Leaving on a Jet Plane

Leaving on a Jet Plane

(Cho Hee Young's PoV)

He taught me how to love, but not how to stop

Aku berada dalam sebuah lubang yang sangat dalam. Gelap, aku hanya mendapati kegelapan menemaniku. Lubang itu bagaikan sumur yang sudah tak berair, yang ada hanyalah tanah gersang tempatku berpijak. Aku merasa buta, bisu, dan tuli sekaligus. Buta karena tak dapat melihat apapun kecuali cahaya teramat kecil di atas sana. Aku pun merasa bisu karena ketika kuberteriak minta tolong tak ada satu pun suara menyahut dari atas sana. Tempat ini terlalu sunyi hingga saraf auditoriku terasa lumpuh. Aku berjalan mengelilingi lubang itu dan tidak mendapatkan apapun kecuali cahaya kecil di atas sana yang semakin menjauh tatkala jemariku menyentuh dinding.

Aku tak bisa menahan diri untuk tak menyentuh dinding karena aku menemukan foto lamaku dengan Hyun Su ketika kami kuliah dulu. Saat aku menyentuh foto tersebut, cahaya kecil di atasku semakin menjauh dan ruangan itu semakin gelap. Kemudian fotonya menghilang digantikan foto lainnya, dan begitulah seterusnya. Nyaris aku megap-megap ditelan kegelapan. Jantungku kini berdetak lebih kencang. Perutku bergejolak hebat. Sungguh, aku ingin memuntahkan sesuatu dari dalam perutku.

Samar-samar terdengar suara seseorang dari atas sana. Telingaku tidak yakin apakah suara itu benar-benar nyata atau hanya sekedar ilusiku semata. Namun, hatiku mengatakan bahwa suara itu benar-benar nyata. Suara seorang pria selembut beledu yang menyebut namaku. Suara suamiku—Ham Hyun Su. Aku berusaha tidak menyentuh foto-foto di dinding agar Hyun Su bisa melihatku dari atas sana. Aku berteriak, memanggil namanya.

Hee Young….

Sepertinya Hyun Su tidak mendengar teriakanku. Aku yakin kalau dia masih di sana dan secepat mungkin akan menyelamatkanku dari lubang pengap ini. Aku berteriak lagi memanggilnya, kali ini dengan suara yang lebih kencang.

Hee Young….

Suara Hyun Su tiba-tiba memelan dan menghilang seketika. Cahaya kecil di atas sana kini lenyap bersamaan dengan suara terakhir Hyun Su. Jantungku makin berdetak kencang. Kurasakan bulir-bulir air mata terjun bebas mengenai pipiku.

"Hyun Su jangan berhenti bicara. Hyun Su aku di sini." Aku berteriak sekencang-kencangnya yang bisa kulakukan.

"Yeobo? Yeobo? Apa kau—Cho Hee Young, apa kau baik-baik saja?"

Perlahan kubuka kelopak mataku. Beberapa kali aku mengerjap untuk menormalkan pandanganku yang sebelumnya buram. "Hyun Su-yah." Gumamku seraya langsung memeluknya—mendekapnya agar ia tidak pernah meninggalkanku seperti dalam mimpiku.

Hyun Su merapihkan helai-helai rambut yang menyatu dengan keringat di keningku. Ia menatapku lekat-lekat. Aku bisa merasakan hatiku yang semula bergejolak kini mulai tenang, hanya dengan melihat kedua matanya dan lekukan bibirnya yang kini menyunggingkan senyuman. Hyun Su masih menatapku dalam diam seolah dia sedang menyelami pikiranku. Tak sedetik pun aku mengalihkan pandanganku dari kedua iris matanya yang berwarna coklat tua.

"Kau mimpi buruk, ya?"

Aku mengangguk lalu memeluknya lagi.

"Aku di sini, tidak akan pergi kemanapun." Ujarnya berhasil membaca pikiranku. Hyun Su mengecup keningku dengan lembut kemudian bangkit dan berjalan menuju dapur.

..OoO…

(Ham Hyun Su's PoV)

Tell me that you'll wait for me. Hold me like you never let me go.

Kugenggam tangan istriku, menyamakan langkah kami menyusuri jalan utama kota Seoul yang indah pada malam hari. Aku menyukainya. Aku menyukai suasana malam yang tenang dengan lampu-lampu berwarna menghiasi sudut jalan. Terlebih, orang yang kucinta bersamaku saat ini. Kami sering menghabiskan waktu dengan cara seperti ini. Melebur bersama gelapnya langit malam yang diterangi gemerlap bintang-bintang. Rasanya seperti kau tidak menginginkan kebahagiaan yang lebih lagi dari ini. Aku merasa diriku sudah lengkap dengan kehadirannya.

Kurasa aku sudah bahagia dengan kehidupanku sekarang. Malah, kupikir bahagia yang kurasakan kali ini sedikit keterlaluan. Walau begitu aku tetap menyukainya. Kini saatnya aku melepaskan kebahagiaan itu sementara waktu. Hanya sementara waktu, karena aku tidak akan pernah membiarkan siapapun merenggut kebahagiaan kami. Bagaimanapun juga ini hanya soal waktu. Salahku waktu itu menunda wajib militer meski aku punya berbagai pertimbangan kuat.

Salah satunya tentu saja masalah biaya. Ibuku menyarankan agar aku segera ikut wajib militer sebelum aku menikah. Aku tidak mengindahkannya saat itu karena aku baru saja diterima di Universitas Nasional Seoul lewat jalur beasiswa dimana artinya semua biaya ditanggung pemerintah. Pemerintah mungkin mengizinkan mahasiswanya mengambil cuti untuk mengikuti wajib militer. Aku mengecualikan diriku dalam kasus ini. Aku tidak memiliki siapapun kecuali istriku sekarang. Dulu aku adalah mahasiswa tidak beduit, berasal dari keluarga miskin dan sangat mustahil bagiku menunda beasiswa yang hanya kudapatkan sekali seumur hidup Jadi tahun ini aku akan melunasi hutangku pada negara.

"Ini malam terakhir kita."

Aku mengerutkan keningku. "Tidak, ini bukan malam terakhir kita. Kenapa kau berpikir begitu?"

Hee Young menghela napas lalu mendongak, menatapku. "Tidak apa-apa."

Aku mengangguk. Aku mengerti perpisahan ini terasa berat baginya, namun bukan berarti bagiku tidak sama beratnya dengan dia. Aku merasakan yang dia rasakan, itu jelas. Dia khawatir padaku, aku pun khawatir padanya. Hanya saja tidak kutunjukkan padanya, yang bisa kulakukan sekarang adalah menggenggam erat jemari lentiknya.

Kami berjalan melewati area pertokoan. Aku melihat sebuah gitar berwarna cokelat muda tergantung di toko musik. Mataku langsung tertaut pada gitar tersebut. Aku lekas menarik lengan Hee Young masuk ke toko musik tersebut. Hee Young sama sekali tidak bertanya, ia menurut saja padaku ketika aku membeli gitar tadi.

"Yeobo aku lapar. Ayo cari makan dulu."

Aku mengangguk lalu merangkulnya sembari melantunkan lagu favorit kami. 7 Years of Love.


Dia tidak berani menatapku. Hee Young sengaja mengalihkan pandangannya dari kedua mataku. Aku tahu alasannya semata-mata karena ia tidak ingin menambah kepedihan di hatinya dengan menatapku. Berkali-kali kukatakan padanya bahwa ini baru awal dari semuanya. Kuhela napasku perlahan sembari memutar-mutar sendok pada capucinoku. Kami berada di sebuah kedai minuman.

"Kalau kau seperti ini terus bagaimana bisa aku meninggalkanmu." Akhirnya aku berbicara duluan. Hee Young terlihat agak tersentak dengan ucapanku. Ia mengangkat kepalanya lalu berusaha terlihat sibuk dengan mengotak-atik handphonenya.

"Aku tidak apa-apa. Mungkin kalau aku kesepian aku akan mengunjungi Eomma. Kami jarang bertemu belakangan ini."

"Bukan jarang tapi nyaris tidak pernah gara-gara aku." Dengusku. Memikirkan bagaimana Hee Young tinggal dengan ibu mertuaku membuat perasaanku sedikit jengkel. Bukan, aku bukannya jengkel terhadap ibu mertuaku tapi terhadap Hee Young yang mungkin akan membawa-bawa masalah restu lagi.

"Bukan gara-gara kau tapi gara-gara aku yang dilahirkan oleh—"

"Hee Young-ah, jaga dirimu baik-baik." Potongku dengan segera. Dia bisa menceracau panjang lebar tentang betapa dia tidak beruntung dilahirkan di keluarganya yang sekarang. Aku tidak ingin dia membenci keluarganya sendiri karena aku.

Arloji yang terpasang di tangan kiriku kini menunjukkan pukul 7.40. Aku melirik Hee Young. Wajahnya memerah—bahkan air matanya telah tumpah membasahi pipi yang biasanya merona merah ketika aku menggenggam tangannya.

"Kau yakin tidak ingin mengantarku sampai kantor angkatan darat?"

Pukul 8.00 nanti aku harus sudah berada di markasku nanti. Aku memilih angkatan darat karena aku lebih suka berpijak pada tanah. Hee Young sepertinya jengkel dengan keberangkatanku hingga kemarin malam ia bilang tidak ingin mengantarku sampai markas. Aku hanya mengangguk setuju saja, toh aku yakin dia tidak benar-benar berniat seperti itu. Namun dugaanku salah, kini dia benar-benar menggelengkan kepalanya menanggapi ajanku. Dia benar-benar marah dengan linangan air mata di wajahnya.

…OoO…

(Cho Hee Young's PoV)

When you left, I lost part of me

Seberapa keras pun usahaku untuk meyakinkan dia akan baik-baik saja di sana dengan menyibukkan diri di berbagai kegiatan tidak penting ternyata sama sekali tidak berhasil. Tiap jam ketika waktuku senggang sehabis mengajar kelas musik untuk anak-anak SD, aku memikirkan keadaannya di sana. Aku tahu mungkin perasaan ini berlebihan tapi bukan salahku kalau aku terlalu mencintainya. Salahnya yang membuatku terlalu mencintainya, kan?

Hari ini tepat 6 bulan kepergiannya mengikuti wajib militer sialan itu. Aku bisa bertahan selama 6 bulan tanpanya mungkin memecahkan rekor terlamaku sebelum menikah dulu yaitu 3 bulan. Meski dengan begini aku nyaris jual jiwa saking merindukannya. Hampir sebulan tiga kali kami bertukar surat. Tadinya kusarankan setiap minggu mengirim suratnya, tapi dia bilang komandannya hanya mengizinkan maksimal 3 surat setiap bulan. Benar-benar membuatku sinting. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya di sana apakah dia akan baik-baik saja. Bagaimana hari-hari latihannya. Apakah dia mampu berteman dengan baik. Bahkan kalau perlu ingin kutanya apakah ada yang memikatnya (meski kutahu ia akan tertawa ketika membaca pertanyaan itu dan menjawab bahwa hanya ada pria di sekelilingnya sejauh mata memandang).

6 bulan yang melelahkan. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk negaraku. Hawa perang mulai menyengat Korea Selatan dan Korea Utara. Beberapa roket Korea Utara telah ditembakkan ke perbatasan Korea Selatan, dan itu membuatku sangat takut. Untungnya Hyun Su tidak ditempatkan di daerah latihan dekat perbatasan, begitu kabar dari surat terakhirnya.

Musim dingin hampir menapaki Seoul ditandai dengan orang-orang yang mulai memakai mantel tebal. Tak ubahnya seperti yang kukenakan saat ini. Mantel buluku yang dibelikan Hyun Su tahun lalu kini melekat di tubuhku. Aku dalam perjalanan menuju distrik Gangbuk, tempat ibuku tinggal. Kulirik orang-orang di sekelilingku. Rata-rata mereka sudah paruh baya ke atas. Hanya ada segelintir anak muda yang bisa dihitung dengan jari.

Eomma menjadi sering meneleponku semenjak Hyun Su pergi. Entah mengapa dengan bodohnya aku mengharapkan sedikit titik terang antara hubungan kami dengannya. Aku nyaris terjengkang pertama kali menerima telepon darinya sejak hari pernikahanku dengan Hyun Su. Mulanya, kupikir dia akan mengabarkan kematian Appa tapi ternyata dia menanyakan kabarku. Yah, meksi dia sama sekali tidak pernah membawa-bawa nama Hyun Su dalam pembicaraan kami tapi hatiku merasa senang. Seolah lubang yang ada di hatiku tertutup oleh Eomma.

"Gangbuk-gu, sudah sampai."

Aku tersadar dari lamunanku lalu segera beranjak turun. Suasana tanah kelahiranku ini sudah jauh berbeda. Dulu masih banyak pohon-pohon tinggi dan sekarang pohon-pohon itu tergantikan oleh gedung-gedung bertingkat. Hanya butuh jalan kaki beberapa meter untuk sampai ke rumah Eomma.

Handphoneku berdering.

"Yoboseyo? Eomma, ye ye aku sudah hampir sampai."

Klik. Kututup handphoneku. Aku semakin penasaran untuk bertemu dengan Eomma. Jantungku berdebar-debar ketika aku sampai di depan rumahnya yang terhalang tembok tinggi berwarna putih gading dan pepohonan. Aku mencoba mengingat-ingat harum krisan-krisan berwarna indah yang ada di taman atau bunyi ayunan yang tiap hari kunaiki bersama kakak lelakiku, Ji Wook. Rasanya 3 tahun adalah waktu yang cukup lama bagiku tidak bertemu dengan kakakku.

Kubawa kakiku melangkah menuju post satpam di sana. Hati kecilku penasaran, akankah mereka mengenaliku setelah 3 tahun lamanya tidak pernah menginjakkan kakiku di tempat ini lagi. Ya, aku memang kabur dari rumah tiga tahun yang lalu karena tekanan luar biasa yang mereka berikan padaku. Aku tidak suka dikekang, aku ingin kebebasan. Aku ingin hakku sebagai manusia dipenuhi terlepas dari kewajibanku. Saat aku mengirimkan undangan pernikahanku pada Eomma, tidak pernah terpikirkan olehku bahwa dia akan datang.

"Jeogiyo. Ahjussi, masih ingatkan padaku?" Ujarku.

Satpam itu—yang kukenal sebagai satpam Jang—mengerutkan keningnya sejenak. Ia memandangku dari atas ke bawah lalu memekik girang seolah menemukan anaknya yang hilang.

"Aigooo, Nona! Sudah lama sekali tidak bertemu." Satpam Jang spontan memelukku. Aku hanya tersenyum sambil membayangkan bagaimana reaksi Eomma begitu tahu anaknya dipeluk oleh seorang satpam. Kalau dulu mungkin ia akan memecat satpam itu, namun sepertinya Eomma mengalami banyak perubahan.

"Ya memang sudah lama. Bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Aigo, kau cantik sekali Nona. Aku baik-baik saja meski Nyonya Besar masih belum berubah."

Aku terhenyuk mendengarnya. Katanya, Eomma belum berubah. "Ah begitukah."

"Oh iya, omong-omong pilihan Nyonya Besar memang top deh." Satpam Jang mengerlingkan matanya sebelum memencet tombol berwarna hijau untuk membuka gerbang. Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya sampai pada akhirnya begitu aku masuk ke rumah, Eomma menyambutku dengan seorang pria yang setahun atau dua tahun lebih tua dariku.

…OoO…

(Ham Hyun Su's PoV)

Cause I'm leaving on a jet plane. Don't know when I'll be back again.

Alarm bising itu menderu lagi memekakan telinga kami. Akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur nyenyak di camp angkatan darat. Beberapa orang temanku memaki alarm pagi yang telah menganggu alam bawah sadar mereka. Aku sendiri hanya berguling ke samping dan menutupi kepalaku dengan bantal. Perasaanku benar-benar tidak enak. Setiap pagi yang kulihat hanyalah orang-orang asing yang tidak mengenalku dengan baik. Bukan seperti yang kuharapkan, Hee Young. Selama 6 bulan di sini seharusnya aku bisa lebih membiasakan diri tanpa Hee Young. Namun aku salah, dan dia benar bahwa ini tidak selamanya berjalan mulus seperti yang kuharapkan.

"Hyun Su-yah! Bangun! Bangun! Cepat mandi dan berlatih lagi. Sekarang sudah jam setengah 4 pagi! Ayolah!"

Itu adalah Kim Jung Won, teman seperjuanganku di camp ini. Dia berambut cepak, matanya bulat besar dan menurutku untuk ukuran seorang pria dia terlalu maskulin. Jung Won berasal dari Nowon, ia seumuran denganku tapi sudah punya seorang anak lelaki yang berusia 2 tahun. Pria itu bekerja sebagai pekerja kantoran biasa dengan gaji sedikit di atas rata-rata. Istri dan anaknya kini tinggal bersama ayah dan ibu Jung Won di Incheon.

Aku bergeming ketika ia menarik bantal yang menutupi kepalaku.

"Aigo, bagaimana bisa kita menang perang kalau prajuritnya seperti dirimu. Ya! Hyun Su-yah bangun!" Kali ini Jung Won melemparkan bantal tepat di wajahku. Aku mendengus dan bangun. Ia menyeringai lalu menepuk pundakku sambil menggumamkan sesuatu. Aku tidak begitu peduli dengan apa yang ia gumamkan. Selanjutnya aku bergegas mengambil peralatan mandiku. Di depanku para peserta wamil lain sibuk membicarakanroket yang menghantam perbatasan. Beberapa kali aku mendengar kata perang disebut-sebut. Aku bergidik mendengarnya. Tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika negara kami berperang melawan negara tetangga itu. Tapi sebagai anak bangsa, aku harus siap menerima keadaan apapun demi membela negaraku ini.

Tiba-tiba alarm berdering lagi. Alarm kali ini berbeda dengan alarm sebelumnya. Semua orang terlihat heran, beberapa di antaranya malah gelisah. Aku langsung berputar, kembali ke dalam camp begitupun dengan yang lainnya. Kami semua berbondong-bondong masuk ke dalam untuk mendengarkan apa yang sedang terjadi. Kulirik Jung Won, ia nampak siaga.

"Perhatian! Kepada seluruh calon prajurit dengarkan pesan ini baik-baik." Suara berat itu bergaung dari speaker yang selama ini menjadi acuan kami dalam bertindak selain perintah komandan.

"Perang telah pecah. Musuh di depan mata melancarkan serangannya. Kita tidak bisa tinggal diam di sini hanya berlatih dan berlatih tanpa ikut ambil alih. Semua militer baik itu tentara maupun polisi telah disatukan. Semua pria yang pernah mengikuti wamil dan masih dalam kriteria prajurit telah diberitahukan untuk kembali ke camp-nya terdahulu. Dan kini, semua pesera wamil tahun ini diwajibkan mengikuti latihan gabungan sebelum dikirim ke medan di beberapa perbatasan. Yakinkan diri kalian kalau kalian mampu menghalau musuh demi negara tercinta, demi keluarga kalian, demi istri dan anak-anak kalian yang menunggu di rumah. Jangan takut akan kematian karena kalian akan menjadi pahlawan yang namanya abadi terkenang oleh zaman. Kami memberi waktu 3 hari kepada kalian untuk berpamitan pada keluarga. Pergunakan 72 jam tersebut sebaik-baiknya."

Hatiku bergetar mendengar pengumuman itu. Tidak, bukan hatiku saja yang bergetar tapi seluruh badanku merasakan guncangan yang hebat. Baru beberapa detik yang lalu aku memikirkan tentang perang dan kini hal itu nyata di depan mataku. Peserta wamil lain tak ubahnya denganku, bergetar, terhenyak, bahkan Jung Won sendiri yang selama ini terkenal dengan kedisiplinannya malah menangis.

Hanya ada satu nama yang dalam pikiranku saat ini. Cho Hee Young


Aku berdiri di seberang gedung apartemen kami. Di bahuku tersampir tas besar yang memuat pakaian-pakaianku. Aku berdiam, memandang salah satu jendela di lantai 11—tempat tinggalku dan Hee Young. Kupejamkan mataku dan membayangkan apa yang sedang ia lakukan. Ia sedang duduk memainkan keyboard yang ia miliki sejak kuliah dulu. Lantunan nada-nada indah keluar dari mulutnya bersamaan dengan jemarinya yang menari indah di atas tuts keyboard. Kini bayangan itu menghilang digantikan oleh Hee Young yang menggunakan celemek dan sedang memasak sembari mendendangkan lagu favoritnya. Bayangan terakhir yang sempat melintas di benakku adalah Hee Young yang sedang memegang remot TV. Air matanya membasahi pipi saat melihat berita mengenai perang di depan mata.

Perlahan aku menaiki tangga menuju lantai 11. Lift di lantai dasar tidak berfungsi dan para penghuni apartemen ini harus menggunakan lift di lantai 3 kalau tidak ingin bermandikan keringat menggunakan tangga. Di dalam lift hanya ada aku dan seorang anak perempuan yang sepertinya masih SMP. Gadis itu menggunakan earphone di telinganya sambil melantunkan sebuah lagu. Sama sekali tidak terlihat rasa takut atau khawatir atas kabar perang yang diberitakan secara besar-besaran hari ini. Ah, mungkin dia hanya sedang menghibur dirinya saja agar tidak terlalut dalam ketakutan luar biasa itu.

Gadis SMP itu berhenti di lantai 7. Pintu lift kembali tertutup dan kini aku sendirian. Kucoba mengatur kalimat untuk diucapkan kepada Hee Young nanti. Sebisa mungkin aku harus meyakinkannya bahwa keadaan benar-benar sedang kacau. Pintu lift terbuka. Aku bergegas menuju apartemen kami yang berada di ujung. Rasanya telah lama aku tidak menginjakkan kakiku di rumahku sendiri. Tidak ada yang berubah dari tempat ini, kucing-kucing liar masih suka berkeliaran dan membuat gaduh lantai 11.

Kutarik kenop pintu apartemen kami tanpa membunyikan belnya terlebih dahulu. Begitu pintu terbuka, aku melihat Hee Young sedang tertidur di sofa. TV masih menyala dan makanan di atas meja makan sudah siap. Sepertinya ia sudah mengantisipasi kedatanganku. Aku menurunkan tasku lalu beralih padanya. Kubenarkan letak kepalanya sampai akhirnya ia terbangun dan menyentuh wajahku dengan gemetar.

"Kau akan pergi. Kau tidak boleh pergi."

Dan air matanya pun tumpah. "Yeobo. Aku tidak akan pergi, aku akan kembali. Tenanglah dulu."


Aku terkejut di hari pertama kedatanganku. Setelah isak tangis Hee Young, ia menculikku sebelum tenggat waktuku habis. Aku telah melalui tiga hari jatahku bersama Hee Young. Kami melakukan apapun yang belum pernah kami lakukan sebelumnya. Mengunjungi Pulau Jeju dan Disneyland di Tokyo dalam dua malam. Kami pun melakukan hal-hal gila yang memacu adrenalin. Menonton konser salah satu boyband yang sama sekali tidak kami sukai dan paradigling di hari yang sama. Aku merasa diriku kembali menjadi muda dimana semua kenakalan yang kulakukan kembali terulang.

Hari ini kami kembali ke apartemen gubuk kami. Hee Young yang semula tidak menunjukkan lagi kesedihan dan kekhawatirannya di depanku, kini kembali bersikap seperti itu setelah kami pergi ke Gangbuk-du untuk meminta restu pada mertuaku. Keluarga kami satu-satunya. Ketika kami telah sampai di depan rumahnya, hanya terdengar makian dan cercaan yang keluar dari mulut ibu mertuaku.

Biarkan saja sampah itu mati dalam perang….

Bangkai itu memang sudah seharusnya menjadi bangkai, pergilah dari rumahku! Demi leluhurku, jangan pernah menunjukkan batang hidungmu kalau kau bersamanya, Cho Hee Young!

Aku adalah sampah. Aku adalah bangkai. Hari itu aku tersadar dari mimpi yang tidak akan pernah terjadi. Aku baru menyadari bahwa ibu mertuaku benar-benar membenciku hingga ia bersumpah demi leluhurnya. Kadang aku tidak mengerti apa salahnya menjadi orang tak berada—miskin. Aku tidak pernah meminta dilahirkan dengan kondisi keuangan seperti itu. Aku tidak pernah minta dilahirkan untuk bertemu dengan Hee Young. Tapi aku memang ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidupnya yang kekal. Hanya itu, salahkah?

"Tidak apa-apa Eomma bicara seperti itu. Toh suatu hari nanti dia akan tersadar." Aku mencoba menghibur Hee Young juga diriku sendiri.

Hee Young masih terlihat marah. Ia melemparkan tasnya ke sofa lalu menghempaskan tubuhnya di tempat yang sama.

"Biar bagaimanapun juga dia ibumu—"

"Mwo? Orang seperti dia kau sebut ibuku? Hyun Su-yah, apa kau tidak tahu apa yang dilakukannya padaku ketika kau pergi? Apa kau tahu? Dia berusaha menjodohkanku dengan Kim Il Jong entah siapa. MENJODOHKANKU, Hyun Su! Bayangkan! Dia ingin anaknya bercerai dari suaminya dan menikahi pria asing demi nama perusahaan brengseknya. Kau….kau tidak tahu bagaimana rasanya…."

Aku menahan napasku saat Hee Young meneriakkan kata 'menjodohkan'. Kilatan emosi nyaris menguasai diriku saat melihat Hee Young menangis. Namun aku tahu bahwa tidak sepantasnya aku membenci ibu mertuaku yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri. Kupeluk Hee Young dan membiarkan air matanya membasahi kemejaku. Kubiarkan ia berbicara sesuka hatinya, memaki ibunya, dan merutuki kehidupannya. Yang bisa kulakukan saat ini adalah diam dan mendengarkannya.

Meski hatiku sakit. Sakit sekali.

"Sudah selesai menangisnya? Sudah cukup?" Ujarku dengan lembut sembari menyeka peluhnya.

Hee Young tidak berujar apapun namun isak tangisnya telah berhenti. Ia menatapku. Aku bisa merasakan ketakutan dari matanya. Aku beranjak, ia menarik lenganku namun aku tetap pergi menuju sudut ruangan dimana gitar yang kubeli bersama Hee Young tersimpan.

"All my bags are packed. I'm ready to go…." Aku mulai memainkan gitarku dan menyanyikan sebuah lagu yang sangat terkenal ketika aku berada di camp angkatan darat.

"I'm standing here, outside your door…"

Kulirik mata Hee Young mulai berkaca-kaca lagi.

"I hate to wake you up to say goodbye…"

Kini dia benar-benar menangis. Menangis tanpa suara.

"But the dawn is breaking it's early morn. The taxi's waiting it's blown its horn. Already I'm so lonesome I could die….."

"So kiss me and smile for me. Tell me that you'll wait for me. Hold me like you'll never let me go…" Kubisa rasakan suaraku bergetar.

"Cause I'm leaving on a jet plane. Don't know…." Kurasakan tetesan air mata itu membasahi pipiku. Hee Young semakin tersedu. "….don't know when I'll be back again. Oh babe, I hate to go."

OoO…

(Cho Hee Young's PoV)

A million words would not bring you back, I know because I tried, neither would a million tears, I know because I cried. All I know is that I'm losing without you because trying to forget someone you love is like trying to remember someone you never met

Kau tahu rasanya bagaimana tersesat? Kau tidak memiliki penunjuk arah bahkan kau tidak tahu dimana kau berdiri sekarang. Juga, kau tidak bisa percaya pada orang lain, orang-orang terdekatmu. Ya, seperti itulah gambaran keadaanku saat ini. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan Hyun Su sekarang. Ia tidak membalas surat-suratku. Aku seperti seorang janda. Lucu bukan? Janda yang ditinggal perang suaminya. Tidak tahu apakah suamimu masih dapat menghirup udara atau malah terkubur bersama puing-puing sejarah peperangan yang telah berjalan selama 4 bulan ini.

Aku nyaris seperti orang mati kalau tidak ada nyawa yang hidup di dalam perutku. Bayi ini menyelamatkanku. Anak kami yang menyelamatkanku dari segala macam kebimbangan yang kualami sampai detik ini. Tak pernah terpikirkan olehku kalau akhirnya aku mengandung pada keadaan seperti ini. Tiap hari kudengar bisik-bisik tetangga sialan itu mengenai perutku yang semakin hari semakin membuncit. Awalnya aku tidak mempedulikan mereka, namun aku sudah tak tahan ingin merobek mulut mereka dan berteriak bahwa jabang bayi dalam rahimku ini adalah anak suamiku. Anak Ham Hyun Su.

Tapi ada satu hal yang lebih menyakitkan ketimbang desas-desus miring itu. Satu hal yang membuat hatiku teriris tiap kali memikirkannya. Apakah Hyun Su tahu aku sedang mengandung anaknya. Apakah dia tahu?

Aku sudah mengiriminya surat mengenai kehamilanku. Aku sudah berusaha memberitahunya namun dia tak kunjung memberikan balasan. Aku semakin takut kalau terjadi apa-apa padanya. Pemerintah memang membatasi keluarga untuk mengirimi surat pada para prajurit di medan perang sana. Tiga sampai empat bulan sekali adalah jatah yang diberikan. Alasannya cukup simpel, agar konsentrasi mereka tidak buyar. Alasan bodoh, pikirku. Terakhir kali kuterima surat darinya tiga bulan yang lalu dimana aku belum menyadari ada sesuatu yang hidup dalam rahimku. Dan sejak saat itu aku mulai mengiriminya surat setiap hari.

Kuambil surat terakhir darinya yang telah ribuan kali kubaca.


Untuk Cho Hee Young,

Maaf aku telat membalas suratmu. Kabarku di sini baik-baik saja. Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Senjata kita lebih ampuh daripada milik musuh, prajurit kita pun lebih tangguh. Namun ada berita duka. Sahabat terbaikku, Kim Jung Won meninggal sebagai pahlawan saat pertempuran pertama. Kuharap kau turut bersedih dan mendoakannya.

Bagaimana kabarmu di sana? Kuharap kau selalu bahagia dan tersenyum untukku di sini. Aku tidak ingin melihatmu menangisiku lagi di sana. Kita harus bangun dari mimpi indah kita, Youngie. Sesekali kita boleh bermimpi menata kehidupan indah tak berujung seperti yang ada di buku cerita anak-anak, tapi kita selalu diingatkan untuk kembali pada kenyataan.

Aku tahu mungkin ini tidak adil bagimu. Kau mungkin bertanya-tanya mengapa semua ini terjadi pada kehidupan kita yang dulu sangat bahagia. Aku pun bertanya-tanya demikian, Hee Young. Kutemukan jawabannya ketika aku sedang patroli di daerah perbatasan. Saat itu aku melihat seorang bocah lelaki dari negara musuh sedang mencari ranjau berpuluh-puluh meter dari tempatku berdiri. Kakinya buntung. Wajahnya terlihat ketakutan dan berkali-kali melirik ke arah markas kami. Kubertanya pada rekan prajuritku yang sudah berada di sini lebih lama. Dia bilang anak lelaki itu memang selalu mencari ranjau di tempat itu dan pernah tertangkap. Kukatakan bahwa mencari ranjau bukanlah pekerjaan yang bagus untuk seorang anak kecil. Lalu dia berkata bahwa ayah ibunya telah ditembak mati beberapa minggu sebelumnya jadi ia mencari ranjau untuk dijual dan uangnya dipakai untuk mengisi perutnya.

Ia sebatang kara, Hee Young. Kau tahu apa yang kupikirkan saat itu? Aku seperti melihat diriku sendiri. Aku ditinggal mati orang tuaku dan hidup sebatang kara. Dulu aku sering menyalahkan Tuhan, betapa tidak adilnya hidupku. Setelah bertemu denganmu perlahan kusadari bahwa Tuhan itu cukup adil. Aku belajar untuk bersyukur karena kau yang mengajariku dengan berada di sisiku selama ini. Aku berusaha tidak membenci orang yang kubenci juga karena aku tidak ingin kau membenci orang yang membenciku. Ibumu. Betapa aku tidak ingin melihat ikatan antara kau dan ibumu hancur hanya karena diriku. Maafkan aku. Tolong maafkan aku.

Sekarang aku mengerti apa yang sering orang-orang katakan,'Tuhan itu adil'. Sekarang kita telah mendapat keadilan dari Tuhan. Dulu kita bisa bersenang-senang dan tertawa gembira, kini saatnya kita merasakan yang sebaliknya. Aku telah mengenalmu lebih dari lima tahun. Dan aku sangat bahagia seumur hidupku. Kini aku baru menjalani hari-hari dimana aku harus merasakan keadilan Tuhan. Tiap kali aku mulai mengeluh aku selalu berkata pada diriku bahwa bandingkanlah kebahagiaan yang pernah kau rasakan dengan penderitaan yang kau alami sekarang. Aku telah menerima banyak kebahagiaan terutama darimu, saatnya aku menerima penderitaanku yaitu jauh darimu.

Negara kita bukanlah negeri dongeng yang sama seperti dulu. Dimana kau adalah ratuku dan aku menjadi rajamu. Istana kita kini diserang para musuh dan kita harus mempertahankannya. Aku senang berada di medan karena gelora nasionalisme mengalir deras dalam nadiku sekarang. Aku tulus mencintaimu dan tidak ingin meninggalkanmu. Percaya padaku, aku pun merindukanmu. Sangat aku pun mencintai negaraku, Hee Young-ah. Ketika ku kecil dulu aku selalu berkata bahwa aku akan melindungi apa yang kucintai tak peduli apapun yang akan menghadangku. Dan inilah saatnya kubuktikan janjiku dulu. Aku akan melindungimu, dan negaraku.

Ham Hyun Su


Aku meremas surat itu lalu menangis lagi. Andai aku bisa mematri otakku agar bisa merasakan keadilan Tuhan seperti dirinya, sudah kulakukan sejak lama. Aku hanya tidak bisa, Hyun Su. Sangat sulit bagiku merasakan keadilan Tuhan. Aku merasa hidupku adalah penderitaan tanpanya. Aku tidak bisa membandingkan kebahagiaan yang pernah kualami bersamanya dengan keadaan kami saat ini. Aku benar-benar terlihat seperti seorang pesakitan. Menyedihkan.

Kuhela napasku lamat-lamat. Kusandarkan punggungku pada sofa sembari menghapus air mataku dengan tissue. Kunyalakan TV. Semuanya memberitakan tentang perang. Rasanya ingin aku melempar TV itu keluar, menghancurkannya. Belakangan ini aku sedikit sensitive mendengar kata perang. Aku memencet tombol remot, mencari chanel yang tidak memberitakan tentang perang. 5, 7, 11—nah, dapat juga meski aku tidak begitu mengerti apa yang sedang kutonton.

Rupanya acara komedi. Presenter terkenal Kim Jun berusaha membuat orang lain tertawa dalam variety shownya. Bagiku, meski dia berniat mulia untuk membuat orang lain tertawa namun usahanya sia-sia karena keadaan perang sekarang. Tiba-tiba acaranya terpotong. Wajah Kim Jun diganti oleh wajah Lee Dae Hee, si pembaca berita terkenal.

Handphoneku berdering. Aku berusaha bangkit dengan susah payah. Perutku semakin membesar dan aku harus lebih berhati-hati agar bayiku tidak kenapa-napa. Aku meraih tasku lalu mengambil handphoneku. Panggilan tak dikenal dan sepertinya bukan orang biasa yang menelepon.

Headline news kembali bersama saya Lee Dae Hee. Telah dilaporkan dari perbatasan Korea Utara dan Selatan, tepatnya di Yeonpyeong

"Yoboseyo?"

Musuh telah melepas tembakan roket ke perbatasan Yeonpyeong dini hari tadi. Angkatan darat kita telah memberikan tembakan beberapa kali. Akibat pertempuran roket tersebut, asap mengepul dimana-mana. Lima orang prajurit luka ringan, empat orang terluka parah, dan dua orang prajurit meninggal dunia.

Aku menyipitkan mataku melihat berita di TV sementara menunggu jawaban dari seberang sana. Tak terdengar suara apapun kecuali suara bising. Kukeraskan volume TV dan handphone yang masih menyala menempel di telingaku. Jantungku berdegup dengan kencang.

Berikut adalah nama-nama korban luka ringan. Jang Dong Min dari Jeolla Utara, Kim Jin Guk dari Daegu, Im Dae Chun dari Busan, Song Dong Sun dari Gyeongsan, dan Kang Oh Jung dari Gyeonggi. Korban luka parah diantaranya adalah Lee Jae Sun dari Jeju, Go In Ho dari Daejeon, Park Jin Sang dari Seoul, dan Lee Kwang Ho dari Gimhae. Kesembilan korban kini telah mendapat perawatan medis dan diistirahatkan sampai keadaan memulih. Sedangkan dua korban meninggal adalah Park Kyung Sam dari Nowon dan…..

Aku menutup mataku dan membiarkan air mataku tumpah lagi. Aku kembali teringat mimpi yang terus menghinggapiki beberapa malam ini. Mimpi yang sama sebelum Hyun Su berangkat wamil. Bedanya, bukan aku yang terperosok ke dalam lubang itu. Tapi—

..dan yang meninggal dengan keadaan paling parah adalah Ham Hyun Su dari Seoul

—Hyun Su.


A/N 2011: *ambil tissue* Nah gimana chingu ceritanya? gajekah? sedihkah? atau kurang mengenaskan? haha bagi author sendiri sih cerita ini cukup mengenaskan dan gantung. Pasti banyak yang bertanya-tanya (kegeeran lu thor) kenapa Hee Young bisa hamil. Jawabannya gampang kok, karena dia punya suami *plak*

Btw, soal perang2 itu bukan maksudnya negdoain perang loh ya. Semuanya cuma fiktif belaka kecuali bagian Korut nembakin roket ke Yeongpyeong itu ada beritanya beneran, silahkan googling deh. Tapi amit2 deh kalo dua negara itu sampe beneran perang. 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
yoonjunghae11 #1
Chapter 1: Sedih parah yaampun.jadi baper :( :'(