A Place Where We Should be Together

A Place Where We Should be Together

Namjoo hanya diam ketika dirinya dinyatakan mengidap kanker hati. Tubuhnya lemas sampai ia tidak kuat untuk membuka matanya sedetik pun. Selama ini ia mengira kalau penyebab dirinya sering mual adalah karena masuk angin. Tidak pernah terpikirkan kalau ia menderita penyakit mematikan ini.

“Stadium dua.” Dokter muda itu menatap Namjoo yang terlihat putus asa, kemudian ia menggenggam tangan gadis itu membuat sang gadis membuka matanya . “Masih bisa disembuhkan. Ini masih bisa disembuhkan dengan pembedahan kalau ada donor hati. Jangan menyerah, ya.”

Air mata sudah menggenang di matanya, siap untuk jatuh. Tetapi sebisa mungkin Namjoo menahannya. “Ya, terima kasih, dokter.” Namjoo tersenyum kecil dan segera meninggalkan tempat tersebut.

 

From: Kim Namjoo

To: Han Sanghyuk

Bisakah kau menjemputku? Aku sedang tidak enak badan

 

 

Namjoo membutuhkan Sanghyuk sekarang. Sanghyuk merupakan kekasih Namjoo sejak mereka masih di bangku sekolah menengah atas. Namjoo adalah yang pertama untuk Sanghyuk dan Sanghyuk adalah yang pertama untuk Namjoo.

 

 

From: Han Sanghyuk

To: Kim Namjoo

Kau sakit? Baiklah, aku akan ke sana sekarang.

 

 

Gadis itu tersenyum tipis ketika membaca balasan pesan dari Sanghyuk. Lelaki itu memang bukan orang yang romantis. Tetapi inilah yang ia sukai dari Sanghyuk. Lelaki itu selalu ada untuk Namjoo dalam situasi apapun.

Selama perjalanan menuju kantornya, ia hanya memejamkan matanya  mencoba melupakan perkataan dokter muda itu sejenak.

 

***

 

Ternyata Sanghyuk sudah tiba sebelum gadis itu. Biasanya Namjoo akan menunggunya di luar. Tetapi, Sanghyuk tidak menemukan keberadaannya. Baru saja Sanghyuk ingin menghubungi Namjoo, tiba-tiba sebuah taksi berhenti dibelakang mobilnya.

Ia menoleh dan melihat Namjoo keluar dari taksi tersebut. Sanghyuk bingung melihat Namjoo yang keluar dari taksi, bukan dari dalam kantornya. Ia segera membuka pintu mobil untuk Namjoo dan segera bertanya. “Kau tadi dari mana? Bukankah kau sedang sakit?” Namjoo hanya mengangguk.

“Hei, aku bertanya kau dari mana?” Sanghyuk mengulang pertanyaannya. Namjoo mengangkat wajahnya dan kemudian maniknya bertemu dengan milik Sanghyuk. Namjoo ingin menangis saat itu juga.

“Dokter.” Suaranya bergetar. Sanghyuk bingung melihat Namjoo yang terlihat ingin menangis. Ia mengambil tangan Namjoo dan menggenggamnya. “Lalu apa kata dokter? Jangan seperti ini. Kau membuatku takut.” Sanghyuk mulai khawatir melihat Namjoo yang sekarang menangis di sampingnya.

Seperti tidak mendengar pertanyaan Sanghyuk, Namjoo terus menangis. Sanghyuk semakin takut dibuatnya. Ini kali pertama Namjoo menangis sekeras ini. Mungkin Sanghyuk akan menanyakan hal ini nanti ketika Namjoo sudah tenang.

“Baiklah kalau kau belum ingin mengatakannya.  Kita pulang sekarang. Sudah jangan menangis lagi.” Sanghyuk mengusap air mata di pipi Namjoo dengan lembut. Tangan Namjoo yang sedari tadi berada di pahanya kini terangkat menggenggam tangan Sanghyuk yang masih berada di pipinya.

“Sanghyuk.” Namjoo berusaha berbicara di tengah-tengah isakannya. “Aku... Kanker hati.. stadium dua.” Genggaman tangan Namjoo pada tangan Sanghyuk semakin kuat, ia mencoba meluapkan emosinya. Sanghyuk menatap Namjoo tanpa berkedip. Pikirannya kosong seketika. Tidak pernah ada di bayangannya kalau Namjoo akan mengidap penyakit mematikan ini.

“Lalu bagaimana kata dokter? Masih bisa sembuh kan?” Kali ini suara Sanghyuk yang bergetar. Dadanya terasa begitu sesak.

Namjoo mengangguk dan itu membuat Sanghyuk sedikit lega. Setidaknya masih ada cara untuk sembuh. Sanghyuk melepaskan genggaman Namjoo dan mengusap kepala gadis itu pelan. “Sekarang kau tidur saja. Kita akan pikirkan ini nanti dengan orang tuamu juga. Kalau sudah sampai akan aku bangunkan.”

“Ya, aku mencintaimu, Sanghyuk.”

“Ehm, aku juga mencintaimu.”

 

***

 

Kemarin malam Namjoo sudah memberi tahu orang tuanya. Ibunya menangis sementara ayahnya hanya melihatnya dan ibu berpelukan dengan sedih. “Jangan menangis, bu. Penyakitnya masih bisa disembuhkan. Ku mohon jangan menangis lagi.” Bisiknya berkali-kali di telinga sang ibu. Ia mencoba terlihat kuat.

“Aku tidak ingin ibu menangisiku. Aku ingin ibu berdoa untuk kesembuhanku.” Namjoo memeluk ibunya lebih erat seolah meyakinkan kalau ia bisa melawan penyakitnya. Ibunya mengangguk dan menciumi ujung kepalanya berkali-kali.

“Tuhan, tolong sembuhkan putriku,” ucap Ibunya berkali-kali membuat Namjoo tersentuh dan ingin menangis.

 

***

 

Sepertinya Tuhan masih ingin mengujinya. Sampai saat ini ia masih belum bisa menemukan donor hati untuknya. Sudah setahun dan ia masih belum mendapatkannya. Berat badannya turun drastis, sering merasa mual, bahkan kadang ia mimisan hebat.

Namun tidak apa-apa. Masih ada Sanghyuk yang selalu ada untuknya. Sekarang Namjoo sudah tidak bekerja lagi. Tubuhnya sudah tidak sanggup lagi mengerjakan pekerjaan yang berat.

Namjoo dan Sanghyuk sedang berada di rumah Namjoo siang ini. Orang tua Namjoo sudah mengenal Sanghyuk dengan baik. Orang tua Sanghyuk juga sudah mengenal Namjoo dengan baik. Sayangnya orang tua Sanghyuk sudah meninggal lima tahun yang lalu karena kecelakaan.

Namjoo memperhatikan Sanghyuk yang sedang memasak. Ia hanya duduk di meja makan dengan kepala yang ditaruh di atas meja. Sanghyuk terlihat lebih kurus dan pucat. Mereka sudah bersama sejak tiga jam yang lalu. Tetapi, mengapa Namjoo baru menyadarinya?

“Sanghyuk,” panggil Namjoo. “Ya,” jawabnya tanpa menghentikan pekerjaannya. “Kau sedang sakit?” Pertanyaan Namjoo membuat lelaki itu terdiam sejenak. “Tidak. Memangnya kenapa?” Sanghyuk akhirnya menoleh.

Dengan teliti Namjoo memperhatikan wajah Sanghyuk. “Kau terlihat lebih kurus. Sedang ada masalah?” Namjoo tahu kalau Sanghyuk akan kehilangan nafsu makannya kalau sedang stress.

Sanghyuk tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Tidak ada. Hanya saja pekerjaanku menumpuk belakangan ini. Jadi ya, aku kadang tidak sempat makan.” Ia membawa dua mangkuk berisi sop dan menaruhnya di atas meja makan.

“Jangan seperti itu! Kau bisa sakit, bodoh. Kalau kau sakit siapa yang akan merawatku?” Namjoo memukul pelan kepala Sanghyuk. “Hei! Ini sakit, tahu.” Sanghyuk mengusap kepalanya yang dipukul. “Tenang saja. Hanya karena tidak makan aku tidak akan sakit,” jawab Sanghyuk tenang.

“Awas kalau kau sampai sakit sepertiku, akan ku pukul kau.” Ancaman Namjoo tidak terdengar seperti ancaman bagi Sanghyuk. Justru itu seperti bentuk perhatian Namjoo terhadap Sanghyuk.

Manik keduanya bertemu. Sanghyuk dapat melihat mata Namjoo yang mulai menguning. Wajahnya juga sudah mulai kehilangan warnanya. Bahkan tawanya tidak semerdu dulu. Sanghyuk ingin Namjoo yang dulu.

Sementara Namjoo dapat melihat perubahan pada Sanghyuk. Wajah lelakinya sekarang terlihat pucat, bibirnya pun juga sedikit pucat. Rambutnya tidak sekelam dulu. Tulang pipinya bahkan terlihat sangat jelas. Sanghyuk seperti kehilangan banyak beratnya.

“Kau menyembunyikan sesuatu dariku?” Mata mereka masih saling bertatapan, seolah terkunci. “Tidak ada. Mengapa kau bertanya terus? Aku sudah lapar, jadi ayo kita makan.” Sanghyuk melepas kontak mata mereka dan mulai memakan makanannya.

“Ada apa lagi? Kau ingin aku suapi?”

“Tidak usah. Dasar jelek.”

 

***

 

Setelah mendapatkan izin dokter, Sanghyuk mengajak Namjoo ke sebuah bukit dekat rumah sakit. Namjoo pikir Sanghyuk menyiapkan kejutan untuknya di sana. Ternyata tidak. Tidak ada balon-balon di sana, tidak ada bangku dan meja serta makanan untuk mereka makan malam di sana, juga tidak ada bangunan yang bertuliskan ‘I love you’. Namjoo akhirnya ingat kalau Sanghyuk bukan orang yang suka dengan hal seperti itu.

“Aku pikir kau menyiapkan kejutan untukku,” kata Namjoo sedikit kesal. Sanghyuk hanya tertawa kecil. Lelaki itu menuntun Namjoo ke tempat yang bisa melihat bintang lebih jelas.

“Duduklah. Inilah kejutan yang aku persiapkan untukmu. Kita sudah jarang berdua seperti ini. Aku sedikit rindu.” Sanghyuk menengadahkan kepalanya, melihat bintang-bintang yang sedang menonton mereka.

Namjoo tersenyum kecil, matanya meneliti wajah Sanghyuk. Benar kata Sanghyuk, mereka sudah jarang berdua seperti ini. Gadis itu tahu kalau Sanghyuk bukannya sedikit rindu melainkan sangat rindu. Ia tahu karena ia merasakan hal yang sama.

Hening menyelimuti mereka. Tidak ada yang mencoba untuk memecahkan keheningan itu. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

Beberapa saat kemudian, Namjoo akhirnya mengatakan sesuatu. “Aku mencintaimu, Sanghyuk. Sangat mencintaimu.” Suaranya goyang. Bukan karena dinginnya angin malam, namun karena ia berusaha tidak menangis.

“Aku juga mencintaimu, Namjoo. Aku mencintaimu lebih dari kau mencintai dirimu sendiri. Bahkan rasanya sesak karena aku begitu mencintaimu.” Sanghyuk mengucapkannya dengan cepat. Walau begitu, Namjoo tahu kalau Sanghyuk tulus mengatakan itu.

Jari mereka bertautan, berbagi kehangatan satu sama lain. Keduanya tidak saling pandang, tetapi sama-sama melihat ke atas.

“Kalau aku pergi nanti, apa kau… Apa kau akan melupakanku? Apa kau akan menggantiku dengan yang lain?” Namjoo bertanya dengan sangat pelan. Takut dengan jawaban Sanghyuk.

“Tentu saja tidak. Untukku, kau satu-satunya, Namjoo. Aku hanya mencintaimu. Hari ini, besok, minggu yang akan datang, tahun yang akan datang, bahkan sampai aku mati, aku hanya akan mencintaimu. Tidak pernah terpikirkan olehku untuk menggantikan posisimu dengan yang lain. Kita ini seperti sepasang sepatu. Jika yang satu hilang, maka pasangannya tidak akan cocok bila dipasangkan dengan yang lain.”

Namjoo tersenyum di antara tangisannya. Genggaman tangan mereka semakin erat. Kedua pipi Namjoo sudah basah dan ini adalah kali pertama Namjoo tidak ingin Sanghyuk menghapus air matanya.

Bahu Sanghyuk bergetar, Namjoo bisa merasakannya. Namun, ia biarkan. Sanghyuk tidak pernah ingin ada yang melihatnya menangis. Air mata Namjoo semakin deras, bahkan bibirnya sudah berdarah karena ia menggigitnya terlalu kuat. Pandangan mereka masih tertuju ke bintang-bintang di langit. Tidak ada yang mencoba untuk menatap satu sama lain.

“Apakah kau akan menikahiku?” Sanghyuk memejamkan matanya ketika mendengar pertanyaan Namjoo. Dadanya sesak. Paru-parunya seperti tidak mendapatkan udara.

“Ya. Aku akan menikahimu. Aku akan menikahimu, Kim Namjoo. Percayalah padaku.” Jawaban Sanghyuk memang membuat Namjoo senang. Tetapi jawaban tersebut juga membuat Namjoo menangis semakin keras. Ia tahu kalau dirinya tidak akan pernah bisa menikah dengan Sanghyuk. Kankernya sudah masuk stadium akhir. Ia tidak akan pernah tinggal di bawah satu atap yang sama dengan Sanghyuk, tidak akan pernah membeli kebutuhan bulanan bersama Sanghyuk seperti yang biasa dilakukan layaknya keluarga, dan ia tidak akan tumbuh tua bersama Sanghyuk. Semua itu tidak akan pernah terjadi.

Sanghyuk melepas genggaman tangan mereka dan membawa Namjoo ke pelukkannya. Ia mencium ujung kepala Namjoo yang sudah ditutupi dengan beanie. Sanghyuk membiarkan Namjoo mendengar detak jantungnya.

Malam itu, mereka menangis sepuasnya. Meluapkan semuanya yang belum sempat terluapkan. Di tengah hembusan angin malam yang menggigit dan ditonton oleh ratusan bintang. Mereka tidak peduli.

 

***

 

Sekarang dokter sudah tidak lagi mengizinkan Namjoo untuk keluar rumah sakit. Ia hanya dizinkan untuk berkeliling di sekitar rumah sakit. Tidak masalah bagi Namjoo yang terpenting adalah kehadiran Sanghyuk di dekatnya.

“Sanghyuk, aku ingin ke taman.” Sanghyuk heran dengan permintaan Namjoo.

“Memangnya ada apa?” Sanghyuk menatap Namjoo lembut. Gadis di depannya kini terlihat sangat rapuh.

“Tidak ada apa-apa. Boleh kah? Kali ini saja.” Sanghyuk tahu kalau dirinya tidak akan pernah bisa menolak permintaan Namjoo.

Sesuai dengan harapan Namjoo. Taman di dekat ruang rawatnya sangat sepi. Tidak ada orang kecuali mereka.

Mereka duduk bersebelahan. Keduanya sama-sama menyandarkan kepalanya di atas meja. Mata keduanya bertemu. Tidak ada yang bicara, sama seperti ketika mereka di bukit pada malam itu.

“Sanghyuk, kau tahu kan kalau aku sangat mencintaimu?” Ketika mengatakannya Namjoo menangis. Ia merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Tentu. Dan aku tahu kalau kau tahu aku sangat mencintaimu.” Keduanya tertawa pelan. Tawa keduanya kini sudah tidak sampai mata lagi.

“Bisa kah kau bercerita bagaimana kita bertemu dulu?” Sanghyuk mengangguk dan mulai bercerita.

Ketika Sanghyuk bercerita, Namjoo memejamkan matanya. Menikmati alunan suara Sanghyuk yang terdengar bergetar namun menenangkan. Tangan Sanghyuk berada di pipinya dan Namjoo menggenggamnya. Merasakan kehangatan lelaki yang selalu menemaninya.

“Terima kasih, Sanghyuk. Terima kasih.” Tubuh Namjoo mengejang dan kemudian tangannya terjatuh seperti kehilangan tenaganya.

Sanghyuk tidak bodoh untuk mengetahui kalau Namjoo baru saja pergi. Ia tidak bisa merasakan lagi hembusan napas Namjoo ketika ia mencium gadis itu.

Tiba-tiba Sanghyuk merasa sangat mual dan ia mencoba menahannya. Darah mengalir keluar dari balik jari-jarinya yang menutup mulutnya. Sirosis hati. Pada hari yang sama Namjoo divonis kanker hati, dirinya juga divonis sirosis hati.

Untuk yang terakhir kali ia melihat wajah Namjoo. Wajah cantik yang selama tujuh tahun menemaninya. Sanghyuk tersenyum ketika kejadian semasa hidupnya berputar bagai film di bayangannya. Kemudian film itu selesai seiring hembusan napas terakhirnya.

 

***

 

“Aku benci pelajaran kimia! Mengapa susah sekali, sih?!”

“Itu karena kau tidak pernah belajar!”

“Aku tidak suka. Bagaimana aku mau belajar kalau suka pun tidak.”

“Mulai sekarang kau harus rajin belajar. Kau bilang kau ingin menikah denganku? Aku tidak ingin mempunyai istri yang bodoh!”

“Setidaknya aku pintar di pelajaran matematika.”

“Dasar, jelek.”

“Sanghyuk.”

“Apa?”

“Aku sudah membayangkan kalau kita menikah nanti. Kau dan aku akan tinggal di sebuah rumah yang tidak begitu besar tetapi dengan halaman yang luas, belanja kebutuhan bulanan bersama, makan malam bersama setiap hari, kewalahan menenangkan anak kita yang sedang menangis, dan tentunya kita akan tua bersama.”

“Hei hei, kita masih sekolah ya ampun.”

“Memang salah kalau aku membayangkannya? Itu artinya aku serius denganmu!”

“Hahaha iya iya.”

“Apakah itu mungkin, Sanghyuk? Kira-kira kapan ya?”

“Tentu saja. Mungkin sekitar tujuh tahun yang akan datang?”

 

TAMAT

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
mochaccino #1
Chapter 1: baru pertama kali baca ff namjoo sanghyuk udah bikin banjir aja ... :"
keren, author ; v ;
ShortLee
#2
Chapter 1: baru kali ini aku liat ff namjoo sanghyuk yang endingnya sadis begini (?) :')
soalnya kadang aku ngerasa mereka itu cuma cocok di rom-com aja hehehe tapi tetep kok ff ini bagus aku cuma bingung aja Sanghyuk bisa nutupin sirosis hatinya selama itu :'((((
dsytw09 #3
Chapter 1: keren ._. aku baru sadar ternyata joohyuk bisa jadi pasangan yg cute ._. angst nya dapet banget ini T.T
keren deh pokoknya :D besok besok cast mereka lagi tapi yang happy ending gitu kkk. udah ah :D
fighting! ^^