Stupid Circumstance

Stupid Circumstance

Siang pertama di musim dingin. Angin berembus cukup kencang meniup epidermis kulit setiap insan yang tertutup mantel tebal. Cukup membuat bulu kuduk meremang meskipun salju belum turun menyapu bumi. Chaejin mengalungkan syal cokelat di leher setelah selesai dengan setelan rangkap tiga miliknya. Tak lupa sepasang boots hitam yang melekat di kaki dan sebuah headphone berwarna senada yang melindungi gendang telinganya dari umpatan orang-orang Rusia karena hampir mati membeku di jalanan. Setengah hari ini berlalu begitu suntuk, Chaejin memutuskan untuk berjalan-jalan, entah sampai dimana kakinya berhenti melangkah.

.

.

.

Chaejin sampai di halte bus terdekat. Ia mengambil tempat di paling ujung dan menyandarkan punggung serta kepalanya pada sisi halte. Setidaknya, disini tak seriuh di jalanan. Pikirnya.

 

Musik ballad masih mengalun lembut, hingga tak berapa lama sepasang remaja blondeyang tengah kasmaran di seberang sana menarik perhatiannya. Chaejin mengamati setiap detil gerakan si pria saat memasangkan syal untuk gadisnya, menjaga agar tubuh si gadis tetap hangat. Chaejin tersenyum tipis, adegan barusan membuatnya teringat akan kenangan yang sama, yang telah ia tutup rapat-rapat beberapa tahun silam.

 

“Halte bus.. syal.. tersenyum malu-malu. Kesan pertama yang diberikan si bodoh itu.” Chaejin terkekeh pelan.

 

Bus pertama tiba bersamaan dengan bus lain yang menghampiri pasangan remaja di seberang jalan tadi. Tanpa ragu Chaejin melangkah masuk dan segera duduk pada deretan kursi paling belakang. Maniknya memandang kosong jalanan yang ramai-lancar semenjak pagi. Sesaat setelahnya, kedua kelopak mata Chaejin mengatup pelan, membawanya jauh kembali ke masa lalu. Saat dimana pria itu mengalungkan syal navimiliknya ke leher Chaejin. Ia dan si bodoh terjebak di dalam bus yang super sesak. Kala itu ia terpaksa harus berdiri karena tidak ada bangku yang tersisa. Dengan pegangan yang terbatas pula, ia harus berbagi dengan pemilik syal yang bertengger manis di lehernya. Chaejin direpotkan dengan keseimbangan tubuhnya yang buruk. Sesekali ia hampir terjatuh namun tangan itu dengan sigap menarik lengannya.

 

“Sentuhan pertama.. aku tidak akan pernah bisa lupa..” gumam Chaejin. Kenangan itu menggodanya, lagi.

.

.

Chaejin turun di halte pemberhentian ketiga saat mendapati sebuah toko ice cream terletak tak jauh dari sana. Kedua matanya berbinar ketika ia sampai tepat didepan toko yang tampak sepi itu. Sungguh, semangkuk ice cream ditengah musim dingin yang terasa merobek kulit memang terdengar gila. Namun bagi Chaejin, ice cream dalam musim apapun adalah yang terbaik.

 

Chaejin selesai dengan pesanannya. Semangkuk ice cream raspberry dengan topping cookies telah sampai dimejanya. Ia mulai menyuap sendok pertama dan seketika leleh memenuhi dinding-dinding mulut. Saat sebagian ice cream mulai meleleh didalam mangkuk, kenangan itu kembali terkuak tiba-tiba.

 

Chaejin meletakkan sendok dan kembali membayangkan bagaimana lucunya si bodoh itu saat menemaninya membeli ice cream ditengah hujan salju yang lebat. Pria itu selalu membiarkan ice cream miliknya meleleh seluruhnya kemudian baru melahapnya sampai habis. Sejak saat itu Chaejin mengerti bahwa makanan dan minuman dingin bukanlah hal yang cocok untuk si bodoh.

 

“Ice cream ini dingin sekali.”

 

“Dasar bodoh! Memakan ice cream yang sudah meleleh, kau tidak bisa menyebutnya ice cream. Itu adalah soup cream. Kkkk~”

 

“Kau yang bodoh! Ini adalah ice cream. Hanya saja sudah berubah bentuk.”

 

“Tidak terlihat seperti semangkuk ice cream. Itu soup cream!”

 

“Itu karena ice cream ini mencair.”

 

“Itu soup cream!”

 

“Ya! Chae Jinseok!”

 

Chaejin terkekeh saat mengingat bagaimana raut kesal milik pria itu saat ia meledeknya berkali-kali. Beberapa detik setelahnya, Chaejin kembali pada waktunya saat ini –berusaha mengabaikan kenangan itu sekali lagi. Ia pun beranjak meninggalkan toko dengan setengah porsi ice cream yang kini telah meleleh sempurna didalam mangkuknya.

.

.

.

Duapertiga hari telah Chaejin habiskan dengan berjalan di sepanjang pusat kota Moskow. Langkahnya terhenti di taman bermain yang sepi pengunjung dan duduk disalah satu ayunan guna melepas penat. Ia menengadahkan kepala, sore ini salju tak kunjung turun juga. Sejenak, udara dingin kembali menyergap. Meniup setiap inchi surainya yang hitam pekat khas Asia.

 

Kenangan itu lagi-lagi berputar bagai film tanpa suara, mengoyak dinding ketidakpedulian yang selama ini ia bangun dengan susah payah. Tangan mungil Chaejin memegang erat tali ayunan saat sesak kembali merayap di dadanya. Bulir yang menumpuk dipelupuk mata hampir merembes keluar. Ia teringat ketika si bodoh mendorong dengan kuat ayunan di taman kota  yang ia duduki dan mereka tertawa bersama. Saat senja turun di ufuk barat dan si bodoh menyatakan perasaan, menyudahi cinta dua sisi yang tak terungkap, mengubahnya menjadi satu perasaan manis dan membuat keduanya mabuk. Hingga saat ciuman pertama menjadi milik masing-masing dari mereka.

 

“Aku telah melangkah begitu jauh. Apakah kau merindukanku, hyung?”

 

Chaejin bermonolog sampai senja menjelma petang. Salju pertama akhirnya turun menerpa tubuhnya, membuat ia bergegas pulang ke rumah sebelum salju turun lebih lebat.

.

.

.

Sesampainya di rumah, Chaejin segera mengeringkan tubuhnya yang setengah basah oleh salju tipis. Beberapa kali ia hendak bersin, tapi tidak jadi. Sepertinya flu akan menemaninya sepanjang musim dingin nanti.

 

Chaejin melempar tubuh mungilnya ke sofa. Entah kenapa hari ini ia merasa benar-benar lelah. Terlebih, saat kenangan bersama si bodoh kembali menjebol pertahanannya. Setiap bagian tergambar dengan jelas, tidak ada celah untuk melarikan diri.

 

“Mengapa hal-hal yang kulalui hari ini mengingatkanku padamu? Mengapa mereka begitu kejam? Aku bahkan merasa sesak meskipun hanya untuk mengambil napas..” Chaejin menggumam. Tubuhnya merosot jatuh ke badan sofa sesaat setelah buliran kristal itu kembali luruh menganak-sungai dikedua pipinya, “Aku merindukanmu, hyung. Sangat...”

 

Manik itu kembali terpejam, membiarkan tangisnya semakin menjadi tanpa berniat menyekanya, “Seperti yang pernah kau katakan.. hanya denganmu, aku mencintai dengan sederhana, memercayai dengan sungguh-sungguh, mengabaikan akal sehat dan melawan rasa takut yang luar biasa. Meskipun untuk mengingat sosokmu terasa begitu menyakitkan, namun kenangan manis yang pernah kita lalui bersama, selamanya akan tetap terasa manis..” Chaejin tersenyum dalam tidurnya, “..Kim Seyong.”

 

 

*****

 

 

Suasana kelas begitu riuh. Para siswa sibuk bermain-main sedangkan para siswi sibuk menggosipkan katalog fashion yang baru rilis awal bulan ini. Seseorang siswa lain tengah memerhatikan siswa transfer yang duduk tiga bangku didepannya. Matanya hampir tak berkedip, enggan melewatkan sepersekian detik pun sosok manis yang menurutnya bahkan lebih cantik dari siswi-siswi yang ada disekolah ini. Hingga teman sebangku menepuk pundaknya, “Kau menyukai siswa pindahan itu? Demi neptunus! jangan bilang kau seorang.. hih..” siswa bernama Kang Junkyu itu bergidik.

 

“Ya! Kau gila? Aku terlalu dini untuk menjadi seorang –erk gay,” sang tertuduh memberikan pembelaan, “Hanya saja, aku bertemu dengannya di bus tadi pagi. Kupikir dia siswa dari sekolah lain yang tersesat.” Lanjutnya.

 

“Benarkah seperti itu?” Junkyu menginterupsi.

 

“Tentu saja!”

 

“Tapi sepanjang hari ini kau terus memerhatikannya. Dan kau tahu seperti apa caramu menatap punggungnya?” Junkyu menggantungkan kalimat, “Sungguh.. kau membuatku merinding, Seyong-ah. Hih~” refleks Junkyu menyilangkan kedua tangannya tepat didepan dada sembari menatap teman yang dipanggilnya Seyong penuh kegelian. Membuat pria berwajah stoic itu bernafsu untuk mendaratkan sebuah pukulan di puncak kepalanya.

 

“Jangan berbicara terlalu keras, Jerapah!”

 

Seyong melayangkan jitakannya, lagi.

 

“Ya! Aish.. berhenti membuat kepalaku membesar!” Junkyu mengerang kesakitan seraya mengusap puncak kepalanya yang terasa berdenyut itu. Sedetik kemudian ia berusaha membalas, namun kalah cepat oleh Seyong yang berhasil memukulnya lagi dan lagi, “Sialan!”

 

Sementara itu, tanpa mereka sadari, seseorang didepan sana tengah mendengarkan perbincangan keduanya dengan setia. Siswa pindahan bernama Chae Jinseok itu terlihat sedang memegang ujung syal navi yang tak lain adalah milik Seyong dan memamerkan senyum khasnya. Entahlah, saat mendengar Seyong dan Junkyu tengah membicarakannya, impuls kedua pipinya merona hebat, bak kepiting rebus yang matang sempurna.

 

“Memangnya seperti apa raut wajahnya ketika menatap punggungku? Aku jadi penasaran..” gumam Chaejin sembari terkekeh pelan.

 

Di hari lain, yang entah sejak kapan, Chaejin dan Seyong menjadi semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di perpustakaan sekolah, bolos pada jam olahraga, berangkat kebaktian Minggu ke gereja, atau bahkan, sekadar untuk membeli ice cream kesukaan Chaejin. Bagi Chaejin yang berkepribadian tertutup, tentu kedekatannya dengan Seyong merupakan hal yang luar biasa. Semester kelima ini ia sudah empat kali berpindah sekolah hanya karena sifatnya yang pendiam dan tak pandai bersosialisasi. Sebenarnya Chaejin merupakan siswa yang cerdas juga kritis, namun ia terlalu pemalu untuk menonjolkan diri. Di sekolahnya yang –mungkin- terakhir ini ia yakin bahwa ia sanggup bertahan sampai semester akhir, hingga waktu kelulusan tiba.

 

“Apa hyung sibuk hari ini?”

 

“Bukankah aku selalu punya waktu luang untukmu?”

 

Chaejin tersipu saat membaca pesan balasan dari Seyong. Oh, lihatlah, dia bahkan terlihat salah tingkah hanya karena sebuah pesan yang berisi tak lebih dari limapuluh karakter. Memang sih, sosok yang ia panggil ‘hyung’ itu selalu sempat saat Chaejin butuh. Tidak pernah mengatakan tidak, pun diksi lain yang mengisyaratkan penolakan.

 

“Baiklah. Aku akan menjemputmu pukul empat.”

 

Tak lebih dari satu menit, pesan balasan masuk menggetarkan ponsel pintar mlik Chaejin, “Tidak perlu, Jinseok-ah. Kita langsung bertemu di taman kota saja. Aku masih ada urusan dengan Jerapah yang suka mengekor ini kkkk~”

 

Chaejin terkekeh pelan. Tentu ia paham betul tentang siapa yang dimaksud Seyong dengan ‘Jerapah yang suka mengekor’, yap! Kang Junkyu! Manusia tinggi yang lebih terlihat seperti kembar siam-nya Kim Seyong ketimbang teman sebangku.

 

“Geurae.. jangan sampai terlambat, ya, Baka~”

 

Beberapa jam setelah mengirim pesan singkat, kini Chaejin telah sampai di taman kota yang tampak ramai. Terang saja, hari ini adalah akhir pekan. Untuk puluhan keluarga bertaraf ekonomi menengah kebawah, juga remaja seusia Chaejin yang mengandalkan sisa uang saku untuk pergi bersenang-senang, menghabiskan waktu di taman kota merupakan pilihan alternatif yang tepat untuk dompet mereka yang tidak terlalu tebal.

 

Berkali-kali Chaejin melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sekarang sudah lewat setengah jam dari perjanjian awal, namun pria Busan itu tak kunjung menemuinya. Sampai satu ice cream cone rasa vanilla muncul tepat dihadapannya, “Maaf membuatmu menunggu, bocah itu benar-benar menempel seperti lintah,” Seyong tersenyum seraya menyerahkan ice cream ke tangan Chaejin, “Ini untukmu. Anggap saja sebagai denda atas keterlambatanku,” Sambungnya.

 

Chaejin tersenyum simpul, “Aku menganggapnya sebagai bonus.”

 

Seyong kembali dibuat hanyut oleh sosok Chaejin yang tenang. Juga, kaus V-neck dan jeans selutut yang ia kenakan. Tanpa komando, tangannya yang usil mengacak surai hitam Chaejin. Dan berkat keisengannya itu, Chaejin terlihat berkali lipat lebih manis, imut, atau kata apapun yang pas untuk merefleksikan suatu keindahan, yang penuh sesak di pikiran Seyong hingga tak mampu ia lisankan.

 

“Kau manis...”

 

“Maaf? Apa?”

 

Seyong menggelengkan kepala, “Ani. Bukan apa-apa.”

 

“Tsk. Andai aku seorang indigo yang mampu membaca pikiran orang lain,” cibir Chaejin sembari menjilat ice creamnya.

 

“Jangan berandai-andai jika kau tahu hal itu mustahil terjadi,” Seyong menatap mata teduh itu, “Kenapa meminta bertemu? Apa sulit untukmu menahan rindu barang sehari saja?”

 

Chaejin bersumpah ingin menampar pria bermarga Kim ini hingga tabiatnya yang suka narsis hilang disapu angin. Chaejin sudah cukup tersiksa dengan ratusan kupu-kupu yang seolah beterbangan bebas didalam perutnya yang tak seberapa luas tatkala Seyong hadir dengan kalimat gombal andalannya.

 

“Sejak awal aku tidak meminta bertemu, aku hanya menanyakan apa hyung sibuk atau tidak.”

 

“Lalu, kenapa kau menungguku disini?”

 

Chaejin kalah telak. Bibirnya mendadak kelu tak mampu bersua. Pertanyaan Seyong ada benarnya juga, kalau tidak berniat untuk bertemu kenapa ia repot-repot menunggu seseorang yang suka telat seperti Seyong? Kalau tidak rindu lantas dengan apa ia harus menyebut perasaan yang diam-diam menyusup dan membuatnya tak fokus melakukan apapun?

 

“A-aku.. itu..” Chaejin berusaha menemukan istilah lain dan hasilnya nihil. Mungkin memang benar ia rindu, namun terlalu menggelikan jika pada akhirnya mengaku,“..aku ingin hyung mendorong ayunan ini untukku. Karena jika aku melakukannya sendiri, aku tidak yakin bisa mencapai sudut sembilan puluh derajat.”

 

Alasan pintar, atau terdengar konyol? Seyong bahkan terkikik ketika mendengarnya. Sementara Chaejin tak henti merutuki ‘bakat’nya yang tak pandai mengolah kata dibalik pokerface yang ia tunjukkan.

 

Seyong mengendikkan bahu, “Kkkk~ Baiklah, jika itu maumu.”

 

Seyong mengikuti permainan Chaejin dan mulai mendorong ayunan itu pelan. Semakin lama, frekuensinya bertambah cepat, hingga mengayun tepat membentuk sudut sembilan puluh derajat, Chaejin berteriak puas dengan sebuah contong roti dengan sedikit ice cream terangkat oleh tangan kanannya.

 

“Yaaiiy~”

 

Tanpa sadar, Seyong tertawa lepas saat mengamati tingkah Chaejin yang seperti anak kecil. Sore itu, tawa keduanya menguap begitu saja, bersamaan dengan ayunan yang semakin lambat mengayun, juga langit oranye yang merangkak naik –menyembunyikan matahari yang telah selesai dengan tugasnya. Sesaat setelahnya, Seyong mengambil suara guna mengusir canggung.

 

“Jinseok-ah..”

 

“Ya, hyung?”

 

“Aku tidak terlalu yakin ini adalah hal yang baik untuk kita atau tidak, tetapi...” Seyong terisap ragu sesaat, “..yang aku tahu, akhir-akhir ini aku memikirkanmu lebih, dan lebih.”

 

Chaejin terdiam. Entah kenapa, ia merasa senang saat mendengar bagian terakhir kalimat Seyong yang terpotong menjadi dua. Hingga pria stoic itu berlutut didepannya, ia masih setia menunggu Seyong menyelesaikan kalimat.

 

“Dan hal lain yang aku tahu... hanya denganmu, aku mencintai dengan sederhana, memercayai dengan sungguh-sungguh, mengabaikan akal sehat dan melawan rasa takut yang luar biasa.”

 

Seyong menatap lekat mata foxy itu. Sementara Chaejin masih mampu menahan diri. Bukankah belum saatnya ia melonjak bahagia? Bisa jadi, ini adalah salah satu candaan Seyong. Atau mungkin, Seyong sedang berlatih untuk perlombaan musikal yang akan ia ikuti bulan depan. Bisa jadi, kan?

 

“Huh? Apa hyung serius?”

 

“Apa aku terlihat sedang bercanda?” balas Seyong seraya meraih jemari Chaejin sebelum akhirnya menggenggamnya dengan erat.

 

“A-aku, aku juga me-“

 

Kalimat Chaejin terpotong saat bibir Seyong memagut bibirnya. Cukup lama, dua atau tiga kali Seyong melumat bibir bawah Chaejin, menggigitnya pelan, lalu melepasnya saat pasokan oksigen terasa mulai menipis.

 

“Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku,”

 

“Aku tahu, Baka..”

 

“Kalau begitu katakan jika kau mencintaiku juga,”

 

“Aku sudah mengatakannya,”

 

“Aku bahkan belum mendengarnya,”

 

“Itu karena hyung memotong sebelum aku selesai mengucapkannya, dan... mencuri ciuman pertamaku,”

 

“Ya! bagaimana mungkin kau menyebutku mencuri ciuman pertamamu sementara kau pun melakukan hal yang sama,”

 

“Mana aku tahu jika itu juga yang pertama untukmu,”

 

“Kalau begitu, cepat katakan jika kau mencintaiku. Dan aku akan membuat yang kedua untuk kita.”

 

“Ya! Kim Seyong! Byuntae!”

 

Langit senja selesai dengan tugasnya. Kini yang tersisa hanya bulan, pemilik tunggal langit yang tak terkira luasnya. Begitu pula dengan Seyong yang selesai dengan urusannya, kini ialah pemilik tunggal atas pria bermarga Chae itu.

 

Hari menjelma minggu, minggu menjelma bulan, hubungan itu tak berlangsung lama. Cinta yang selama ini Seyong agung-agungkan, yang selalu diucapkannya ketika bersama Chaejin, hanya sebatas di lisan saja. Rupanya, firasat buruk Chaejin dahulu adalah benar. Fakta bahwa Kim Seyong hanya mempermainkannya.

 

“Kau sungguh berkencan dengannya? Demi neptunus dan apapun yang kekal di dunia ini, kau benar-benar gila, Seyong-ah!”

 

Seyong menyunggingkan senyum tipis di salah satu sudut bibirnya. “Bukan Kim Seyong namanya jika tidak melakukan hal-hal gila,” senyum tipis itu menjelma menjadi suara ledakan tawa yang memenuhi toilet pria, “Sudah kubilang, kan, siswa asing itu memang seorang gay. Aku bahkan sudah mengetahuinya sejak hari pertama kami bertemu di halte bus. Kau tahu bagaimana caranya tersenyum saat itu?”

 

Seyong menghentikan kalimatnya lalu mengimitasi cara Chaejin tersenyum saat ia selesai mengalungkan syal miliknya, diakhiri dengan Junkyu yang memecah tawa sesaat setelahnya.

 

“Kau psikopat! Buahahahaha... aku bahkan hampir menangis karena terlalu banyak tertawa. Sialan kau, Kim!” Junkyu kembali dengan kalimat serapahnya lalu mengambil jeda sejenak, “Dan, soal ciuman itu, apa benar?”

 

Seyong memajukan bibir dan menganggukkan kepala dengan antusias. Sementara Junkyu kembali menunjukkan ekspresi kegelian seperti biasa. “Hih~ lalu sampai kapan kau melakukannya? Aku benar-benar merasa kasihan pada anak itu, bukankah sebentar lagi kita akan lulus? kkkk~”

 

“Sampai aku bosan, mungkin?”

 

Tanpa siapapun tahu, Chaejin menguping dibalik pintu toilet sembari meremas syal navi yang berada dalam genggamannya. Ia tidak mampu menahan bulir airmata itu untuk tidak merembes keluar. Kedua lututnya pun mendadak lemas. Ketakutan yang sejak awal ia abaikan, kini menghancurkannya dengan sempurna. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki untuk berdiri, Chaejin memutar knop pintu dan memasuki toilet tanpa memandang Seyong sedikitpun. Tangannya yang gemetar mengulurkan syal navi milik Seyong yang dulu pernah melingkar manis dilehernya.

 

“Aku hanya ingin mengembalikan ini..” Chaejin merunduk menyembunyikan tangis, “..terima kasih.”

 

Chaejin berbalik, melangkah mantap meskipun setengah terseok tanpa berniat untuk kembali. Sementara Seyong? Pria itu membatu karena ucapannya sendiri. Terbesit rasa penyesalan saat ia memandang punggung itu menjauh. Antara ingin mengejar, namun kakinya begitu sulit digerakkan. Juga, bibirnya mendadak kelu untuk sekadar memanggil nama Chaejin lirih.

 

Semenjak kejadian itu, Chaejin benar-benar menghilang.

 

 

*****

 

 

Chaejin terbangun saat merasakan seseorang tengah membopongnya menuju kamar dan menyelimuti tubuhnya yang dingin menggunakan selimut hingga sebatas leher. Saat maniknya perlahan membuka, sosok itu telah menghilang seiring cahaya lampu kamarnya yang mulai meredup. Mata Chaejin kembali mengatup. Membayangkan, jika saja saat itu ia berusaha menulikan telinga, menganggap apa yang diucapkan Seyong tidak pernah ada. Atau, kejadian itu mundur beberapa waktu. Setidaknya, akan ada lebih banyak hal manis yang ia bisa ia kenang, mungkin.

 

Pria bermata teduh itu menyeka airmatanya yang setengah mengering. Meskipun nyawanya belum utuh terkumpul, ia bergegas bangun dari ranjang dan berjalan menuju ruang tengah dengan gontai. Ia tersenyum ketika mendapati sosok blonde tengah sibuk menghangatkan diri di dekat perapian.

 

“Gunwoo hyung,” sosok blonde yang dipanggilnya Gunwoo itu menengok sebentar, lalu membalas dengan tatapan penuh cemas.

 

“Kau terbangun, Jin-ah? Apa tidurmu kurang nyenyak?” tanya Gunwoo sembari mengusap surai Chaejin yang kini telah duduk menyandarkan kepala dibahunya. Sesekali ia mengecup puncaknya, kemudian menyesap aroma memabukkan milik Chaejin yang terus terembus memenuhi kepala.

 

Selang beberapa detik, Chaejin tak menjawab dan hanya menggeleng pelan. Tangan mungilnya semakin mempererat pelukan pada pria keturunan Korea-Rusia itu. Sementara Gunwoo pun merapatkan jarak diantara keduanya, membiarkan kepala sang istri bebas menempel di dadanya yang bidang. “Tadi, kau menyebut namanya lagi. Menurut perhitunganku, sih, kau mengigau empat kali, enam kali, ah atau mungkin lebih dari itu..”

 

“Pasti lebih,” sergah Chaejin seraya memainkan ujung kaus Gunwoo, “Hyung kan payah kalau disuruh berhitung, bukankah begitu?”

 

Gunwoo terkekeh, mengangguk pertanda setuju dengan pernyataan istrinya, “Yeah.. kau benar,” lalu, keduanya tertawa, hanya sebentar, sampai Gunwoo dengan sabar kembali bertanya, “Apa yang kau temukan hari ini sampai-sampai kau memimpikannya lagi? Hm?”

 

Chaejin bungkam sejenak.

Sedetik kemudian, sisi lainnya yang tak pernah terkuak pun muncul –hanya saat bersama Gunwoo. Chaejin yang gemar bercerita, yang berubah menjadi lebih bawel ketimbang ahjumma maniak fashion, yang sulit dihentikan apabila mulai berbicara. Chaejin yang hobi menggesekkan kepalanya di dada Gunwoo, yang bersikap manja melebihi balita ketika sang suami baru menginjakkan kaki sepulang kerja. Sisi lain yang membuat Gunwoo jatuh cinta setiap harinya.

 

“..maafkan aku.”

 

Selalu. Kata maaf terucap dengan tulus dari bibir plump milik Chaejin tatkala selesai bercerita tentang kenangan cinta pertama. Kalau sudah seperti itu, Gunwoo segera menarik pinggang sang istri hingga duduk dipangkuannya, “Hei, sayang, dengarkan aku..” Gunwoo berbisik, sesekali mencium tengkuk Chaejin.

 

“Aku tidak pernah marah saat kau merindukan masa lalumu, aku juga tidak menuntutmu untuk cepat-cepat melupakannya. Hanya saja, aku ingin kau mengerti dua hal, bahwa masa lalu tidak akan pernah bisa diubah. Tetapi, kau bisa belajar dari masa lalu untuk mengubah masa depanmu. Pun, kau boleh bermain-main dengan kenangan. Tetapi, jangan biarkan kenangan itu menyeretmu dan membuatmu terperosok pada lubang yang sama. Arrachi?”

 

Chaejin mengangguk paham.

 

Beberapa kali Chaejin tampak menguap, tak mampu membendung sisa kantuk yang mengganggunya sedari tadi. Beruntung, ada Gunwoo yang setia menenangkannya, menempatkannya pada posisi senyaman mungkin acapkali ia merasa lelah.

 

“Aku mencintaimu..”

 

“Terima kasih, hyung. Aku sedang berusaha untuk itu..”

 

Malam itu, salju lebat menerpa, memenuhi sepanjang jalan hingga tertutup seluruhnya. Malam itu, beberapa meter dari perapian, kembali Gunwoo menyalurkan kehangatan untuk Chaejin yang membeku oleh kenangan. Malam itu, untuk kesekian kalinya, Gunwoo merengkuh tubuh mungil itu dan menenangkannya dengan tabah. Malam itu, Chaejin tertidur pulas dipangkuan Gunwoo, saat cerita masa lalunya telah habis, seperti biasanya.

 

 

FIN

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet