasikan tapi aku ditendang keluar!”

“Maafkan aku,” ucap Chorong sambil menunduk dalam.

“Aku… menculikmu hanya untuk membuat dia jera. Membuat dia tahu bahwa aku juga bisa berbuat curang.” Jessica mengambil nafas perlahan. Kemudian, ia mengambil sebuah jaket kulit berwarna kuning yang terletak tak jauh darinya. “Jangan coba-coba kabur,” ucap Jessica sambil membuka kembali pintu, pergi keluar dan mengunci pintu tersebut.

Jessica memasukkan kuncinya di saku jaketnya. Dengan memeluk erat jaket tersebut, ia segera melangkah pergi dari rumah itu. “Kuso….(sialan...),” gerutunya.

Kini tinggallah Chorong sendirian di rumah itu. Ia memang terbiasa sendirian, namun saat ini ia merasa seperti sedang hampa, kosong dan sangat sedih. Tak lama kemudian kedua kelopak matanya menutup. Ia sangat lelah dan butuh istirahat.

Chorong pun bermimpi dalam tidurnya. Ia kembali pada masa kecilnya tengah bermain bersama anak-anak kecil yang sebaya dengannya. Menaiki ayunan dengan salah seorang teman dan bersaing siapa yang lebih tinggi ayunannya.

Matahari pun mulai berubah menjadi oranye. Beberapa orang tua datang untuk menjemput anak-anak mereka. Seorang anak yang tadi menemani Chorong pun berpamitan padanya karena ibunya telah menjemputnya.

Taman menjadi sepi, hanya Chorong kecil seorang yang berada di sana. Langit mulai gelap dan lampu taman satu persatu mulai menyala. Chorong masih berdiri di samping ayunan, menoleh ke sana kemari.

“Oh, iya… aku tidak punya siapa-siapa,” ucapnya bergetar, menahan tangis.

“Chorongie?”

Chorong tersentak. Ia melihat sepasang suami istri di depannya. Ia tidak melihat dengan jelas wajah mereka namun Chorong merasa dekat dengan suami istri tersebut.

Salah satu dari mereka mengelus rambut panjang Chorong dengan lembut. “Maaf, kami terlambat. Tapi kami akan mentraktirmu kue cokelat yang banyak. Bagaimana? Kau suka ‘kan?”

Chorong tak kuasa menahan air matanya, ia pun segera memeluk paha wanita yang mengelus rambutnya tadi. “Ibu! Ayah! Jangan terlambat lagi…” ucapnya sambil menangis.

“Iya, ayah janji… ayo sekarang kita pulang…”

Kemudian, semuanya berubah menjadi putih. Perlahan-lahan Chorong membuka matanya.

“Ugh,” ia segera menutup matanya kembali karena cahaya matahari yang masuk dari sela-sela tirai jendela menimpa matanya.

Chorong menautkan alisnya. “Sudah pagi?” Ia pun menengok ke arah jam. “Sudah jam sepuluh,” gumamnya.

Ia bangkit perlahan dan menyandarkan dirinya pada dinding. Kemudian ia terdiam lagi, mengingat peristiwa kecil dalam mimpinya.

Tentu saja itu tidak pernah terjadi. Itu hanyalah salah satu dari angan-angannya waktu kecil.

Karena kejadian yang sebenarnya adalah, ia berada di taman tersebut sampai tengah malam dan Jessica yang menamparnya di taman.

“Aku ingin pulang…” ucapnya lagi. Ia menoleh saat tanganya tak sengaja menyentuh sesuatu. Sebuah koran. Chorong menatapnya lekat-lekat karena tertarik pada sebuah headline berita yang ditulis dengan huruf tebal.

“Rapunzel… beraksi lagi?” ucapnya membaca judul tersebut. Ia terkikik kecil. “Apa aku memang benar-benar seperti Rapunzel?” Chorong mengangkat koran tersebut dan meletakkannya di pangkuannya. Matanya pun dengan lihai membaca huruf-huruf hiragana yang memberitakan tentang dirinya.

“Bagus dia hanya mencopet, bukan menculik,” ucapnya membaca sebuah line berita tersebut sambil tertawa kecil.

Ia pun menaruh kembali koran tersebut ke samping, kemudian mulai menyandarkan kepalanya kembali ke tembok rumah. “Menculik…” ucapnya sambil menerawang ke arah langit-langit rumah. Tangannya mengepal perlahan seiring tarikan nafasnya yang dalam.

“Aku ingin bertemu ayah!” ucapnya dengan semangat. Ia kemudian mengambil sesuatu dari saku jaket yang ia pakai. Sebuah handphone dengan daya kurang dari sepuluh persen. Dengan mantap ia menekan tombol-tombol datar pada layarnya. Namun sebelum ia menekan tombol ‘CALL’, ia terhenti dan mengambil nafas dalam-dalam lagi.

“Iya… aku harus melakukan ini…” ia pun menekan tombol ‘CALL’ dan mendekatkan handphone hitam itu pada telinganya. Ia menunggu sebentar hingga terdengar bunyi khas yang menandakan bahwa telepon tersebut telah diterima.

Chorong menarik nafas untuk kesekian kalinya. “Moshi moshi, (Halo,)”

=*=*=

Joonmyun tengah menikmati secangkir cokelat hangat di kantornya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, dan laki-laki itu tidak keluar dari kantornya sejak jam 7 tadi pagi.

Ia kembali menaruh cangkir cokelat hangatnya pada sebuah piring kecil. Kemudian, Joonmyun mengambil beberapa kertas yang sudah kusam namun masih baik, sepeti tidak pernah disentuh sama sekali.

Kertas tersebut ternyata ditempeli beberapa potongan berita dari koran dan disusun secara rapi pada kertas-kertas tersebut. Dan pada ujung kiri bawah ditulisi sederetan tanggal yang ditulis dengan ballpoint.

“5 Februari 2008,” gumamnya saat membaca tanggal tersebut. “Hari ini tepat tujuh tahun dari awal kemunculanmu…” gumamnya lagi. Kemudian kertas tersebut ia taruh di belakang kertas lainnya dan melihat lagi permukaan kertas lain yang ditempeli klipingan yang memuat berita-berita tentang sosok pencopet jepang bernama Rapunzel.

Setelah melihati semua kertas-kertas tersebut, Joonmyun menaruhnya kembali ke meja, setelah itu memegangi kedua kepalanya sembari mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. “Argghh! Kalau ku pikir-pikir mungkin memang benar aku mencintai sosok yang tidak pernah ku lihat wajahnya,” dumelnya sebelum menghela nafas berat.

Pada saat yang sama, pintu kantor Joonmyun terbuka tiba-tiba dan menampakkan sosok Chen yang terengah-engah dengan masih berpegangan pada knop pintu. Tentu saja Joonmyun yang tadi berkutat dalam kedamaian –dan juga frustasi– kaget.

“A—ada apa?” tanya Joonmyun.

Chen menatap Joonmyun lekat-lekat, nafasnya masih ngos-ngosan. “Rapunzel… Rapunzel ditemukan!”

Deg

Jantung Joonmyun berpacu dengan cepat. Ia membatu di tempatnya. “B—benar… kah?”

Chen mengangguk mantap.

Tanpa basa-basi lagi, Joonmyun mengambil pistol dan jaketnya. “Ayo sergap dia!” ucapnya tegas. Chen kembali mengangguk.

“Ya, aku sudah menyiapkan beberapa pasukan.”

Merekapun segera berlari menuju parkiran kantor polisi dimana beberapa mobil telah siap melaju dengan sirine yang telah berbunyi. Joonmyun dan Chen memasuki mobil yang sama.

“Dimana?” tanya Joonmyun.

“Di daerah kecil. Aku tidak tahu pasti tapi Nakada-san tahu tempatnya. Kita hanya tinggal mengikuti dia,” jawab Chen sembari mengemudikan mobil dinas polisi tersebut. Joonmyun semakin mengepalkan tangannya dengan erat.

“Info darimana?”

Chen terdiam sesaat karena ia sedang mengemudikan mobilnya untuk bermanuver ke kanan. “Ia sendiri yang memberitahukan identitasnya.”

Joonmyun terbelalak, “Apa?”

“Ya,” Chen mengangguk. “Aku tidak tahu mengapa atau memang informasi ini palsu atau bagaimana. Kita juga tidak punya bukti serta informasi mendetail tentang wajahnya. Namun kita harus tetap menyelidiki.”

Joonmyun mengangguk dan mencoba duduk dengan tenang. Terlintas di pikirannya bagaimana dramatisnya pertemuan dirinya dengan sang Rapunzel buruannya. Walaupun ini terbilang berlebihan juga karena informasi belum di pastikan kebenarannya. Jika memang benar, mereka hanya tinggal menanggkap seorang pencuri namun mereka sudah membawa 4 mobil poilsi.

Tak lama kemudian, mereka sampai di daerah yang dimaksud oleh Chen. Joonmyun turun dari mobil dan melihat ke sekeliling. Tampak banyaknya rumah kumuh yang beberapa di antaranya tidak layak huni. Pemukiman tersebut terlihat padat dan memang ada tanda-tanda didiami manusia, namun pemukiman itu tidak tampak ada orang yang lewat.

Joonmyun menoleh pada seorang polisi Jepang yang berjalan menuju dirinya. “Narada-san, koreha migi no bashodearu (Apakah benar ini tempatnya?)?” tanyanya.

Polisi itu mengangguk. “Hai, sono josei no youni koko de iu (seperti yang dikatakan perempuan itu).”

Joonmyun menatap Chen dan pria itu menatapnya balik. Seakan-akan sedang berbicara melalui tatapan. Tak lama kemudian Chen mengangguk.

“Aku serahkan padamu, Chen,” ucap Joonmyun sambil tersenyum.

“Ya, kau juga, jangan sampai lepas,” canda Chen membuat Joonmyun tertawa kecil. Joonmyun memberi isyarat tangan pada polisi Narada untuk mengikutinya. Mereka berdua memasuki area rumah-rumah kumuh tersebut. Sementara itu, Chen memberi perintah kepada polisi lainnya untuk mengamankan daerah tersebut.

Sepanjang perjalanan, Joonmyun berdebar-debar. Takut lepas lagi, dan bingung apa yang harus ia lakukan jika wanita itu benar-benar menyerah.

Koko! (disini!)” ucap polisi itu.

Joonmyun meneguk liurnya dengan susah payah saat melihat sebuah rumah yang ditunjukkan oleh Narada. Ia mengangguk pelan. “Anata wa koko de matte, (tunggu disini).”

Sikashi…(tapi…)”

Watashi o shinjite, (percayalah padaku,)” ucap Joonmyun sambil tersenyum. Polisi itu sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia juga mengerti bagaimana risaunya kepala polisi asal Korea itu tentang kasus Rapunzel. Ia pun mengangguk.

Merasa mendapat dukungan, Joonmyun segera mengendap-endap ke depan rumah tersebut. Sementara, polisi Narada mencari tempat persembunyian untuk melindungi Joonmyun.

Setelah berhasil tiba di depan rumah, Joonmyun perlahan-lahan membuka pintu depan. Rencananya ia akan langsung mendobrak. Namun niat tersebut ia urungkan karena pintu tersebut ternyata tidak terkunci. Ia mengambil nafas dalam-dalam sembari menggenggam pistolnya dengan erat.

Chodo hairu, (masuk saja,)” terdengar suara wanita dari dalam membuat Joonmyun makin meningkatkan kewaspadaannya.

Kore wa wanadesu? (Apakah ini jebakan?)” tanya Joonmyun hati-hati.

Omou? (Menurutmu?)” jawab dari dalam yang terdengar seperti pertanyaan.

Joonmyun semakin memantapkan langkahnya ke depan sambil membuka pintu tersebut. Matanya terbuka lebar saat ia melihat sesosok wanita dengan rambut pendek dan bermata sembab. Ditambah lagi dengan ruangan tersebut yang tampak acak-acakan dengan beberapa kertas dan helaian-helaian rambut berwarna cokelat di lantai.

Anata wa nihonjin no yo ni mitenai, (Anda tidak terlihat seperti orang jepang,)” ucap perempuan itu.

“Watashi wa Kankoru kara kita,(Saya berasal dari Korea,)” jawab Joonmyun.

Sejenak wanita itu terlihat kaget, namun beberapa saat kemudian ia tersenyum. “Baguslah kalau begitu aku tidak perlu repot-repot menggunakan bahasa Jepang.”

Suho kembali terbelalak. “Kau… orang Korea?”

Wanita itu menangguk, kemudian ia membersihkan sisa-sisa rambut di pundaknya, lalu mengambil sebuah mantel berwarna hitam. “Ya, benar. Aku orang korea. Delapan tahun aku tinggal disini. Oh, iya, namaku Chorong,” ucapnya ambil mengenakan mantel hitam tersebut.

“Apa benar, kau itu Rapunzel?’ tanya Joonmyun hati-hati.

Chorong mengangguk. “Entahlah mengapa kalian memanggilku seperti itu. Yang jelas akulah pencuri yang kalian cari-cari.”

“Lalu, apa motifmu untuk menyerahkan diri?” tanya Joonmyun lagi.

“Aku bersedia di penjara, hanya jika…” Chorong menghentikan perkataannya, membuat Joonmyun gugup. Wanita itu mengambil beberapa kertas dari lantai dan berjalan menuju Joonmyun. “Jika kau membantuku.”

=*=*=

“Aku tidak percaya mengapa aku bisa mempercayaimu,” ucap Joonmyun sembari fokus menyetir mobil polisi dengan kecepatan tinggi.

“Tapi pada akhirnya kau tetap mengantarku, ‘kan?” jawab Chorong santai.

Kini mereka berdua berada dalam satu mobil polisi. Mereka berdua pergi ke suatu tempat yang diminta Chorong. Entah jurus apa yang digunakan wanita itu sehingga mampu membuat Joonmyun luluh dan mengkhianati Chen. Kini mereka berdua pun tengah dikejar oleh beberapa polisi.

“Jadi, kau itu korban penculikan?” tanya Joonmyun lagi.

“Entahlah, apa benar bisa dibilang seperti itu. Wanita itu yang bilang padaku.”

Joonmyun terdiam sebentar. “Jessica… dia juga tengah dicari-cari karena kasus penyelundupan narkoba.”

Chorong menatap polisi itu. “Benarkah? Aku tidak tahu ia berbisnis seperti itu?”

Joonmyun mengangguk mantap. “Aku tidak mengira kalian berhubungan. Tapi, apa benar, ayahmu adalah konglomerat keluarga Park?”

“Itu juga… entahlah,” Chorong melihati kertas-kertas yang dibawanya. “Setelah menghubungi polisi, aku mengacak-acak kamar Jessica dan menemukan ini semua. Juga menemukan foto konglomerat itu dengan Jessica semasa muda. Jika benar penjelasannya waktu itu, berarti Park Jungsoo itu yang dimaksudnya sebagai ayahku. Dan sekarang ia berada di Jepang dalam rangka seminar untuk mahasiswa dan orang yang belum bekerja. Aku yakin Jessica pasti menuju kesana,” jelas Chorong panjang lebar.

“Bagimana jika tebakanmu salah?” tanya Joonmyun sembari membelokkan mobilnya.

Chorong mengambil nafas dalam-dalam. “Aku harus yakin. Jika tidak, aku tidak akan tenang berada di dalam penjara.”

Sesaat setelahnya, tidak ada satupun dari mereka yang membuka pembicaraan. Diam pada kediaman masing-masing. Sekitar sepuluh menit berlalu, mereka telah sampai pada tujuan yang diberitahukan oleh Chorong yang diyakininya ada Jessica dan ayahnya, Park Jungsoo.

Big Extravagant Hall, adalah tempat tujuan mereka, dimana saat itu terdapat banyak orang yang lalu lalang. Saat itu tengah ada perhelatan mengenai bisnis di Korea.

Chorong melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. “Terima kasih.”

Buru-buru Joonmyun mematikan mesin mobilnya dan keluar dari mobil. “Tunggu dulu!  Kau pikir bisa pergi semudah itu?”

Chorong berhenti berjalan kemudian menatap polisi itu dengan malas. “Kalau begitu, ayo temani aku!”

Joonmyun mengangguk. Ia mengambil senjatanya lalu mengunci mobil polisi itu. Bersama Chorong, ia segera pergi ke Dome terbesar tersebut dengan jalan memutar.

“Menurutmu, Jessica ada dimana?” tanya Joonmyun. Chorong menggeleng.

“Entahlah, tapi yang pasti, dimana ada ayahku, disitu ada Jessica.”

Mereka sampai di belakang Dome dimana banyak petugas acara tersebut dan berkumpul dan berlalu lalang mengambil barang dari mobil-mobil yang terdapat di parkir belakang. Beberapa dari mereka menyadari kehadiran Chorong dan Joonmyun, dan beberapa ada yang segan karena Joonmyun yang memakai seragam polisi.

“Untuk apa ada polisi disini?” bisik salah satu dari mereka.

Sesaat kemudian, muncul seorang perempuan dengan badge “Staff’ yang tergantung di lehernya muncul dari sebuah pintu yang mengarah langsung ke dalam Dome. “Ayo semua sekarang giliran tim B untuk acara seminar oleh Jungsoo sajangnim,” ucap perempuan itu dalam bahasa korea. Para staff lainnya mengangguk dan bergegas masuk ke dalam.

Joonmyun dan Chorong saling berpandangan. Mereka pun mengangguk bersamaan. Tanpa ada aba-aba lagi, keduanya mengikuti staff-staff itu memasuki area dalam Dome.

Buk

“Aduh,” rintih Chorong tepat setelah ia terjatuh. Joonmyun terkejut dan segera membantu wanita itu.

Ah, sumimasen. Daijobu ka?” tanya seorang pria di depannya. Chorong merengut lalu menatap pria itu.

“Ah, Jungsoo-san, daijobu?” ucap salah seorang staff mendatangi pria itu.

Chorong menegang, begitu juga dengan Joonmyun yang berada di belakangnya.

“Chorong-ssi…” bisik Joonmyun menatap Chorong khawatir.

‘Aku… tidak akan pernah mengira akan sedekat ini…’ batin Chorong sambil menatap pria yang rambutnya memutih disana-sini. ‘Ayah…’ wanita itu mencoba tersenyum. “Saya tidak apa-apa.”

Pria di depannya terkejut. “Oh, kau adalah orang korea juga?” ucapnya sambil tertawa renyah. Kemudian ia menatap Chorong lekat-lekat. “Sepertinya aku pernah melihatmu…”

Chorong meneguk ludahnya dengan susah payah, “B—benarkah?” tanyanya dengan jantung berdebar-debar.

“Entahlah…” pria itu terdiam sebentar. Sambil menatap Chorong. “Kau mirip sekali dengan seseorang yang sangat saya sayangi. Tepat hari ini adalah hari dimana ia pergi untuk meningglkanku untuk selamanya…” ucap pria itu dengan nada tidak enak.

‘Ibu…’ batin Chorong.

“Ah, maaf, berapa usiamu?” tanya pria itu.

“Dua… dua puluh lima…”

Pria itu nampak terkejut. Namun tak lama ia tersenyum. “Jika saja anakku bisa ditemukan… ia mungkin akan seumuran denganmu,” ucapnya.

Sajangnim, sudah waktunya,” ucap seorang pria berjas merah disampingnya.

“Ah benar juga,” pria itu melayangkan senyum hangat pada Chorong. “Kita akan bertemu lagi ‘kan? Karena saya harus pergi sekarang. Senang bertemu denganmu.” Pria itu dengan beberapa orang mengikutinya pun pergi meninggalkan Chorong dan Joonmyun di koridor. Lalu mereka memasuki ruangan yang diketahui sebagai aula tempat ayahnya memimpin seminar.

“Chorong-ssi?” panggil Joonmyun.

Chorong terlihat tengah mengusap matanya. “Ayo pergi,” ucapnya lalu berlari ke suatu pintu.

“Mau kemana?” tanya Joonmyun sambil mengikuti Chorong dari belakang.

“Kita akan melihat dari atas,” Chorong membuka pintu tersebut dan terlihat sebuah tangga. Segera ia menaiki tangga tersebut dengan diikuti Joonmyun dari belakang. Setelah sampai di atas, mereka membuka sebuah pintu dan memasuki ruangan tersebut yang merupakan lantai atas untuk penonton dari aula yang tadi dimasuki oleh ayah Chorong.

Mereka berdua langsung berjalan hingga ke pagar pembatas. “Cari Jessica,” ucap Chorong.

Joonmyun mengangguk. Mereka menoleh kesana-kemari melihati kerumunan orang-orang yang duduk di aula bawah. Konsentrasi Chorong sempat buyar saat melihat ayahnya yang tengah berbicara di tengah panggung dengan memegang sebuah mic dan menjelaskan tentang tata cara berwirausaha. Dimata Chorong, ayahnya sangat berwibawa. Ia bertanya-tanya apakah ayahnya selalu memikirkannya. Apakah ayahnya makan dan tidur dengan baik. Apakah ada yang menjaganya saat ia sakit. Apakah ayahnya sudah menikah lagi.

Chorong mengela nafasnya. Melihat ayahnya yang berbicara sambil bercanda seperti itu pasti meyakinkan bahwa ayahnya hidup dengan baik. Pandangan Chorong teralih saat melihat wanita berambut pirang yang duduk tak jauh dari ayahnya. Ia tampak mengenali jaket yang dipakai wanita itu.

Wanita berdiri dengan pelan sambil mengambil sesuatu dari dalam tas besar yang ia bawa. Chorong menyipitkan matanya karena tidak tahu apa yang diambilnya.

“Uwaaaaaa!” teriak seorang pria yang duduk di samping wanita itu. Chorong makin menyipitkan matanya.

“Itu… ada seseorang membawa pistol!” seru Joonmyun.

“Park Jungsoo! Mati kau bersama Taeyeon!” ucap wanita itu sambil mengarahkan pistolnya pada Jungsoo, membuat panik seisi aula.

“Itu Jessica!” teriak Chorong dan spontan ia menarik pistol yang berada di saku pinggang Joonmyun. Dengan cepat ia menarik pelatuk pistol itu.

“T—tunggu dulu!” cegah Joonmyun.

‘Dor!’

Terlambat, Chorong sudah menembakkan sebuah timah panas ke bawah. Joonmyun melihat kebawah dan disana Jessica terlihat terjatuh ke kursi depan dengan noda merah di kepalanya. Ia menatap Chorong lagi yang kini terengah-engah dan beruraian air mata.

“A—aku berhasil…” ucap Chorong.

Tak lama kemudian, pintu ruangan itu terbuka dan menampakkan beberapa polisi yang mengepung mereka berdua. “Angkat tangan!” ucap salah seorang polisi tersebut.

Chorong menjatuhkan pistolnya kebawah sambil melihati ayahnya yang kini tengah melihat ke arahnya. Chorong menangis. Ia pun mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

“Joonmyun, kau tidak apa-apa?” tanya Chen, polisi yang tadi meminta Chorong untuk mengangkat tangan setelah berjalan mendekati Joonmyun. Joonmyun mengangguk. “Kau tahu, kau akan mendapatkan masalah nanti.” Ucapnya lagi.

Joonmyun mengangguk lagi, “Iya, aku tahu.” Kemudian ia melihat Chorong yang masih saja menangis sambil melihat ke bawah aula. Joonmyun mengeluarkan sebuah borgol dan menarik tangan Chorong kebawah dan memborgolnya dengan hati-hati. “Aku akan memikirkan sebuah cara agar hukumanmu diringankan,” bisiknya.

“Terima kasih, Joonmyun-ssi…” lirih Chorong.

“Chen, kau tolong urus tubuh Jessica di bawah. Aku akan membawa dia ke kantor polisi,” ucap Joonmyun sambil menuntun Chorong ke luar ruangan.

Chen mengangguk. “Baik,” ia pun pergi setelah meminta beberapa polisi mengikutinya.

Chorong dan Joonmyun berjalan turun meniti tangga. “Apa kau puas?” tanya Joonmyun.

Wanita itu mengangguk. “Aku bersyukur ayahku baik-baik saja. Terima kasih, telah membantuku. Aku lega usahaku tidak sia-sia.”

“Mungkin ini takdir?” canda Joonmyun.

Mereka pun tiba dibawah bersama polisi lainnya. Sebelum mereka melanjutkan langkah, seorang yang dikenalnya dan beberapa orang berlari menujunya. Mereka adalah ayah Chorong dan beberapa pengikutnya.

“Tunggu!” ucapnya, lalu berhenti dihadapan Chorong. Nafasnya terengah-engah. “Kenapa… kenapa kau menembaknya?” ucapnya.

“Karena ia ingin menembakmu…” jawab Chorong datar.

“Kenapa?” tanya Jungsoo lagi.

Chorong tersenyum. “Perkenalkan, saya Park Chorong. Dan Jessica adalah orang yang menculikku selama dua puluh lima tahun,” ucap Chorong sambil sedikit membungkuk.

“Ayo sekarang kita pergi,” ucap Joonmyun. Rombongan polisi itu pun berjalan melewati pria paruh baya itu yang tengah terkejut.

“Senang bertemu denganmu, ayah,” ucap Chorong terakhir yang kali yang bisa di dengar oleh pria itu.

END

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet