Destiny

Destiny
Please Subscribe to read the full chapter

Aku tidak akan pernah berhenti bicara soal takdir ketika mereka menyebutkan namamu. Bagiku kau adalah takdir. Sesuatu yang dikirim dari Yang Maha Kuasa untukku agar aku bisa lebih mencintai diriku seperti bagaimana kau mencintaiku. Tak apa, walaupun waktu yang Tuhan berikan untuk kita bersama lebih sedikit dibandingkan waktu untukku menerka mengapa Ia mengambilmu dariku. Ya, pertanyaan yang selalu disampaikan para pujangga cinta saat mereka dipisahkan oleh orang yang mereka cintai. Kenapa kita dipertemukan, walau akhirnya kita tidak bersama?

Setangkai bunga mawar merah kugenggam erat, meski beberapa durinya yang tidak sempat terpotong membuat tanganku ngilu. Aku datang ke tempat dimana kau tidur untuk selamanya. Danau dekat panti asuhan dimana kau besar, di sana kutebar sisa-sisa kehidupan yang kau tinggalkan untukku. Aku bahkan ingat bagaimana orang menatapku saat aku menangisi kepergianmu. Bagaimana sedikit demi sedikit sisa-sisa hidupmu kutebar di atas permukaan air, bagaimana air menelanmu bulat-bulat, bagaimana angina tak mau kalah meniupmu jauh.

“Aku ingin kau bahagia”,katamu.

Aku takut lupa bagaimana bahagia, karena rasanya semua runtuh saat kau pergi. Karena bahagia buatku adalah bersamamu, tapi kau pergi selamanya. Aku tidak mau menangis karena aku takut kau kecewa. Tapi bagaimana? Kadang ada sesuatu yang tidak bisa aku kendalikan, salah satunya bagaimana aku selalu rindu padamu dan bagaimana air mata diam-diam jatuh.

Ingat bagaimana kita pertama kali bertemu? Saat melihatmu pertama kali, aku tahu kalau kau adalah takdir. Oh ya, satu lagi yang tidak bisa aku kendalikan. Bagaimana perasaanku tumbuh diam-diam sampai aku tidak sadar bahwa bahagiamu adalah utama sedangkan bahagiaku tidak jadi penting. Namun kau marah, kau bilang semua orang berhak bahagia, bahkan aku. Aku yang sebelum bertemu denganmu tidak tahu bahagia itu apa, dan bagaimana.

“Semua orang berhak bahagia, bahkan di saat mereka terpuruk”. Ajaib, bahkan kau tau bahwa aku sudah terlalu lama terpuruk. Bagaimana bisa ketika dunia mengkhianatiku, kau masih berdiri tegar di depanku. Menggapaiku yang jatuh dengan kedua tanganmu. Tuhan, apa ini yang mereka bilang malaikat?

Kau memang malaikat, dan karena itu kau harus kembali ke pangkuan-Nya. Leukimia stadium empat, waktu tinggal enam bulan. Mereka bercanda, kan? Enam bulan? Bagaimana bisa kita bahagia saat Tuhan hanya

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
mondchan
#1
Chapter 1: dan bias ku pun mati ....