Chapter 1

Sky of Love

“Berjanjilah satu hal, Jisoo-ya.”

“Ah? Apa?”       

“Kalau kau takkan meninggalkan appa sendirian dengan berubah dan jatuh cinta. Tetaplah jadi anak appa yang manis.”

Arraseo abbeonim.”

 

***

 

Hari pertama masuk SMA!

Aku berlari menuruni tangga sambil merapikan seragamku. Kulihat appa menatapku dengan senyum khasnya. Kurapikan rambutku di depannya.

“Anakku memang selalu yang terbaik.”

Kim Heechul. Appa kesayanganku yang sudah jadi single parent sejak kematian eomma saat melahirkan adikku, Jennie. Kupeluk appa erat sampai harus berjinjit.

“Doakan Jisoo, ne? Jisoo pasti akan menepati janji Jisoo pada appa.”

Kring! Kring!

Suara bel sepeda yang menunggu berdering nyaring tanda tak sabar. Kulepaskan pelukanku dan berlari keluar. Seorang gadis dengan poninya yang lucu sudah menunggu. Headphone besar menempel di kupingnya. Bibirnya mengerucut.

“Jisoo-ya, ppali! Aku tidak mau terlambat di hari pertama!”

Aku berlari kecil dan langsung duduk di belakangnya. Kugelitik pinggangnya pelan sementara dia mulai mengayuh sepeda.

“Lalisa tidak boleh marah~”

“Aish, perlu kukatakan berapa kali?! Panggil aku Lalice! Nama asliku terdengar culun sekali!”

Aku terbahak sampai Lalice kehilangan keseimbangannya. Ya, Lalice. Teman dekat sekaligus tetanggaku. Lalice berasal dari Thailand, namun Bahasa Korea-nya fasih sekali. Berbeda denganku yang jarang keluar rumah, Lalice sangat aktif berorganisasi, sering jalan-jalan keluar. Kalau kau mau tahu info hangat soal pesta diskon, tanyakan saja padanya.

Kudongakkan kepalaku dan kulihat sinar matahari yang lembut menerpa bunga ceri yang mekar dengan indahnya. Musim semi pertama sebagai anak SMA. Semoga saja jadi permulaan dari tiga tahun yang menyenangkan.

Lalice memarkirkan sepedanya di lahan yang sudah disediakan. Kutatap gedung sekolah yang cukup mewah untuk ukuranku. Kuikuti Lalice yang berjalan menuju gerombolan siswa baru. Lalice menyapa banyak orang, seolah dia sudah kenal seluruh murid baru. Sementara aku hanya terdiam. Suasana sedikit gaduh, aku jadi merasa tak nyaman.

“Wah, ternyata kita satu angkatan dengan mereka! Aku tidak sangka.” Lalice mendecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kukira mereka akan masuk sekolah swasta elit atau pindah ke kota lain.”

Kuikuti arah pandangan Lalice. Kulihat sepasang lelaki tengah mengobrol. Seragam mereka tak rapi. Jas angkatan mereka bahkan tak tahu dimana. Berandalan. Aku tidak suka berandalan.

“Memangnya mereka siapa? Sepertinya seleramu menurun drastis, ya. Ketika kau dekat dengan Seunghoon saja sudah membuatku takut.” Lalice masih memperhatikan dua lelaki dengan pandangan kagum.

“Aku lupa kalau kau ini nenek-nenek tak tahu berita.” kata-kata Lalice sukses membuatku merengut tak suka. “Mereka Double B. Double B sedang naik daun, soalnya mereka sering tampil di kafe-kafe. Rapp mereka keren, lho. Yang pakai topi putih itu namanya Kim Hanbin. Kalau yang satu lagi aku lupa namanya siapa. Dia memang agak menakutkan. Tapi kalau Hanbin, uwaaaa!” Lalice berteriak tak karuan. Aku terus memerhatikan mereka sampai Hanbin bertemu mata denganku. Spontan aku memalingkan pandanganku.

“Wah, bel masuk!” Lalice menarik tanganku memasuki gedung sekolah. Aku hanya mengikuti langkah Lalice yang lebar dan melewati dua lelaki yang dikagumi Lalice itu.

 

***

 

Hari pertama cukup melelahkan juga. Bertemu banyak orang, beradaptasi dengan suasana baru. Untungnya aku sekelas dengan Lalice, setidaknya aku tak begitu kikuk menghadapi semuanya.

“Kim Jisoo, ada yang mencarimu, tuh.” Mino, ketua kelas menepuk bahuku pelan. Kuanggukkan kepalaku dan berjalan menghampiri pintu. Seseorang bersandar di kusen. Terbersit sedikit rasa takut. Memangnya aku berbuat apa sampai dicari orang?

A-annyeong. Kim Jisoo imnida.” kubungkukkan tubuhku pelan dan orang itu menoleh ke arahku. Uwah! Ini, kan, salah satu dari Duo Kim yang membuat Lalice histeris!

“Ah, wassup! Namaku Kim Hanbin, kelas 1-D. Aku sempat melihatmu sebelum masuk kelas tadi, dan...”

“Namaku Lalice Manoban, salam kenal!” tiba-tiba Lalice sudah ada di sampingku dan mengulurkan tangannya ke arah Hanbin. Wajahnya terlihat sangat senang.

“Ah, yosh. Hai Manoban-ssi.” Hanbin menjabat tangan Lalice dan mengalihkan pandangannya padaku. “Boleh minta nomor handphone-mu, Jisoo? Kalau kau mau.” Hanbin memberiku ponselnya. Kutatap ponsel itu dan akhirnya menuliskan sebuah nomor di kontaknya.

Pasti seru.

 

***

 

Kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Karena insiden Hanbin datang ke kelas kami, Lalice jadi sedikit marah padaku. Aku harus berjalan pulang sendiri. Kubuka tasku dan mengeluarkan tugas pertama yang diberikan. Tak begitu sulit. Hanya menuliskan bagaimana rasanya jadi murid baru.

Aku baru menulis dua paragraf ketika teriakan yang sudah tak asing menyerangku.

“GYAAA! KIM JISOO, KAU HARUS TAHU INI SEMUA!”

Kutatap Lalice yang sudah ada di belakangku dengan tatapan gusar. Wajahnya bersemu merah. Tatapannya berbinar dan dia tak berhenti meloncat-loncat.

Aigo. Kenapa kau tidak mengerjakan tugas saja? Oh, atau mau mengerjakan bersamaku? Kajja!”

“Kau ini memang nenek-nenek yang tidak mengerti perasaan remaja,” kata-kata Lalice sukses membuatku cemberut. “Kim Hanbin. Chatting. Denganku!!”

“Sudah tahu, kok.”

Lalice menatapku dengan tatapan heran.

“Kau sekarang jadi cenayang, ya?!”

“Tidak,” aku menggeleng pelan. “Tadi yang aku beri ke Kim Hanbin nomormu, bukan nomorku.”

Jinjja?! Kau memang keren!” Lalice meloncat makin tinggi. “Maaf soal tadi siang, ne?! Uwaaa ini keren sekali!”

Lalice tak bisa diam, wajahnya makin merah. Kutatap dia dengan tersenyum juga. Namun otakku memikirkan satu hal,

Apa betul aku tidak bisa mengerti perasaan remaja?

 

***

 

Kubongkar tasku untuk kesekian kalinya. Dadaku terasa sesak dan dahiku mulai basah karena keringat. Ponselku hilang! Jennie menatapku prihatin dan menyodorkanku saputangan miliknya.

“Sudah tanya pada pustakawan? Biasanya, kalau ada barang tertinggal akan diamankan.” Jennie ikut membuka-buka tasku lalu beralih ke meja belajarku.

“S-sudah. Katanya tidak ada...”

Jennie mengangguk pelan dan memasukkan tangannya ke saku jaket yang kebesaran itu, lalu mengeluarkan ponselnya.

“Ini, pakai saja dulu punyaku. Tapi jangan bilang-bilang appa, ne?” Jennie menaruh ponselnya di telapak tanganku dan berlari keluar kamar. Ponsel kembar yang dibelikan appa untukku dan Jennie. Yang berbeda hanya warnanya saja. Punyaku pink pucat, sedangkan Jennie biru langit. Kubuka flip ponsel dan mengirim pesan pada nomorku sendiri.

Yak, ponsel, kau hilang kemana?! Kim Jisoo membutuhkanmu.... .

Kutaruh ponsel Jennie di meja rias dan memejamkan mata. Kenapa sih, jadi anak SMA itu sial sekali?! Seingatku ponsel itu kumasukkan ke saku kecil di tasku. Terbawa Lalice? Tak mungkin. Dia bahkan sedang sibuk dengan Kim Hanbin. Mana mungkin dia mengambil ponselku.

“Kalau appa tahu bisa gawat...”

Tiba-tiba meja riasku bergetar, suaranya aneh. Ponsel Jennie. Ah, mungkin saja itu pesan dari laki-laki yang digosipkan sedang dekat dengan Jennie! Aku terkikik dan membuka flipnya. Aku terkejut melihat sebuah pesan singkat yang tertera di layar.

Oh, jadi namamu Kim Jisoo?

Kubaringkan tubuhku dengan perasaan sedikit takut. Ponselku jelas-jelas diambil orang. Bodoh, Kim Jisoo bodoh! Bagaimana kalau dia membuka semua aplikasi di ponselku dan mengetahui semuanya? Bagaimana kalau orang itu stalker?! Dengan jari bergetar kubalas pesan itu.

Ya, aku Kim Jisoo, apa urusanmu?! Kembalikan ponselku!

Wah, ternyata kau galak juga, ya. Aku kira kau pendiam. Yang cerewet kan, si Thailand temanmu.

Aku semakin takut. Orang ini bahkan tahu tentang Lalice! Kututup flip cepat dan menaruhnya asal. Ponsel itu bergetar sesekali, tapi aku terlalu takut untuk membukanya.

 

***

Sudah dua hari ponselku hilang. Orang misterius itu tetap menghubungiku. Dia bilang dia seorang lelaki dan satu sekolah denganku. Lalice menatapku tak suka sambil menggelengkan kepalanya.

“Kim Jisoo! Jangan berkomunikasi lagi dengan orang itu! Bilang saja ke ayahmu yang sebenarnya, lalu sisihkan uang sakumu untuk beli yang baru. Aku bisa membantumu, kok. Atau mau pakai ponsel lamaku?” Lalice langsung dihadiahi tatapan galak pustakawan sekolah. Kami sedang merangkum literatur untuk tugas minggu depan di perpustakaan.

“Itu, kan, cuma usahaku saja supaya ponselku kembali...” aku menghela nafas pelan dan mulai merangkum lagi.

Bulkeun haega sesuhaedon paran bada

Geomge

Muldeulgo

Dering ponsel dengan volume tinggi langsung membuat perpustakaan bising. Pustakawan yang galak itu langsung berdiri sambil berkacak pinggang,

“Siapa yang menyalakan ponsel dengan volume sekeras itu di perpustakaan?! Apa kalian tidak bisa baca peraturan?!”

Dering ponsel dengan lagu Eomeuldeul terus mengalun. Kucondongkan tubuhku ke arah Lalice lalu berbisik,

“Itu, kan, nada dering ponselku.”

“Kau pikir yang pakai nada dering begitu hanya Kim Jisoo?! Terserah, deh.”

Kutinggalkan Lalice yang mendengus kesal lalu berjalan mengikuti suara yang makin lama makin nyaring. Kubelokkan tubuhku ke arah rak novel dan kutemukan benda pink pucat terselip di antara komik-komik usang yang sudah jarang dibaca. Spot kesukaanku.

“Uwah, ponselku! Kenapa kau bisa ada di sini?!” aku terpekik pelan dan langsung membuka flipnya.

Missed call from Bobby Kim.

Bobby Kim? Siapa?

 

***

 

Hari-hari berjalan normal setelah kejadian menghilangnya ponsel. Aku masih tidak tahu siapa itu Bobby Kim. Aku tidak berusaha mencari tahu karena kesibukan yang semakin padat dan terlalu takut. Sekarang, di sekolah sedang diadakan event yang sangat disukai semua orang kecuali aku.

Festival Olahraga Sekolah.

Aku tak suka karena aku lemah dalam bidang olahraga. Lariku lambat, nafasku pendek. Aku jadi mudah lelah. Selain itu, sekolah akan ramai, ramai sekali. Akan sulit mencari tempat yang tenang. Perpustakaan juga ditutup, aku jadi tidak tahu harus diam dimana.

Masalah yang amat sangat membuatku benci festival olahraga tahun ini adalah Lalisa Manoban punya pacar.

Yosh, Lalisa Manoban punya pacar. Dia jadi tambah berisik. Topik pembicaraannya jadi tak jauh dari urusan itu. Dia juga jadi sering pergi ke kafe yang bahkan namanya sulit untuk diucapkan setiap akhir pekan.

Dia resmi jadi pacar Kim Hanbin.

Seperti sekarang, dia sedang sibuk meneriaki Hanbin yang sedang mengikuti maraton. Posisi Hanbin yang paling depan juga membuat Lalice makin menggila. Dia bahkan begadang hanya untuk membuat spanduk berukuran sedang yang berisi dukungannya untuk Hanbin.

“HANBINNIE! HANBINNIE JJANG JJANG HANBINNIE! YEAAAYYYY!!” Lalice berteriak kencang sekali saat melihat Hanbin berhasil menempati urutan pertama. Spanduknya berkibar-kibar. Hanbin melambaikan tangannya dari tengah lapangan pada Lalice. Aku hanya bisa menutup mukaku dengan telapak tangan, malu.

“Kau ini berisik sekali. Jangan membuatku malu.” Hanbin tiba-tiba sudah ada di samping Lalice. Ikat rambut Lalice dia tarik seenaknya.

“Yak, sakit! Harusnya kau bersyukur punya pendukung sepertiku!” Lalice mengerucutkan bibirnya seperti bebek, membuat Hanbin terkekeh dan mencubit bibir Lalice.

“Iya, maaf. Kau harusnya perhatikan Jisoo saja, tuh.” Hanbin melirikku yang diam saja melihat mereka. Lagi-lagi jadi obat nyamuk, huh.

“Ah, tidak apa-apa. Jangan terganggu, ya.” aku tersenyum tipis dan berbalik melihat lapangan yang sudah kosong melompong.

“Jisoo, kami ke stan makanan dulu, ya! Si Perut Karet satu ini katanya lapar.” Lalice melambaikan tangannya dan berjalan menjauh bersama Hanbin. Sesekali Hanbin menarik Lalice karena Lalice tak mau diam.

Sedikit demi sedikit orang-orang berjalan meninggalkan lapangan karena sekarang waktunya istirahat. Aku sendirian. Aku berjalan sambil menunduk, menendangi batu-batu kecil. Apa seterusnya akan begini? Pasti sulit sekali mencari teman baru, terlebih yang mau mengerti sifatku...

BRUK!

Aku menabrak seorang lelaki yang tingginya tidak jauh beda denganku. Ekspresi wajahnya dingin sekali. Dia menatapku yang masih sedikit terkejut.

“Ah, m-mianhae...” aku membungkukkan badanku berkali-kali dan berjalan menjauhi lelaki itu. Namun, kurasakan bahuku ditahan. Lelaki itu membalikkan badanku ke arahnya dan perlahan dia menekatkan wajahnya padaku.

“Hei! Apa maumu?! Lepaskan a...”

Kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirku. Mataku yang terbelalak melihat lelaki itu terpejam, seperti menikmati sesuatu.

Dia menciumku. Dia ciuman pertamaku.

Dia melepas cengkramannya di bahuku. Ia tersenyum samar, lalu berjalan meninggalkanku. Kurasakan pipiku memanas, pandanganku mengabur.

Kenapa aku harus mendapatkan ciuman pertama dengan cara seperti ini?

 

***

 

Aku menghabiskan hariku dalam diam. Kuikuti Lalice dan Hanbin kemanapun, bahkan tak protes kalau mereka bermesraan seenaknya. Aku masih merasa kesal pada diriku sendiri.

Kenapa aku sebegitu lemahnya? Kenapa aku bisa dicium orang yang tak dikenal dengan mudahnya?

“Jisoo, kau ini kenapa, sih?” Lalice mengguncang-guncangkan bahuku sementara Hanbin menatapku bingung. “Ayo, bicara! Jangan membuatku takut, dong. Hanbin, aku harus apa?!”

“Mungkin dia lapar.” Hanbin membuat dugaan seenaknya dan merasa yakin akan hal itu. Dia menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Ya, pasti dia lapar!”

“Memangnya Jisoo itu kamu yang lapar setiap saat?!” Lalice mendorong Hanbin seenaknya. “Tapi ada benarnya juga. Kau sudah makan belum? Uang sakumu habis atau bagaimana?” aku menggeleng pelan. Kebetulan aku memang belum makan, perutku mulai terasa perih.

“Kan, sudah kubilang!” Hanbin mendengus puas. “Ayo, kita ke stan makanan yang tadi, aku traktir, deh.”

Lalice menarikku ke arah stan makanan dengan langkah lebar, membuatku susah mengikuti. Aroma makanan menggelitik perutku.

“Wah, kebetulan!” Hanbin tersenyum lebar dan menghampiri seseorang yang duduk sendirian. Aku tersentak melihat orang itu. Kenapa Hanbin akrab dengan orang itu? Tidak, tidak. Hanbin tidak mungkin berteman dengan orang itu. Namun otakku tiba-tiba dipenuhi suara Lalice ketika hari pertama masuk sekolah.

Mereka Double B. Double B sedang naik daun, soalnya mereka sering tampil di kafe-kafe. Rapp mereka keren, lho. Yang pakai topi putih itu namanya Kim Hanbin. Kalau yang satu lagi aku lupa namanya siapa. Dia memang agak menakutkan...

“Ayo, duduk di sini.” Hanbin menyediakan tempat duduk untukku dan Lalice. Dengan ragu aku mendekat. Lelaki menakutkan itu tersenyum samar, seperti tadi.

“Kenalkan, Jisoo. Ini temanku. Apa kau lihat-lihat, eh?! Dasar yeoja Thailand.” Hanbin mendengus saat melihat Lalice yang sedang memperhatikannya.

“Bobby Kim.” kini lelaki itu berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Tiba-tiba aku teringat kejadian ketika ponselku hilang dan secara misterius sebuah nama muncul..... nama yang sama, Bobby Kim. Tanpa membalas uluran tangannya aku berbalik dan berlari tak tentu arah. Kudengar teriakan Lalice memanggilku, namun aku tak peduli.

 

***

 

Aku jadi makin pendiam sejak festival olahraga. Aku bahkan jadi jarang mengobrol dengan Lalice. Terkadang aku bertemu dengan Bobby di waktu istirahat, itu membuatku semakin kesal pada diriku sendiri. Apa yang harus kulakukan? Apa appa harus tahu? Dia pasti akan sangat kecewa.

“Malam ini ada pesta kembang api di balai kota, mau ikut?” Lalice tiba-tiba muncul di bangku depanku. Meski aku bersikap lebih tertutup sekarang, dia tak pernah berubah. Dia selalu berusaha mengajakku ke banyak tempat meski selalu kutolak dengan berbagai alasan.

“Sepertinya tidak. Aku mau melanjutkan membaca novel.”

“Ayolah. Baca novel, kan, bisa kapan saja. Pesta kembang api tidak semudah membaca novel. Hanbin ikut, kok. Pasti menyenangkan. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian seperti festival olahraga kemarin. Kumohon.”

“Tidak.”

“Kumohon. Kumohon.” Lalice menatapku dengan matanya yang dibuat seimut mungkin. Aku tak bisa menahan tawaku dan mencubit pipi Lalice.

“Baiklah, kau menang. Aku ikut denganmu. Tapi kau harus tepati janjimu, ya?”

“Siap!”

Kuhela nafasku pelan. Tuhan, kabulkan satu saja permintaanku.

Semoga manusia menakutkan bernama Bobby Kim fobia bunyi ledakan dan kembang api.

 

***

 

Balai kota sangat ramai malam ini. Aku dan Lalice menunggu Hanbin di gerbang balai kota. Untuk kesekian kalinya Lalice melirik jam tangannya yang berukuran besar untuk tangannya.

“Pasti dia ketiduran. Dasar laki-laki payah.” Lalice menjejakkan kakinya ke tanah keras-keras. Aku hanya bisa tertawa melihatnya.

“Dia tidak payah, kok. Tuh.” aku menunjuk Hanbin yang sedang berlari tergesa-gesa. Di belakangnya ada seorang lelaki yang mengikutinya. Aku menatapnya bingung. Mungkin Hanbin juga mengajak temannya.

“Kenapa terlambat?! Aku, kan menunggu dari tadi!” Lalice mengacak rambut Hanbin sambil mengerucutkan bibirnya. “Kasihan Jisoo!”

“Aish, maaf. Seungyoon hyung sepertinya salah mendengar atau apalah, aku tidak mengerti. Dia malah menunggu di gerbang sekolah. Aku tadi menjemputnya dulu.” ternyata dugaanku benar. Lelaki yang sedari tadi mengikuti Hanbin adalah temannya.

“Sudah, yang penting semua sudah berkumpul di sini.” aku berusaha menenangkan keadaan. Mendengar aku berbicara Hanbin dan Lalice langsung mendorong lelaki teman Hanbin ke dekatku.

“Sudah kubilang mereka akan cocok.”

“Iya! Ternyata kau punya sisi pintar juga, ya!”

Aku menatap Lalice dan Hanbin yang high five dengan wajah gembira.

“Sebenarnya kau ajak aku ke sini untuk apa? Aku sebenarnya ada kerja part time di toko buku dekat stasiun hari ini.” lelaki itu mulai gusar dan melirikku sesekali. Dia manis juga.

“Jadi begini, hyung. Kenalkan, ini namanya Kim Jisoo.” Hanbin menghadapkan tubuh lelaki itu ke arahku. “Dia teman sekelas Lalice. Nah, Jisoo, ini Kang Seungyoon hyung. Dia seniorku di klub musik, tapi beda genre.”

Annyeonghaseyo sunbaenim.” aku berusaha untuk bersikap sesopan mungkin. Kubungkukkan badanku.

“Tidak usah terlalu formal denganku, santai saja. Panggil nama atau apapun, sesukamu deh.”

Arraseo, oppa.”

“Karena kalian sudah saling kenal,” Lalice memotong Seungyoon oppa yang mau berbicara. “Bagaimana kalau kalian berjalan bersama saja? Hanbin, ayo! Lomba karaokenya sudah mau mulai, lho!” Lalice menarik Hanbin lalu berlari menjauhiku dan Seungyoon oppa. Bagaimana ini?! Dasar Lalice! Kugigit bibir bawahku dan mulai berkeringat dingin. Aku terlalu takut untuk berjalan bersama orang yang baru kukenal beberapa menit yang lalu.

“Sudah, mereka ada benarnya juga. Lagipula aku pusing kalau berjalan dengan mereka. Berisiknya keterlaluan. Ayo.” Seungyoon oppa menggenggam tanganku dan berjalan masuk. Aku yang kaget berusaha melepaskan genggaman tangannya.

“Maaf, bukannya lancang. Aku takut kau hilang, makanya kupegang tanganmu. Lagipula kita sama-sama tak banyak omong. Mau limun?” Seungyoon oppa berbicara seolah menjawab gesturku yang tak suka. Aku mengangguk menerima tawarannya.

“Limun dua, esnya jangan terlalu banyak ya,” Seungyoon oppa mengajakku duduk di kursi sembari memesan limun. Aku hanya bisa menunduk dan bingung harus apa.

Oppa berteman dengan Hanbin sejak kapan?” aku berusaha membuka obrolan.

“Belum lama, pokoknya sejak dia masuk klub musik sekolah. Ini limunmu.” aku menerima limun dan segera menyeruputnya.

“Asaaaaam!” aku mengernyitkan keningku. Aku memang tak suka asam. Kudengar Seungyoon oppa tertawa pelan.

“Ekspresimu lucu sekali. Kau belum mengaduknya, makanya terasa asam.” Seungyoon oppa mengaduk pelan gelas limunku. “Coba lagi sekarang.” aku mengangguk dan menyeruput lagi limunku.

“Ya, lebih baik. Tidak seasam tadi.” aku tertawa bersama Seungyoon oppa. Pandanganku sekarang tertuju pada sebuah boneka unicorn gendut yang ada di dua stan di seberang tempatku sekarang.

“Kau lihat apa?” Seungyoon oppa mengikuti arah pandanganku. “Kau mau boneka itu?”

Aniya. Hanya suka saja. Sepertinya enak untuk dipeluk.”

“Kalau kau suka berarti kau mau,” Seungyoon oppa membayar limun kami dan menarik tanganku. “Akan kumenangkan untukmu.”

Aku dan Seungyoon oppa berjalan menuju stan tempat boneka itu. Seungyoon oppa harus menembak sasaran dengan poin tertinggi untuk mendapatkan boneka itu. Namun sulit sekali. Sudah percobaan ketiga dan Seungyoon oppa hanya mampu menembak poin dengan jumlah kecil.

“Sudah, oppa, kita jalan-jalan ke stan lain saja. Katanya sebentar lagi kembang apinya akan dinyalakan.”

Mian. Sulit sekali.”

BRAK!

Sebuah panah mengenai sekat antar poin tertinggi. Aku dan Seungyoon oppa hanya bisa melongo. Hebat sekali.

“Hei, berikan aku hadiahnya!”

“Kau harus mengenai kolomnya, bukan sekatnya. Mana bisa kuberikan hadiahnya kalau macam begitu.” penjaga stan berkata tanpa memedulikan orang yang tengah mendengus itu. Kulirik orang itu dan nafasku langsung tertahan.

Itu Bobby Kim!

Oppa, ayo kita ke stan lain saja.” aku mulai panik dan menarik-narik lengan Seungyoon oppa.

“Seungyoon hyung!” Bobby mendekati kami. Mati aku. Semua sudah kacau.

“Oh, jadi kau yang mengenai sekat poin itu? Hebat sekali.”

“Kesini dengan siapa?”

“Dengan Kim Jisoo.” Seungyoon oppa menarikku ke depan Bobby. Dapat kulihat ekspresi Bobby berubah drastis.

“KENAPA KAU PERGI DENGAN GADISKU, HAH?!”

Kutatap Bobby dengan tatapan bingung.

Gadisku?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
liliepark
#1
Chapter 1: Update please :( Aku penasaran banget karena aku suka pairing bobby-jisoo hehe btw salam kenal ya author-nim ^^